1.
Sakralisasi
Model sakralisasi sains memandang bahwa sains modern bernilai sekuler
dan jauh dari nilai-nilai spiritualitas, sehingga harus diarahkan pada sains
yang mempunyai nilai sakral. Ide ini dikembangkan oleh Sayyed Husain Nasr, dan
dikembangkan oleh muridnya, Osman Bakar.
Beliau lahir tahun 1933 dan merupakan
intelektual asal Iran yang menghasilkan lebih banyak waktunya di Amerika
Serikat. S1 jurusan Matematika di MIT, Magister of Science dalam Geologi di
Harvard University, 1956. Doktor Sejarah Sains Islam dalam memilih kosmologi sebagai
studi desertasinya.[1]
Sayyed Hossein Nasr |
Inti gagasan Nasr dapat diringkas, (1)
Pandangan sekular tentang alam semesta yang melihat tidak ada jejak Tuhan di
dalam keteraturan alam. Alam bukan lagi sebagai ayat-ayat Alah tetapi entitas
yang berdiri sendiri. (2) Alam yang digambarkan secara mekanistis bagaikan
mesin dan jam. Alam menjadi sesuatu yang
bisa ditentukan dan diprediksikan secara mutlak-yang menggiring kepada
munculnya masyarakat industri modern dan kapitalisme. (3) Rasionalisme dan
empirisisme. (4) Warisan dualisme Descartes yang mengandaikan sebelumnya
pemisahan antara subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui. (5)
Eksploitasi alam sebagai sumber kekuatan dan dominasi.
Nasr mengajukan istilah sakralisasi ilmu
pengetahuan dunia modern saat ini. Ia menuangkan idenya dalam Science and
Civilization in Islam (1964), Islamic Science: An Illustrated Study
(1976), Knowledge and The Sacred (1981). Menurutnya, desakralisasi
bermula pada periode renaissance, ketika rasio mulai dipisahkan dari
iman. Pemisahan tersebut terjadi akhirnya studi agama pun didekati dengan pendekatan sekular. Visi
yang menyatukan ilmu pengetahuan dan iman, agama dan sains, dan teologi dan semua
segi kepedulian intelektual telah hilang dalam ilmu pengetahuan Barat modern.
Nasr Mengajukan Sains Sakral, sebagai solusi sekularisasi ilmu. Menurutnya,
iman tidak terpisah dari ilmu dan intelek tidak terpisah dari iman (credo ut
intelligent et intelligo ut credam). Hanya saja, sains sakral yang
digagasnya karena termanifestasi oleh Filsafat Perenialisme, ternyata tidak
sesuai dengan spirit keunikan dan kebenaran islam.[2] Ia juga menegaskan bahwa sains sakral bukan hanya
milik Hindhu, Budha, Confucious, Taoisme, Majusi, Yahudi, Kristen dan Filsafat
Yunani Klasik.[3]
2.
Integrasi
Model berikutnya
yang dikembangkan dalam islamisasi sains adalah Integrasi. Inti model ini
adalah ‘pemaduan’ antara sains barat dan ilmu-ilmu islam. Ide ini pertama kali
dicetuskan oleh Ismail Raji al-Faruqi.[4]
Ismail Raji al-Faruqi
yang lebih masyhur dengan nama Al-Faruqi lahir pada tanggal 1 januari 1921 di
Jaffa, Palestina. Ayahnya seorang Qhadi di Palestina. Pendidikan dasarnya
diawali di College Des Ferese, Libanon yang menggunakan bahasa prancis
sebagai bahasa pengantarnya. Pada tahun 1952 ia meraih gelar Ph.D. dari
Universitas Indian dengan disertasi tentang Pembenahan Tuhan: Metafisika dan
Epistimologi Nilai. Al-Faruqi mulai mengajar di Mc.Gill University Kanada pada
tahun 1959. Tahun 1961-1963 ia pindah ke Karachi Pakistan untuk ikut bagian
dalam kegiatan Centeral Intitute For Islame Researh dan jurnalnya Islamic
Studies. Di antara karya-karyanya berupa buku adalah Islam and The Problem
of Israel, 1980; Trialogue of the Abrahamic Faiths, 1982; Islamization
of Knowledge. 1982; Tawhid: Its Implications For Thought And Life.
1985; The Cultural Atlas of Islam. 1986 dan banyak lagi[5].
