Ismail Raji
Al-Faruqi menyatakan bahwa di abad ini, tidak ada kaum lain yang mengalami
kekalahan atau kehinaan seperti yang dialami kaum muslimin-kaum muslimin telah
dikalahkan, dibantai, dirampas, negeri dan kekayaannya, dirampas kehidupan dan
harapannya. Mereka telah ditipu dijajah, dan diperas ditarik melalui paksaan
atau penguasan ke dalam agama-agama lain dan mereka telah disekulerkan,
diwesternasasikan, dan dideis-lamisasikan oleh agen-agen musuh mereka di dalam
dan di luar dari diri mereka[1].
Krisis Identitas
selanjutnya melanda umat Islam dan ditukar dengan sikap taqiyah. Sikap
menyembunyikan identitas islamnya karena rasa takut. Kriris ini melanda
kebanyakan umat dan sangat terasa menonjol pada kalangan umat dan pemuka agama
islam baik yang berada di kalangan ultra dan suprastruktur maupun di kelompok
infrastruktur. Melemahnya orientasi sosial umat islam secara tidak sadar telah
memilah-milah pengertian islam yang kaffah (totalitas) ke dalam praktek hidup
bermasyarakat, Islam hanya dipandang dari segi ritual saja; di luar konsep lain
boleh-boleh saja diberlakukan kepada umat islam. Keadaan ini ternyata merasuk
ke daalam konsep sains dan teknologi yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga
pendidikan nasional[2].
Kemerosotan umat
zaman ini akibat ilmu pengetahuan. Wan Daud menyatakan ada tiga temuan ilmiah
terpenting di dunia Islam yang sagat berpotensi mempengaruhi perjalanan
kehidupan umat Islam secar mendalam dan menyeluruh abad ke-15 H, yaitu (1)
Problem ilmu pengetahuan. (2) Ilmu pengetahuan yang tidak bebas nilai. (3)
Perlunya Islamisasi Ilmu pengetahuan masa kini.[3]
Mengapa perlu
islamisasi ?. Hal tersebut dijawab oleh Osman Bakar, bahwa istilah atau term
islami adalah pendefenisian untuk membedakannya dengan Barat. Sehingga dapat
diperjelas perbedaan karakter antara sains modern dengan sains yang dihasilkan
oleh para filosof-saintis Muslim zaman dulu.[4]
Wacana tentang
hubungan antara sains dan agama dalam pandangan Islam pada dasarnya tidak
begitu relevan seandainya kaum muslimin sendiri memahami dengan benar pandangan
hidupnya. Diskusi dan wacana yang berkaitan hal tersebut bukanlah berasal dari
tradisi keilmuwan islam. Pertanyaan seperti, “Apakah agama sejalan dengan sains
?”, dan sebagainya merupakan pertanyaan yang timbul dari kebingungan yang
diimpor dari peradaban lain[5].
Penyakit
traumatis ini muncul dan terus mewabah di kalangan saintis muslim yang belum
memiliki framework yang jelas. Serta hidup dan dibesarkan oleh tradisi, dan
sistem keilmuwan kolonial (baca: Barat). Ketika memahami sains misalnya, ia
hanya dibatasi pada sains empirik (empirical science) yang berkutat pada
aspek teknis matematis[6].
Darisinilah pentingnya islamisasi Ilmu pengetahuan.
Untuk
melakukannya, haruslah dimulai dari penanaman pandangan alam (worldview)
Islam dalam pikiran seorang saintis muslim sebelum ia menerapkan konsep
islamisasi sains modern tersebut. Pandangan ini berupa konsep-konsep tentang
Tuhan, alam, ilmu, pendidikan, manusia, wahyu, Nabi, sistem nilai dan
lain-lain. Hasilnya adalah manusia yang baik, saintis yang baik serta aktivitas
apapun dikerjakan seorang saintis yang tertanam dalam dirinya pandangan alam
Islam. Aktivitas tersebut bisa berupa karya tulis, buku-buku, produk teknologi,
teori, dan pemikiran, konsep, metodologi, dan akhlaq dan adab dari saintis
tersebut.[7]
Islamisasi sains
dan saintis adalah dua hal yangt tidak bisa dipisahkan, sebab sains (‘ilm)
berada dalam diri dan pikiran seorang saintis, sedangkan yang di luar dirinya
adalah objek dari sains (‘alam atau ma’lum) bukan sains itu sendiri.
