Sesungguhnya
Kerusakan Umat disebabkan oleh Kerusakan Penguasan, dan Kerusakan Penguasa disebabkan
oleh Kerusakan Ulama. Dan Kerusakan Ulama disebabkan oleh Cinta Dunia dan
Kedudukan
(Imam al-Ghazali)
Salah satu alasan Imam al-Ghazali menuliskan kitab
Ihya’ ‘Ulumuddin adalah karena melihat praktik keagamaan di zamannya
telah mengalami degradasi. Kondisi sosial yang
sangat terbelakang. Para cerdik-cendekiawan telah larut dalam
perdebatan, perpecahan dan fanatisme madzhab. Sementara di sisi yang lain,
masyarakat dilanda dengan kehilangan arah dan tujuan hidup sebenarnya. Akibatnya,
Palestina yang telah ratusan tahun dalam kekuasaan umat islam, jatuh ke tangan
pasukan salibis. Tahun 1099, pasukan Salib merebut Yerusallem. Setelah
meninggalkan Baghdad tahun 1095, pada akhir 1096, al-Ghazali pergi ke
Yerusalem. Pada bulan November-Desember 1096, al-Ghazali menunaikan ibadah haji
dan mengunjungi Alexandria.[1]
Dalam masa itulah Imam al-Ghazali menuliskan al-‘Ihya’ dan beberapa
kitab lainnya[2].
Mengapa
mesti menamai kitabnya dengan ‘Menghidupkan ilmu agama”?. Mengapa mesti ilmu
agama yang dihidupkan ?. Mengapa bukan merebut kekuasaan atau mempersiapkan
pasukan jihad ?.
Hal
ini sangat penting. Sebab saya yakin, ulama sekaliber al-Ghazali, tidak mungkin
memberikan judul kitab-kitabnya secara serampangan. Pemilihan kata tersebut
harus menjelaskan apa yang terjadi di zamannya. Dan seperti apa respon seorang
ulama terhadap kemunduran tersebut. Saya yakin betul, bagaimana penguasaan
al-Ghazali terhadap kosakata Bahasa Arab, sehingga penetapannya dalam kata-kata
yang singkat dan lugas menunjukkan makna yang tepat dari refleksi situasi saat
itu.
Dalam
pengantar Al-Ihya’, al-Ghazali menyebutkan kondisi tersebut:
…Orang yang berilmu
adalah mereka yang menjadi pembimbing menuju jalan dimaksud. Sebab, mereka
adalah pewaris para Nabi. Sebagian besar waktu telah mereka manfaatkan untuk
mereguknya (imu). Sementara orang-orang yang menjadi budak kebiasaan jahat
dengan menyia-nyiakan waktu juga tetap hidup; meski dalam kehampaan nilai
kesejatian. Adapun setan, berkuasa atas mayoritas jenis yang terakhir ini, dan
berbagai jenis dosa telah menyesatkan kehidupan mereka.
Mayoritas mereka
yang telah dikuasai oleh tipu-daya setan terlena dan lalai dalam gemerlapnya
hidup di dunia ini, serta kesenangan dan kenikmatan semu yang melingkupinya.
Oleh karena alasan itu pula mereka memandang yang baik sebagai keburukan, dan
sebaliknya yang buruk sebagai kebaikan. Bahkan, ilmu-ilmu agama mereka anggap
sebagai barang usang yang pantas dijauhi. Cahaya petunjuk hampir lenyap dari
muka bumi mereka.[3]
Kondisi
itu ternyata justru tidak disadari dengan benar oleh para ulama di zamannya. Mereka
justru larut dalam ilmu-ilmu mereka sendiri serta menjadikan otoritasnya dalam
masyarakat untuk membawa masyarakat bukan pada ketentuan yang benar. Melainkan untuk
kepentingan mereka sendiri. Dan agar ‘hegemoni’ mereka tetap dipertahankan meski
mereka justru merusak dan menghianati ilmu agama sendiri. Sehingga semakin
jelas-lah bagaiamana peran ulama yang seharusnya memandu ummat dalam kebenaran.
