Advanced studies - di Perguruan Tinggi - sebagai kelanjutan dari kajian dasar-dasar ilmu mengarah pada diferensiasi. Kajian tersebut selalu melihat objek material dari ilmu tersebut secara komprehensif. Dalam astronomi, misalnya. Kita akan melihat planet, bintang dan benda-benda angkasa lain sebagai sebuah anggota dari sistem alam semesta.
Karena fokus pendalaman kajiannya adalah alam semesta, maka teori-teori, serta pendekatan yang dibangun akan mengabaikan variabel-variabel yang memiliki pengaruh yang kecil. Penelitian tentang astronomi akan melihat bintang dan planet-planet sebagai partikel alam semseta. Sehingga material, letak, serta sifat benda-benda angkasa akan cenderung diabaikan, karena tidak banyak berpengaruh. Begitu pula dalam kajian sosiologi. Karena fokus pengkajiannya adalah masyarakat, maka variabel-variabel tentang psiologi, fisik dan gen akan diabaikan pada diri individu. Variabel yang diamati diangkat pada episentrum yang lebih luas seperti budaya, adat, psikologi massa dan lain-lain.
Demikian
halnya dalam mengkaji peradaban. Kajiannya lebih komprehensif dan cenderung
menggunakan variabel filsafat, sejarah, tradisi ilmu dan politik sebagai
pendekatan kajian. Sebab aspek peradaban lebih banyak dipengaruhi oleh
faktor-faktor tadi. Jadi, ketika kita membahas peradaban islam dan barat, maka
lingkup pembahasan kita adalah peradaban yang di dalamnya ada warisan sejarah,
filsafat, politik dan agama dan budaya antar masing-masing peradaban.
Ada
satu hal yang menarik. Sebab saat ini, kebanyakan ilmu yang diajarkan di
institusi-institusi pendidikan hanya menyediakan ilmu modern (‘ulum
al-mu’aashirah) sebagai produk hasil peradaban barat yang siap pakai.
Teori, Hukum, Hipotesa, dan Postulat diajarkan secara rigid dan sistematis,
dilepaskan dari filosofi ilmu tersebut. Teori Darwin, Teori Big Bang, Sosilogi
Comte, Psiko-analisis Freud, Teori Tata Negara Rosseau dan Montesque serta ilmu
yang lahir dari filsafat materialisme-sekuler yang lain diajarkan dengan
pandangan bebas nilai. Kurikulum, metode serta madda (substansi) dari
ilmu tersebut mengalir dalam urat nadi pendidikan. Dan justru, metodologi
seperti itu seakan meniru tradisi ilmiah barat yang diarahkan pada
kajian-kajian empirik. Mata kuliah Filsafat Ilmu, justru hanya menjadi mata
kuliah pilihan, dengan alasan beban kurikulum Jurusan masih sangat banyak.
Padahal, bagi mahasiswa perguruan tinggi sepantasnya bukan hanya diajarkan
tentang rumus, teori, dan hukum akan tetapi jauh lebih penting dari itu adalah
filosofi dari rumus, teori, dan hukum tersebut. Mahasiswa bukan hanya diajari
pada bagaimana menyelesaikan pembuktian teori melalui eksperimen laboratorium
dan observasi lapangan, tapi jauh lebih penting adalah mereka memahami hakikat
ilmu itu sendiri.[1]
Sebab, ilmu berbeda dengan teori. Ilmu mengandung makna yang lebih luas. Ilmu
berisi tentang prinsip-prinsip hidup yang tidak tercantum dalam kurikulum
Perguruan Tinggi.[2]
Kajian
ilmu di perguruan tinggi kehilangan pandangan komprehensif dan integral dalam
memandang persoalan. Sementara berbagai permasalahan sosial justru hanya bisa
diatasi dengan pendekatan integralistik, atau musltidisipliner. Kajian yang
terspesifikasi menghilangkan paradigma ilmu sebagai inspirasi kehidupan itu
sendiri. Dampaknya, banyak sarjana yang tidak mengetahui bagaimana ia
mengembangkan dan mengasah ilmu di masyarakat. Teori-teori justru menghambatnya
mengeksiskan diri dalam masyarakat karena apa yang mereka pelajari tidak lebih
dari 20% yang diulang kembali di dunia nyata. Teori-teori dalam nalar idealis
sangat berbeda dengan implementasi lapangan.
