Abu Adlan Faatih
Setidaknya, untuk mengetahui bagaimana peradaban Barat, kita harus
menemukan akar sejarah genetis yang paling berpengaruh dalam membentuk struktur
sosialnya. Dr. Nirwan Syafrin menyebutkan bahwa, Peradaban Barat adalah
Peradaban Filsafat. Tradisi keilmuwan yang berkembang adalah tradisi
intelektual yang terbangun dengan dialektika spekulasi antara para filsufnya. Menurut
Prof. Ahmad Tafsir, kita bisa membagi tradisi Filsafat Barat ke dalam empat
bagian. Masa Yunani Kuno (Ancient Greek), masa abad Tengah (Medieval
Ages), masa modern (Modern Ages), dan pasca modern (Post-Modern).
Sistem kepercayaan Yunani kuno sangat sarat dengan mitos. Orang
yunani yang hidup pada abad ke-6 SM
mempunyai keyakinan bahwa kebenaran akal tidak akan diperoleh melalui akal
pikir (Logos). Kebenaran adalah apa yang datang dari mitos (dongeng -
dongeng). Bagi Orang Yunani, Karya Homerus mempunyai kedudukan yang sangat
tinggi untuk pedoman hidup orang - orang yunani. Isinya tentang dongeng-dongeng
mengenai dewa-dewa. Dan kehidupan orang Yunani sangat sarat dengan keyakinan
Paganisme.
Namun, setelah abad ke- 6 SM muncul sejumlah ahli pikir yang meninggalkan
mitologi. Dalam sejarah dikenal peristiwa
The Greek Miracle. Di mana, filsafat Yunani mulai teramu dalam
dialektika antar-para pemikir. Pengaruh ilmu pengetahuan yang berasal dari Babylonia di lembah sungai nil bisa dibagi menjadi periode yunani kuno yang diisi
oleh ahli pikir alam (Thales, Anaximandros, Phytagoras, Xenophanes, dan
Democritus) dan pada yunani klasik diisi oleh ahli pikir seperti Scrates,
plato, Aristoteles.
Masa Filsafat Yunani Kuno dimulai pertama kali oleh Thales. Ia
dianggap sebagai orang yang paling pertama berfilsafat. What is The Nature
of the world stuff ?. Apa sebenarnya bahan alam semesta ini ?.[1]
Ia menjawabnya air. Pertanyaan ini menjadi simbol tentang awal mula spekulasi
berpikir yang lepas dari keyakinan dan agama. Karena menurut Thales, jawabannya
adalah air. Alasannya, air dibutuhkan dalam kehidupan.
Selain Thales, dikenal juga Aniximandros (640 - 546). Ia merupakan orang yang pertama membuat peta
bumi. pemikiranya dalam memberikan pendapat tentang arche (asas pertama alam
semesta), ia tidak menunjukan pada masalah suatu unsur yang dapat di amati oleh
indra tetapi ia menunjuk dan memilih pada sesuatu yang tidak dapat diamati
indra, yaitu to apeironi yang tidak terbatas. Ada juga Phytagoras (572 -
497 SM) yang menyatakan bahwa substansi dari semua benda adalah bilangan dan
segala gejala alam merupakan pengungkapan bahwa setiap dasar dari 1 - 10
mempunyai kekuatan dan arti sendiri. Phytagoraslah yang mengatakan pertama kali
bahwa alam semesta itu merupakan satu keseluruhan yang teratur. Keharmonisan
dapat dicapai dengan menggabungkan hal - hal yang berlawanan seperti : terbatas
- tak terbatas, ganjil - genap, diam - gerak, lurus - bengkok, baik - buruk,
terang - gelap, kanan kiri, dan lain - lainnya. Ada juga Xenophanes (570), yang
mengungkapkan bantahan akan adanya
antropomorfise Tuhan - tuhan. Yaitu tuhan di gambarkan seakan - akan
manusia. kritikan ini di tujukan kepada anggapan - anggapan lama yang berdasar
pada mitologi.
