Cari

LANGIT (TANPA) KEMBANG API

Monday 30 December 2013







Bagi yang punya budget, malam tahun baru bakar-bakar ayam
Bagi yang budget-nya kurang, bakar-bakar ikan
Bagi yang budget-nya lebih kurang lagi, bakar-bakar jagung
Bagi yang tidak punya Budget, bakar-bakar sampah
(MC Tabligh Akbar, MILAD 5 AQL-Islamic Centre)


Kita hidup berpijak di atas tanah yang sama, di bawah naungan langit yang sama. Yang berbeda adalah penyikapan kita terhadap keduanya. Dua orang tahanan yang melepaskan pandangannya di balik jeruji, ada yang bersedih melihat langit. Karena sudah kurang lebih 120 kali ia melihat purnama. Yang berarti sudah 10 tahun mendekam. Tapi tahanan yang lain yang melihat purnama yang sama, malah bergembira. Karena purnama itu adalah adalah kesempatan untuk menggubah syair tentang langit dibalik tembok dan jeruji selama bertahun-tahun.
Benda yang sama, namun penyikapan yang berbeda akan menghasilkan efek yang berbeda. Objek boleh sama, tapi angle shoot  yang berbeda akan menghasilkan kualitas rekam gambar, kesan dan pesan yang berbeda. Begitu kata fotografer.
Dalam hal sederhana, “Ayam menyeberang jalan”. Para pemikir punya jawaban yang berbeda-beda pula. Mungkin kalau kita menanyakannya “Mengapa ayam  menyeberang jalan ?”.

The True Hijrah

Saturday 23 November 2013


Diterimanya dua surat bersamaan yang berbeda maksudnya, membuat Khalifah Umar mengadakan sidang Istimewa bersama para sahabat untuk menyelesaikan persoalan administratif kekhilafahannya. Sebagai leader yang menaungi banyak  daulah, penanggalan surat menjadi penting saat itu. Maka bermusyawarahlah para sahabat. Ada yang menyarankan untuk membuat penanggalan dimuali dari tahun kenabian, ada pula dimulai dari peritiswa isra’ dan mi’raj. Akan tetapi yang disepakati saat itu adalah pendapat Ali bin Abi Thalib. Ia menyarankan tahun pertama islam dimulai dari tahun hijrahnya Nabi saw dari makkah menuju madinah. Meskipun ulama berbeda pendapat tentang bulan yang mengawalinya, Syaikh Syafiyurrahman menguatkan tahun itu tetap dimulai degan bulan Muharram dalam Ar-Rahiq-nya.
Ada banyak hikmah yang bisa kita petik dari peristiwa hijrah. Karena Hijrah bukan sekedar peristiwa lolosnya Nabi saw dari fitnah dan penyiksaan, akan tetapi lebih dari itu. Hijrah adalah merangkai kerjasama untuk membangun tatanan baru di negeri yang aman. Oleh karena itu, kewajiban bagi setiap individu muslim yang mampu untuk berpartisipasi dalam pembangunan tanah air yang baru dengan segenap tenaga untuk membentengi dan mengangkat citranya (Mubarakfuri, 2010, hal. 255).
Hijrah adalah angin segar yang berhembus ke dalam dada kaum muslim akan perjuangan selama 13 tahun mempertahankan akidah. Hijrah adalah perpindahan dari sempitnya gerakan dakwah di Makkah kepada luasnya Madinah. Dari sempitnya satu negeri kepada negeri yang lain yang lebih luas.

Ramadhan, Bulan Pembebasan



Siang itu, terik matahari membakar padang-padang pasir yang terbuka. Angin berhembus membawa butiran pasir dan debu dan segera saja menutupi jejak dhabb[1]. Angin panas dan kering  mengalir di sela-sela jalan dan rumah-rumah dari tanah liat di Makkah. Kota, pusat perdagangan itu kali ini menjadi sedikit menjadi riuh. Pelepah pohon kurma yang berayun menjadi saksi saat peristiwa itu. Orang-orang berhenti sejenak melihat pemandangan yang tidak seperti biasanya.
“Ayo jalan !”
Orang berkulit hitam itu diseret di atas pasir panas. Keringatnya mengucur deras dari tubuhnya yang hanya dibalut sebuah kain menutupi lutut hingga pusarnya.
“Tcchak....!!!”. Sekali lagi cambuk mendarat ditubuhnya. Kali ini sudah tidak terhitung jumlah bekas garis merah di punggunggnya. Luka yang begitu perih hingga meneteskan darah tidak sama sekali dipedulikan tuannya. Pikiran budak hitam itu sudah tidak dikuasai sepenuhnya. Ia setengah sadar, setelah belasan hari menjalani ritual penyiksaan seperti itu.
“Tidur telentang...!!”. Belum sempat ia merebahkan diri sebuah tendangan keras menghantam perutnya. Ia tersungkur.

