“Semua agama benar, semua agama sama,
karena sama-sama mengajarkan kebaikan.”
“Tuhan semua agama pada hakikatnya
adalah sama, jalan untuk menempuhnya saja yang berbeda.”
“Orang-orang dengan agamanya masing-masing,
semua akan masuk syurga yang penting mereka berbuat baik.”
Munculnya
ungkapan di atas, bersamaan dengan kemunculan berbagai aliran kepercayaan
seperti Lia Eden, Isa Bugis, Ahmadiyah, Liberalisme, Sekulerisme, Pluralisme,
Komunisme, dan lain-lain sebenarnya disebabkan oleh persoalan epistemologis. Perbedaan
landasan keyakinan akan sumber kebenaran. Bukan hal yang mudah, sebab banyak
yang mengikuti dan mengklaim benar paham-paham yang keliru disebabkan
ketidaktahuannya terhadap sumber pengetahuan. Paham-paham yang keliru seperti wacana
di atas, akan menurunkan argumen-argumen yang lahir dari kerangka epistemologis
mereka.
Satu
hal –agaknya- pernah terjadi di zaman Yunani kuno. Spekulasi filosofis tentang alam
semesta dan masyarakat membuat krisis di masa Yunani. Bahkan pertarungan
pemikiran antara kaum sofis tentang kebenaran sendiri adalah bukti krisis ilmu
pada saat itu. Pasalnya, tidak diketahuinya sumber ilmu pengetahuan yang tepat
untuk menjustifikasi realitas dan kebenaran (Truth and Reality).
Periode
sejarah modern pada masa Renaisans memiliki perbedaan yang amat menonjol
jika dibandingkan dengan periode Abad Pertengahan. Pertama, berkurangnya
otoritas gereja dan meningkatnya otoritas ilmu. Kedua, kekuasaan gereja yang
semula begitu luas, baik mengatur urusan agama maupun negara mulai berkurang
dan digantikan fungsinya oleh raja. Ketiga, pada abad pertengahan dikenal
istilah theoretical science, yaitu usaha untuk memahami dunia, maka pada
masa modern dikenal dengan istilah Practical Science, yaitu usaha untuk
mengubah dunia. Keempat, pada abad pertengahan kekeliruan menerima hukuman,
maka pada masa otoritas ilmu penolakan memahami dunia atau terhadap penemuan
suatu teori tidak akan menerima hukuman. Kelima, pembebasan dari otoritas
gereja menyebabkan tumbuhnya individualisme bahkan cenderung anarkis.[1]
Karena
itu menjadi penting bagi kita untuk mengetahui dari mana, dan bagaimana kita
mengambil ilmu pengetahuan. Louis Kattsoff menjelaskan epistemologi adalah
cabang filsafat yang menyelidiki asal mula, susunan, metode-metode dan sahnya
pengetahuan. Pertanyaan yang mendasar ialah: Apakah mengetahui itu? Apakah yang
merupakan asal mula pengetahuan kita? Bagaimanakah cara kita membedakan antara
pengetahuan dengan pendapat (opini) ? Apakah yang merupakan bentuk pengetahuan
itu? Corak- corak pengetahuan apakah yang ada? Bagaimanakah cara kita
memperoleh pengetahuan? Apakah kebenaran dan kesesatan itu? Apakah kesalahan
itu?.
Adnin Armas menjelaskan Epistemologi,
yang berasal dari bahasa Yunani kuno, (έπιστεήε) yang
bermakna pengetahuan dan (λογος) yang artinya kata, logika, akal,
diskursus, teori. Epistemologi berarti diskursus ataupun
teori mengenai ilmu. Dalam epistemologi, akan dibahas misalnya,
mengenai proses atau cara mendapat ilmu, sumber
sumber ilmu dan klasifikasi ilmu, teori tentang
kebenaran, dan halhal
lain yang terkait dengan filsafat ilmu.[2]
Menjawab
satu persatu pertanyaan itu membutuhkan waktu yang tidak singkat. Oleh karena
itu, dalam pembahasan ini kita akan memperjelas tentang kerangka epistemologi
islam. - Dikhususkan pada sumber-sumber kebenaran. - Sebab, Islam sebagai tidak
lahir hanya sebagai keyakinan tanpa dasar. Disebarkan tanpa argumentasi
kebenaran yang kokoh. Islam memiliki konstruksi keyakinan yang berpadu dengan
sumber keyakinan dari awal diturunkannya. Apa yang ulama dan cendikiawan muslim
lakukan setelahnya adalah upaya untuk memperkokoh bangunan tersebut.