Objek islamisasi bukanlah kepada objek sains (‘alam) atau informasi,
fakta, dan data dalam buku (ma’lum), juga bukan kepada benda-benda
produk sains (teknologi), tetapi kepada konsep-konsep yang ada dalam diri
seorang saintis, yaitu sains itu sendiri. Konsep-konsep itulah yang menjadi
sasaran islamisasi. Bagaimana ia menafsirkan alam, bagaimana ia menempatkan dan
menyesuaikan konsep sains dalam hubungannya dengan worldview sebagai
seorang muslim.[8]
Al-Attas sendiri
menyatakan bahwa sains dalam makna praktis hanyalah alat. Sehingga banyak orang
yang gagal dalam memaknai islamisasi sains. Seseorang yang menjalankan
islamisasi, tidak perlu mengganti laboratorium, metode dan alat-alat yang
digunakan. Atau mungkin sekedar menyalakan mikroskop elektron dengan basmalah,
atau mungkin sampel dan alat-alatnya harus diperoleh dari produsen muslim.[9]
Oleh karena itu, bagaimanakah
sebenarnya model islamisasi sains ?. Sebab Ada yang menganggap Islamisasi hanya
sekedar pelabelan (justifikasi) temuan sains dengan dalil-dalil wahyu. Padahal al-Qur’an
bukanlah catatan kaki, dan bahan stempel kebenaran temua sains modern sekarang.[10] Karena
itu, sangat penting kiranya mengetahui bagaimana model islamisasi yang
ditawarkan para intelektual dan cendekiawan muslim. Insya Allah akan dijelaskan
berikut ini.
1.
Model
Instrumentalistik
Konsep Islamisasi Instrumentalistik menganggap ilmu atau sains sebagai
alat (instrumen). Bagi mereka, sains sekedar alat untuk mencapai tujuan, tidak memperdulikan
sifat dari sains itu sendiri. Saat Perancis menjajah Mesir, pada kurun waktu
akhir abad ke-18 atau awal abad ke-19 oleh Napoleon Bonaparte. Satu persatu
negeri muslim mengalami kekalahan. Ekspansi besar-besaran Dunia Barat atas
Islam didukung oleh teknologi dan kemiliteran. Beberapa pemimpin muslim
bertahan dan mencoba menggunakan sains dan teknologi untuk melawan kaum
penjajah. Diantaranya Muhammad Ali di Mesir, dan Sultan Salim di Turki. Mereka
mengirimkan pelajar-pelajar ke Eropa, mengembangkan teknologi militer,
menerjemahkan buku-buku dan memasukkan pengajaran ilmu pengetahuan dan
teknologi modern ke dalam kurikulum sekolah dan pengajar-pengajar Eropa.[11]
Hal ini diawali oleh kesadaran Jamaluddin al-Afghani (1838-1897). Menurut
Abidin Bagir, gagasan al-Afghani mengilhami Turki, Iran, Mesir, dan India.
Meskipun anti imperialis, ia mengangungkan pencapaian ilmu pengetahuan barat.
Ia tidak melihat adanya kontradiksi antara islam dan Barat. Bagi al-Afghani,
ilmu pengetahuan bisa dipisahkan dari ideologi Barat. Barat mampu menjajah,
karena memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi, sebab itu kaum muslimin harus
juga mampu menguasainya agar dapat melawan imperialisme. Disinilah muncul
embrio ‘instrumentalistik’ tersebut.[12]
Gagasan ini sangat berpengaruh, khususnya di dunia Arab dan Iran. Hingga
diteruskan oleh Muhmmad Abduh (1849-1905), dan muridnya Rasyid Ridha (1865-1935).