RENUNGAN DI PUNCAK AR-RAHMAN UNTUK RAMADHAN DI NEGERI SYAM

Thursday 22 August 2013



        
Ikhwani..., Malam ini di Puncak Ar-Rahman. Madrasah di mana lantunan Kalam-Nya dikumandangkan setiap matahari menyingsing dan saat kembali ke peraduannya. Madrasah saat dzikir pagi-petang membasahi lidah setelah memuji Rabb-Nya.

Di puncak ini ada pemandangan indah di atas kota Pertanian, Bogor. Lampu-lampu kota berkilau dan detik-detik Ramadhan pun telah berlalu. Di Atas sana, angkasa dipenuhi suara petasan berhias percik kembang api. Sementara segores hilal siang tadi telah menjadi kabar gembira bagi seluruh umat islam untuk melepaskan takbir kemenangannya bersahut-sahutan dari ufuk masyriq hingga ke maghrib.

MEMAKNAI KEMBALI KEMERDEKAAN; Secuil Refleksi 68 tahun Indonesia Merdeka

Sunday 18 August 2013







Merdeka adalah kemenangan. Menang adalah kemerdekaan. Meskipun menjadi menang, bisa saja tidak merdeka. Dan menjadi merdeka tak mesti harus menang. Kalah, boleh berarti menang, saat kita bebas dari sifat ke-kalahan. Bebas dari sifat kemunduran dan keputus-asaan. Namun menang, belum tentu merdeka. Jika masih menang karena bukan karena diri sendiri. Menang karena mengalahkan orang lain dalam pelanggaran. Kemerdekaan adalah ketika kita bebas dari perbudakan. Bebas dari segala bentuk ketertindasan. Bebas dari kedzaliman dan keteraniayaan.

Merdeka, bukanlah hal-hal yang bersifat lambang belaka. Karena Indonesia bukan sekedar bendera yang berwarna merah dan putih. Bukan sekedar seekor burung yang selalu bertengger di atas pita bertuliskan “Bhinneka Tunggal Ika”. Merdeka tidak bisa disamakan dengan jumlah bulu sayap, ekor dan leher pada burung yang bernama Garuda. Bukan pada bendera yang dijunjung di depan panggar, berjejer dengan bendera tetangga. Bukan pada

MEMBUMIKAN JIHAD

Wednesday 14 August 2013




Dakwah, pada akhirnya merindukan tegaknya kalimat tauhid di bumi allah. Di manapun harus terpancang keindahan dan kemuliaan syariat allah. Namun, gesekan dan benturan antara setiap seruan adalah sebuah sunnatullah yang tidak bisa dielakkan.
Ikhwani.... sekarang, dakwah perlu dibangun orientasi yang jelas. Dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah perjuangan yang lebih nyata dan efektif dalam berkontribusi dalam perjuangn takwinul ummah.
Dakwah kampus tidak boleh hanya diarahkan pada profesionalisme kerja belaka. Tapi jauh lebih dari itu. Dakwah kampus harus membawa spirit dalam membebaskan setiap jengkal bumi dari kedzaliman aqidah, kerusakan akhlak dan persoalan sosial yang lain. Dakwah kampus harus menjadi basis dalam mensuplai para pejuang-pejuang tauhid. Karena itu dakawh kampus bukan berbicara kehebatan dalam event akbar, pematerinya atau jumlah peserta yang hadir. Tapi keberhasilan dakwah kampus adalah ketika idealisme JIHAD telah mengalir dalam tubuh setiap kader.

SAMPAI JUMPA DI PUNCAK !*

Monday 6 May 2013




Saudaraku, Bergegaslah !. Segeralah menjejak bumi. Tanah-tanah itu masih basah. Ia menanti hangatnya sentuhan telapak kakimu.
Ayungkan dayungmu. Biarkan biduk kecil ini menghempas ombak-ombak yang angkuh. Taklukkan kesombongannya. Arungilah lautan hingga engkau temukan setiap tepinya menemui budaya dan adat baru. Jiwamu sedang mendidih ingin menguapkan rasa ingin tahu seorang Ibnu bathutah menjelajah negeri antah berantah.
Melompatlah, berenang bersama lumba-lumba, menembus dalamnya samudera biru dengan impian di dadamu. Masuki sela-sela karang. Bermain bersama ikan pari, dan berlari menghindari ikan hiu. Serta tertawa bersama cumi-cumi yang lucu.
Terbanglah bersama burung-burung pelipis. Bermain bersama burung camar, menukik indah bersama elang laut. Saat matahari tengah berada di ufuknya. Kejarlah mentari itu dengan kedua sayap mungilmu. Terbang menghindari semburat cahayanya. Lalu berlindung di awan-awan nimbus.
Dan biarkan dirimu jatuh bersama tetes-tetes hujan yang dingin bersama salju yang putih. Terjun berhembus bersama angin yang mengarakmu ke puncak gunung tertinggi. Kemudian mengalir turun bersama gletser ke muara danau di dunia.