Ismail al-Faruqi |
Ismail Raji
al-Faruqi, dalam karya mashyurnya; Islamization of Knowledge: General
Principles and Workplan, diterjemahkan ‘Islamisasi Pengetahuan’,
menjelaskan pengertian Islamisasi Ilmu sebagai usaha untuk memberikan defenisi
baru, mengatur data, memikirkan lagi jalan pemikiran dan menghubungkan
data-data, mengevaluasi kembali kesimpulan-kesimpulan, memproyeksikan kembali
tujuan-tujuan dan melakukan semua itu sedemikian rupa sehingga
disiplin-disiplin itu memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat bagi cause (cita-cita)
islam.[6]
Dari sudut
metodologi, al-Faruqi mengemukakan ide islamisasi ilmunya bersandarkan “prinsip
tauhid”. Yang menurut padangannya, metodologi tradisional tidak mampu memikul
tugas ini karena beberapa kelemahan. Pertama, meneyempitkan konsep utama
seperti fiqh, faqih dan mujtahid. Kedua, kaidah tradisional ini memisahkan
pemikiran dan tindakan. Ketiga, Kaidah ini membuka ruang untuk dualisme sekular
dan agama. Sehinga berdasarkan analisisnya, Ia mengajukan lima prinsip
kesatuan. (1) Kesatuan tuhan, (2) Kesatuan ciptaan, (3) Kesatuan Kebenaran dan
Pengetahuan (4) Kesatuan Kehidupan dan (5) Kesatuan Kemanusiaan.[7]
Buku al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan |
Selain itu,
Al-Faruqi juga menetapkan setidaknya terdapat 12 langkah yang perlu dilalui
untuk mencapai tujuan mulia di atas, langkah-langkah yang dimaksud adalah, (1)
penguasaan disiplin modern yang meliputi prinsip, metodologi, masalah, tema,
dan perkembangannya; (2) peninjauan disiplin; (3) penguasaan ilmu warisan
Islam: ontologi; (4) penguasaan ilmu warisan Islam dari sisi analisis; (5)
penentuan relevansi Islam yang tertentu kepada suatu disiplin; (6) penilaian
secara kritis disiplin modern untuk memperjelas kedudukan disiplin terhadap
langkah yang harus diambil untuk menjadikannya bersifat islami; (7) penilaian
secara kritis ilmu warisan Islam, seperti pemahaman terhadap Alquran dan
sunnah, perlu analisis dan kajian terhadap kesalaha-pahaman; (8) kajian dan
penelitian masalah utama umat Islam; (9) kajian tentang masalah utama yang
membelit manusia sejagad; (10) melahirkan analisis dan sintesis yang kreatif;
(11) pengacuan kembali disiplin dalam kerangka Islam, seperti kitab-kitab utama
teks dalam universitas; dan (12) harus memasar dan mensosialisasikan ilmu-ilmu
yang sudah di-Islamkan.[8]
Menurut
AI-Faruqi sendiri Islamisasi ilmu pengetahuan berarti mengislamkan ilmu
pengetahuan moderen dengan cara menyusun dan membangun ulang sains sastra, dan
sains-sains pasti alam dengan memberikan dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten
dengan Islam. Setiap disiplin harus dituangkan kembali sehingga mewujudkan
prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, dalam strateginya, dalam apa yang
dikatakan sebagai data-datanya, dan problem-problemnya. Seluruh disiplin harus
dituangkan kembali sehingga mengungkapkan relevensi Islam sepanjang ketiga
sumbu Tauhid yaitu, kesatuan pengetahuan, hidup dan kesatuan sejarah. Hingga sejauh
ini kategori-kategori metodologi Islam yaitu ketunggalan umat manusia,
ketunggalan umat manusia dan penciptaan alam semesta kepada manusia dan
ketundukan manusia kepada Tuhan, harus mengganti kategori-kategori Barat dengan
menentukan presepsi dan susunan realita[9].
Konsep integrasi inilah
yang banyak dikembangkan oleh para ilmuwan melalui lembaga IIIT (International
Institute of Islamic Thought) atau Institut Internasional Pemikiran Islam.
