Akal Sehat jika
diterjemahkan dari bahasa Inggris diperoleh padanan Common Sense. Kamus
Merriam-Webster menyebutkan defenisi Common Sense sebagai the ability
to think and behave in a reasonable way and to make good decisions (kemampuan
untuk berpikir dan berperilaku dengan cara rasional dan dalam mengambil
keputusan). Artinya akal sehat adalah akal yang waras, tidak gila, dan berlaku
bagi seluruh yang memiliki akal yang sehat. Selain itu kita juga mengenal kata
‘masuk akal’, yang berarti dapat diterima oleh akal; tidak aneh; tidak
mustahil; logis; yang juga maknanya tidak jauh dari akal sehat tadi.
Bagaimana menggunakan
akal sehat ?. Dosen Pascasarjana Universitas Indonesia, Mudji Sutrisno Sj,
mengatakan bahwa akal sehat bisa diperoleh dari ‘Pemahaman biasa yang dibuat
oleh akal sehat orang kebanyakan tanpa banyak-banyak berpikir rumit-rumit atau
berenung-renung sulit.’ Artinya, akal yang digunakan berpikir tanpa banyak menalar,
cukup dengan memikirkan secara sederhana, kita bisa menilai dan mengambil
keputusan secara langsung.
Akal sehat
lahir dari jiwa yang sehat. Dari tubuh yang sehat. Dari manusia normal. Akal
sehat adalah akal yang jelas, tidak perlu dipertanyakan, dan bisa diterima
secara umum dalam pandangan setiap manusia.
Akal sehat
adalah salah satu anugerah Allah kepada manusia, sehingga bagi mereka yang
tidak memiliki pengetahuan secara khusus, bisa mengerti hal-hal yang sederhana.
Penjelasan-penjelasan logis bisa diterima, tanpa perlu berkerut dahi.
Dr. Syamsuddin Arif
menyatakan bahwa dengan kemampuan akal sehat itu, setiap manusia bisa mengilmui
dan mengenali (ma’rifah) mana yang benar dan buruk. Mereka bisa membedakan mana
yang benar dan mana yang salah, yang haq dan yang bathil, serta yang betul dan
yang keliru (al-Shawab wal Khatha’). Begitu pula mana yang sehat dan
yang sakit (as-salim wa as-saqim), mana yang sejati dan yang palsu (as-shadiq
wa al-kadzib), mana yang baik dan yang buruk (al-khayr wa as-syarr).
Dengan akal sehat pula, kita bisa mengidentifikasi hal yang baik dan yang busuk
(at-thayyib wa al-khabitsi), yang bagus dan yang jelek (al-hasanah wa
as-sayyi’ah), serta yang makruf dan yang munkar. Sehingga manusia dengan
akal sehatnya, bisa mengetahui mana yang
berguna dan berbahaya (ma yanfa’ wa maa yadurr), dan mana yang membawa
kebaikan dan yang membawa bahaya (al-muslih wa al-mufsid) (lihat:
Syamsuddin Arif dalam Adian Husaini, Filsafat Ilmu, hlm. 111-112).
Dengan akal sehat
yang ada pada diri manusia juga, Allah menjadikannya lebih mulia dibanding
malaikat. Dan dengan nikmat akal tersebut, ia terbebani syariat. Seorang yang
tidak waras, tidak wajib untuk shalat. Seorang yang tertidur pulas harus
mengulangi wudhunya. Dan seorang yang masih belum sempurna akalnya seperti
anak-anak tidak diberi ganjaran dosa jika berbuat kesalahan. Beban kewajiban
ada pada akal sehat.
Kita juga
mustahil mengetahui dan memahami hukum-hukum syariat tanpa akal sehat.
Pengharaman babi, khamr, serta perintah dan larangan lainnya, kita bisa pahami
dengan bantuan akal sehat. Bahkan jika dalam kondisi darurat, akal sehat bisa
menjadi sumber hukum, seperti dalam menentukan kiblat, waktu shalat, dan
lain-lain.
Dalam hal
cinta, kasih sayang serta keinginan untuk berketurunan ada dalam term
atau makna akal sehat. Bahwa mencintai anak, istri dan keluarga adalah akal
sehat kita. Laki-laki mencintai perempuan dan perempuan mencintai laki-laki
adalah akal sehat kita. Dan bahwa dengan akal sehat juga, kita tidak akan
membenarkan hanya karena alasan cinta dan kasih sayang, seseorang ingin menikah
dengan anjing, dan berhubungan badan dengan monyet. Kita menolak dengan akal
sehat kita seorang yang ingin memperisitri jin, menyukai tuyul atau genderuwo. Karena
alasan kasih sayang dan cinta yang semacam itu, tidak lagi masuk dalam
jangkauan akal sehat.
