Franz Rosenthal, dalam Knowledge
Triumphant; The Knowledge in Medieval Islam, menyimpulkan penelusurannya
terhadap defenisi Ilmu, dengan menyebutkan beberapa ‘takrif’ berikut:
a. Pengetahuan adalah proses mengetahui
dan serupa dengan orang yang berpengetahuan dan yang diketahui, atau ia adalah
atribut yang memungkinkan orang yang berpengetahuan tahu. [1]
b. Pengetahuan adalah pengenalan
(ma’rifah).[2]
c. Pengetahuan adalah proses
"pemerolehan" melalui persepsi mental.[3]
d. Pengetahuan adalah proses klarifikasi,
pernyataan, dan keputusan (bay-yana, mayyaza, ath-bata)[4]
e. Pengetahuan adalah bentuk (sûrah),
sebuah konsep atau makna (ma’na), sebuah proses pembentukan mental dan
imajinasi (tashawwur atau "persepsi") dan atau verifikasi mental (tashdîq atau
"apersepsi").[5]
f.
Pengetahuan
adalah keyakinan.[6]
g. Pengetahuan adalah zikir, imajinasi,
gambar, visi, pendapat.[7]
Batasan-batasan di atas sangatlah luas. Meski
menurutnya, Ilmu lebih diarahkan pada proses mental dan kognisi. Hal itu sama dengan
al-Attas. Meski ia mengatakan bahwa mendefinsikan ilmu pengetahuan bukanlah hal
yang mudah. Apalagi, salah satu problem umat Islam saat ini diantaranya adalah ketidakmampuan
mendefinisikan sebuah konsep dengan benar.[8]
Dengan pendekatan
metafisis, al-Attas mendefenisikan ilmu merujuk kepada Al-sharif al-Jurjani
dalam Kitab Ta’rifaat. Ia
mendefenisikan ilmu sebagai tibanya minda pada makna sesuatu[9].
Menurutnya, ilmu paling tepat didefenisikan sebagai ‘tibanya makna dalam jiwa
sekaligus tibanya jiwa pada makna’[10].
Defenisi itu dalam bahasa Arab menggunakan term
husul dan wusul. Istilah Husul al-Nafs
menunjukkan ilmu yang diperoleh dengan usaha dari diri manusia, berupa akal dan
inderanya. Sementara istilah Wusul Ma’na,
mewakili batasan ilmu pemberian dari Tuhan berupa anugerah wahyu.
Dengan defenisi
ini, secara ringkas bisa dipahami bahwa ilmu adalah tentang makna. Benda,
fakta, atau peristiwa apa pun, dikatakan dan diketahui oleh seseorang jika ia
bermakna baginya. Contoh sederhananya kucing yang tidak tertarik pada uang.
Karena kucing tidak mengerti makna dari uang.[11]
Sehingga al-Attas
menyimpulkan secara filosofis bahwa ilmu berisi tentang pengetahuan dan
pengenalan tentang susunan tempat dari segala sesuatu dalam tatanan tujuan
penciptaannya yang dapat memandunya pada pengetahuan tentang Tuhan dalam
tatanan wujud dan eksistensi (Knowledge,
as reffering to meaning, consists The recognition of the proper place of things
in the order of creation such that lead to the recognition of the proper place
of God in the order if being and existence[12]).