MARI MENJADI “GURU” !

Friday 3 May 2013




Siang itu, peluh muncul menyerupai butiran-butiran embun di kening para murid. Mereka gugup gemetar, seperti budak tak berkutik di depan majikannya. Sebuah tamparan keras baru saja mendarat di wajah seorang diantara mereka. Siddiq, Siswa kelas XI salah satu SMA di Makassar. Korban berikutnya yang tidak mengerjakan PR, terpaksa harus menjadi bulan-bulanan Guru Olahraganya. Bagi Siddiq, kelas seperti tempat luapan kekejaman guru. Setiap guru yang masuk, seperti “monster ganas” yang akan melumat habis tulang-tulang mereka. Kelasnya bagaikan “bengkel ketok magic”. Isinya seperti kendaraan-kendaraan habis kecelakaan. Hampir seluruh murid juga pernah mengalami tekanan mental. Murid sudah menjadi objek emosi guru di kelas. Murid tidak mendapat porsi mengembangkan idenya. Mereka hanya terus dibebani tugas-tugas tanpa pernah diajar mengapa ia mesti mengerjakannya. Gambaran ini menyiratkan bahwa cara mendidik guru butuh pembenahan.
Harus ada upaya perbaikan cara mendidik. Betapa menyakitkannya sebagian guru yang mengajar tanpa memperhatikan perasaan siswanya. Padahal, siswa bukanlah sebatang kayu yang siap dipahat menjadi sebuah patung pajangan. Ia adalah makhluk bernyawa yang memiliki perasaan untuk tumbuh dan berkembang mengenal arti kehidupan. Siswa tidak hanya memiliki ruang intelektual yang bisa dipuaskan dengan deretan teori logika, tapi ia juga memiliki ruang emosi yang mencari “makna”, bagaimana mendapatkan kebahagiaan dan kemuliaan.

JADIKAN KOS SEBAGAI MARKAS TARBIYAH

Thursday 2 May 2013




(ALQOLAM-MINSEL)-Usai shalat maghrib, lamat-lamat suara denting lonceng gereja menyahuti suara imam di masjid yang telah salam. Beberapa gereja membunyikan secara bersamaan, hingga terdengar hampir di seluruh penjuru kompleks Kelurahan Ranoiyapo, Kecamatan Amurang, Kabupaten Minahasa Selatan. Kompleks di Kelurahan ini relatif tenang. Hanya ada beberapa pemuda yang berkumpul di pinggir jalan dan yang lainnya beberapa anak-anak yang sementara break dance mengikuti irama music disco dari HP mereka. Tapi, di sebuah kamar kos kecil, tepat di persimpangan jalan terdengar suara anak-anak beradu membaca al-qur’an. Meskipun tak sebesar suara lonceng gereja tadi, anak-anak itu sangat bersemangat melantunkan bacaan al-qur’an.
Mereka adalah anak-anak pilihan dari sekitar 7 % penduduk muslim Kabupaten Minahasa Selatan yang belajar agama. Selebihnya anak-anak Kristen. Meskipun demikian, tak mengurangi antusiasme anak-anak yang terdiri dari siswa SMA, SMP, dan SD, ada juga penjaga toko kelontong untuk memperbaiki bacaan al-qur’annya.
Di sini kelurahan ini, kondisi sosialnya cukup memprihatinkan. Tidak ada pembinaan yang terarah, serta peran sekolah tidak mampu membangun kepribadian anak-anak muslim. Sementara yang berjamuran adalah sekolah Kristen. Hal itu juga disebabkan keluarga-keluarga muslim yang tidak paham agama. Akhirnya anak-anak yang punya potensi berkembang, ruang geraknya sangat terbatas. Dari pemahaman Itulah, ust. Syamsuar, da’i asal Jeneponto yang bertugas di MINSEL, Amurang ini semangatnya dibangun. Meskipun tidak menetap dalam waktu yang lama, ia mengakui memang butuh ustadz yang lebih senior untuk datang membina di sini. Karena jamaah masjid masih agak terpetak-petak ke dalam organisasi, di tambah lagi masyarakat umum tidak sangat pragmatis dalam memilih wakil atau pemimpin mereka.
Di Kos yang berukuran 3 x 5 m Ust. Syamsuar Hamka, S.Pd. fokus membina mental anak-anak. Kamar yang bisa menampung dua orang ini setiap malamnya didatangi sekitar 11 orang anak setiap ba’da maghrib hingga isyadan setiap harinya semakin ramai. Menurutnya, dakwah umum di masjid kurang efektif. Apalagi dengan ceramah umum kalau ingin ‘membentuk’. Kalau memang mau menggalang simpatisan, langsung di datangi door-to-door. Tapi di sini sudah ada ikhwa di Jama’ah Tabligh. Jadi segmen yang diambilnya, adalah anak-anak. “Mungkin prosesnya lama, tapi paling tidak ini bisa berkontribusi terhadap pembentukan DPD di sini,  Karena mereka semua adalah asset masa depan”. Meskipun aktif membawakan kultum subuh, Ust. Syamsuar lebih fokus membina anak-anak dan mengarahkannya dengan tarbiyah yang setiap hari mereka laksanakan di kosnya sebagai markas. “Saya berharap, kos ini menjadi saksi dan tempat lahirnya orang-orang alim itu. Kos ini menjadi markas perubahan di Amurang”, pungkas da’i alumni UNM ini (elfaatih).