Diantara pemikir yang merumuskan pemikiran paling asas adalah Parmenides
(540 - 475). Ia lahir di kota Elea,
dialah yang pertama kali memikirkan
tentang hakikat ada (being). Menurut pendapatnya, apa yang disebut
sebagai realitas adalah bukan tentang gerak dan perubahan. Yang ada being
itu ada, yang tidak dapat hilang menjadi tidak ada, dan yang tidak ada mungkin
muncul menjadi ada, yang ada adalah tidak ada sehingga dapat dipikirkan. Yang
dapat dipikirkan hanyalah yang ada saja, yang tidak ada tidak dapat dipikirkan.
jadi, yang ada (being) itu satu, umum,
tetap dan tidak dapat dibagi - bagi karena membagi yang ada akan menimbulkan
atau melahirkan banyak yang ada, dan itu tidak mungkin ada. Selain itu ada juga
pemikir lain seperti Zeno (490-430 SM) yang merumuskan dasar-dasar logika yang berawal
dari pengambilan hipotesis dan bagaimana menarik kesimpulan. Empedocles (490 - 435
SM), menyatakan bahwa alam semesta
tersusun atas empat unsur, yaitu api, udara, tanah, dan air. Dan Democritus,
yang dianggap pertama kali merumuskan bahwa realitas bukanlah satu, tetapi
terdiri dari banyak unsur dan jumlahnya tidak terhingga yang disebut atom.
Sebenarnya semua kalangan di atas dikenal dengan istilah kalangan sofis.
Yaitu, kalangan yang menafikan kebenaran sebagai sesuatu yang dapat diketahui. Sebab,
mereka saling membantah satu dengan yang lain dengan masing-masing argumentasi.
Dan tidak ada tolok ukur keilmiahan yang menjadi rujukan. Paling tidak yang
bisa memenangi dialektika adalah yang paling rasional pendapatnya. Akhirnya, masyarakat
Athena berada pada keguncangan. Sebab, semua orang dapat mengatakan apa yang
benar, menurut mereka sendiri. Dan hal tersebut diperparah dengan kedatangan
Georgias yang menyatakan bahwa ‘tidak ada yang ada’. Artinya tidak ada
realitas. Dan karena itu, kita tidak mungkin bisa mengetahui yang ada itu. Dan kalaupun
kita bisa mengetahui, kita tidak akan bisa mengemukakannya kepada orang lain.
Pemikiran semacam ini-lah yang melahirkan utilitarianisme, pragmatisme,
positivisme, dan eksistensialisme.[2]
Namun, di zaman tersebut, datanglah Socrates yang membantah
kalangan Sofis. Ia menyatakan bahwa kebenaran itu ada dan bisa diketahui. Ia yakin
bahwa ada kebenaran objektif. Dan keyakinan ini dilanjutkan dan diperkuat oleh
Plato. Ia menyatakan bahwa kebenaran itu ada dalam idea dan lepas dari
objek. Bedanya, Plato mengatakan Idea itu umum, bukan hasil abstraksi
seperti anggapan Socrates. Karena idea itu umum, maka kebenarannya pun umum. Hal
itu kemudian diperkuat lagi oleh Aristoteles. Ia datang dengan Logika Formal. Yang
paling mendasar adalah pernyataan Aristoteles tentang Metafisika. Ia mengatakan
setiap sesuatu memiliki matter dan form. Matter memberikan
substansi, dan form memberikan pembungkusnya. Dengan ungkapan ini,
Aristoteles mengatasi dualisme Plato. [3]
Masa berikutnya adalah Abad Pertengahan, dimana Yunani dengan
segala macam kemajuan peradabannya, diinvasi oleh kekuasaan Romawi, di bawah
kepemimpinan Caesar Augustus. Karena pengaruh filsafat Yunani yang begitu kuat,
kebudayaan, serta corak pemikiran Romawi sangat banyak mengadopsi pemikiran-pemikiran
Yunani terutama Teologi. Selain itu, karena perkembangan kekuasaan Romawi bersamaan
dengan pesatnya pertumbuhan penganut agama kristen, filsafat Yunani akhirnya berbaur
dengan agama Kristen. Hasilnya adalah filsafat Eropa yang menjadi penggabungan
antara filsafat Yunani dengan doktrin teologi Kristen. Abad Pertengahan (467 –
1492) ini, dalam sejarah disebut sebagai dark ages atau “abad kegelapan”.