Bangunan
seperti apa itu ?. Mari kita simak.
Mengetahui Bukan Mustahil
Bagaimana
kita mencari jawaban yang benar? Masalah ini, oleh kajian filsafat disebut
epistemolog, dan landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah. Dengan kata
lain, metode ilmiah adalah cara yang dilakukan itu dalam menyusun pengetahuan
yang oleh filsafat ilmu disebut teori kebenaran. [3]
Karena Objek Ilmu berbeda memiliki safat dasar, karakter, dan status ontologis
yang berbeda, maka metode ilmiah, setidaknya dalam epistemologi islam, juga
beragam sesuai objek-objeknya. Dalam Epistemologi islam, dikenal metode observasi
atau eksperimen (tajirbiyah) untuk objek-objek fisik, metode logis (burhani)
untuk objek-objek non-fisik, dan metode intutif (irfani) untuk objek-objek
non-fisik dengan cara yang lebih langsung.[4]
Sebelum
manusia mengenal filsafat, Islam sebenarnya telah memperkenalkan konsep
epistemologi. Dr. Nirwan Syafrin menyebutkan bahwa “Jika epistemologi dimaknai
sebagai teori ilmu yang membahas tentang pengertian ilmu, objek ilmu, sumber
ilmu, klasifikasi ilmu, tingkat kebenaran ilmu serta cara berpikir yang logis,
al-Qur’an, jauh sebelum umat Islam bersentuhan dengan peradaban lain, sejak
awal turunnya sudah berbicara tentang epistemologi.”[5].
Dalam QS. Al-‘Alaq: 1-5 telah dijelaskan,
ٱقۡرَأۡ
بِٱسۡمِ رَبِّكَ ٱلَّذِي خَلَقَ ١ خَلَقَ ٱلۡإِنسَٰنَ
مِنۡ عَلَقٍ ٢ ٱقۡرَأۡ وَرَبُّكَ ٱلۡأَكۡرَمُ
٣ ٱلَّذِي عَلَّمَ بِٱلۡقَلَمِ ٤ عَلَّمَ ٱلۡإِنسَٰنَ
مَا لَمۡ يَعۡلَمۡ ٥
1. Bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, 2. Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah, 3. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, 4. Yang mengajar
(manusia) dengan perantaraan qalam, 5. Dia mengajar kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya.
Ibnu Katsir dalam Tafsirnya menjelaskan ayat
ini, “Maka Allah mengangkat dan memuliakannya dengan ilmu. Inilah jabatan yang
hanya diberikan Allah kepada bapak manusia, Adam A.s. sehingga membedakannya
dengan malaikat. Dan, ilmu terkadang ada dalam benak. Kadang-kadang dengan
lidah. Kadang-kadang bisa pula berada dalam tulisan dan bersifat mentalistik
dan formalistik. Kata formalistik memastikan ilmu berada dalam tulisan, namun
tidak sebaliknya. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya,
ditegaskan dalam sebuah atsar,
قيدوا العلم بالكتابة
Ikatlah
ilmu dengan tulisan.