Dalam Kitab Rasyid Ridha, at-Tarbiyah wa at-Ta’lim, Bahwa diantara persoalan pendidikan yang
menimpa umat Islam sekarang ialah kurangnya perhatian pada pendidikan anak-anak
baik dari segi riset ilmiah dan penelitian maupun dalam tatanan praktis.[13]
Umat Islam pernah memiliki peradaban yang maju pada masa silam dan apa
yang terjadi di masa lalu dapat terjadi lagi sekarang. Peradaban Islam
diciptakan dari ketiadaan melalui Al-Qur`an dan perintah-perintah moral yang
terkandung di dalamnya. Peradaban tersebut dapat diciptakan kembali apabila
orang-orang Muslim kembali kepada Al-Qur`an. Tidak relevan mengatakan bahwa
peradaban modern bergantung pada kemajuan teknik dan peradaban Islam tidak
dapat bangkit lagi karena orang Muslim secara teknik ketinggalan. Keterampilan
teknis secara potensial adalah bersifat universal. Penguasaannya bergantung
pada kebiasaan moral dan prinsip intelektual tertentu. Jika orang-orang Muslim
memilikinya, mereka akan mudah meraih keterampilan teknis. Kebiasaan dan
prinsip semacam itu telah terkandung dalam Islam.[14]
Tokoh lain yang concern terhadap masalah sains dan teknologi
adalah Sir Sayyid Ahmad Khan (1817-1898). Ia adalah pemikir yang aktif
menyerukan ‘saintifikasi’ masyarakat muslim. Ia melihat, bahwa ilmu pengetahuan
memiliki kekuatan ‘pembebas’ dari unsur-unsur metafisik ke unsur-unsur yang
lebih rasional. Dan itulah yang terjadi di Barat. Ia mengajukan pemikiran yang
sama di dunia muslim. Bahwa Spirit Ilmu Pengetahuan wajib membebaskan Orang
Muslim dari keyakinan Supranatural –yang tak ilmiah- dari al-Qur’an. Namun, karena
terlalu berlebihan, agaknya ia justru menciptakan sebuah ‘teologi baru’.[15]
Di awal abad ke-20, lahir Muhammad Iqbal (1877-1938) yang menuliskan The
Reconstuction of Religious Thought in Islam yang diterbitkan Tahun 1930.
Dengan istilah ‘pembangunan kembali’, Iqbal menunjukkan kesesuaian agama islam
dengan ilmu pengetahuan. Aktvitas ilmuwan adalah ibadah. Karena itu dalam
tingkat tertentu, ilmu pengetahuan memiliki tujuan yang sama dengan agama,
yakni pencapaian ‘kenyataan sejati’.[16]
Benih islamisasi dimulai di masa ini, saat satu persatu negeri umat
islam mengalami kekalahan telak atas kolonialisme Barat. Meski dianggap Model
Instrumentalistik bukanlah model islamisasi sains, karena tidak menyentuh pada
struktur epistemologi, kesadaran akan kelemahan umat islam disebabkan
kemundurannya dalam ilmu pengetahuan sudah disadari. Selain karena
kehancuran research
centre (sarana
pengembangan ilmu pengetahuan) dan perpustakaan oleh serangan bangsa Mongol terhadap
Baghdad dan Spanyol, serta terbunuhnya banyak ilmuwan dalam perang tersebut, Umat islam juga dihinggapi pemikiran yang jumud, yakni hilangnya metode berpikir rasional. [17] Pemikiran
keagamaan larut dalam thariqah-thariqah shufiyyah yang menyimpang.
2.
Model Justifikasi
Model kedua ini paling diminati sebagian besar ilmuwan muslim. Bahkan, karya-karya
dalam bentuk buku, dan media audio visual banyak diproduksi dan disebarkan. Model
justifikasi juga adalah model yang paling mudah untuk diterima oleh orang awam.
Sebab, dalil-dalil qur’aniyyah lebih mudah langsung dirujukkan pada hasil
penemuan modern.