Hal itu disebabkan rara ilmuwan dipasung kebebasan berfikirnya dalam doktrin
teologi gereja. Teori serta hasil-hasil penelitian oleh para intelektual dikecam,
jika ternyata berterntangan dengan isi kitab suci. Pihak gereja melarang
diadakannya penyelidikan-penyelidikan berdasarkan rasio terhadap agama. Karena
itu agama kristen mau-tidak-mau akan diguncang oleh pertanyaan-pertanyaan yang menggugat
sistem keyakinan mereka. Namun, dorongan keilmuwan tidak bisa dibendung. Para
ilmuwan di zamannya tampil menyampaikan hasil penyelidikannya, meski pahit. Ia
harus menghadapi siksaan inkuisisi gereja. Masa abad pertengahan ini adalah
masa terkelam dan terpahit bagi barat. Sebab, mereka dibonsai dalam sebuah sistem
indoktrinasi. Dogma trinitas, dosa abadi, sakramen, dan penebusan dosa adalah sakral,
dan tidak boleh digugat. Meski periode penyusunannya menimbulkan banyak
kontroversi. Di masa inilah, perkembangan ilmu pengetahuan hampir mati.
Masa berikutnya adalah Abad Modern. Masa ini ditandai dengan
kehadiran Rene Descartes dengan argumen cogito ergo sum. Ia berusaha
melepaskan diri dari kekangan gereja, dan akhirnya berhasil. Hingga banyak
bermunculan pemikir-pemikir baru. Jika dulu yang muncul di Yunani Kuno adalah sofisme,
maka pada zaman ini muncul Spetisisme, yang isinya juga sama, bahwa tidak ada
kebenaran mutlak. Descartes mampu
menggerakkan Renaissance, hingga berlangsung proses pemisahan rasio dan
iman. Pada perkembangan berikutnya, rasio menjadi pusat kebenaran. Hal itu
didukung oleh Baruch Spinoza, dan Gottfried Leibniz yang
menyatakan bahwa pada hakikatnya ilmu itu bersumber dari akal budi manusia.
Descartes berpendapat bahwa dalam jiwa manusia terdapat ide bawaan (innate
ideas) yang dinamakan substansi yang sudah tertanam. Ide bawaan tersebut
terdiri atas : pemikiran, Tuhan, dan keluasan (ekstensi). Adapun ilmu-ilmu lain
yang dicapai manusia pada hakikatnya adalah derivasi dari ketiga prinsip dasar
tersebut. Menurut aliran ini ini, adalah akal melalui deduksi ketat seraya
mengabaikan pengalaman.
Selain itu, ada pula mazhab
inderawi. Aliran yang menyatakan bahwa, sebenarnya bukan akal yang menjadi alat
memperoleh kebenaran. Karena apa yang disebut dengan idea, adalah hayalan yang
tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Justru yang nyata adalah apa real
terindera. Madzhab ini (empirisisme) menekankan pentingnya pengalaman sebagai
sarana pencapaian pengetahuan. Aliran ini dipelopori oleh Francis Bacon,
sekalipun dalam pengertian tertentu pemikiran yang mengutamakan pendekatan
empirik. Puncak pemikiran aliran ini terdapat pada pemikiran David Hume yang
dalam karyanya A Treatise of Human Nature. Dalam buku tersebut David Hume
mengupas persoalan-persoalan epistemologis penting. Berbanding terbalik dengan
rasionalisme, mazhab ini berpandangan
bahwa seluruh isi pemikiran manusia berasal dari pengalaman, yang kemudian
diistilahkan dengan persepsi. Persepsi, kemudian, dibagi menjadi dua macam,
yaitu kesan-kesan (impressions) dan gagasan (ideas)[4].
Immanuel Kant, datang untuk
mendamaikan dua kutub Pemikiran ini. Kant berusaha menunjukkan unsur mana saja
dalam pikiran manusia yang berasal dari pengalaman dan unsur mana yang berasal
dari akal. Berbeda dengan aliran filsafat sebelumnya yang memusatkan perhatian
pada objek penelitian, Kant mengawali filsafatnya dengan memikirkan manusia
sebagai subjek yang berpikir. Dengan demikian fokus perhatian Kant adalah pada
penyelidikan rasio manusia dan batas-batasnya[5].
Ketiga aliran besar ini,
sudah cukup membuktikan bagaimana filsafat modern begitu membingungkan. Meski
Kant datang dan berusaha membela rasio dan iman, pemikiran Descartes telah
menjalar dan tak dapat dibendung. Berikutnya lahir Pragmatisme oleh Peirce yang
merelatifkan agama dan sains. Pragmatisme, memalingkan diri dari hal-hal yang
bersifat awal, prinsip, undang-undang dan keharusan yang mesti diterima. Yang
paling penting dari setiap sesuatu adalah sejauh mana sesuatu itu memberi hasil
dan pengaruh. Karena itu, pragmatisme menempatkan utilitas (kemanfaatan) dalam
segala sesuatu sebagai ukuran.