Dan
diterangkan pula,
من عمل بما علم ورثه الله العم ما لم يكن يعلم
Barangsiapa yang mengamalkan apa yang
telah ia ketahui, maka Allah akan mewariskan kepadanya sesuatu yang tidak dia
ketahui sebelumnya. [6]
Ayat
di atas berkaitan dari mana sumber ilmu itu. Bahwa manusia hakikatnya tidak
mengetahui apa-apa. Karena itu, ia diberi perangkat untuk mengetahui. Dari
perangkat pengetahuan, lahir metode dan media. Karena itu, Ibnu Khaldun
mengklasifikasikan ilmu pengetahuan dalam dunia Islam menjadi dua bagian
diantaranya philosophical sciences and
intellectual sciences (Ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan masalah
filsafat dan intelegensi) dan transmitted
sciences (ilmu pengetahuan agama). Menurut hasil konferensi Dunia I di
Mekah tentang pendidikan Islam, ilmu pengetahuan dibagai menjadi dua yaitu ilmu
yang berdasarkan wahyu berupa ilmu kalam, tasawuf, falsafah, fiqh. Yang
selanjutnya adalah ilmu pengetahuan yang dicari. Ilmu ini terbagi menjadi dua,
yaitu ilmu yang bersifat kemanusiaan, diantaranya sosiologi, psikologi,
antropologi, ekonomi, dan sejarah. Yang kedua adalah ilmu fisikal seperti
matematika, biologi, fisika, kimia.[7]
Semua
yang kita ketahui pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua: (1) ada yang
masih atau hanya berupa ide atau konsep misalnya, konsep tentang ‘orang’,
‘binatang’, ‘batu’ dan lain-lain), dan (2) ada yang sudah berbentuk kalimat,
pernyataan atau ungkapan contohnya, kalimat “tiada Tuhan melainkan Allah”,
“setiap yang hidup, termasuk saya, pasti akan mati”, “air laut asin”, dan
sebagainya. Mengetahui secara konseptual disebut tashawwur, yang dengannya Anda
bisa mengidentifikasi apakah objek yang melintas di depan mata itu manusia atau
binatang, terlepas dari pelbagai ciri-ciri atau atribut yang ada padanya maupun
kategori-kategori (maqūlāt) lainnya. Sebab, apapun warna kulitnya, walau
bagaimanapun keadaannya, tak peduli dimana serta kapan pun, yang dinamakan
‘manusia’ ya tetap manusia juga, tetap bisa dibedakan dari binatang, batu, pohon,
dan objek-objek lainnya.[8]
Lantas
pertanyaan yang muncul kemudian adalah: Bagaimana cara, dengan apa atau dari
mana perkara-perkara tersebut diatas bisa diketahui dan dipastikan? Jawabnya
melalui tiga sumber, yaitu persepsi indera (idrāk al-hawāss), proses
akal sehat (ta’aqqul) serta intuisi hati (qalb), dan melalui
informasi yang benar (khabar shādiq).[9]
Sebagaimana disinyalir didalam al- Qur’an:
an-Nahl 78, (Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati,
agar kamu bersyukur); Qāf 37 (Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan
pendengarannya serta menyaksikannya); al-A rāf 179 (Dan sesungguhnya Kami
jadikan mayoritas jin dan manusia untuk [isi neraka] Jahannam, [karena] mereka
mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami [pesan-pesan
Tuhan], mereka mempunyai mata, namun tidak dipergunakannya untuk melihat, dan
mereka mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakannya untuk mendengar. Mereka
itu sama dengan binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah
orang-orang yang lengah-lalai); al-Hajj 46 (Apakah mereka tidak berjalan di
muka bumi, serta mempunyai hati yang dengannya mereka dapat memahami, atau
mempunyai telinga yang dengannya dapat mendengar? Memang sesungguhnya bukanlah
mata itu yang buta, tetapi telah buta hati yang ada di dalam dada); Āli
Imrān 138 (Ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta
pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa); dan al-Mā’idah 15 (Sesungguhnya
telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang memberi penjelasan).[10]
Persepsi
inderawi meliputi yang lima (indera pendengar, pelihat, perasa, penyium,
penyentuh), plus indera keenam yang disebut al-hiss al-musytarak atau sensus
communis, yang menyertakan daya ingatan atau memori (dzākirah), daya
penggambaran (khayāl) atau imajinasi dan daya estimasi (wahm). Proses
akal mencakup nalar (nazhar) dan alur pikir (fikr)
Dengan nalar dan alur pikir ini Anda bisa
berartikulasi, menyusun proposisi, menyatakan pendapat, berargumentasi,
melakukan analogi, membuat putusan dan menarik kesimpulan. Selanjutnya, dengan
intuisi kalbu seseorang dapat menangkap pesan-pesan ghaib, isyarat-isyarat
ilahi, menerima ilham, fath, kasyf dan sebagainya. Sumber lain yang tak
kalah pentingnya adalah khabar shādiq, yang berasal dari dan bersandar
pada otoritas.