Di
luar dari itu semua, perlu didiskusikan. Sebab dalam monograf Prof. Wan Daud,
disebutkan akan adanya indikasi kolonisasi gaya Baru oleh Barat di zaman
kontemporer. Jika dulu kolonisasi melalui Penguasaan Pasar (Ekonomi) dan
Pendudukan (Politik), zaman sekarang wacana kolonisasi berkembang ke arah Kolonisasi
Ilmu. Kolonisasi yang dilakukan dengan penguasaan Universitas, dan stagnasi
‘reduksi epistemologi’ keilmuwan di ranah institusi pendidikan. Ilmu yang
menjadi problem tetap dipertahankan. Dan ilmu yang justru menjadi Fardhu
‘Ain dijungkirbalikkan statusnya menjadi urusan
pribadi, bukan kewajiban di ranah publik. Fenomena yang kita kenal dengan
sekulerisasi ilmu.
Dampak dari
sekularisasi ilmu pada tataran epistemologis adalah rusaknya konsep dan hirarki
ilmu. Ilmu alam disamakan derajatnya dengan ilmu aqidah. Ilmu patung disamakan
derajatnya dengan ilmu tafsir. Ilmu ekonomi riba diangkat setara dengan ilmu
syariah. Ilmu Seni mengalahkan ilmu akhlak. Dan ilmu logika mengalahkan adab.
Dan penyamarataan itu, berlangsung hampir diseluruh institusi pendidikan di
negeri muslim.[3]
Untuk
itu, sepertinya penting menurut penulis untuk mencoba mengurai kembali benang
kusut epistemologi ilmu sekuler. Setidaknya, meski belum dikaji dengan
pendekatan filsafat, kita masih bisa mencoba dengan pendekatan sejarah. Kali
ini kita akan bahas dari mana asal-usul ilmu. Serta bagaimana ilmu mengalami
transmigrasi dari satu puncak peradaban ke puncak peradaban yang lain. Selamat
membaca!.
Kelahiran Ilmu dan
Peradaban
Kelahiran
ilmu adalah bahan kajian yang tidak pernah habis dalam wacana intelektual.
Sebab ilmu telah lahir bersama dengan kelahiran manusia pertama. Nah, yang
menjadi problem adalah siapa dan kapan manusia pertama muncul ?.
Dalam
pendekatan keilmuwan Barat (bercorak Eropa-sentris) yang digunakan untuk
mengetahui kelahiran ilmu, maka menurut sejarah kita akan merujuk kepada
Peradaban paling awal di dunia, yaitu Peradaban antara dua Sungai (Tigris dan
Eufrat), Mesopotamia. Marvin Perry menyebutkan peradaban paling pertama muncul
kira-kira 5.000 tahun yang lalu di timur dekat (Mesopotamia dan Mesir) dan
kemudian di Asia Timur (India dan Cina). Dalam bahasan bab-bab sejarah akan
ditemukan Peradaban Sungai yang lain, yaitu Peradaban Sungai Indus (India) dan
Sungai Nil (Mesi Kuno) dan Sungai Kuning. Pada masa ini, ilmu pengetahuan telah
lahir, karena manusia mengenal tulisan. Masyarakat ‘beradab’ memiliki
pemerintahan terorganisir, terdapat hukum dan batas-batas negara. Pada skala
yang lebih jauh, para warga kota membanung gedung-gedung dan monumen-monumen,
terlibat perdagangan, dan menggunakan pekerja yang terspesialisasi untuk proyek
berbeda mereka.[4]
Perlu
untuk dicatat, bahwa dalam ilmu pengetahuan modern pendekatan pada objek kajian
ilmu telah lepas dari kerangka agama. Pengkaji dianggap sebagai orang yang
murni mencari ‘ilmu’ tanpa memiliki sudut pandang dan latar belakang budaya
yang mempengaruhi hasil kesimpulannya. Dampak dari hal ini adalah, Agama dan
Tuhan menjadi objek kajian yang masuk dalam kerangka penelitian mereka.[5]
Sehingga,
kesimpulan-kesimpulan yang lahir akan mengarah kepada pernyataan yang netral
agama. Hal itu terlihat dari pernyataan-pernyataan Positivisme Comte, bahwa
masyarakat bergerak dari arah mistisme ke sainstisme. Ciri masyarakat modern
adalah sains menggantikan posisi agama dan keyakinan tradisional. Padahal, kita
bisa melihat bagaimana sebenarnya agama telah lahir bersama dengan manusia. Bahkan
agama lahir mendahului pengetahuan manusia tentang sains. Para arkeolog sepakat
bahwa keberadaan agama mendahului revolusi pertanian. Itu sebabnya, dengan pendekatan
Biologis-Evolusionis, kelahiran manusia dianggap dimulai dari manusia hominid
(sejenis kera).