Dalam Prolegomena, al-Attas menguraikan
Pengenalan sebagai sesuatu yang mudah dikenali dengan piranti yang disebut
dengan hati. Al-Attas menulis,
Recognition of the truth is in this case arrived at simply because it is
clear in itself as apprehended by that intuitive faculty we call the heart,
that is by means of guidance (huda) and not only by rational propositions and
logical demonstration. The truth is at once objective and subjective; and the
objective and subjective, like religion and belief, are inseparable aspects of
one reality.[13]
Hal ini
sangat berbeda dengan filsafat peradaban Barat, yang menurutnya hanya rasio dan
data empirik yang dapat melegitimasi ilmu secara epistemologik. Al-Attas
mengkritik hal tersebut dengan menuliskan,
Rationalism, both the philosophic and the secular kinds, and empiricism
tend to deny authority and intuition as
legitimate sources and methods of knowledge. Not that they deny the existence
of authority and of intuition, but that they reduce authority and intuition to
reason and experience.[14]
Dalam konstruksi epistemologi islam,
kerangka metafisika dilandasi oleh pengakuan terhadap wahyu sebagai
satu-satunya sumber ilmu tentang realitas dan kebenaran terakhir berkenaan
dengan makhluk dan khalik. Dari kerangka tersebutlah,
filsafat ilmu dikembangkan sebagai sistem terpadu untuk menerangkan realitas
dan kebenaran.[15]
Dengan kedalaman
dan kekokohan struktur terminologi dan epistemik ‘ilm, Rosenthal
kemudian mengatakan bahwa, ”Sebenarnya tak ada satu konsep pun yang secara
operatif berperan menentukan dalam pembentukan peradaban Islam di segala
aspeknya, yang sama dampaknya dengan konsep ilmu. Hal ini tetap benar,
sekalipun di antara istilah-istilah yang paling berpengaruh dalam kehidupan
keagamaan kaum muslimin, seperti “tauhîd” (pengakuan atas keesaan Tuhan),
“al-dîn” (agama yang sebenar-benarnya), dan banyak lagi kata-kata yang secara
terus menerus dan bergairah disebutsebut. Tak satupun di antara istilah-istilah
itu yang memiliki kedalaman dalam makna yang keluasan dalam penggunaannya, yang
sama dengan kata ilmu itu.Tak ada satu cabangpun dalam kehidupan intelektual
kaum muslimin yang tak tersentuh oleh sikap yang begitu merasuk terhadap
“pengetahuan” sebagai sesuatu yang memiliki nilai tertinggi, dalam menjadi
seorang muslim.”[16]
Konsep ilmu Islam tidak memaksakan batasan
atau kekangan atas ilmu teoretis, empiris atau terapan kecuali untuk satu
batasan yang menyangkut tujuan-tujuan akhir di satu pihak dan pengaruh-pengaruh
aktual mereka di pihak lain. Dalam pengertian Islam ilmu didorong untuk
menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Allah; dengan begitu dia tidak boleh
disalahgunakan untuk merusak iman dan moral serta mendatangkan bahaya,
kehancuran, dan ketidak-adilan.[17]
Ilmu, Kekhusyu’an dan ‘Kebijaksanaan’
Dalam Islam, Ilmu
diibaratkan sebagai cahaya. Sedangkan kejahilan adalah kegelapan. Dengan ilmu,
kebenaran dapat terungkap dan kebathilan dapat dienyahkan. Dan dengan ilmu
kecintaan akan keindahan batin mengalahkan kecintaan akan keindahan lahiriah[18].
Sangat tepatlah
firman allah azza wajalla,
Niscaya Allah
akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang
kamu kerjakan (QS AL-Mujadilah: 11).
Dengan ilmu,
seseorang terlepas dari pengaruh ungkapan kata-kata. Hatinya terlepas dari
apriori dan simpati. Akalnya akan mendapat hak sebagaimana mestinya. Yaitu
untuk mempertimbangkan satu hukum berdasarkan kaidah objektifitas. Dengan ilmu
seseorang akan terbebas dari pengaruh manusia. Jika kata-kata berasal dari seseorang
yang berprasangka baik, ia memandang dengan pandangan sempurna. Sedangkan jika
kata-kata berasal dari orang yang berprasangka buruk, maka ia tak segan-segan
membela dan mengoreksi secara mendalam.
Oleh karena itu,
pandangan seseorang yang berilmu adalah pandangan yang adil dan jernih. Murni
dan tidak tercampuri oleh tendensi apa pun. Kebenaran keluar dari lisannya
sebagaimana adanya. Jika orang mau menerimanya, maka ia bersyukur. Adapun jika
tidak, maka beban telah ia tunaikan.
Orang-orang
berilmu, adalah mereka yang selalu berbuat adil dan menyebarkan keadilan. Di
manapun, mizan kebenaran selalu tegak. Karena kaidah yang dimilikinya memiliki
landasan yang kuat. Kokoh di atas bashirah yang terang. Ia mengarahkan dengan
panduan ilmu. Dan disitulah, manfaat ilmu betul-betul terasa. Hanya saja yang
bisa merasakannya hanya orang-orang berilmu juga. Sedangkan orang-orang jahil
tetap dalam kubangan kebodohan dan belenggu kejumudannya. Seperti dalam hadits,
“llmu ini akan dibawa oleh orang-orang adil dari generasi yang akan datang.