DAKWAH DI AMURANG; DARURAT DA'I




(ALQOLAM-MINSEL)-Setelah ust. Misykuddin, disusul ust. Supriadi, Ust. Marwan, dan Ust. Ridwan, kini giliran ust. Syamsuar menyambung tongkat estafet dakwah di Minahasa Selatan, Sulawesi Utara. Daerah tepatnya Kelurahan Ranoiyapo, Kec. Amurang, Kabupaten Minahasa Selatan. Beliau melajutkan program dakwah yang telah dirintis oleh para da’i sebelumnya. Kegiatannya seperti pembentukan halaqah tarbiyah untuk perempuan atau siswi-siswi SMA dan Dirosa, pembinaan baca al-qur’an untuk anak-anak, ruqyah dan bekam, serta Kultum setiap subuh di masjid.
Masyarakat sangat merespon kedatangan para da’i utusan Wahdah Islamiyah ini. Itu terbukti dari kegiatan Tabligh Akbar yang baru saja dilaksanakan dengan Tema “Torang Samua Basudara” oleh Ust. Syaibani Mujiono, S.Pd.I. (14/4/13) dihadiri tidak kurang dari 200 warga di Masjid Al-Mu’minun. Kedatangan para da’i WI selain pogramnya sangat menyentuh masyarakat, juga membantu ormas yang lain untuk bisa bekerja bersama-sama dalam memajukan Amurang. “Apalagi kondisi masyarakat di sini memang masih sangat membutuhkan dakwah dan pembinaan yang intensif”, kata Bapak Iskandar, tokoh masyarakat Amurang. Selain itu diakui juga bahwa, SDM masyarakat di sini masih sangat rendah, dikarenakan rendahnya antusiasme masyarakat terhadap pendidikan.
Jumlah populasi muslim di Kabupaten Minsel sekitar 7 %. Yang muslim adalah para pendatang yang kebanyakan dari suku Bugis, Jawa dan Gorontalo dan tinggal menetap di daerah ini. Karena minoritasnya, dan boleh dikatakan nyaris tidak ada sosok ulama atau ustadz yang bisa mengayomi masyarakat, sehingga membuat warga di sini sangat labil. Banyak anak yang tumbuh tanpa mengenal dengan baik agamanya. Bahkan ada yang pindah agama, karena pergaulan. Ketiadaan orang berilmu (ulama) diakui sendiri oleh warga. “imam masjid di sini de pe bacaan sudah bagus, tapi tidak bisa ceramah”, kata Ibrahim seorang jamaah masjid al-mu’minun. “jo ketua MUI di sini pun diangkat bukan karena de pe ilmu, tapi karena tak ada lagi orang yang bisa”, pungkasnya. Selain itu, komunitas muslim yang ada belum menunjukkan persatuan yang solid. Itu terbukti dari tidak kurang 35.000 penduduk muslimnya, tidak ada satu pun wakil rakyat beragama islam, semuanya nasrani.
Kebutuhan da’i juga diakui oleh Ibu Asry (25). “Warga di sini sangat butuh ustadz. Masih banyak orang tua yang butuh diobati. Kalau bisa ustadz yang datang ke sini, tinggal lama-lama. Kalau bisa buka klinik, dan tidak apa-apa ada tarifnya, warga siap membayar”, katanya. Ia juga mengakui kedatangan da’I Wahdah Islamiyah sangat bermanfaat, dari penuturannya sendiri, ia bersyukur telah sembuh dari penyakitnya. “Saya empat tahun tidak bisa jalan. Seperti ada rasa takut-takut kala bajalan. Alhamdulillah, setelah diruqyah sekali sama Ust. Marwan, jalan saya jadi normal kembali”, katanya. Lebih lanjut, “Di sini, warga sering sakit, sementara di bawa ke dokter, tidak tahu apa penyakitnya. Warga, sudah mau dibilang so capek pigi ke dukun”.
Kenyataan ini membuat para da’i semakin bersemangat untuk melanjutkan dakwahnya, serta bisa lebih dekat di masyarakat. Lewat program bekam, ruqyah, pengajian dan Dirosa serta tarbiyah, mereka berharap akan ada tumbuh generasi yang bisa mendekatkan masyarakat kepada agamanya. Sehingga bisa menyadarkannya akan pentingnya bertafaqquh fid-dien. Apalagi tantangan di sini ditambah, dengan giatnya juga aktivitas ke-gereja-an. Kumandang adzan maghrib dan subuh sering disahut oleh bunyi lonceng gereja. Hanya saja sampai saat ini, belum ada da’i yang siap ditempatkan untuk fokus. Yang datang hanya beberapa pekan, sementara warga sangat membutuhkan da’i yang bisa mereka tempati untuk bertanya dan mendengarkan arahannya (elfaatih).

