Di antara problem
besar yang dihadapi umat Islam di era modern adalah masalah ilmu pengetahuan.
Problem rendahnya kinerja keilmuan, menjadikan umat Islam terisolisi hanya
menjadi pengikut teori-teori ilmu pengetahuan Barat. Selain itu, problem
munculnya Barat sebagai pemimpin ilmu pengetahuan dan teknologi, yang bercorak
sekuler membawa virus ilmu pengetahuan seperti materialisme[1], Ateisme,
naturalisme, saintisme, positivisme dan sejenisnya. Oleh karena itu, penataan
kembali kinerja keilmuwan dalam bingka agama menjadi sangat mendesak.
Dalam buku The
Postmodern Condition: a Report on Knowledge yang ditulis Jean Francis
Lyotard, mengungkapakan pemikirannya tentang kedudukan ilmu pengetahuan pada
abad ini, khususnya tentang cara ilmu diabsahkan melalui “naratif besar” (grand
narrative) seperti kebebasan, kemajuan dan emansipasi. Naratif besar
menurutnya telah mengalami nasib yang sama dengan naratif-naratif besar
sebelumnya seperti agama, negara bangsa, dan kepercayaan tentang keunggulan
barat. Dengan kata lain, dalam abad ilmiah ini, naratif-naratif besar itu
dipersoalkan tentang perananan dan tahap keshahihannya. Menurutnya lagi, dengan
kedudukan ilmu yang tidak menyeluruh, dengan tuntutannya terhadap kebenaran
adalah terhad dan kontekstual, maka sesuatu ilmu boleh diterima jika menegaskan
kebenaran sebagai sesuatu yang terbatas dan relatif. Sebaliknya, apabila
sesuatu ilmu dianggap serba lengkap dan mempunyai nilai yang universal dan
mutlak, maka ilmu itu mesti ditolak. Pada tahap ini, patut ditekankan bahwa
dalam pemikiran postmodern, semua naratif yang diterima dianggap kecil dan
mempunyai kedudukan yang sama. Oleh karena itu, semua kebenaran yang disuarakan
adalah terhad dan relatif[2].
Akan tetapi, hal
ini membuat sebuah konsekuensi yang besar, yaitu penafian pencarian kebenaran
yang universal dan hakiki. Oleh karena sebuah naratif dibimbangi menjadi
hegemonik dan karena menginginkan keterbukaan, maka masalah pencarian kebenaran
yang universal dan hakiki sanggup digugurkan dari agenda (kinerja) pemikiran[3].
Virus Ilmu Pengetahuan
Kaidah-kaidah
yang lahir dari trauma sejarah, agama, kebudayaan dan filsafat barat kemudian
dipaksakan untuk disebarkan melalui kolonialisme dan imperialisme. Hingga zaman
sekarang, pemikiran itu terus berkembang menjadi virus yang meng-hegemoni umat
islam. Kolonisasi berlanjut bukan sekedar pendudukan dan penaklukan ekonomi,
melainkan lebih jauh dari itu adalah, pemengaruhan nilai dan pemikiran. Seperti
kata Ibn Khaldun, bahwa Peradaban yang kalah, akan selalu mengorbit di sekitar
peradaban yang menang.
Virus yang
terkandung dalam sains Barat modern yang sekular merupakan tantangan yang
paling besar bagi Kaum muslimin saat ini. Peradaban Barat modern telah membuat
ilmu menjadi problematis. Sekalipun peradaban Barat modern menghasilkan juga
ilmu yang bermanfaat, namun peradaban tersebut juga telah menyebabkan kerusakan
yang luar biasa dalam kehidupan umat manusia. Itu karena, selain telah memahami
makna ilmu, peradaban Barat juga relah menghilangkan maksud dan tujuan ilmu.
Ilmu pengetahuan yang sejatinya dimaksudkan untuk mencapai kebahagiaan umat
manusia di dunia sekaligus di akhirat (sa’adat al-darayn), malah justru
menghasilkan teknologi yang telah menjatuhkan manusia ke posisi paling rendah
dalam kacamata islam[4].