Dalam
epistemologi islam, ilmu yang merupakan sifat dari manusia itu sendiri,
meniscayakan keberadaan ilmu sudah bersama dengan manusia sejak manusia pertama
diciptakan. Para ahli dari berbagai displin ilmu telah banyak mengkaji tentang
sejarah awal manusia yang masih spekulatif, sementara al-Qur’an sudah
memberikan penjelasan yang terang tentang ilmu yang pertama kali diketahui oleh
manusia. Dalam QS. Al-Baqarah: 31,
Dan Dia mengajarkan kepada Adam
nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para
Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika
kamu mamang benar orang-orang yang benar!"
Tamim
Anshary menulis sebuah buku, “Dari Puncak Baghdad”. Sebuah buku yang cukup
tepat untuk mencoba mengungkap tumpukan nalar sejarah terhadap sejarah
peradaban dunia. Bukunya mencoba menayangkan cikal-bakal lahirnya dua peradaban
dunia. Barat dan Islam. Dari penjelasannya, terungkap bahwa dalam sejarah,
tradisi ilmiah pertama kali selalu ditayangkan dimulai dari tradisi Kelahiran
Peradaban (Mesopotamia dan Mesir), berlanjut ke Zaman Klasik (Yunani dan Roma),
Zaman Kegelapan (kebangkitan Gereja), Renaisans, Pencerahan (Enlightment),
hingga kemenangan negara Kapitalisme Demokratik.[6]
[1]
Lihat: SMN. al-Attas, The Concept of Education in Islam, Kuala Lumpur:
ISTAC, 1999, hlm. 27 (The Teaching and
Learning of the Human, natural and applied sciences alone does not constitute
education in the sense we are clarifying. There is ‘something’ in knowledge
which if not inculcated will not makes its teaching and learning an
assimilation an education). Lebih lanjut
menurutnya, sesuatu yang penting ditanamkan adalah tujuan dan alasan dari
proses pencarian ilmu (Thalabul ‘Ilm)
menurut al-Attas adalah tujuan menuntut ilmu itu sendiri. (It is knowledge of the purpose of seeking it.)
[3] Disini kita bisa menekankan penting
islamisasi Ilmu Pengetahuan. Islamisasi adalah proses untuk membangun kembali konstruk dan
hirarki ilmu dalam derajat dan maqom-nya yang benar. Ilmu yang paling
tinggi, adalah ilmu tentang Allah, Ibn Qayyim menyebutkan dalam al-Fawa’id, kemuliaan suatu disiplin
ilmu bergantung pada kemjliaan objeknya dan kadar kebutuhan manusia terhadap
objek tersebut. Ilmu yang seperti itu tidak lain adalah ilmu tentang Allah
beserta cabang-cabangnya. Dan Bencana ilmu adalah jika suatu disiplin ilmu tidak
sesuai dengan kehendak Allah dalam masalah agama, yaitu kehendak yang dicintai
dan diridhai-Nya. (Lihat: Ibn
Qayyim, Fawaid al-Fawa’id, Jakarta:
Pustaka Imam Syafi’i, 2013, hlm. 353)
[4] Marvin Perry, Peradaban Barat; dari
Zaman Kuno sampai zaman Pencerahan, Bantul: Kreasi Wacana, cet. Ke-2, 2014,
hlm. 9
[5]
Saat peradaban berkembang menuju bentuk yang lebih kompleks, demikian pula yang
terjadi pada agama, dan bentuk terawal dari ragamnya
tampak dimulai pada periode tersebut. Benda-benda alam seperti Matahari, Bulan,
Bumi, langit, dan laut kerap didewakan. Ruangan suci didirikan, dan
berkembang menjadi pembangunan kuil,
lengkap dengan hierarki kependetaan dan jabatan lainnya yang kompleks. Tipikal
zaman Neolitik adalah kecenderungan untuk memuja dewa-dewi antropomorfis.