Tokoh yang kerapkali mengemukakan masalah kesesuaian ayat-ayat al-Qur’an
dengan penemuan ilmiah modern adalah Maurice Bucaille. Menurut dokter asal
Perancis ini, penemuan sains modern sesuai dengan petunjuk al-Qur’an. Sehingga ini
menjadi bukti bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Tuhan, bukan tulisan tangan Muhammad.
Caranya, adalah mengukur dan melakukan penyesuaian dengan fakta objektif dalam
sains modern. Pemikiran Bucaille ini berpengaruh ini pada Keith Moore,
Professor Anatomi dan Direktur Jurusan Anatomi, Fakultas Kedoteran di
Universitas Toronto yang menulis Highlights of Human Embryology in The Qoran
and Hadits (1982); kemudian buku Correlation Studies with Qur’an and
Hadith karangan ‘Abd Majid az-Zindhani, Dar al-Qiblah, Jeddah. Juga maulana
Wahiuddin Khan, God Arises; Evidence of God in Nature in Science (1991), Syamsul Haq yang menghubungkan teori
relativitas, mekanika kuantum dan teori big-bang, Suleyman Qush, Scientifis
Discoveries in Correlation to The Glorious Qur’an (1998), Ahmad ‘Abdul
Wahhab (1984), H.E. Mansour, A New Astronomic al-Qur’anic Model for The
Determination of The Greatest Speed, Kesepaduan Ilmu Sains; Perspektif Ahli
Fisika, Wisnu Arya Wardhana, Melacak Teori Einstein dalam al-Qur’an,
Mehdi Golshani, Issues in Islam and Science.
Ilmuwan yang paling banyak melakukan penyebaran Islamisasi Model ini
adalah Harun Yahya. Diantara karyanya adalah tentang ‘keajaiban’, diantaranya The
Green Miracle: Photosynthesis, The Miracle in the Cell, The Miracle in the Eye,
The Miracle in the Spider, The Miracle in the Gnat, The Miracle in the Ant, The
Miracle of the Immune System, The Miracle of Creation in Plants, The Miracle in
the Atom, The Miracle in the Honeybee, The Miracle of Seed, The Miracle of
Hormone, The Miracle of the Termite, The Miracle of the Human Body, The Miracle
of Man's Creation, The Miracle of Protein, The Miracle of Smell and Taste, The
Miracle of Microworld, The Secrets of DNA.
Salah satu penjelasan Harun Yahya dalam Model Islamisasi sains-nya,
adalah tentang Big-Bang. Menurutnya ada beberapa isyarat
Alquran yang menunjukkan teori big-bang tersebut daiantaranya, Pertama,
penciptaan alam semesta dari ketiadaan diungkapkan dalam Al Quran sebagai
berikut:
Dia pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia
mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia menciptakan segala
sesuatu dan Dia mengetahui segala sesuatu.(QS. Al An’aam, 6: 101)
Kedua, Alam sesmesta pada awalnya menempati ruang
yang volumenya sangat kecil, seperti diisyaratkan,
Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui
bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian
Kami pisahkan antara keduanya. Dan daripada air Kami jadikan segala sesuatu
yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?(QS. Al Anbiyaa’, 21: 30)
Terjemahan ayat di atas mengandung
pemilihan kata yang sangat penting dalam bahasa aslinya, bahasa Arab. Kata ratk
diterjemahkan sebagai “suatu yang padu” yang berarti “bercampur, bersatu” dalam
kamus bahasa Arab. Kata itu digunakan untuk merujuk dua zat berbeda yang
menjadi satu. Frasa “Kami pisahkan” diterjemahkan dari kata kerja bahasa Arab, fatk
yang mengandung makna bahwa sesuatu terjadi dengan memisahkan atau menghancurkan
struktur ratk. Tumbuhnya biji dari tanah adalah salah satu tindakan yang
menggunakan kata kerja ini.[18]