Mereka menghilangkan distorsi orang-orang ekstrim, tipu daya orang-orang yang
melakukan kebatilan, dan takwil orang-orang bodoh.”[19]
Dalam satu hadits
yang lain, nabi SAW menyebutkan,
سنن الترمذي - عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ قَالَ ذُكِرَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلَانِ أَحَدُهُمَا عَابِدٌ وَالْآخَرُ عَالِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِي عَلَى أَدْنَاكُمْ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرَضِينَ حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى الْحُوتَ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ
Dari Abu
Umamah al-Bahiliy radhiyallahu’anhu berkata disebutkan kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam tentang 2 orang, yang pertama adalah ahli ibadah
dan yang kedua adalah orang berilmu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda “keutamaan orang berilmu di atas orang ahli ibadah seperti diriku di
atas orang yang paling rendah di antara kalian”. Kemudian beliau shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda ”sesungguhnya Allah dan para malaikat dan penduduk
langit dan bumi sampai semut di dalam lubangnya dan ikan-ikan di laut
bershalawat kepada yang mengajarkan agama kepada manusia” (HR. Tirmidzi)
Barangsiapa yang
dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Ia akan memahamkannya terhadap agamanya.
Kata yufaqqihu dari kata faqih artinya ‘pemahaman yang mendalam’.
Dan ia hanya diperoleh hanya dengan ilmu yang benar. Selain itu, kita juga
diperintahkan untuk berlindung dari ilmu yang tidak bermanfaat. Karena ilmu
tersebut tidak akan mendatangkan kebaikan di dunia dan di akhirat. Bahkan
sebaliknya. Nabi saw mengajarkan doa,
Allahumma
inni a’udzubika min ilmi laa yanfa’ wamin qalbi yaa yakhsya’, wa minnafsi laa
tasyba’, wamin du’a’i laa yustajabu lahaa.
Yaa Allah,
saya berlindung kepadaMu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak
khusyu’, dari nafsu yang tidak pernah puas, dan dari doa yang tidak diijabah.
Ilmu akan
mendatangkan ketenangan di hati. menghilangkan was-was dan membenarkan
tindakan. Sehingga dengannya hati akan khusyu’, nafsu akan terkendali dan
membuat doa mudah diijabah. Kekhusyu’an seseorang bergantung dari kedalaman ilmu
mereka. Terkadang ada seseorang yang tidak mengenal kekhusyu’an dalam
shalatnya, namun ia merasa menjadi hebat. Buah pikirannya seperti sudah pasti
kebenarannya. Bahkan berani melampaui perkataan para ulama. Ini adalah konsep
yang keliru. Islam tidak mengajarkan hal seperti ini.
Indikator
keilmuan dalam islam adalah kekhusyu’an. Karena ilmu adalah bagian dari hidayah
Allah. Orang yang tidak khusyu’ tidak bisa dikatakan berilmu. Karena ilmu hanya
bersumber dari hati yang bersih. Hati yang jernih dan bening dari segala macam
kotoran atau najis yang melemahkannya. Karena itu, pantas Imam Waqi’ (guru imam
syafi’i) mengatakan bahwa ilmu adalah cahaya. Karena cahaya akan bersinar dari
sumber yang bersih. Jika kotor, cahayanya akan redup bahkan padam. Dan ilmu adalah karunia Allah yang diberikan
kepada hati yang pantas menerimanya. Maka semakin bersih tempat ilmu itu,
semakin banyak ilmu yang diserap olehnya. Dan semakin kuat ilmunya, semakin
kuat juga iman dan amalnya sehingga menguatkan firasatnya.
Konsep ilmu dalam
islam sangatlah luas, sehingga apa yang penulis berusaha untuk sajikan adalah
sebagian kecil dari konsep tersebut. Namun, mudah-mudahan bisa menggambarkan
bagaimana struktur kunci dari ilmu itu sendiri. Pada bahasan berikutnya kita
akan mengkaji tentang transmigrasi dan naturalisasi ilmu pengetahuan. (wallohu a’lam)
[1]
Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant; The Knowledge in Medieval Islam,
Leiden: Hotei Publishing, IDC Publishers, Martinus Nijhoff Publishers and VSP,
2007, 52
[2]
Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant; The Knowledge in Medieval Islam, hlm.