PECAHKAN TEMPURUNG DI KEPALAMU ! (1)

Tuesday 30 April 2013



Mungkin setiap kita hidup dalam tempurung. Otak kita diselubungi lapisan kalsium karbonat di tengkorak. Padat serupa serat yang kuat melindungi akal, tempat pikiran bersemayam. Badan kita dikelilingi tempurung kulit. Lapisan yang disebut epidermis atau kulit ari yang begitu halus. Rambut pun demikian. Ia terdiri dari sel-sel yang diselubungi tempurung zat kitin, atau zat tanduk yang keras. Rumah kita diselubungi dinding yang berlapis-lapis. Di dinding pun berlapis-lapis semen, pasir hingga cat. Diluarnya ada lapisan dinding kompleks atau garis batas lingkungan, RT, RW atau kelurahan secara imaginer. Dan adat juga lapisan yang mengandung kita secara imaginer.

Di luarnya lagi ada selubung lapisan batas kota, kabupaten hingga provinsi. Membesar hingga menjadi Negara. Terus membesar menjadi benua dan akhirnya pulau yang kita tempati juga berada dalam tempurung lapisan pantai. Lapisan itu ditambah semuanya akan menjadi Bumi.

Makhluk-makhluk hidup, disebut sebagai lapisan biosfer. Lapisan tanah disebut sebagai Pedosfer. Lapisan batuan disebut sebagai Litosfer. Lapisan air disebut sebagai Hidrosfer. Dan di atasnya, petala-petala langit yang tujuh menyelimuti kita dengan kedamaian dan kesejukan. Namanya atmosfer.

Kita hidup dalam kandungan. Kita hidup dalam tempurung demi tempurung yang berlapis. Kita dilahirkan dari lapisan rahim dan perut. Keluar, dikandung nilai dan norma.

Kita hidup dalam lingkaran-lingkaran yang tidak kita tahu ujungnya. Di situlah kita berkeliling mencari di mana ia berada.

Kawan !, Dunia ini luas. Tidak seperti apa yang ada di kepalamu. Luasnya tidak seperti selaput myelin yang membungkus saraf-sarafmu hingga bisa mengalirkan muatan listrik dengan reaksi elektrokimia. Kita hidup dalam lingkaran hidup. Yang ilmu biologi pun masih bingung dengan kehidupan. Kita hidup dengan pikiran. Yang dengan neurologi pun bingung menjelaskannya. Dan kita hidup tersusun dari partikel fundamental, yang fisika partikel pun masih belum mengetahui apa itu ATOM. Jiwa dan emosi  kita pun masih mencari siapa dia, karena psikologi hanya mampu menjelaskan gejalanya.

Bumi ini punya banyak daratan. Masih saja ada sudut-sudut yang engkau belum tahu. Masih ada bahasa yang membingungkan, dan membuat perut geli mendengarnya. Meskipun mereka juga akan geli medengar bahasamu.

Kawan, daratan tempat kakimu berdiri tidak seluas tempurung kampungmu, yang hanya mengenal bagaimana membeli kangkung di pasar tepi pantai dan membuangya dalam bentuk lain ke pantai itu karena kita tidak mengenal jamban.