IIIT adalah lembaga pribadi, non-profit, akademik, budaya dan pendidikan,
berkaitan dengan isu-isu umum pemikiran Islam dan pendidikan. Lembaga ini
didirikan di Amerika Serikat di 1981 (1401 H). Ini adalah independen dari
politik lokal, orientasi partai dan bias ideologis.[10]
Markas besar
Institut terletak di Herndon, Virginia, di pinggiran kota Washington DC. IIIT
telah menjalin kerja sama dengan sejumlah lembaga dan organisasi di sejumlah
ibukota di seluruh dunia untuk melaksanakan kegiatan dan program Institut. IIIT
keudian menjadi forum intelektual yang bekerja pada isu-isu pendidikan,
akademik dan sosial dari perspektif Islam untuk mempromosikan dan mendukung
proyek-proyek penelitian, mengatur pertemuan intelektual dan budaya,
mempublikasikan karya ilmiah, dan terlibat dalam pengajaran dan pelatihan. IIIT
berusaha membentuk tren intelektual yang berbeda dalam pemikiran Islam yang
berkaitan dengan warisan hidup dari umat (bangsa Muslim) dan upaya
terus-menerus reformasi intelektual dan metodologis, terutama di bidang
pendidikan, pengetahuan klasik dan ilmu sosial. Ini melibatkan sejumlah besar
peneliti dan sarjana dari berbagai belahan dunia. Secara umum, lembaga yang
didirikan al-Faruqi ini didedikasikan untuk kebangkitan dan reformasi pemikiran
Islam dan metodologi keilmuwan. Lembaga ini juga mempromosikan penelitian
akademis tentang metodologi dan filosofi berbagai disiplin ilmu, dan memberikan
penekanan khusus pada pengembangan keilmuan Islam dalam ilmu sosial
kontemporer. Upaya program untuk menjelaskan konsep-konsep Islam yang
mengintegrasikan Islam mengungkapkan pengetahuan dengan pengetahuan manusia dan
menghidupkan pengetahuan etika dan moral Islam, melalui pendidikan, pengajaran
dan dukungan dari penelitian ilmiah.[11]
3.
Paradigma
Ide islamisasi
ilmu memang sulit dipisahkan dari sosok Syed Muhammad Naquib al-Attas. Beliau
menggagas teori islamisasi ilmu pada tahun 1969, dalam sebuah buku yang
berjudul Preliminary Statement on a General Theory of The Islamization of
The Malay-Indonesia Archipelago[12].
Menurut al-Attas,
ilmu pengetahuan modern diproyeksikan melalui pandangan hidup itu dibangun di
atas visi intelek memproyeksikan pandangan hidup sekuler dan psikologis dan
peradaban Barat. Menurutnya, ada lima
faktor yang menjiwai peradaban Barat[13].
(1) Akal diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia. (2) Bersikap dualistik
terhadap realitas dan kebenaran. (3) Menegaskan aspek eksistensi yang
memproyeksikan pandangan hisup sekuler. (4) Membela doktrin humanisme. (5)
Menjadikan drama, dan tragedi yang dominan yang berada dalam fitrah dan kita
dominan dalam fitrah kemanusiaan.[14]
Prof. al-Attas |
Al-Attas melihat
bahwa ilmu pengetahuan yang ada ini tidak bersifat netral, sehingga ilmu pun
tidak dapat berdiri bebas nilai. Menurutnya, ilmu tidaklah bebas nilai (value-free)
akan tetapi syarat nilai (value laden). Pengetahuan dan ilmu yang
tersebar sampai ke tengah masyarakat dunia, termasuk masyarakat Islam, telah
diwarnai corak budaya dan peradaban Barat setelah ternaturalisasi dan
pengasuhan oleh Peradaban Barat. Pandangan seperti itu muncul karena sains
Barat tidak dibangun di atas wahyu. Ia dibangun di atas budaya yang diperkuat
oleh spekulasi filosofis kehidupan sekuler yang memusatkan manusia sebagai
makhluk rasional. Akibatnya, ilmu pengetahuan, nilai-nilai etika dan moral,
yang diatur oleh rasio manusia, terus menerus berubah.
Inilah yang
dikritisi oleh Al-Attas. Pandangan tersebut menurutnya tidak sesuai dengan
epistimologi Islam. Menurut al-Attas, pengetahuan Barat telah membawa
kebingungan (confusion) dan skeptisisme (skepticism). Barat telah
mengangkat sesuatu hal yang masih dalam keraguan dan dugaan ke derajat ilmiah
dalam hal metodologi. Peradaban Barat juga memandang keragu-raguan sebagai
suatu sarana epistimologis yang cukup baik dan istimewa untuk mengejar
kebenaran. Tidak hanya itu, pengetahuan Barat juga telah membawa kekacauan pada
tiga kerajaan alam yaitu hewan, nabati dan mineral.[15]
Oleh karena itu,
al-Attas menggagas Islamisasi ilmu yang dimaksud adalah Islamization of
Contemporary or Present Day Knowledge (Islamiyyat al-Ulum al-Mua’ashirah).