Sementara itu, Eksistensialisme
menolak segala bentuk kemutlakan rasional, dan tidak mau terikat pada
nilai-nilai yang abstrak dan spekulatif. Segalanya berawal dari pengalaman
pribadi, keyakinan, kemampuan dan keluasan jalan untuk menentukan
padakeberadaan manusia itu sendiri. Setelah dicetuskan Daniesh Soren
Kierkegaard, Jean Paul Sartre dan Nietzhche membawa aliran ini pada kutub
ekstrimisme. Mereka memandang bahwa manusia memiliki kebebasan absolut dan
tidak terbatas. Realitas atau fakta terkait ruang dan waktu tidak bisa
mempengaruhi manusia itu sendiri. Karena manusialah yang bisa menentukan
bagaimana keberadaan dirinya sendiri terhadap lingkungannya. Lebih lanjut
Nietzhche ‘mematikan tuhan’, agar manusia bebas berkehendak dan berbuat tidak
lagi terikat pada pahala dan dosa.
Di masa berikutnya,
Filsafat Post-Modern, lahir tokoh seperti Faocault, Arkoun, Derrida, dan Wittsgentein[6].
Filsafat Modern telah menunjukkan betapa Rasionalisme-lah yang mendominasi. Dan
arus rasionalisme tidak bisa dibendung. Filsafat telah berevolusi dalam bentuk
yang tidak lagi wajar. Agama telah dipinggirkan. Perasaan traumatik terhadap pasungan
teologi gereja telah membuat kepuasan yang luar biasa di kalangan pasa filsuf
untuk semakin menjadikan akal sebagai satu-satunya instrumen mendekati
kebenaran.
Kenyataan itu semakin
disadari oleh para Filsuf Gereja sendiri. Bahwa, dominasi rasio telah
meminggirkan agama dalam kehidupan. Keyakinan Metafisis dihilangkan. Dan yang
ada adalah reduksi ilmu ke dalam akal dan indera sebagai sumber epsitemologi
otentik. Sangat panjang memang, sebab dinamika Masyarakat Barat antara pengaruh
Kristen dan Filsafat tidak bisa didamaikan. Sementara, dalam kenyataannya
gelombang rasionalisme tidak lagi bisa dibendung. Setelah mewarisi Filsafat Yunani
Kuno yang telah berbaur dengan keyakinan Teologi Kristen, yang kemudian
diperkuat dengan sistem hukum dan tatanegara di zaman Romawi, masa Caesar,
Peradaban Barat berevolusi menjadi sebuah entitas kekuatan maha-dahsyat.
Namun, satu hal yang tidak
bisa dihindari adalah problema dikotomik iman dan akal. Sains sudah terlanjur
bergerak lebih dahulu. Sementara agama (kristen) tidak mampu mengimbangi disebabkan
problem internal ajarannya sendiri. Hal itu diperparah dengan perasaan
traumatik akan politik inquisisi Gereja telah menjadi beban psikologi sejarah
bagi mereka. Hal itu-lah yang kemudian disebutkan oleh Dr. Adian Husaini
sebagai sebab Barat menjadi Sekuler.[7] Dan
mau tidak mau, problem itu sudah mendarah daging hingga menjadi krisis di masyarakat
hari ini. (Bersambung)
[1]
Lihat Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Bandung: Remaja Rosdakarya, Cetakan
ke-10, 2010, hlm. 48
[2] Lihat
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum…, hlm. 52-53
[3]
Lihat Ahmad Tafsir, Filsafat Umum…, hlm. 61
[4] Diakses dari
http://anharnst.wordpress.com/2011/05/14/sumber-ilmu-dalam-perspektif-islam-dan-implikasinya-terhadap-isi-kurikulum-pendidikan-islam/
pada tanggal 16 Oktober 2012, pukul 21.36 WIB
[5] Diakses
dari
http://robbani.wordpress.com/2008/11/17/tentang-sumber-sumber-pengetahuan-antara-barat-dan-islam/
tanggal 16 Oktober 2012, pukul 21.36 WIB
[6]
Lihat Ahmad Tafsir, Filsafat Umum…, hlm. 257
[7]
Lihat pembahasan ini dalam Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, Jakarta:
GIP, 2014, cet. II, hlm. 28-57
No comments:
Post a Comment