Daratan ini masih terhampar luas. Masih ada garis-garis merah, di peta ini untuk kita jelajahi. Menembus setiap lapisan dan tempurung yang mengurungmu. Seperti dua ekor kelinci  itu. Ia hanya mengenal delapan sudut kandangnya. Serta sebuah pintu yang terbuka setiap tiga kali sehari hanya untuk memasukkan kangkung, kol atau daun sawi , sisa-sisa bahan baku sayur, untuk sarapan pagi pemiliknya.

Kawan. Segeralah berlari menjemput nasibmu. Terbanglah mencari sudut langit. Biarkan dirimu mengangkasa menembus cara berpikir karena tempurung yang membuat orang, pasrah dengan nasibnya (elfaatih).

SINDROM TERTIDUR

Monday 1 April 2013

 


Jengki    :               “Tadi pagi, apa kerjanya bro ?”.
Bado      :               “Yahh.. biasa-lah, sibuk”.
Jengki    :               “Sibuk apa ?, sudah punya kerjaan ?”.
Bado      :               “Sibuk tidur”.
Jengki    :               ???.

Tertidur, berbeda dengan tidur. Tidur adalah hal yang wajar. Memang waktunya, dan memang badan memerlukannya untuk melepaskan lelah. Sejenak mengumpulkan energi. Tapi tertidur lain. Tertidur adalah akumulasi dari kelemahan jiwa dan raga. Kemalasan dan kekerdilan ide yang mengendap dalam jiwa. Hingga yang muncul ke permukaan kepribadian, adalah memaksa mata terlelap, mengosongkan pikiran, dan membuat waktu berlalu begitu saja.
Tertidur adalah manivestasi dari TERlelap, dan TInggal melanTUR. Sebuah kamuflase untuk berlindung dari manusia, “Jangan ganggu saya !, saya sedang capek. Saya butuh istirahat”. Padahal sepanjang hari tidak ada aktivitas berat yang Ia laksanakan. Tertidur besumber dari mata air kejenuhan. Kosongnya agenda dan tidak adanya prioritas kerja yang jelas. Yang melengkapinya adalah hari libur, Ahad. Hari itu seperti hari istirahat sedunia. Pasca “olahraga”, semua beralih ke “olahbatin”. Caranya dengan melempar diri ke atas bantal. Memicingkan mata, dan selanjutnya, tertidur hingga adzan dhuhur berkumandang.
Tertidur adalah sindrom yang tidak diketahui penyebabnya secara jelas. Ia adalah misteri terbesar kedua dalam dunia kedokteran setelah AIDS. Itu disebabkan, penderita sendiri bingung apa penyebabnya. Apalagi dokter ?.
Karena itu, tertidur, sebenarnya tidak sehat. Ia sebenarnya penyakit. Ia seperti virus yang tidak disangka datang menjangkiti. Dan dampaknya tidak dapat diprediksi kapan terjadi. Ia bisa terjadi saat ramai, atau saat lengang. Bisa terjadi saat sibuk, atau saat agenda kosong. Saat berbicara dengan orang, atau mungkin saat sendirian melamun. Tertidur bisa terjadi saat mengajar santri mengaji, membelajarkan murid, atau saat berkendara. Tertidur pun bisa didapati di mana saja. Di kantor, kebun durian, atau di persimpangan lampu merah yang membuat semua orang kesal, membunyikan klakson, teriakan bahkan kutukan dilemparkan dari kendaraan yang tertahan dibelakang orang yang dijangkiti penyakit ini karena indikator lampu sudah berubah menjadi hijau. Bisa juga di kelas, saat pak guru berbusa-busa mulutnya menerangkan pelajaran, virus sindrom ini telah menjalar di kepala muridnya. Menutup penderangan dengan imaginer great wall. Memantulkan semua ilmu dari gurunya. Atau mungkin bisa saja di warung SOP SAUDARA. Jadi, tertidur bisa terjadi di mana saja.