Secara umum, khabar
dalam arti ‘berita, informasi, cerita, riwayat, pernyataan, ucapan’ dan
sebagainya dapat diklasifikasikan sebagai berikut. Pertama, berdasarkan nilai
kebenarannya, yaitu khabar sadiq, dan khabar kadhib.
Berdasarkan pembagian ini, khabar dipilah menjadi tiga jenis: (1) al-maqtu
di-iqdihi (yang sudah pasti benar), yaitu khabar mutawatir dan pengetahuan ‘a priori’ (awwaliyat),
maupun diyakini dan dinyatakan bena (isi serta sumbernya) setelah diteliti,
diuji dan dibuktikan secara ilmiah. (2) al-Maqtu di Kidhbihi (yang sudah
pasti salah/dusta/keliru), baik yang diketahui salahnya salahnya secara
langsung, maupun secara pembuktian. (3) ma la yuqta’ bi sidqihi wa kidhbihi
(yang tidak dapat dipastikan benar atau salahnya), yaitu khabar dan sumber yang tidak diketahui sama sekali
asal-usulnya atau tidak jelas sumbernya, termasuk di sini, khabar yang
mengandung kemungkinan benar, namun belum pasti benar maupun mengandung
kemungkinan dusta/palsu/salah[11].
Berita yang benar
(khabar shadiq) terbagi menjadi dua jenis. Berita yang dibawa oleh orang
banyak yang memustahilkan terjadinya kebohongan (khabar mutawatir) dan
berita yang disampaikan oleh Rasulullah saw. Otoritas pada jenis yang
pertama—yang memasukkan kesepakatan ulama, ilmuwan, dan orang-orang
terpelajar—dapat dipertanyakan dengan metode-metode rasional dan eksperimen.
Namun, otoritas jenis kedua adalah mutlak. Hal ini karena, sebagaimana terdapat
tingkatan pada rasio dan pengalaman, dalam otoritas pun terdapat tingkatan. Dalam
keyakinan muslim, otoritas tertinggi adalah Al-Quran dan Sunnah Nabi saw, yang
mencakup pribadinya. Dalam pengertian bahwa ototritas kedua bukan hanya
menjelaskan kebenaran, tapi keduanya adalah kebenaran itu sendiri yang
merupakan representasi otoritas berdasar tingkatan tertinggi intelektualitas,
pencerapan spiritual dan pengalaman transendental, sehingga keduanya tidak bisa
direduksi pada tingkatan rasio dan pengalaman normal manusia[12].
Adapun Imam
an-Nashafi menjelaskan bahwa yang termasuk khabar shadiq ada dua. Khabar
mutawatir, yaitu informasi yang tidak diragukan lagi karena berasal dan
banyak sumber yang tidak mungkin bersekongkol untuk berdusta, dan oleh karena
itu merupakan sumber ilmu yang pasti kebenarannya. Kedua, informasi yang dibawa
dan disampaikan oleh para rasul yang diperkuat dengan mukjizat. Informasi
melalui jalur ini bersifat istidlali dalam arti baru bisa diterima dan
diyakini kebenarannya jika telah diteliti dan dibuktikan terlebih dahulu
statusnya[13].