Begitu pula,
tentu dengan alasan yang sama. Bahwa berhubungan badan dengan lawan jenis tanpa
ikatan yang jelas, adalah di luar dari kemampuan penerimaan akal sehat secara
benar. Sebab pernikahan adalah untuk mengikat insan dalam ikatan yang sakral,
melestarikan keturunan, menjaga nasab, serta membangun keluarga yang bermartabat.
Sehingga
menjadi jelas. Dengan alasan cinta dan kasih sayang, kita tidak akan bisa
menerima jika seseorang seorang lelaki yang ingin berkeluarga menikahi lelaki
lainnya. Setiap perangkat punya tempat masing-masing. Seperti Mur dan Baut yang
saling berpasangan. Kiri dan kanan, atas dan bawah, siang dan malam dan
lain-lain seperti Allah sebutkan dalam al-Qur’an, Dan segala sesuatu Kami
ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah. (QS.
Az-Zariyat: 49).
Maka menjadi
jelas logika menikah sesama jenis. Tidak mempersoalkan orientasi seksual, dan
semacamnya adalah tidak dapat diterima secara akal sehat. Betapa tidak, jika
jenis kelamin tidak bisa didefenisikan secara dzhahir, maka keberadaan
toilet di fasilitas-fasilitas umum akan dirombak secara total. Sebab seorang
gay akan bermasalah jika masuk di WC Pria, dan Wanita. Begitu pula seorang
lesbi. Jika logika itu dibenarkan, harus dibuatkan WC khusus untuk para waria,
gay atau lesbian masing-masing secara khusus.
Padahal jika kita
lihat, jenis kelamin dalam olahraga sangat jelas dibedakan. Bulu Tangkis, ada Tunggal
Putri, Tunggal Putra, Ganda Putra, Ganda Putri, dan Ganda Campuran yang terdiri
dari laki-laki dan perempuan. Maka akan bermasalah, penempatan bagi seorang
yang tidak memiliki jenis kelamin secara jelas, ia ditempatkan dalam kelas apa.
Begitu pula dalam lomba kesenian.
Selain itu,
dalam menuliskan akta kelahiran seorang anak yang lahir dari same-sex
marriage, akan terhambat persoalan nama ibu dan bapak. Apakah logis, jika
ternyata dalam akte sang anak, Nama Bapaknya adalah “Rudi” dan nama ibunya, “Hermawan”
?. Siapa yang akan menjadi bapak jika diminta untuk menjadi walinya ?.
Wacana Gender
yang sudah demikian berpengaruh bagi pandangan Masyarakat Barat, hingga dalam
formalitas bahasa, juga terinfiltrasi demikian jelas. Kita mengenal istilah Gender
Inclusive Languange, dimana istilah-istilah yang mengandung unsur-unsur
satu jenis kelamin tertentu harus ditiadakan menurut perjuangan kaum feminis.
Hanya saja, bagi
masyarakat Indonesia, hal itu tidaklah penting. Sebab kesetaraan dan keadilan,
bukanlah dibebaskan secara membabi buta. Kesetaraan dan keadilan, ada pada
porsi dan letaknya masing-masing. Keadilan bukanlah dengan perlakuan yang sama
untuk setiap manusia. Tetapi perlakuan sesuai kapasitas dan kompetensinya.
Sekali lagi, akal sehat kita pasti menolak menyamakan suara seorang Guru Besar
dalam bidang Hukum dengan seorang Penggembali Sapi dalam masalah Hukum. Seorang
Artis berbeda kualitas pendapatnya dengan seorang ulama, dalam masalah agama.
Karena akal sehat kita mengakui adanya perbedaan.
Dan dengan
kemampuan membedakan tersebut, kita memiliki bisa membedakan secara jelas, perkara
iman dan kufur, petunjuk dan kesesatan (huda wa ad-dalal), jalan yang
lurus dan jalan yang menyimpang (sabil al-rusyd wa as-sabil al-ghayy),
keadilan dan kezaliman, cahaya dan gelap (an-nur wa az-zulumat),
kepatuhan dan kedurhakaan (at-tha’ah wa al-isyaan), serta ketakwaan dan
kefasikan. Sehingga dengan itu semua, keberuntungan
dan kerugian (al-falah wa al-khusran) menjadi lebih mudah untuk diraih
dan diperjuangkan. Semoga Allah mengaruniakan kepada kita Akal Sehat terus
menerus dan memberikan hidayah-Nya. Wallohu a’lam. (Dimuat di Koran
Amanah, Rabu 17 Februari 2016, dengan Perubahan)
No comments:
Post a Comment