Melalui
tulisan – tulisan sebelumnya, Syaria’ti hendak mengajak pembaca bahwa rezim
yang ada sekarang adalah rezim yang tak ubahnya seperti kaisar – kaisar Eropa
pada abad pertengahan yang hidup bergelimang kemewahan di atas kesengsaraan
rakyat. Parahnya lagi para agamawan berlindung dan mendukung kebijakan –
kebijakan rezim dengan menggunakan ayat – ayat suci untuk melindungi kekuasaan
yang korup dan zalim saat itu.
Ini
adalah pertentangan besar dalam diri seorang Syaria’ti. Sebab ia lahir dan
tumbuh di kalangan masyarakat bawah. Ia melihat dan merasakan secara jelas,
bagaimana kesengsaraan rakyat terjadi karena kezaliman rezim.
Di
bagian inilah...
Syaria’ti ingin bercerita. Bahwa yang bisa menyelesaikan
ketidakadilan itu adalah hanya para ideolog. Dimana secara kebudayaan Iran,
telah mewarisi syiahisme. Sebuah identitas yang tidak bisa dipisahkan dari
wilayah serta sejarah dan kebudayaan kerajaan Persia yang telah diruntuhkan
oleh Islam. Iran menunjukkan diri sebagai sebuah republik islam. Dimana
islamnya adalah Syiah. Dan islam syiah adalah identitas yang khas yang
merupakan pilihan kebudayaan masyarakat. Inilah yang ia sebut dengan ideologi
itu. Ideologi Islam. Tetapi agama islam tidak sampai di situ. Agama Islam yang
ter-ideologi-sasi dalam sebuah penerimaan secara sadar dan tanpa paksaan.
Dia-lah islam Syiah. Islam Syiah yang terideologisasi, tepatnya.
Pada
bagian ini pula, Syaria’ti mengkritik hasil peradaban barat. Salah satunya
adalah konsep ilmu secara epistemologis. Dimana ia mengkritik konsep ilmu barat
yang mengangungkan netralitas ilmiah. Netralitas yang menurutnya menjadikan
ilmu untuk ilmu, sastra untuk sastra dan seni untuk seni.[1]
Ilmu menjadi jauh dari masyarakat. Serta berkembang dan terpisah dari kebutuhan
masyarakat.
Barat
berhasil memisahkan ilmu dengan ideologi. Sehingga netralitas ilmiah
menyebabkan jenius – jenius , fisikawan – fisikawan, psikolog – psikolog
menjadi budak sewaan dan tentara kapitalisme diktator dunia.[2]
Dengan demikian kita melihat, jurnal – jurnal serta seminar – seminar yang ada
tidak punya dampak sosial yang signifikan. Ia hanya menjadi ajang pertunjukan
yang lepas dari realitas sosial yang ada. Di bagian ini Syaria’ti mengkritik keras sains
yang diasuh di bawah rahim kapitalisme.
Sehingga
kritikannya kepada Barat dan Kapitalisme berujung pada sebuah kesimpulan bahwa untuk
merubah itu semua diperlukan lahirnya kaum yang ia istilahkan dengan Rausyhan Fikr. Kalangan intelektual.
Kelompok yang Tercerahkan. Yang dalam bahasa Jalaluddin Rakhmat, Ulil Albab. Bahwa
ideologi itu harus dibawa oleh kelompok ini. Mereka itulah yang disebut oleh Syaria’ti
sebagai kalangan Nabi dan Rasul serta penerus mereka yang setia menjalankan kerja
Nabi dan Rasul. Syariati menyebut mereka hadir di tengah masyarakat datang
untuk membantu orang – orang tertindas dan lemah. Mereka bukan seniman, filsuf,
ilmuwan atau penulis. Menurut Syaria’ti mereka lah Rausyhan Fikr itu. Aktivis –
aktivis pembaharu yang turun ke jalan menyuarakan hak – hak rakyat dan menuntut
keadilan kepada penguasa.
