Buku
Ideologi Kaum Intelektual terdiri dari 5 bagian. Bagian pertama adalah
pengantar dari Jalaluddin Rakhmat. Di bagian ini, Jalaluddin rakhmat memulai
pengantarnya dengan sebuah narasi. Tragedi yang terjadi 10 Muharram 61
Hijriyah. Ritual peringatan wafatnya Cucu Rasulullah SAW. Sebuah peristiwa yang
dikenal dalam doktrin syiah sebagai Peristiwa Karbala. Jalaluddin Rakhmat
dengan piawai memainkan emosi pembaca lewat peristiwa ini kemudian dibarengi
dengan kemunculan dan kepahlawanan Al Syari’ati sebagai penggerak Revolusi
Islam di Iran, Tahun 1978. Sebuah revolusi yang menumbangkan rezim Shah Pahlevi
kepada kepemimpinan seorang Ayatollah. Revolusi yang berdarah. Revolusi yang
mendengungkan “Mihrab Syi’ah adalah Mihrab Darah!”. “Dalam hidup syiah, tiap
hari adalah Asyura; setiap tempat menjadi Karbala”.
Secara
terpisah, di Bagian kedua bercerita tentang peradaban dan kebudayaan. Di bagian
ini Syari’ati menguraikan perbedaan antara peradaban dan kebudayaan. Dimana
menurutnya, - mengutip pendapat – pendapat Aime Cessaire - bahwa peradaban itu
sifatnya universal, sedangkan kebudayaan itu adalah identitas kolektif yang
bersifat ‘lokal’.
Para
pemikir besar menjadikan jalinan hubungan antara peradaban dan kebudayaan
dengan konsep yang berbeda antara satu dengan yang lain. Pada bagian ini, Syaria’ti
menunjukkan bahwa peradaban berdiri sendiri, tidak terhubung dengan kebudayaan.
Secara
umum peradaban dimaknai sebagai akumulasi dari hasil dan proses material dan
spiritual suatu masyarakat. Dan kebudayaan adalah hasil cipta rasa dan karsa
manusia. Dalam defenisi ini, Syari’ati menunjukkan bahwa kebudayaan adalah hasil
dari proses kemanusiaan dalam lingkup sastra, agama dan sosial. Sedangkan
peradaban lebih kepada unsur – unsur teknik dan produk ilmu – ilmu eksak.
Salah
satu Fenomena peradaban jika kita ambil contoh, misalnya adalah roda. Semua
roda sama. Setiap peradaban menggunakan roda yang sama. Karena itu, roda
bukanlah milik peradaban tertentu. Sehingga menurutnya, peradaban yang ada
adalah peradaban manusia. Demikian halnya handphone. Handphone tidak bisa
diklaim sebagai hasil peradaban barat (semata), karena handphone adalah produk
evolutif dari produk sebelumnya yang ditemukan oleh peradaban sebelumnya.
Sementara
di sisi yang lain, kebudayaan bekerja sebagai pemberi identitas. Dan
kebudayaan-lah yang mendorong transisi atau perubahan sosial. Sebab ia adalah
manifestasi dari kesadaran kolektif suatu masyarakat. Ia adalah pembeda antara
satu masyarakat dengan masyarakat yang lain.
Dalam
fenomena inilah kita bisa menemukan seseorang yang menggunakan produk peradaban
seperti handphone tetapi tidak berlaku untuk kebudayaan. Kebudayaan tidak bisa
dikonsumsi secara universal, sebab ia adalah manifestasi dari kesadaran
kolektif suatu kelompok etnis atau bangsa tertentu yang datang kepada kita
sejak masa lampau.[1]
Hasil
kebudayaan juga tidak ditemukan. Sementara hasil peradaban itu ditemukan. Alkohol
ditemukan oleh Rhazez, sementara kita tidak mengetahui siapa yang menemukan
puisi. Mesin jahit, bola lampu, silet dan lain – lain ditemukan, sementara kita
tidak tahu siapa yang pertama kali melawak, siapa yang pertama kali berpikir
secara filosofis. Sebab kebudayaan lahir bersama dengan lahirnya manusia dan
masyarakat. Kebudayaan ada sejak lahirnya manusia dan masyarakat.
Karena
itulah menurut Ali Syariati, kebudayaan adalah modal utama bagi perubahan
sosial. Bahkan ia adalah aset paling berharga bagi manusia individu dan
masyarakat. Sebab teknologi yang merupakan produk peradaban seperti motor,
mobil, mesin jahit, serta handphone bila direbut dari suatu masyarakat, maka
masyarakat itu akan tetap hidup dalam tujuan dan falsalah hidupnya. Berbeda
dengan kebudayaan. Kebudayaan jika dirampas, maka inilah yang akan menjadi awal
kehancuran suatu kelompok masyarakat. Sebab ia tidak lagi menjadi dirinya
sendiri. Secara sederhana, ide tentang rancangan arsitek bangunan jika dicuri
dari seorang artitek lewat laptopnya, itu tidaklah masalah. Sebab ide itu masih
ada dalam kepalanya. Tetapi jika yang diambil adalah kebudyaan, maka ia akan menjadi
orang tuna-budaya. Bermetamorfosa dan hancur. Sebab ia kehilangan identitas dan
jatidirinya.