Mengawal serta menegakkan hujjah-hujjah ilmiyah atas kehinaan dunia dan
kutamaan akhirat. Semuanya menjadi mati. Ilmu agama, tidak lagi memiliki ruh.
Al-Ghazali
menulis:
Sebagian ulama memaksakan kehendak
pribadi masyarakat umum agar meyakini abhwa tidak ada ilmu selain yang biasa
dianggap (berkaitan) sebagai dimensi hukum (fikih)… Sebagian lagi berpendapat,
bahwa tidak ada ilmu kecuali jika ditinjau dari dimensi debat (jadal). Mereka
sangat mengharapkan kemenangan dirinya atas lawan dan mencari alat untuk
membuat lawan itu terdiam….[4]
Dengan
demikian, urusan umat menjadi kacau. Ilmu hikmah dan akhirat yang seharusnya
menjadi terpuji (praiseworthy) karena ketinggiannya dalam
syariat, menjadi ilmu tercela (blameworthy)[5]
karena diarahkan pada tujuan-tujuan dunia dan tidak memberi pengaruh pada amal.
Al-Ghazali menjelaskan,
Adapun ilmu-ilmu mengenai urusan
akhirat dan ilmu-ilmu yang mengandung hikmah; sebagaimana yang pernah ditempuh
oleh para salaf as-shalih pada masa-masa awal Islam, sebagian besarnya telah
dirasa asing bagi umat islam saat ini. Ilmu-ilmu yang dimaksud telah
digambarkan oleh Allah Swt. Di dalam kitab suci-Nya dengan sebutan fikih,
hikmah, ilmu tauhid, cahaya, dan petunjuk. Kesemua ilmu itu seolah telah hanyut
dari relung terdalam sanubari umat ini akibat kelalaian mereka.[6]
Dari situlah, muncul
niat al-Gazali untuk tampil sebagai seorang ulama untuk memperbaiki kondisi dengan
menulis Ihya’ ‘Ulumuddin,
Dalam kondisi pemahaman yang kian
merosot dan diliputi kemadegan seperti itulah saya berpikir, bahwa telah tiba
saatnya saya menulis sebuah buku yang saya beri judul Ihya’Ulumuddin
(Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama).[7]
Penekanan
al-Ghazali dalam buku ini terlihat dengan membahaskan ‘ilmu’ di bab-bab awal
dan menjelaskan matinya ilmu agama itu, dengan berubahnya lima istilah agama.
Bahwa kebanyakan manusia telah mengubah makna asal dari fikih, ilmu, tauhid,
tadzkir, dan hikmah. Dan kelima istilah ini dibatasi pada makna hasil kreasi
mereka sendiri. Akibatnya ilmu tersebut tidak lagi bernilai.
