Dalam beberapa postingan sebelumnya, kita
telah menyajikan bagaimana lahirnya ilmu sekuler. Salah satu diantara yang
dibahas adalah teori evolusi Darwin. Untuk lebih memudahkan pemahaman kita dan
sekaligus melengkapi bagaimana posisi teori Darwin, insya allah akan dipaparkan
berikut. Lahirnya teori Evolusi Darwin bukan tanpa kritikan. Dalam berbagai
sudut pandang, seperti Metafisika, agama, falsafah dan logika maupun dari sudut
kajian sains empiris sendiri.
Pertanyaan “apakah manusia
berasal dari kera atau tidak” muncul dalam benak ketika teori Darwin
disebutkan. Evolusionis menjawab pertanyaan ini dengan mengatakan bahwa makhluk
hidup pertama adalah sel tunggal yang terbentuk dengan sendirinya dari benda
mati secara kebetulan. Menurut teori ini, pada saat bumi masih terdiri atas bebatuan,
tanah, gas dan unsur lainnya, suatu organisme hidup terbentuk secara kebetulan
akibat pengaruh angin, hujan dan halilintar. Tetapi, pernyataan evolusi ini
bertentangan dengan salah satu prinsip paling mendasar biologi: Kehidupan hanya
berasal dari kehidupan sebelumnya, yang berarti benda mati tidak dapat
memunculkan kehidupan.[1]
Charles Darwin |
Kepercayaan bahwa benda mati dapat
memunculkan kehidupan sebenarnya sudah ada dalam bentuk kepercayaan takhayul
sejak abad pertengahan. Menurut teori ini, yang disebut “spontaneous generation”, tikus diyakini dapat muncul secara alami
dari gandum, atau larva lalat muncul “tiba-tiba dengan sendirinya secara
kebetulan” dari daging. Saat Darwin mengemukakan teorinya, keyakinan bahwa
mikroba dengan kemauan sendiri membentuk dirinya sendiri dari benda mati juga
sangatlah umum. Penemuan biologiwan Prancis, Louis Pasteur, mengakhiri
kepercayaan ini. Sebagaimana perkataannya: “Pernyataan
bahwa benda mati dapat memunculkan kehidupan telah terkubur dalam sejarah untuk
selamanya”. Setelah Pasteur, para evolusionis masih berkeyakinan bahwa sel
hidup pertama terbentuk secara kebetulan. Namun, semua percobaan dan penelitian
yang dilakukan sepanjang abad ke-20 telah berakhir dengan kegagalan.
Pembentukan “secara kebetulan” sebuah sel hidup tidaklah mungkin terjadi,
bahkan untuk membuatnya melalui proses yang disengaja di laboratorium
tercanggih di dunia pun ternyata tidak mungkin.[2]
Louis Pasteur |
Dari sisi pemikiran, teori
evolusi dibangun diatas konstruksi filsafat materialis. Pandangan yang menyatakan
bahwa alam semesta terdiri atas materi, dan materi adalah satu-satunya hal yang
ada. Karena itu, materi ada selama-lamanya, dan tidak ada kuasa lain yang
mengaturnya. Kaum materialis percaya bahwa faktor ketidaksengajaan (kebetulan)
yang buta menyebabkan alam semesta membentuk diri, dan makhluk hidup muncul
secara bertahap, berevolusi dari zat-zat tak-hidup. Dengan kata lain, semua
makhluk hidup di dunia ini muncul sebagai akibat berbagai pengaruh alam dan
ketidaksengajaan.[3]
Filsafat materialis
menggunakan teori evolusi, yang keduanya saling melengkapi, untuk menjelaskan
timbulnya makhluk hidup. Kesatuan ini, yang lahir di zaman Yunani kuno, kembali
disebarluaskan saat ilmu pengetahuan masih terbelakang di abad ke-19, dan, karena
teori itu dianggap mendukung paham materialisme, tak perduli secara ilmiah
absah atau tidak, teori ini segera dirangkul oleh kaum materialis.[4]
Teori evolusi menyatakan bahwa makhluk
hidup di muka bumi tercipta sebagai akibat dari peristiwa kebetulan dan muncul
dengan sendirinya dari kondisi alamiah. Teori ini bukanlah hukum ilmiah maupun
fakta yang sudah terbukti. Di balik topeng ilmiahnya, teori ini adalah
pandangan hidup materialis yang dijejalkan ke dalam masyarakat oleh kaum
Darwinis. Teori evolusi diajukan sebagai hipotesa rekaan di tengah konteks
pemahaman ilmiah abad kesembilan belas yang masih terbelakang, yang hingga hari
ini belum pernah didukung oleh percobaan atau penemuan ilmiah apa pun.