Para
Nabi ini menurut Syaria’ti seperti bunga api yang dipijarkan dari dari percikan
batu. Menyadarkan pikiran yang tumpul, memacu getar hidup dan darah pada urat –
urat orang yang lembam.
Hanya
saja, di titik ini, Syaria’ti melihat ideologi Rausyhan Fikr itu lahir dari
penderitaan rakyat, rasa sakit dan kemelaratan. Ideologi itu adalah
representasi dari rakyat jelata. Ideologi yang tumbuh dari orang yang Ummi[3].
Ideologi yang tidak lahir dari kalangan terpelajar, sarjana atau pun akademisi.
Menurut saya, apa yang diungkapkan oleh Syaria’ti pada bagian ini menunjukkan
bahwa ideologi islam lahir dari tragedi dan pertentangan. Persis seperti Marx
menumbuhkan ideologinya. Ideologi Syaria’ti adalah Ideologi Islam revolusioner.
Islam Kiri yang mengadopsi (dan tercemari) pemikiran sosialis ala Marxis. Menurut
saya, islam adalah islam. Dan ideologi islam tidak lahir dari tragedi. Islam
lahir bukan untuk membebaskan kemiskinan dan ketimpangan sosial. Islam datang
sebagai rahmah. Karena itupula cara – cara yang ditempuhnya juga cara – cara
rahmah. Islam mampu mengakomodasi konsep – konsep ilmu di luar wilayah
kelahiran islam secara adaptasi, bukan adopsi. Islam punya cara sendiri dalam
mengubah dan men-tajdid masyarakat. Misi islam adalah misi tauhid yang murni
sebagaimana tercermin dalam ungkapan Rib’i Bin Amir. Liyukhrijannas min ibadatil ibaad, ila ibaadati rabbil ibaad. Sehingga
islam tidak mengenal revolusi berdarah, sebagaimana yang dilakukan oleh
pengusung ideologis sosialis – komunis. Dalam Tajdid islam mengenal jalan washathiyah.
Konsep adil, pertengahan dan tawazun. Islam bisa mengakomodir sistem
pemerintahan yang ada, bagaimana pun bentuknya. Selama sistem itu tidak
bertentangan dengan hukum – hukum syariat dan masih menjaga Maqashidu as-Syariah. Karena itu, revolusi yang dilakukan oleh Rasulullan
SAW adalah revolusi dalam kerangka
dan panduan wahyu serta para ahli ilmu. Ud’u
ila sabiili rabbika bil hikmah, walmauizhatil hasanah, wajaadil hum billatiya
hiya ahsan. Itulah yang dilakukan oleh para Nabi dan Rasul serta kalangan
ulama – ulama ahlussunnah. Gerakan islam lahir bukan karena tragedi. Apalagi
tragedi berdarah. Sebagaima cerita kematian Husain di karbala. Maupun peristiwa
tragis penyaliban Yesus oleh Bani Israil. Ideologi Islam lahir karena degradasi
aqidah, kemunduran pemikiran, serta kerusakan akhlak sehingga manusia berada lebih
rendah di bawah binatang. Akal dan nuraninya telah lepas dan mengalami disorientasi dari fitrah
yang sebenarnya. Inilah tujuan tajdid dalam islam.
Pada
bagian keempat, yang berjudul ‘Nestapa Kaum Tertindas’, Syari’ati menulis
curahan pikirannya dalam kalimat – kalimat pendek dan padat. Ia mentafakkuri
bagaimana nestapa dan nelangsa-nya kalangan budak – budak Fir’aun. Ia bercerita
tentang pengalamannya mengunjungi Mesir dan melihat kemegahan Piramida-Piramida
raksasa. Sebuah bangunan yang maha dahsyat di zamannya.
Syari’ati
tidak seperti orang awam yang sekedar terpana melihat kemegahan tiga Piramida
itu. Tetapi ia berpikir siapa yang bekerja membangun piramida sebesar itu.