Pertama, Ilmu Fikih. Bahwa pada zaman tersebut, ilmu
fikih cenderung dipahami sebagai ilmu yang menangani seputar kasus atau perkara
hukum yang tidak lazim, misteri dibalik urusan yang detail, bahkan detail-detai
terkecil dari persoalan hukum manusia yang pada akhirnya memunculkan perdebatan
berkepanjangan tentangnya. Hal itu sangat berbeda dengan makna di awal islam
datang. Ilmu fikih, adalah ilmu tentang jalan menuju akhirat dan pengetahuan
tentang masalah yang membawa manfaat maupun mudharat bagi jiwa. Juga
pengetahuan tentang masalah yang membawa manfaat maupun mudharat bagi jiwa. Juga
pengetahuan tentang makna al-Qur’an dan dominasi taqwa atas jiwa manusia. Semua
itu bisa dibuktikan melalui firman Allah Azza wa Jalla, berikut:
۞وَمَا كَانَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةٗۚ فَلَوۡلَا
نَفَرَ مِن كُلِّ فِرۡقَةٖ مِّنۡهُمۡ طَآئِفَةٞ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي ٱلدِّينِ
وَلِيُنذِرُواْ قَوۡمَهُمۡ إِذَا رَجَعُوٓاْ إِلَيۡهِمۡ لَعَلَّهُمۡ يَحۡذَرُونَ
١٢٢
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu
pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan
di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang
agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya (QS. At-Taubah: 122)
Ilmu Fikih adalah ilmu yang memberi peringatan
dan arahan sebagaimana disebutkan di atas. Di samping ilmu fikih juga lebih
dari sekedar hukum-hukum terinci tentang jual-beli,talak, sewa menyewa, dan
sebagainya. Seperti firman Allah,
وَلَقَدۡ
ذَرَأۡنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلۡجِنِّ وَٱلۡإِنسِۖ لَهُمۡ قُلُوبٞ لَّا
يَفۡقَهُونَ بِهَا وَلَهُمۡ أَعۡيُنٞ لَّا يُبۡصِرُونَ بِهَا وَلَهُمۡ ءَاذَانٞ
لَّا يَسۡمَعُونَ بِهَآۚ أُوْلَٰٓئِكَ كَٱلۡأَنۡعَٰمِ بَلۡ هُمۡ أَضَلُّۚ
أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡغَٰفِلُونَ ١٧٩
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk
(isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati,
tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka
mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda
kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan
mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai (Qs. Al-A’raf: 179)
Selebihnya
al-Gazali menjelaskan tentang makna fikih yang sebenarnya, berdasarkan perkataan
ulama, seperti Hasan al-Basri, bahwa “ulama fikih adalah mereka yang besikap
zuhud terhadap urusan dunia, bergairah dengan memperbanyak amalan akhirat,
bijaksana dalam beragaa, mantap dalam beribadah kepada Allah Swt.
Mencegah diri dari melukai kehormatan sesama Muslim, memelihara diri dari harta
mereka, dan selalu menasihati kaum Muslim untuk bersikap hati-hati saat berada
di dunia ini”.[8]
Kedua, Ilmu.
Bahwa yang dimaksud dengan ilmu adalah ilmu agama, yaitu ilmu tentang
pengetahuan mengenai Allah Swt. Dan sekaligus ayat-ayat-Nya. Ketika
Khalifah ‘Umar Ibnul Khattabh ra. Meninggal dunia, Ibnu Mas’ud ra. Menyatakan,
“Sembilan per sepuluh ilmu agama telah diangkat oleh Allah Swt. di muka bumi
ini”. Sementara sekarang ini orang hanya cenderung menggunakan istilah al-‘Ilmu
untuk tujuan memperdebatkan kasus-kasus hukum dengan lawan mereka, tanpa
memikirkan apa yang dikehendaki oleh ilmu itu sendiri atas keberadaannya. Orang
yang tidak dapat melakukan pemahaman semacam itu dianggap lemah, dan tidak
layak dimasukkan dalam kategori orang yang berilmu. Akan tetapi, apa yang dapat
dikatakan tentang kelebihan ilmu dan keutamaan orang berilmu berlaku atas
orang-orang yang mengetahui hanya berdasar pada makna awal dari islam itu
sendiri.[9]
Dari sini jelas, bahwa
kata al-Ilmu, menjadi bias di zaman al-Ghazali, sebab maknanya hanya
diarahkan pada tujuan debat. Bukan sesuai dengan kedalaman makna ilmu itu
sendiri. Imam Ibnu Rajab (wafat th. 795 H) rahimahullaah mengatakan, “Ilmu yang
bermanfaat menunjukkan pada dua hal”. Diantaranya orang yang berilmu bersegera
melakukan segala apa yang dicintai dan diridhai Allah Ta’ala dan menjauhi
segala apa yang dibenci dan dimurkai-Nya. Apabila ilmu itu menghasilkan hal ini
bagi pemiliknya, maka inilah ilmu yang bermanfaat. Kapan saja ilmu itu
bermanfaat dan menancap di dalam hati, maka sungguh, hati itu akan merasa
khusyu’, takut, tunduk, mencintai dan mengagungkan Allah ‘Azza wa Jalla, jiwa
merasa cukup dan puas dengan sedikit yang halal dari dunia dan merasa kenyang
dengannya sehingga hal itu menjadikannya qana’ah dan zuhud di dunia.” Imam
Mujahid bin Jabr (wafat th. 104 H) rahimahullaah mengatakan, “Orang yang faqih
adalah orang yang takut kepada Allah Ta’ala meskipun ilmunya sedikit. Dan orang
yang bodoh adalah orang yang berbuat durhaka kepada Allah Ta’ala meskipun
ilmunya banyak.”