Sebaliknya, semua metode yang bertujuan membuktikan keabsahan teori ini justru
berakhir dengan pembuktian ketidak-absahannya.[5]
Namun, bahkan sekarang, masih banyak
orang beranggapan bahwa evolusi adalah fakta yang sudah terbukti kebenarannya –
layaknya gaya tarik bumi atau hukum benda terapung. Sebab, seperti telah
dinyatakan di muka, teori evolusi sesungguhnya sangatlah berbeda dari yang
diterima masyarakat selama ini. Oleh sebab itu, pada umumnya orang tidak tahu
betapa buruknya landasan berpijak teori ini; betapa teori ini sudah digagalkan
oleh bukti ilmiah pada setiap langkahnya; dan betapa para evolusionis terus berupaya
menghidupkan teori evolusi, meski kata harun yahya, teori ini sudah “menghadapi
ajalnya”.[6]
Kini, berbagai cabang ilmu pengetahuan
seperti paleontologi (cabang geologi yang mengkaji kehidupan pra-sejarah
melalui fosil – penerj.), genetika, biokimia dan
biologi molekuler telah membuktikan bahwa tak mungkin makhluk hidup tercipta
akibat kebetulan atau muncul dengan sendirinya dari kondisi alamiah. Sel hidup,
demikian dunia ilmiah sepakat, adalah struktur paling kompleks yang pernah
ditemukan manusia. Ilmu pengetahuan modern mengungkapkan bahwa satu sel hidup
saja memiliki struktur dan berbagai sistem rumit dan saling terkait, yang jauh
lebih kompleks daripada sebuah kota besar. Struktur kompleks seperti ini hanya
dapat berfungsi apabila masing-masing bagian penyusunnya muncul secara
bersamaan dan dalam keadaan sudah berfungsi sepenuhnya. Jika tidak, struktur tersebut tidak akan berguna, dan semakin lama akan
rusak dan musnah. Tak mungkin semua bagian penyusun sel itu berkembang secara
kebetulan dalam jutaan tahun, seperti pernyataan teori evolusi. Oleh sebab
itulah, rancangan yang begitu kompleks dari sebuah sel saja, sudah jelas-jelas
menunjukkan bahwa Tuhan-lah yang menciptakan makhluk hidup.[7]
Dalam teori Evolusi Darwin, tentu jika dikaji
secara metafisika, filsafat dan agama sepertinya akan membingungkan pembaca.
Sebab, bidang kajian Darwin adalah unsur-unsur empirik yang tidak sama dengan
kajian tiga pendekatan tadi. Sehingga boleh saja, pembaca yang awam dengan framework
yang masih terpengaruhi sekulerisme-ilmu akan berkesimpulan ganda. Menurut
agama nenek moyang kita dari adam. Menurut sains, nenek moyang kita dari
Monyet. Singkatnya, ada dua kebenaran secara bersamaan.
Untuk itu, perlu diungkap (kembali)
kritik atas Teori Darwin yang ‘setanding’ dengannya. Paling tidak lewat teori
sains yang lain, ternyata Teori Darwin juga tidak sepi dari kritik lewat
pendekatan sains-empirik. Setidaknya ada beberapa tinjauan sains yang
mengungkapkan kekeliruan teori Darwin.
Michael J. Behe dan Bukunya |
Pertama, Michael Behe. Ia adalah seorang Profesor Madya dalam
bidang biokomia di Universitas Lehigh di Amerika Serikat dan pengarang Darwin’s
Balck Box: The Biochemical Challange to Evolution (New York: Free Press,
1996, 307 Halaman). Ia bertolak dari hak-ikat proses biokomia yang berlaku
dalam bermacam fungsi anggota badan manusia, seperti proses biokomia yang
berlaku apabila mata melihat sesuatu, apabila darah dari luka yang mengalir
menjadi beku, dan seperti pengangkutan bahan-bahan kimia yang berlaku dalam
sel-sel kita. Setiap proses ini melibatkan proses timbal-balik. Dan interaksi
dinamis yang amat teratur lagi canggih diantara berbagai macam jenis enzim dan
protein, serta melibatkan berbagai unit anggota halus dalam sel-sel dalam
proses pembekuan darah, dan metabolisme tubuh.[8] (bersambung)
[2] Harun Yahya, Menyibak
Teori Evolusi Darwin, hlm. 10
[5] Harun Yahya,
Runtuhnya Teori Evolusi dalam 20 Pertanyaan, New Delhi: Idara Ishaat-E-Diniyat (P) Ltd., hlm. 8
[6] Harun Yahya,
Runtuhnya Teori Evolusi dalam 20 Pertanyaan, hlm. 8
[7] Harun
Yahya, Runtuhnya Teori Evolusi dalam 20 Pertanyaan, hlm. 8-9. Lebih
lanjut Harun Yahya Mengkiritk dengan tajam di hlm. 8-9 (Akan tetapi, para pembela filsafat
materialis tidak bersedia menerima fakta penciptaan karena beragam alasan
ideologis. Hal ini disebabkan kemunculan dan perkembangan masyarakat yang hidup
dengan berpedomankan akhlak mulia yang diajarkan agama yang sejati kepada ummat
manusia melalui perintah dan larangan Tuhan bukanlah menjadi harapan kaum
materialis ini. Masyarakat yang tumbuh tanpa nilai moral dan spiritual lebih
disukai kalangan ini, sebab mereka dapat memanipulasi masyarakat yang demikian
demi keuntungan duniawi mereka sendiri. Itulah sebabnya, kaum materialis
mencoba terus memaksakan teori evolusi – yang berisi dusta bahwa manusia tidak
diciptakan, tetapi muncul atas faktor kebetulan dan berevolusi dari jenis
binatang – serta, dengan segala cara, berupaya mempertahankan teori evolusi
agar tetap hidup. Kaum materialis meninggalkan akal sehat dan nalar, serta
mempertahankan omong-kosong ini di setiap kesempatan, walaupun bukti ilmiah
dengan jelas telah menghancurkan teori evolusi dan menegaskan fakta
penciptaan.)
[8] Adi Setia, Kritik
Sains terhadap Teori Evolusi Darwin, Jurnal Islamia, (Tahun I, No. 1
Muharram 1425/ Maret 2004), hlm. 74
No comments:
Post a Comment