Berdasarkan ekskavasi di kompleks kuil Göbekli Tepe ("Bukit
Perut Gendut") di Turki Selatan yang berdiri sejak 11.500
tahun yang lalu, para arkeolog berpikir bahwa keberadaan agama mendahului Revolusi Pertanian daripada
muncul setelah revolusi itu dimulai, sebagaimana diasumsikan pada umumnya.
Bangsa Mesir merupakan
salah satu bangsa tertua yang memiliki religi dan menganut tradisi politeisme.
Dewa Mesir yang utama di antaranya: Ra, Osiris, Horus,
dan Anubis.
Salah satu kitab tertua bangsa Mesir Kuno, sekaligus teks keagamaan kuno yang
masih lestari adalah Teks Piramida,
koleksi teks yang dibuat sekitar tahun 2400–2300 SM. Pada periode Kerajaan Pertengahan Mesir,
tepatnya pada pemerintahan Akhenaten (sekitar
1350 SM), bangsa Mesir menganut tradisi pemujaan satu dewa yang disebut Aten;
tradisi itu dikenal sebagai Atenisme. Sebelumnya
Aten dikenal sebagai aspek dari Ra,
Dewa Matahari; catatan terkuno mengenai Aten ditemukan dalam Kisah Sinuhe dari
periode Dinasti kedua belas Mesir. Aten
menjadi dewa yang dipuja secara eksklusif pada masa pemerintahan Akhenaten.
Setelah pemerintahannya berakhir, bangsa Mesir beralih kembali kepada tradisi politeisme mereka.
Di Mesopotamia,
para raja dianggap sebagai tangan kanan Tuhan (teokrasi)
sehingga mereka berperan sebagai pemimpin politik sekaligus spiritual. Di
sebelah barat Mesopotamia, meliputi Kanaan,
merupakan tempat tinggal bagi berbagai bangsa kuno, seperti Fenisia, Het, Filistin, Aram,
dan Yahudi. Mereka menyembah berbagai dewa-dewi,
yang terkemuka di antaranya: Asyera, Asytoret,
dan Baal.
Selain itu, setiap suku memuja dewa tersendiri yang merupakan pelindung bagi
sukunya. Kepercayaan Yahudi yang
monoteistik antara abad ke-6 dan ke-5 SM,
menetapkan konsep monoteisme, kenabian,
dan hukum Tuhan. Kepercayaan bangsa Yahudi merupakan konsep yang baru sama
sekali pada masa itu, tidak seperti bangsa di sekeliling mereka yang mewujudkan
pujaan dalam bentuk patung-patung. Di sini penulis tidak sepakat tentang
ungkapan bahwa Teologi Yahudi dipengaruhi oleh mitologi Mesopotamia
mempengaruhi pembentukan kepercayaan Yahudi (penciptaan Adam dan air bah). Sebab Yahudi dalam
sejarah pertama kali kemunculannya merupakan agama wahyu.
Di Asia Timur,
manusia mulai menyadari harmonisasi alam, menghormati para leluhur yang
mewariskan kesejahteraan pada mereka, dan mulai memahami hakikat dirinya. Hal
itu memicu kemunculan berbagai filsafat, di antaranya adalah Taoisme dan Konfusianisme.
No comments:
Post a Comment