Ketiga, Tauhid. Diarahkan pada ilmu kalam
(teologi), pengetahuan tentang metode-metode dan cara-cara berargumentasi,
cara-cara berdebat dan berhadapan dengan lawan. Sebenarnya, ilmu tauhid adalah
keyakinan bahwa semua wujud yang ada di alam ini berasal dari sisi-Nya. Dan
tidak selalu harus memperhatikan semua sebab diantara kejadian yang ada.
Sekaligus mengimani, bahwa kebaikan dan akibat akhir dari ilmu tauhid adalah
sikap tawakkal, pasrah diri hanya kepada Allah Yang Mahatinggi. Orang yang
bertauhid, adalah orang yang menghindarkan diri dari mengeluh dan tidak
melampiaskan kemarahan kepada sesama makhluk, serta tetap merasa puas
(besyukur) atas ketentuan dan takdir Allah swt.[10]
Tauhid-lah yang
membuat Nabi Saw. Berkata tanpa takut, “Allah!” kepada orang yang
meletakkan pedang di lehernya. Tauhid-lah yang menjadikan Ibrahim bertawakkal
sepenuhnya, kepada pertolongan Allah, saat berada di udara ketika dilempar
masuk ke dalam kobaran api. Tauhid-lah yang menjadikan Nabi Musa As.
yang dengan tegas menyangkal pesimisme
kaumnya ketika berada di tepi laut merah, sementara pasukan Fir’aun ada di
belakang mereka. Inna maiya Rabbiy sa Yahdiin. Tauhid-lah yang
menjadikan Pasukan Tar-Tar dikalahkan di Perang ‘Ain Jalut oleh Zahir Baybars
Dinasti Mamluk. Tauhid-lah yang menjadikan Thariq bin Ziyad menkalukkan daratan
Andalus. Tauhid-lah yang menjadikan Shalahuddin al-Ayyubi membebaskan kembali
Palestina di Perang Hittin. Dan tauhid pula-lah yang menjadikan Sultan Muhammad
al-Fatih menaklukkan konstantinopel.
Keempat, Adz-Dzikru wa at-Tadzkir (Ingat
kepada Allah dan peringatan-Nya), adalah ilmu tentang bagaimana mengingat Allah
Swt. dan ilmu tentang memahami peringatan-Nya. Sebagaimana Allah
sebutkan,
وَذَكِّرۡ فَإِنَّ ٱلذِّكۡرَىٰ تَنفَعُ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ
٥٥
Dan tetaplah memberi peringatan,
karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman (QS. Adz-Dzariyat: 55)
Kata al-Ghazali, majelis zikir adalah majelis yang di dalamnya
diisi dengan pemberian tausiyah tentang Islam, pengkajian ilmu dan penyampaian
materi dakwah. Di dalamnya juga diisi dengan diskusi yang dimotori oleh
narasumber yang menyampaikan taushiyah, dengan membubuhkan (menyelipkan)
kisah-kisah teladan, dan kalimat hikmah lainnya. Sedangkan praktik semacam itu,
di zamannya telah jauh berbeda. Mayoritas majelis zikir hanya diisi dengan
senda-gurau, lantunan irama dan nyanyian yang dicuplikkan dari bacaan-bacaan
al-Qur’an, di mana pada masa Khulafa al-Rasyidin praktik-praktik semacam
itu sangat ditentang. Dan zaman Rasulullah Saw. Masih hidup, praktik
semacam itu tidak pernah ada.[11]
Ibnu Umar pernah keluar dari masjid seraya mengatakan, “Tidak ada
yang dapat mengeluarkan aku dari masjid kecuali pendongeng yang ada di
dalamnya”.[12]
Hal ini bisa kita dapati, dizaman sekarang. Dimana majelis ilmu
agama menjadi rusak disebabkan perkataan-perkataan di dalamnya hanya berisi
umpatan, celaan, fitnah dan sebagiannya berisi senda gurau, gelegak tawa, dan
tidak mengundang kekhusyu’an. Sebagiannya lagi hanya berisi lagu-lagu, nyanyian
yang melenakan, atau doa yang diiringi musik-musik sedih, namun selepas majelis
itu, tidak ada yang tinggal dan membekas di hati sedikit pun. Mereka justru
kembali lalai. Inilah yang dimaksud oleh al-Gazali.