Menurutnya, dalam
ayat tersebut, langit dan bumi pada mulanya berstatus ratk. Mereka
dipisahkan (fatk) dengan satu muncul dari yang lainnya. Menariknya, para
ahli kosmologi berbicara tentang “telur kosmik” yang mengandung semua materi di
alam semesta sebelum Dentuman Besar. Dengan kata lain, semua langit dan bumi
terkandung dalam telur ini dalam kondisi ratk. Telur kosmik ini meledak
dengan dahsyat menyebabkan materinya menjadi fatk dan dalam proses itu
terciptalah struktur keseluruhan alam semesta.[19]
Ketiga, alam
semesta mengalami pengembangan seperti diungkapkan dalam Al-Quran sebagai
berikut:
Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan
(Kami) dan sesung-guhnya Kami benar-benar meluaskannya (QS. Adz-Dzaariyat, 51:
47)
Sehingga,
dari analisis seperti itu, Harun Yahya menyimpulkan bahwa
temuan-temuan ilmu alam modern mendukung kebenaran yang dinyatakan dalam Al
Quran dan bukan dogma materialis. Materialis boleh saja menyatakan bahwa semua
itu “kebetulan”, atau mungkin tercipta atas hukum-hukum yang menghendakin
penciptaan dirinya sendiri. Akan tetapi, fakta yang jelas adalah bahwa alam
semesta terjadi sebagai hasil penciptaan dari pihak Allah dan satu-satunya
pengetahuan yang benar tentang asal mula alam semesta ditemukan dalam firman
Allah.[20] Dalam bukunya, Dr. Zakir Naik juga bahwa The Qur’an
is not a book of Science but a book of ‘Signs’, i.e. Aayaats. There are more
than six thousand ‘Signs’ in the Qur’an of which more than a thousand deal with
hard core Science.[21]
Model justifikasi, adalah islamisasi dengan pembenaran melalui ayat
al-Qur’an dan Hadits. Meski islamisasi model ini sangat cukup gencar, tidak
sedikit juga yang yang mengkritiknya. Diantaranya adalah Ziauddin Sardar. Ia
menolak dengan anggapan bahwa islamisasi bukanlah ayatisasi. Walaupun kenyataannya bahwa, model ini lebih
mudah untuk diterima oleh masyarakat. (bersambung)
[1] Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi
Pengetahuan, Bandung, Pustaka, 1984, hlm. 1
[2] A. M. Saefuddin, Islamisasi..., hlm.
183
[3] Budi Handrianto, Islamisasi Sains,
Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2010, hlm. 120
[4] Budi Handrianto, Islamisasi Sains,
hlm. 123
[5] Usep Mohammad Ishaq, Menjadi
Saintis Muslim, hlm. 1
[6] Usep Mohammad Ishaq, Menjadi
Saintis Muslim, hlm. 1
[7] Usep Mohammad Ishaq, Menjadi
Saintis Muslim, hlm. 139
[8] Usep Mohammad Ishaq, Menjadi
Saintis Muslim, hlm. 139
[9] Usep Mohammad Ishaq, Menjadi
Saintis Muslim, hlm. 142
[10] Usep Mohammad Ishaq, Menjadi Saintis
Muslim, hlm. 146
[11] Budi Handrianto, Islamisasi Sains,
hlm. 123
[12] Budi Handrianto, Islamisasi Sains,
hlm. 123
[13] Muhammad Rasyid Ridha, al-Tarbiyah
wa al-Ta’lîm, Aligarh: Maktabah Ahmadiah), hlm. 21-22, hlm. 26
[14] Albert Hourani, Pemikiran Liberal
di Dunia Arab, Mizan: Bandung, 2004, cet. 1, hlm. 366-367
[15] Zainal Abidin Bagir dalam Budi
Handrianto, Islamisasi Sains, hlm. 164
[16] Zainal Abidin Bagir dalam Budi
Handrianto, Islamisasi Sains, hlm. 164-165
[17] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Pradana Media Grup,
2007, hlm. 233 - 234
[18] Harun Yahya, Penciptaan Alam Raya,
Bandung: Dzikra, 2003, hlm. 21
[19] Harun Yahya, Penciptaan ...,
hlm. 21
[20] Harun Yahya, Penciptaan ...,
hlm. 22
[21] Zakir Naik, Al-Qur’an and Modern
Science, Islamic Research Foundation, tt., hlm. 5
No comments:
Post a Comment