Akan tetapi,
tidak semua khabar bisa dianggap sebagai mutawatir. Khabar yang
diangkat sampai pada derajat mutawatir djelaskan oleh para ulama harus melalui
beberapa syarat. Pertama, para narasumbernya harus betul-betul mengetahui apa
yang mereka katakan, sampaikan atau laporkan. Jadi, tidak boleh dan tidak cukup
jika sekedar menduga-duga atau mereka-reka, apa lagi meraba-raba. Kedua, mereka
harus mengetahuinya secara pasti dalam arti pernah melihat, menyaksikan,
mengalami, atau mendengarnya secara langsung tanpa disertai ilusi, distorsi,
dan semacamnya. Ketiga, jumlah narasumbernya harus cukup banyak sehingga tidak
mungkin kekeliruan atau kesalahan akan dibiarkan tanpa koreksi[14].
Oleh
karena itu, manusia, dengan segala macam kemampuan yang dimilikinya pada
hakikatnya dapat mengetahuai ‘ilm dan mengenal (ma’rifah),
memilih (ikhtiyar), memilah (tafriq), membedakan (tamyiz)
manilai dan menentukan hukum. Mana yang benar dan mana yang salah, yang haq dan
yang bathil, yang betul dan yang keliru (Shawab wal Khatha’) yang
sehat dan yang sakit (as-salim wa as-saqim)m yang sejati dan yang palsu
(as-shadiq wa al-kadzib) yang baik dan yang buruk (al-khayr wa
as-syarr), yang baik dan yang busuk (at-thayyib wa al-khabitsi),
yang bagus dan yang jelek (al-hasanah wa as-sayyi’ah), yang makruf dan
yang mungkar, yang berguna dan berbahaya (ma yanfa’ wa maa yadurr), yang
membawa kebaikan dan yang membawa bahaya (al-muslih wa al-mufsid).
Sebagaimana juga dapat diketahui, dimengerti, dan dibedakan apa yang dimaksud
iman dan kufur, petunjuk dan kesesatan (huda wa ad-dalal), jalan yang
lurus dan jalan yang menyimpang (sabil al-rusyd wa as-sabil al-ghayy),
keadilan dan kezaliman, cahaya dan gelap (an-nur wa az-zulumat),
kepatuhan dan kedurhakaan (at-tha’ah wa al-isyaan), ketakwaan dan
kefasikan, keberuntungan dan kerugian (al-falah wa al-khusran) dan lain
sebagainya.[15]
Imam
an-Nasafi menyebutkan,
قال النسفى: ”حقائق الأشياء ثابتة و العلم بها متحقق خلافا للسوفسطائية
)عمدة عقيدة أهل السنة و الجماعة، 1(
Hakikat sesuatu/esensi segala sesuatu
itu tetap (tidak berubah-ubah) dan oleh sebab itu bisa diketahui dengan jelas.
Hal
ini berbeda dengan golongan anti ilmu. Dalam Filsafat dikenal Aliran Sofisme,
yang dalam Bahasa Arab disebut, Sufasta’iyyah. Yaitu pemikiran yang tidak
mengakui adanya kebenaran mutlak dan universal. Semua hal adalah relatif, dan
perdebatan hanya berputar pada tafsir dan pemahaman antar-subjek, bukan pada
hakikat. Aliran ini terbagi menjadi tiga jenis.
Pertama,
Sufasta’iyyah
‘Indiyah,
yaitu paham relativitas yang mengajarkan bahwa kebenaran itu benar menurut
individu. Tidak ada kebenaran universal yang bersifat mutlak. Ujung-ujungnya,
penganut paham ini, jika ia sudah terpojokkan akan mengatakan “itu kan menurut
kamu, itu benar menurut kamu, sedangkan menurut saya salah”. Orang-orang berpaham
seperti ini akan sangat sulit untuk
menjustifikasi sesuatu ketika ia dimintai pendapatnya.[16]
Dalam
konteks beragama. Kita tentu bisa menjustifikasi kebenaran berdasarkan pemilik
kebenaran, (Al-Haqqu mir-Rabbikum, Kebenaran itu dari Tuhanmu). Sehingga
dengan nalar sederhana, Nabi Isa As. tidak mungkin disalib dan diselamatkan
(diangkat ke langit) secara bersamaan. TIdak mungkin Tuhan itu adalah Allah dan
Dewa Zeus pada saat yang bersamaan.