Kelima, Hikmah.
Di zamannya telah diturunkan maknanya dan digunakan hanya pada istilah tabib,
ahli perbintangan, dan ahli nujum (peramal). Padahal hikmah menurut al-Ghazali
adalah apa yang ada dalam QS. Al-Baqarah: 269,
يُؤۡتِي
ٱلۡحِكۡمَةَ مَن يَشَآءُۚ وَمَن يُؤۡتَ ٱلۡحِكۡمَةَ فَقَدۡ أُوتِيَ خَيۡرٗا
كَثِيرٗاۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ ٢٦٩
Allah menganugerahkan al hikmah
(kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah
dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang
dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).
Inilah yang dijelaskan al-Ghazali. Dan kita bisa melihat bagaimana
kondisi di zaman al-Ghazali yang meluruskan kembali penyimpangan makna
kata-kata yang telah keliru. Penyimpangan itulah yang membuat ilmu agama
menjadi mati. Ilmu agama justru dimatikan oleh para ulama-ulama yang rusak. Ketika
ulama telah membatasi makna islam pada rujukan ulama tertentu, dan menyalahkan
ulama yang lain. Telah lahir ulama-ulama Jahil, yang tidak kapabel
keilmuwannya, korupsi ilmu agama, dan berfatwa tanpa ilmu memadai.[13]
Islam tidak lagi menjadi utuh, dan istilah-istilah baru
digandengkan bersama islam sebagai isitilah yang sarat muatan politis. Identitas-identitas
kelompok diserang justru semakin menegaskan permusuhan, bukan untuk mencari
solusi. Ungkapan-ungkapan kontroversial ditampilkan, seakan hanya untuk
memperlihatkan sensasi dan ketenaran. Tidak ada lagi toleransi fikih, dan urusan-urusan
furu’iyah dibesar-besarkan. Sebagaimana urusan fikih dijadikan sebagai
alat untuk melegitimasi pendapat dan mendiskreditkan kelompok lain. Padahal
fikih adalah sarana untuk meraih kebahagiaan dan tanda kebaikan bagi seorang
hamba. Man yuridullahu bihi khairan yufaqqihu fi ad-Diin.
Apakah itu juga telah terjadi di zaman sekarang ?. Saat ilmu telah
direduksi ke dalam epistemologi rasio-empirik ?. Yang melahirkan ateis-ateis yang
memproklamasikan diri sebagai ateis-ateis bermoral ?. Atau pada makna Tauhid yang dipelajari sekedar
‘teori tauhid’ di dalam kelas ?. menghafal dalil-dalil tauhid namun tidak
menimbulkan izzah, dan kekuatan yang menopang spirit jihad dan
perjuangan ?. Ilmu Tauhid atau Aqidah hanya dipelajari sebatas ilmu kalam, logika,
dan dialektika yang tidak membawa kepada ketundukan kepada sang Pemilik Tauhid
itu sendiri. Begitu pula, dzikir, yang hanya dimaknai sebagai amalan ritual
tanpa memaknani esensi fundamental dari dzikir itu sendiri. Banyak berdzikir di
berbagai majelis, namun selepas majelis, kelalaian kembali menerpa. Dzikir-dzikir
yang tidak menambah iman dan tidak mengantar pada semangat menghidupkan agama.