Tertidur adalah kenikmatan bagi penderitanya. Ia bagaikan gatal, yang menggetarkan seluruh tubuh jika ditahan. Dan obatnya yang paling nikmat adalah digaruk. Atau seperti kencing, saat ‘kebelet’. Tertidur membawa seseorang ke alam mimpi. Tak menghiraukan apa yang terjadi di sekelilingnya. Orang bisa mengira penderita ini sedang sibuk membaca koran, padahal matanya terlelap. Nanti dibangunkan saat orang mengingatkan, “Maaf pak, korannya terbalik “. ???.
Saat semua orang berlari pagi berkeliling kota, penderita sindrom tertidur, masih keenakan memeluk bantalnya. Membasahi serat-serat kain seprei-nya dengan cairan lengket bening bernama ILER.  Karena itu hati-hati dengan sindrom ini. Ia bisa menjangkiti siapa saja.
Tapi, tertidur adalah jalan keluar. Solusi bagi mereka yang tidak punya kerjaan jelas, alias pengangguran. Tertidur, adalah jawaban paling mantap bagi lulusan Sekolah Menengah yang tidak mengetahui jalur hidupnya. Jawaban dan argumen yang mematahkan seluruh pertanyaan. Me-mental-kan semua argumen yang berusaha menyudutkannya. Tertidur, adalah alasan, mengapa mesti hidup bagi mereka.
Tertidur adalah kerjaan yang paling menyenangkan. Tak perlu modal, tak perlu membuang energi, dan tak perlu mengajukan surat lamaran atau mengurus berkas dan berujung rejected. Yang penting kita punya waktu. Orang sakit pun bisa sibuk dengan kerjaan ini. Beri tenggat waktu, dan biarkan diri kita beralih ke kondisi gelombang pikiran delta, dengan frrekuensi otak 0,1 – 3,9 Hz pada electroencepalograph[1]. Ia adalah kerjaan yang paling mudah, dan pilihan bagi orang-orang yang tidak mau ambil pusing dengan hidup. Kalau kantong kosong, yah tidur. Kalau lapar, cari teman bicara, untuk diajak makan. Sehabis itu, cepat-cepat lari keluar warung agar teman yang bayarkan.
Hidup dengan tidur, begitu indah bagi orang-orang yang paling sibuk. Ia sibuk mengasah intelektualitasnya dengan TTS (Teka Teki Silang). Sibuk memperluas wawasannya dengan membaca koran politik. Kritik calon pemimpin ini, pemimpin itu dan membenarkan argumennya melebihi argumen profesor pengamat politik, dengan hanya bermodal seritifkat kursus alat-alat berat serta dua tahun pengalaman menjadi security bank. Mereka sibuk mengembangkan jaringan dengan bermain domino dengan semua warga berbagai usia yang juga punya nasib yang sama. Atau paling tidak sibuk mengasah intuisi dan prediksi kecenderungan inflasi nilai tukar rupiah terhadap dollar dan kecenderungan wirausaha tahun ini dengan memindahkan pion catur. Yang sebelumnya dipikirkan hingga 100 kemungkinan. Tapi karena otak hanya bermodal pentium II, prediksi langkah ke-10 macet alias ERROR. Sehingga kesimpulan siklusnya adalah hidup ini bagaikan roda. Kadang di atas, kadang di bawah. Hidup adalah bagaikan bermain catur, kadang kita berpion hitam, kadang berpion putih. Itu saja dari pagi hingga matahari bersembunyi di ufuk barat.