Logika yang benar adalah, pasti salah satu dari pendapat itu ada yang benar dan
yang lainnya salah. Karena tidak mungkin kedua hal itu berlaku benar secara
bersama-sama.
Kedua,
Sufasta’iyyah Laa Adriyyah, yaitu paham relatif yang menyatakan bahwa
kebenaran itu tidak diketahui oleh manusia. Manusia itu bodoh terhadap
kebenaran, tuhanlah yang mengetahui kebenaran. Manusia hanya mencari kebenaran,
dan tidak akan dapat sampai pada kebenaran. Ulama mengibaratkan orang yang
berpaham seperti ini dengan “orang yang sedang mendorong batu besar ke puncak
gunung. Setelah di atas, ia pun menggelendingkan batu itu ke bawah. Kemudian ia
kembali mendorongnya naik, sesampai di atas, ia kembali menggelindingkan batu
itu ke bawah.” Begitu seterusnya. Kesimpulannya, manusia hidup dalam pencarian
kebenaran, dan tidak akan sampai pada kebenaran yang hakiki. Menurut paham ini,
Kebenaran itu berlaku bagi tuhan yang tak terbatas, dan tidak berlaku bagi
manusia karena mereka terbatas. Jawaban yang sebenarnya adalah kebenaran itu
berlaku bagi manusia. Benar menurut manusia dalam keterbatasannya. Tuhan
menciptakan kebenaran bagi manusia yang
berlaku bagi keterbatasannya, karena tidak mungkin tuhan menciptakan kebenaran
bagi manusia dalam skala ke-tidak-terbatas-an, Karena tidak mungkin manusia
sama dengan tuhan.
Ketiga,
Sufasta’iyyah ‘Inadiyyah, yaitu
satu paham relatif yang mengedepankan sifat skeptis atau bebal. Paham ini
sangat keras kepala dalam menyikapi kebenaran. Ulama mengibaratkan, orang-orang
yang berpemahaman ini, dengan dua orang
yang tengah berjalan di sebuah padang pasir. Seketika itu, mereka melihat
sesuatu yang hitam di kejauhan. Orang pertama mengatakan bahwa, “yang hitam itu
adalah kambing hitam”, yang kedua menyebutnya “burung hitam”. Setelah tidak
begitu dekat, terlihat benda hitam itu terbang. Orang kedua mengatakan “Oh… saya
yang benar, itu burung hitam kan…?.” Akan tetapi, orang pertama mengatakan
bahwa “Tidak, itu tetap kambing hitam.” Orang seperti ini tidak mau menerima
hujjah. Sekali pun argumen itu demikian jelas, namun karena ke-bebalan-nya,
mereka tetap berpegang teguh pada pendapatnya, sekalipun sudah demikian jelas
bukti dan penjelasan.
Ketiga
aliran pemikiran ini, menjelaskan bahwa puncak dari ilmu adalah tidak tahu.
Sehingga orang yang palling berilmu adalah orang hang sudah sampai pada
pemahaman, bahwa tidak ada satu pun kebenaran yang bisa diperpegangi. Padahal
dalam islam, Menjawab, “Wallohu a’lam” dan ucapan bahwa “saya tidak tahu”
adalah seperdua ilmu. Bukan puncak dari ilmu. Dan dalam islam pun jelas, bahwa
orang bisa sampai pada kebenaran yang sifatnya mutlak dan universal. Bukan
dalam pencarian, bukan pula kebenaran bernilai berbeda-beda (Wallohu a’lam bi
as-Shawab).
[1]
Lihat Bertrand Russel dalam Rodliyah Khuza’i, Dialog Epistemologi Mohammad
Iqbal dan Charles S. Peirce, Bandung: PT. Refika Aditama, 2007, hlm. 20
[2]
Adnin Armas, Konsep Ilmu dalam Islam, (Makalah, disampaikan
dalam Serial Seminar INSISTS yang diadakan
di Gedung Gema Insani, Depok, 29 September
2007/17 Ramadhan 1428 H).