Dzikir sebatas formalitas di lidah yang tidak merasuk ke dalam hati.
Begitu pula, Hikmah. Dikenal sebatas kata, namun makna yang
merasuk kedalam jiwa adalah makna yang telah terdistorsi. Hikmah sepertinya
hilang, dan tidak lagi terikat dengan keadilan. Padahal hikmah serangkai makna
dengan ‘hakim’ yang merupakan sifat seorang ‘haakim’. Sehingga dengan sifat
itu, keadilan akan tampak pada keputusannya. Bukan merupakan keputusan kong
kali kong mafia hukum, atau deal-deal politik yang merugikan umat
yang dipimpinnya.
5 Istilah inilah yang harus dibenarkan maknanya kembali. Dan Setidaknya
semangat inilah, mungkin yang menjadi alasan ditulisnya al-Ihya’. (Wallohu
a’lam bi as-Shawab).
[1]
Lihat Montgomeri Watt dalam Adian Husaini, Hegemoni Kristen Barat dalam
Studi Islam di Perguruan Tinggi, Jakarta: GIP, 2006, hlm. 17
[2]
Bidayatul HIdayah, al-Wajiz, Faisal al-Tafriqah bayn al-Islam wa
al-Zandaqah, Nashihat al-Mulk dan talbis Iblis (Lihat: Adian
Husaini, Hegemoni…, hlm. 14)
[3]
Imam al-Ghazali, Ihya’ –‘Ulumuddin, Jilid. I, Jakarta: Gramedia, 2011,
hlm. xxi
[4]
Imam al-Ghazali, Ihya’ –‘Ulumuddin, hlm. xxi
[5] (Lihat
SMN al-Attas, The Concept of Education in Islam, Kuala Lumpur: ISTAC,
1999, hlm. 35 – 36). Edisi Bahasa Indonesia: Selama ratusan tahun yang lalu,
al-Ghazzali telah menunjukkan bagaimana kekacauan ilmu-ilmu islam yang disebabkan
oleh pembatasan makna-makna asli dari istilah yang tidak dimaksudkan oleh orang
Muslim pada masa periode awal islam. Ia menuliskan lima istilah : fiqh, ilm,
tawhid, tadhkir, dan hikmah, yang telah diperlakukan sebagaimana
yang ia sebutkan sebagai ilmu terpuji, dan bahwa dalam waktu itu kata-kata tersebut telah
terkonseptualkan dengan demikian terbatas dan berubah makna sehingga membuat mereka ‘pantas dicela’.
(Lihat SMN al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam; Suatu Rangka Pikir
Pembinaan FIlsafat Pendidikan Islam, Bandung: MIZAN, 1984, hlm. 79 – 80)
[6]
Imam al-Ghazali, Ihya’ –‘Ulumuddin, hlm. xxi
[7]
Imam al-Ghazali, Ihya’ –‘Ulumuddin, hlm. xxi-xxii
[8] Imam al-Ghazali, Ihya’ –‘Ulumuddin,
hlm. 84
[9]
Imam al-Ghazali, Ihya’ –‘Ulumuddin, hlm. 84
[10]
Imam al-Ghazali, Ihya’ –‘Ulumuddin, hlm. 85
[11]
Imam al-Ghazali, Ihya’ –‘Ulumuddin, hlm. 88
[12]
Imam al-Ghazali, Ihya’ –‘Ulumuddin, hlm. 88
[13]
Adian Husaini, Hegemoni…, hlm. 7
No comments:
Post a Comment