Markaz Firdaus, 24 Maret 2013 M
Pkl. 13.59 Wita
Membangkitkan Jiwa yang Lelah


[1] Alat Pengukur Gelombang Otak



ILMU, HIDUP DAN KEARIFAN

Wednesday 27 March 2013

Abu Fath el_Faatih


Hidup adalah pencarian. Pencarian tentang nilai, ilmu dan kearifan. Eksplorasi  menemukenali makna, arti dan tanggung jawab. Hidup adalah jalan yang tak pernah habis disusuri sebelum kertas-kertas waktu itu menggulung diri mereka dalam lipatannya sendiri.
Hidup, adalah pencarian. Menemukan sebuah kunci yang telah dipatahkan jauh sebelum manusia mengenal diri mereka sendiri. Menemukan mata uang kejujuran, yang terkadang ditolak di pasar yang timbangannya sudah berat sebelah. Atau mugkin dengan pedagang langsat, yang telah memutar baut, atau melonggarkan konstanta pegas neracanya. Hingga takaran  1 Kg berkurang, nyaris sepertiganya.
Hidup adalah meniti tangga-tangga kearifan. Waktu mengantar kita agar sampai di puncak kearifan itu, agar semakin mengenal siapa diri dan yang ada di atas diri kita. Kearifan yang membuat bapak guru tetap tenang, saat ia duduk di bangku yang telah dilumuri permen karet oleh bocah-bocah nakalnya.
Kearifan saat kehidupan mencari hakikat ketenangan. Dan ia selalu berlari, bahkan bersembunyi. Malu, tak ingin terlihat. Meskipun hati yang bening sebenarnya bisa melihatnya. Namun terkadang cahaya itu buyar karena debu angkuh dan kesombongan yang sudah melumurinya.  Kearifan itu mahal. Jauh lebih mahal dari sekedar ikan yang dijual keliling, atau bahkan penjual ikan beserta sepeda-sepedanya. Tapi jangan, karena boleh jadi, ada niat mereka yang jauh lebih hebat dibanding mobil yang berdasi. Boleh jadi ada kesungguhan yang lebih berkilau di dasar hati mereka, dibanding dengan kilauan cincin berlian dubai yang memeluk jari-jari para raja.
Mungkin mereka adalah hamba bagi rajanya yang bertahta di gedung bertingkat. Tapi mereka adalah raja bagi seluruh hasrat hina manusia. Mereka kecil, tapi kebesaran hatinya mengalahkan gedung yang mencakar langit karena kesederhanaannya di bumi. Pakaian mereka mereka remeh, tapi keringatnya adalah keringat yang tak kenal mengeluh berbalut tekad berbuat tanpa pamrih. Dan boleh jadi, para penguasa itu adalah raja bagi rakyatnya, tapi menjadi hamba-hamba uang, dan hasrat dan ambisi mereka sendiri. Mereka sebenarnya merdeka, namun tak bisa lari dari hewan-hewan liar bernama nafsu. Mereka diikat dari lehernya oleh tali yang menghubungkan ke leher hewan itu. Tak bisa lepas, dan setiap hari kemana binatang itu berlari, ia pun mengikutinya mengejar perut mereka sendiri.
Hidup adalah pencarian ilmu dan kebijaksanaan. Ia bisa berada di mana-mana. Mungkin di truk sampah, yang dengan ketulusan pemulung memilih dan memilah sampah organik dan non-organik untuk sekedar menyambung detak waktu perut mereka saat kosong keroncong. Meski tak pernah mendengar dan memahami program green and clean. Akan tetapi, ia menjadi sokoguru sanitasi lingkungan. Atau mungkin, kearifan itu ada bersama bocah pemulung yang telah tegang urat-urat leher dan betisnya mengayuh becak agar rodanya berotasi dan bertranslasi secara bersamaan, dengan momen gaya yang ditarik lewat energi kimia dalam tubuhnya. Becaknya berisi tumpukan berbau, dari popok, mie basi, rambut, hingga sarung kotor. Tubuhnya yang mungil membuat hampir seluruh jaringan ototnya bereaksi mengeluarkan 24 ATP yang dirubah menjadi menjadi energi setelah mengahasilkan atom karbon yang berikatan dengan sepasang atom oksigen dari hidungnya dalam daur katabolisme sel ototnya.
Atau mungkin kearifan itu, ada bersama tumpukan sampah itu. Dibungkus bersama dengan amarah dan keangkuhan ke tempat pembuangan akhir. Karena kadang mata kita tak awas lagi melihat kearifan. Neraca keadilan sepertinya telah bengkok karena tendensi kepentingan yang buta. Jangan lagi berbicara tentang kebaikan. Karena kebaikan itu, hanya dikhotbahkan di mimbar atau mungkin di altar gereja dan kuil, menurutnya. Pesan kearifan sudah terlalu berat meluncur di setiap lidah yang begitu licin mengumbar janji-janji palsu. Sepertinya ilmu dan kearifan itu sudah tidak mau bertemu kita. Atau mungkin ia sudah jenuh karena kebanyakan kita lebih banyak bermain. Sementara mereka harus ditemui dengan serius dan kerja keras.
Ilmu dan kearifan terkadang bersembunyi di balik sandal kita. Saat ia dipakai dengan doa dan bersamanya juga dilepas. Atau bisa saja ia berada di atas awan yang berarak melewati kita, dan jatuh menghantam bumi dalam butiran hujan yang menitipkan sebagian kesejukannya kepada tubuh. Setelah itu melompat kejalanan, ikut bersama dengan kaki-kaki para penjual kue, saat seluruh tubuhnya basah kuyup, namun kue-kuenya tetap ia lindungi. Karena dari situ ia bisa bertahan dalam kerasnya zaman.
********************
Hidup untuk mencari kedamaian. Namun seringkali menjadi keramaian. Meskipun seringkali kedamaian tidak berada di keramaian. Tanpa perlu tahu. Ikut dalam keramaian, berjalan di tangga lift, dan berthawaf mengelilingi lokus-lokus mall menjadi sebuah surga. Ya, “Surga Berbelanja”, seperti pernah saya pernah lihat tertulis di sana.
Kedamaian nyaris diganti oleh keramaian. Yang ramai, yang damai. Sementara saya masih bingung, bagaimana seseorang mendapatkan kedamaian jika membiarkan diafragma matanya dijejali cahaya yang membutakan nurani. Bagaimana, kedamaian itu singgah, jika telinga kita sibuk diributi oleh suara yang mengajak kaki berdansa, atau tangan dan kaki bergoyang ?. Itukah kedamaian ?. Entahlah.
 

Iklan Buku

Followers

Bincang-Bincang