Di mana menurut al-Attas, yang perlu diislamkan adalah ilmu
kontemporer. Bukan turath islami. Sehingga jelas perbedaan antara konsep
Islamisasi sekarang dengan Islamisasi di abad pertengahan[16].
Berdasar hal
tersebut, al-Attas menawarkan gagasannya berupa, bahwa Ilmu-ilmu modern harus
diperiksa dengan teliti. Ini mencakup metode, konsep, praduga, simbol, dari
ilmu modern; beserta aspek-aspek empiris dan rasional, dan yang berdampak
kepada nilai dan etika; penafsiran historisitas ilmu tersebut, bangunan teori
ilmunya, praduganya berkaitan dengan dunia, dan rasionalitas proses-proses
ilmiah, teori ilmu tersebut tentang alam semesta, klasifikasinya, batasannya,
hubung kaitnya dengan ilmu-ilmu lainnya serta hubungannya dengan sosial harus
diperiksa dengan teliti.
Proses yang
dilalui dalam Islamisasi Ilmu Pengetahuan adalah[17]:
(1) Mengisolir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang membentuk budaya dan
peradaban barat. (2) Memasukkan unsur-unsur islam beserta konsep-konsep kunci
dalam setiap bidang dan ilmu pengetahuan saat ini yang relevan.
Jika kedua proses
ini telah sempurna terlaksana, maka terwujudlah tujuan islamisasi sebagai
pembebasan manusia dari unsur-unsur magic, mitologi, animisme dan
tradisi kebudayaan kebangsaan serta penguasaan sekular atas akal dan bahasanya.
Ini berarti pembebasan akal atau pemikiran dari pengaruh pandangan hidup yang
diwarnai oleh kecenderungan sekular, promordial, dan mitologis[18] Dengan
demikian al-Attas mendefenisikan Islamisasi Ilmu sebagai the deliverance of knowledge
from its interpretation based on secular ideology; and from meanings and
expressions of the secular.[19]
Inilah lima model islamisasi sains. Kelima model ini berangkat dari satu
titik filosofis, yakni kemunduran umat yang disebabkan oleh ilmu pengetahuan. Dari
kelima model ini, tergambar bagaimana usaha para ilmuwan untuk meng-islamkan
sains barat sekuler. Dan mengapa mesti diislamkan sudah dijelaskan dalam
tulisan sebelumnya. Meski banyak yang mengkritisi pandangan ini, bahkan dari
kalangan ilmuwan islamsendiri, aktivitas serta kajian islamisasi ilmu
pengetahuan masih tetap berjalan. Dan secara general, sebenarnya apa pun
usaha yang dilakukan untuk mereduksi pengaruh pandangan sekuler barat dalam
ilmu pengetahuan, berupa kajian filsafat paradigmatik, instrumentalistik, justifikasi,
dan integrasi menunjukkan betapa konsepsi ajaran islam mampu merespon pengaruh
sekuler barat yang menggejala. Dan patut untuk diapresiasi pula, bagaiamana
usaha para intelektual dan ilmuwan muslim untuk tetap mempertahankan jati diri
keislaman di tengah bentangan corak kehidupan yang sekuleristik.
Usaha itu mulali dari pembangunan lembaga kajian islamisasi seperti yang
dilakukan Prof. Wan Mohd. Nor di UTM Malaysia dengan mendirikan CASIS (Center
for Advances Studi on Sciences, Islam and Civilisation). Begitu pula
islamisasi kurikulum, bahan ajar, buku, serta pembangunan sekolah-sekolah yang
berwawasan islamisasi sains, seperti Sekolah Islam Terpadu. Hal itu adalah
suatu hal yang lumrah, sebab masyarakat muslim mulai resah dengan sifat ilmu
pengetahuan yang semakin menjauhkan peneliti, pelajar dan ilmuwan dari Tuhan
mereka sendiri. Mudah-mudahan semua usaha ini, adalah langkah yang semakin
menggeliat, dan semakin menyadarkan umat islam, betapa pentingnya islamisasi
sains.
Insya Allah, pada bagian selanjutnya, kita akan melihat di mana poros
islamisasi sains bisa dilakukan. Sebab
kerja islamisasi sains secara paradigmatik, membutuhkan kinerja serius dari
para intelektual dan ilmuwan. Dan kerja itu mesti dilakukan di lembaga yang
menjadi puncak pengembangan ilmu pengetahuan, Universitas. Karena Universitas
juga sudah banyak terpengaruh dengan corak keilmuwan barat, oleh karena itu
penting untuk dilihat bagaimana wajah universitas yang mengembangkan ilmu islam.