Lalu
dimana letak peradaban dan kebudayaan. Fenomena keduanya bisa saja berada pada
satu objek. Misalnya rancangan arsitek sebuah masjid adalah produk budaya,
sedangkan cita rasa keindahannya adalah kebudayaan.
Menurut
saya sendiri, jika kita bandingkan dengan Pendapat Prof. Al-Attas, kata
peradaban terambil dari kata adab yang padanan kata dalam bahasa arab-nya
adalah tamaddun. Tamaddun dari kata maddana-yumaddinu-madinah yang artinya
kota. Sehingga menurut penulis, peradaban sebenarnya juga bisa merupakan
identitas. Dan bagi kalangan filsuf, peradaban adalah identitas. Karena itu
kita mengenal peradaban islam, peradaban cina, peradaban barat, dan lain – lain.
Dan menurut penulis sendiri, peradaban yang hakiki adalah peradaban yang
menegakkan adab. Karena itu sebenarnya peradaban barat, bukanlah sebuah
peradaban hakiki. Sebab ia tidak punya visi peradadaban sama sekali. Filsuf
sepeti Fritjof Chapra mengkritik modernisme barat dengan berbagai ekses negatif
dari kemajuan peradaban itu. Ilmu demi ilmu menemukan kemajuan. Namun di sisi
lain, lingkungan semakin rusak, manusia teralienasi (terasingkan) dari dunia
dan kebudayaannya. Serta manusia semakin menurun harkat, derajat dan martabatnya
sebagai manusia. Pameran kontes kecantikan adalah contoh kecil industrialisasi
dan komersialisasi tubuh perempuan. Eksploitasi atas nama estetika dan
modernitas.
* * * * * *
Lalu siapa yang membangun masyarakat
?. Kata Syari’ati. Para Arsitek mengatakan mereka yang membangun Peradaban. Sebab
Peradaban Mesir kini dikenal karena Piramidanya. Di sisi yang lain, para
saintis mengatakan bahwa yang membangun masyarakat adalah sains. Para sastrawan
mengatakan sastra. Para agamawan mengatakan agama. Para dokter mengatakan ilmu
kesehatan.
Bagi
Syaria’ti, yang membangun masyarakat adalah ideologi. Sebab ideologi adalah
kesadaran tentang identitas kolektif masyarakat atau kelompoknya. Siapa yang
mencetuskan masa pencerahan di barat, di abad pertengahan ?. Siapa yang
mencetuskan perubahan di China melalui revolusi Mao Tse Dong ?. Siapa yang
mencetuskan perubahan – perubahan lain di masyarakat yang lain ?. jawabannya
adalah orang yang memiliki kesadaran atas identitas kelompoknya.
Karena
itulah agama di barat, tidak lagi menjadi identitas sentral dalam peradaban
mereka. Sebab identitas barat yang memuji adn memuja akal meletakkan agama sebagai
tidak lebih dari pandangan – pandangan subjektif. Para intelektual Barat-lah
yang memiliki kesadaran identitas yang melihat pertentangan antara masyarakat
bawah dan masyarakat atas yang kemudian melahirkan revolusi.
Tulisan
– tulisan dalam bab ini ingin mengarahkan kita pada sebuah kesimpulan bahwa perubahan
itu dibuat oleh mereka yang memiliki ideologi dan bekerja keras mewujudkan
idelogi itu dalam membangun tatanan masyarakat baru. Tanpa kata – kata
‘revolusi’ dalam bab ini, Syaria’ti mengisyaratkan secara halus bahwa yang bisa
merubah masyarakat adalah revolusi yang dilakukan oleh para ideolog.
Ia
kemudian memaparkan masyarakat islami yang disebut dengan masyarakat madinah.
Dimana masyarakat madinah dibuat oleh seorang ideolog atau aktivis yang bernama
Muhammad SAW. Nabi Muhammad bukan saintis, bukan filsuf yang duduk dalam
singgasannya dan memproduk ide - ide dan
tulisan serta pemikiran. Melainkan ia adalah orang yang turun langsung
merasakan ‘bau keringat’ masyarakatnya yang terpinggirkan untuk mewujudkan
tauhid dan keadilan. Muhammad SAW ikut berperang dan merasakan bagaimana
penderitaan ummatnya.
Secara
sederhana, Syaria’ti inigin menunjukkan kepada kita bahwa apa yang mendorong
Nabi Muhammad SAW untuk melakukakan sebuah tajdid
(pembaharuan) wajah masyarakat adalah karena pertentangan kelas.
Pemikiran
ini jelas bercorak Marxisme – Sosialisme.