[3]
A.Chozin Nasuha, Epistemologi Ushul Fiqh, Jurnal Al-Risalah, (Volume 12
Nomor 1 Mei 2012), hlm. 64
[4]
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan; Pengantar Epistemologi Islam,
Mizan: Bandung, 2003, hlm. 52
[5]
Nirwan Syafrin, Konstruk Epistemologi Islam, (file ppt)
[6]
Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah; Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir,
Jilid 4, Cet. Ke-14, Jakarta: GIP, 2009, hlm. 1011.
[7] Lihat Hasan Langgulung,
Asas-Asas Pendidikan Islam dalam Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006, hlm.
260 -261.
[8]
Syamsuddin Arif, Prinsip-Prinsip Dasar Epistemologi Ilmu, dalam Adian
Husaini, et.all, Filsafat Ilmu, Jakarta: Depok, 2013, hlm.
111-112
[9]
Lihat Sa’aduddin al-Taftazani dalam Syamsuddin Arif, Prinsip-Prinsip Dasar
Epistemologi Ilmu, hlm. 114
[10] Syamsuddin Arif, Prinsip-prinsip Dasar
Epistemologi Islam, hlm. 114-115
[11]
Syamsuddin Arif, Prinsip-prinsip Dasar Epistemologi Islam, hlm. 117
[12]Diakses
dari
http://robbani.wordpress.com/2008/11/17/tentang-sumber-sumber-pengetahuan-antara-barat-dan-islam/ pada tanggal 16 Oktober 2014, pukul 21.36 WIB
[13]
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta: GIP,
2008, hlm. 208
[14]
Syamsuddin Arif, Prinsip-Prinsip Dasar Epistemologi Ilmu, hlm. 118
[15]
Syamsuddin Arif, Prinsip-Prinsip Dasar Epistemologi Ilmu, hlm. 111-112
[16]
Penjelasan Gamblang dapat ditemui di Buku Muhammad Thalib, Melacak Kekafiran
Berfikir, Yogyakarta: Uswah, 2007. (Kita harus
mengetahui apa itu berbeda, berlainan dan berlawanan. Berbeda adalah
sifat atau substansi yang pada waktu dan tempat yang sama bisa melekat pada
satu objek. Misalnya, guru dan murid. Ciri-ciri murid dan guru sudah jelas
membedakan, namun pada saat yang sama, bisa saja seorang menjadi guru sekaligus
murid. Misalnya si-A yang merupakan seorang mahasiswa pascasarjana, dan
sekaligus sebagai seorang guru di satu sekolah. Ini bisa dipahami dengan nalar
sederhana. Adapun berlawanan, sifatnya adalah tidak dapat berlaku atau
bernilai benar pada saat yang sama. Misalnya mati-hidup, sehat-sakit,
jauh-dekat dan sejenisnya. Dua variabel ini tidak akan menetap pada satu objek
yang sama dan dalam waktu yang sama. Seseorang tidak akan bisa mati sekaligus
hidup, sehat sekaligus sakit dan seterusnya. Berlainan adalah konsep
dimana dua hal tidak berlawanan, namun tidak dapat melekat pada diri seseorang
secara bersamaan, misalnya hewan ada yang berkaki dua atau empat, tetapi tidak
dapat berkaki dua dan empat sekaligus. Dengan demikian, sesuatu akan berlaku
universal ketika kita tidak merubah sudut pandang dalam menetapkan sesuatu.
Sehingga ada kebenaran mutlak untuk setiap sesuatunya. Ia akan bernilai relatif
ketika setiap pertanyaan yang berbeda, kita menjawabnya dengan satu landasan
yang berbeda. Bahkan jika seseorang pun mengatakan bahwa semua adalah relatif,
maka ia tetap yakin bahwa pendapatnya-lah yang benar.)
No comments:
Post a Comment