53
[3]
Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant; The Knowledge in Medieval Islam,
hlm. 56
[4]
Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant; The Knowledge in Medieval Islam,
hlm. 58
[5]
Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant; The Knowledge in Medieval Islam,
hlm. 60
[6]
Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant; The Knowledge in Medieval Islam,
hlm. 63
[7]
Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant; The Knowledge in Medieval Islam,
hlm. 64
[8] Wan Mohd
Wan Daud, Filsafat dan Praktik
Pendidikan Islam SMN al-Attas, Bandung: Mizan, 2003 hlm. 142
[9]
Al-Jurjani dalam Syamsuddin Arif, Mendefenisikan
dan Memetakan Ilmu, Adian husaini, Filsafat
Ilmu, Jakarta: GIP, 2013, hlm. 77
[10] Lihat SMN
al-Attas dalam The Concept…, hlm. 17
(Arrival (husul) in the soul of the
meaning of the thing or an object of knowledge, and The Arrival (wusul) of the
soul at the meaning of a thing or an object of knowledge)
[11]
Syamsuddin Arif, Mendefenisikan dan
Memetakan Ilmu dalam Adian husaini, Filsafat
Ilmu, Jakarta: GIP, 2013, hlm. 77
[12] SMN
al-Attas, The Concept of Education in
Islam, Kuala Lumpur: ISTAC, 1999, hlm. 18
[13] SMN
al-Attas, Prolegomena to The Metaphysics
of Islam, Amerika Serikat: University of Pennsylvania, 2011, hlm. 112
[14] SMN
al-Attas, Prolegomena …, hlm. 115-116
[15] SMN
al-Attas, Islam dan Filsafat Sains,
Bandung: Mizan, 1995, hlm. 33 - 34
[16]
Lihat: Rahardjo, “Ensiklopedi al-Qur’ān: Ilmu”, hlm. 57. Ungkapan Rosenthal
tersebut dikutip oleh Dawam dalam karya Rosenthal berjudul Knowledge Triumphant:
The Concept of Knowledge in Medieval Islam (Leiden: E.J. Brill, 1970).
[17] Syed
Sajjad Husain dan Syed Ali Asharaf, Menyongsong
Keruntuhan Pendidikan Islam (Terjemahan dari: Crisis Muslim Education), Bandung: Gema Risalah Press, 1994, hlm.
63
[18] Ucapan
Al-Ghazali (Muhammad Yasir. Pemuda Salih di Sudut Kota Madinah, Jakarta: Salsabila,
hlm.66
[19] Lihat: Ibn Qayyim al-Jauziyah, Kunci
Kebahagiaan, Jakarta: Akbar Media, 20014, hlm. 105 (Syaikh al-Albani berkata,
"Hadits ini mursaal karena Ibrahim bin Abdullah bin Abdurrahman al- Udzari
adalah seorang tabi'in yang kurang kualifikasinya dalam bidang hadits,
sebagaimana yang dikatakan adz-Dzahabi. Dan riwayat Mu'adz bin Rifa'ah tidak
bisa dijadikan pegangan, tapi hadits ini telah diriwayatkan secara bersambung dari
beberapa sahabat dan sebagian dari jalur itu dishahihkan oleh al- Hafizh
al-Ala'i dalam kitab Baghyahtul-Multamis (3-4)." Al-Khathib
meriwayatkannya dalam kitab Syarafu ash-Shahibil-Hadits (11/35) dari Mihnan bin
Yahya. Dia berkata, "Saya pernah bertanya kepada Ahmad bin Hanbal tentang
hadits Mu'adz bin Rifa'ah dari Ibrahim ini, dan saya katakan kepadanya,
'Sepertinya hadits ini hadits maudhu'T Dia menjawab, 'Tidak, hadits ini
shahih.' Lalu Aku bertanya kepadanya, 'Dari mana Anda mendengar hadits ini?'
Dia menjawab, 'Saya telah mendengarnya dari beberapa orang.' Lalu saya
bertanya, 'Siapa mereka itu?' Dia menjawab, 'Seorang miskin telah menyampaikan
kepadaku, hanya saja dia mengatakan, 'Yaitu Mu'adz dari al-Qasim bin
Abdurrahman.' Ahmad menjawab, 'Mu'adz bin Rifa'ah itu tidak bermasalah.' Saya
telah mengumpulkan sejumlah hadits tentang hal ini dan saya berniat untuk
melakukan verifikasi tentang hadits-hadits itu jika kami mempunyai kesempatan,
insya Allah." Dari kitab al-Misykaat (1/82-83).)
No comments:
Post a Comment