Dimana sebuah masyarakat baru diwujudkan oleh karena adanya kesenjangan antara
kalangan proletar dan borjuis. Mengapa Syaria’ti melihat ini ?. Saya bisa
menyimpulkan setidaknya secara geografis, Iran adalah negara yang paling dekat
dengan negara terbesar yang menganut lahirnya ideologi ini, Rusia. Apalagi
sejak awal, Syaria’ti telah besentuhan dengan karya – karya Marxis. Kemudian
diperkuat dengan kajiannya dalam studi Pascasarjananya di Perancis melalui
teori – teori sosial deterministik. Melalui bagian ini Syaria’ti ingin
menyampaikan bahwa, hanya revolusi-lah yang bisa mengubah arah dan wajah
masyarakat.
Apa
itu ideologi ?. Ideologi adalah ide tentang ilmu atau gagasan tentang ilmu.
Ideologi berbeda dengan ilmu. Meski keduanya saling terkait erat.
Ilmu
menurut Syaria’ti hanya memberikan pengetahuan tentang citra mental dari dunia
fisik dan gejala – gejalanya. Ilmu bercerita tentang hal - hal yang konkrit. Ilmu adalah penemuan
tentang alam, manusia, maupun satuan lainnya. Dimana orang yang berilmu
mengetahui kenyataan yang sebenarnya saling terkait seperti sebuah cermin.
Saling terhubung tapi tidak saling mempengaruhi[2].
Hukum – hukum gravitasi diungkapkan oleh Newton, tapi Newton tidak punya
kemampuan untuk mengubah hukum itu. Ia hanya mengungkapkan sesuai fakta dan
realitasnya. Seperti itulah gambaran ilmu.
Lalu,
dimana posisi ideologi ?. Ideologi bertugas menafsirkan realitas itu, menurut Syaria’ti.
Idelogi mengungkap fakta dan menilai apakah ini harus atau tidak harus. Apakah
itu benar atau tidak. Dan selanjutnya mengubah realitas itu.
Dalam
bagian ini pula, Syaria’ti mmberikan penjelasan perbedaan antara Filsafat,
Ideologi dan Sains. Menurutnya, yang punya kontribusi besar dalam mengubah arah
dan wajah masyarakat adalah Ideolog (kita mungkin bisa menyebutnya Aktivis),
bukan filsuf maupun saintis. Sebab saintis dan filsuf hanya menyampaikan
gagasan – gagasannya. Tidak bekerja mewujud dampak sosial dari hasil pemikiran
dan temuannya. Filsuf dan saintis bekerja setelah ideolog bekerja. Sebab
ideolog-lah yang membangun lanskap masyarakat dimana filsuf dan saintis
berkarya.
Pada
bagian ini, Syaria’ti hendak memperteguh kepada pembaca bahwa siapapun yang
telah memilih ideologi (islam dan cabang pemikirannya) haruslah bekerja keras
dengan semua potensinya untuk berkorban dan mewujudkan ideologi itu. Dalam
bagian ini pula, ia mengkiritik secara halus rezim monarki Shah Pahlevi sebagi Syiah
Syafawi. Sebuah wajah syiah yang berbeda dari ‘syiah Ali’. Syaih syafawi adalah
pembauran tiga unsur utama, yang itu syiah, nasionalisme dan sufisme. Inilah
yang menjadi ciri khas rezim saat ia
hidup.
Melalui
tulisan – tulisan sebelumnya, Syaria’ti hendak mengajak pembaca bahwa rezim
yang ada sekarang adalah rezim yang tak ubahnya seperti kaisar – kaisar Eropa
pada abad pertengahan yang hidup bergelimang kemewahan di atas kesengsaraan
rakyat. Parahnya lagi para agamawan berlindung dan mendukung kebijakan –
kebijakan rezim dengan menggunakan ayat – ayat suci untuk melindungi kekuasaan
yang korup dan zalim saat itu.
Ini
adalah pertentangan besar dalam diri seorang Syaria’ti. Sebab ia lahir dan
tumbuh di kalangan masyarakat bawah. Ia melihat dan merasakan secara jelas,
bagaimana kesengsaraan rakyat terjadi karena kezaliman rezim.
Di
bagian inilah Syaria’ti ingin bercerita. Bahwa yang bisa menyelesaikan
ketidakadilan itu adalah hanya para ideolog. Dimana secara kebudayaan Iran,
telah mewarisi syiahsme. Sebuah identitas yang tidak bisa dipisahkan dari
wilayah serta sejarah dan kebudayaan kerajaan Persia yang telah diruntuhkan
oleh Islam. Iran menunjukkan diri sebagai sebuah republik islam. Dimana
islamnya adalah Syiah. Dan islam syiah adalah identitas yang khas yang
merupakan pilihan kebudayaan masyarakat. Inilah yang ia sebut dengan ideologi
itu. Ideologi Islam. Tetapi agama islam tidak sampai di situ. Agama Islam yang
ter-ideologi-sasi dalam sebuah penerimaan secara sadar dan tanpa paksaan.
Dia-lah islam Syiah. Islam Syiah yang terideologisasi, tepatnya.
No comments:
Post a Comment