Dalam tulisan berikutnya, Wajah Univeristas Islam (Wallohu a’lam bi
as-Showab).
[1] Budi Handrianto, Islamisasi Sains,
hlm. 133
[2] Budi Handrianto, Islamisasi Sains,
hlm. 144-146
[3] Budi Handrianto, Islamisasi Sains,
hlm. 173
[4] Ismail
al-Faruqi memulai studi di College des Freres Libanon. Pada tahun 1941, ia melanjutkan
pendidikan di American University, Beirut. Gelar sarjana mudanya dalam bidang
filsafat ia peroleh daTi universitas tesebut pada usia 20 tahun, kemudian ia
menjadi pegawai pemerintah Palestina dibawah mandat Inggris selama empat tahun
dan bahkan sempat menjabat sebagai gubemur di daerah Galile yang kemudian jatuh
ke tangan Inggris pada tahun 1947. Pada tahun berikutnya Al-Faruqi memutuskan
untuk berhijrah ke Amerika Serikat. Di sana ia melanjutkan studinya yang sempat
terhenti. Kemudian ia melanjutkan studinya di Indiana University pada tahun
1948, hingga mencapai gelar mater dalam bidang filsafat. Dua tahun berikutnya
ia kembali memperoleh gelar master di Harcard University, juga dalam bidang
falsafat. Untuk memperdalam keislaman, empat tahun berikutnya ia menimba ilmu
di Al-Azhar University, Kairo Mesir. Selama beberapatahun kemudian ia menjadi
Profesor tamu untuk studi keislaman di McGill University (1958-1961) dan di
Pana Central institute of Islamic Research, Karachi, sebagai tamu untuk studi ilmu
sejarah dan ilmu agama di the University of Chicago, sebagai lektor kepala llmu
agama pada Saracus University (1964-1968). Pada masa hayatnya, Al-Faruqi pemah
memegang jabatan penting dalam kapasitasnya sebagai ilmuan. Diantaranya adalah
kepala studi keislaman di Temple University, AS; Direktur Institut Islam di
University Chicago; Direktur Institut Intemasional pemikir Islam do Washington;
dan presiden Institu studi Lanjutan Washington. (Lihat http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1663/1/arab-rahimah.pdf)
[5] Diakses dari
http://ilhamkadirmenulis.blogspot.com/2013/06/ismail-raji-al-faruqi-dan-islamisasi.html
pada Kamis, 27 November 2014, Pukul. 17.11 WIB
[6] Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi
Pengetahuan, Bandung, Pustaka, 1984, hlm. 38
[7] Rosnani dalam Budi Handrianto,
Islamisasi Sains, Gagasan Islamisasi Ilmu, hal. 140
[8] http://ilhamkadirmenulis.blogspot.com
[9]
Al-Faruqi, Islamization of knowledge dalam Rahimah, Pemikiran Ismail
Raji al-Faruqi, hlm.7
[10] Lihat: http://www.iiit.org/AboutUs/AboutIIIT/tabid/66/Default.aspx,
diakses 21 September 2015, Pukul. 16.46 WIB
[11] Lihat: http://www.iiit.org/AboutUs/AboutIIIT/tabid/66/Default.aspx
[12] Adnin Armas dalam Budi Handrianto, Islamisasi...,
hlm. 129
[13]
A. M. Saefuddin, Islamisasi..., hlm. 148
[14] SMN. Al-Attas, The Concept of
Education in Islam dalam Budi Handrianto, Islamisasi Sains, hlm. 131
[15] Diakses dari
http://inpasonline.com/new/islamisasi-ilmu-pengetahuan-menurut-syed-m-naquib-al-attas/
kamis, 27 November 2014, Pukul 17.46
[16] Budi Handrianto, Islamisasi...,
hlm. 124-125
[17] Budi Handrianto, islamisasi...,
hlm. 134-135
[18] Budi Handrianto, Islamisasi...,
hlm. 125
[19] SMN al-Attas, The Concept of Education in Islam, Kuala Lumpur:
ISTAC, 1999, hlm. 42
Judul nya 5 macam. Tpi dalam tulisan ini hanya 3 yang dicantumkan
ReplyDeleteJudul nya 5 macam. Tpi dalam tulisan ini hanya 3 yang dicantumkan
ReplyDelete