Berapa buruh kasar, dan berapa berat buruh itu dipekerjaan untuk menyelesaikan
proyek raksasa itu.
Setelah
diberitahu, bahwa dari untuk membangun enam Piramida besar dan tiga lainnya
yang kecil dibutuhkan untuk memindahkan sekitar 800 juta bongkahan batu yang
diangkut dari Aswan ke Kairo. Jarak dari Aswan ke Kairo berjarak 80 mil. Di
dalam perjalanan itu, ada bongkahan – bongkahan yang tercecer, yang tidak lain
adalah bongkahan yang tidak sampai ke pusat pembangunan Piramida itu. Sang
pandu wisata mengatakan bahwa budak – budak yang mengangkut beban – beban itu banyak
yang tertimpa oleh angkutannya dan mati di tengah jalan. Sebuah sistem
perbudakan yang luar biasa dahsyatnya, menurut Syari’ati.
Sebuah
makam seorang raja, mesti dibangun di atas tumpukan – tumpukan jasad para hamba
– hamba sahaya dan buruhnya. Bekerja luar biasa beratnya. Mengangkut beban –
beban yang berat untuk mengikuti titah sang raja. Dari narasi itu, Syari’ati
mendekati nalar pembaca, memanggil para pemerhati yang peduli kepada kalangan
jelata yang telah beribu – ribu tahun diperbudak. Lalu, siapa yang akan
membebaskan budak – budak itu ?. Zoroaster, Kong Hu Cu, Budha ?. Syari’ati
menyebut mereka sebagai orang yang akan menyelematkan kaum budak, namun mereka
semua menurut Syari’ati menghianati kaum budak. Mereka semua tenggelam dan
larut dan justru mengajak manusia larut ke dalam kepertepaan, dan ‘terbang’
menuju nirwana. Sementara “cambukan”, “keluhan”, serta “lecet-lecet” yang
menjadi bekas – bekas cambukan di atas punggung para budak tidak ada yang
mempedulikan.
Kemudian
pilihan itu ia jatuhkan pada Muhammad SAW, serta diteruskan oleh keluarganya,
Ali bin Abi Thalib. Ali-lah yang mengorbankan hidupnya untuk keadilan dan
membebaskan para budak dari perbudakan itu. Dalam bukunya, Syaria’ti menuliskan
“Kutemukan seseorang yang bekerja bagai seluruh dunia. Ialah manusia keadilan.
Orang yang sedemikian kuat dan berdisiplin sehingga menjadikan kakaknya sebagai
garapan pertama. Dialah orang yang bersitrikan puteri Muhammad SAW> bekerja
dan menderita kebangkrutan dan kelaparan selama hidupnya sebagaimana kita.
Kutemukan seseraong yang anak – anaknya merupakan pewaris bendera merah yang
sepanjang sejarah menjadi milik kelas kita”[4].
Kemudian
ia kembali menulis “Sobatku, orang – orang yang tetap setiap pada Ali adalah
anggota dalam kelompok kita yang menderita. Ia menyampaikan khutbah-khutbah ...
bukan untuk memberikan pemaafan bagi penindasan – penindasan yang ditimpakan
atas kita; tidak pula bagi ekses-ekses para pengejar kekuasaan. Semuanya itu
disampaikannya untuk mendidik dan menyelamatkan kita. Ia tidak menghunus
pedangnya untuk mempertahankan dirinya, keluarganya, rasnya, tidak pula
kekuasannya. Dia melakukannya untuk menyelamatkan kita semua...”[5]
Inilah
madzhab pemikiran yang diajarkan Syari’ati. Syiah Ali. Sebuah pemikiran yang
telah merangsang dan menggerakkan manusia – manusia di Iran untuk melawan dan
menggulingkan rezim Shah Pahlevi. Apakah ideologi itu cocok dikembangkan di
Indonesia ?. Mari kita kaji bersama. Wallohu a’lam bi as-Shawab.
Salam kunjungan dan follow ya :D
ReplyDelete