Spekulasi
filosofis begitu dominan dalam kehidupan sekular Barat yang memusatkan manusia
sebagai makhluk rasional. Akibatnya, ilmu pengetahuan dan nilai-nilai etika dan
moral, yang diatur oleh rasio manusia, terus menerus berubah. Westernisasi ilmu
telah mengangkat keraguan dan dugaan ke tahap metodologi ilmiah. Bukan hanya
itu, westernisasi ilmu juga telah menjadikan keraguan sebagai alat epistemologi
yang sah dalam keilmuwan. Westernisasi ilmu pun sama sekali tidak dibangun di
atas wahyu dan kepercayaan agama.
Tanpa wahyu, ilmu
sains dianggap oleh ilmuwan Barat satu-satunya pengetahuan yang otentik. Kosong
dari wahyu, ilmu pengetahuan ini hanya terkait dengan fenomena. Akibatnya,
kesimpulan mengenai fenomena tersebut akan selalu berubah sesuai dengan
perkembangan zaman. Tanpa wahyu, realitas yang dipahami hanya terbatas kepada
alam nyata ini yang dianggap satu-satunya realitas[5].
Karena Ilmu
Pengetahuan (baca: sains) barat tidak memberi tempat pada wahyu, agama dan
bahkan pada Tuhan, maka sains Barat itu dianggap netral. Disini arti netral
adalah bebas dari dari agama. Realitas tuhan tidak menjadi timbangan dalam
sains Barat, karena tuhan dianggap tidak real. Namun, sains tidak bebas dari ideologi,
kultur, cara pandang, dan kebudayaan manusia Barat. Dan ternyata dalam sains
sendiri, terdapat asumsi-asumsi, doktrin-doktrin, yang tidak berbeda dari
agama. Pada akhirnya doktrin-doktrin sains yang dipercayai sebagai pasti,
dipertentangkan dengan doktrin agama yang dianggap tidak rasional dan empiris.
Yang terpojok dan dipojokkan adalah agama[6].
Akibat dari
dipisahkannya nilai dari Ilmu adalah kekosongan jiwa. Ilmu dibatasi pada
defenisi-defenisi sains dan filsafat. Sehingga menimbulkan ketimpangan
pelajaran di institusi-institusi pendidikan di negeri muslim. Ketika membahas
fenomena alam, penelitian ilmiah, agama ditinggalkan. Dan lahirlah cara pandang
dikotomis-sekuler, yang dikenal dengan istilah worldview.
Worldview Barat sekuler ini telah masuk ke
negeri-negeri muslim melalui kolonialisme. Pada saat para penjajah datang,
mereka mengubah sistem pendidikan di Indonesia. Sejak saat itu, Indonesia
seabagaimana ngeri-negeri Muslim lainnya mulai mengenal dualisme pendidikan.
Pada satu sisi ada sistem pendidikan agama dan di sisi lain ada sistem
pendidikan sekuler.[7]
Akibatnya, agama
ditinggalkan karena dianggap sebagai bentuk ketertinggalan masyarakat.
Nilai-nilai moral dan kebenaran harus disusun berdasarkan defenisi sains,
sebagai hasil dari filsafat positivismes Auguste Comte. Iaones Rakhmat menulis,
“pendek kata, ada banyak nilai moral yang ditawarkan kitab-kitab suci kuno,
yang tak kena lagi untuk zaman sekarang. Akibatnya, fungsi agama sebagai satu
sumber terpenting ajaran moral bagi kehidupan modern dipertanyakan.”[8]. Keberlangsungan
perkembangan sains yang berjalan tanpa kendali agama, membuat sains kering
nilai. Bahkan, semakin menjadi karena arogansi. Sehingga dampak akhirnya adalah
ketidakpercayaan akan agama dan tuhan yang selanjutnya melahirkan ateisme.
Sebenarnya, salah
satu sebab dari dihilangkannya jejak agama dalam ilmu pengetahuan adalah karena
barat telah mengalami trauma sejarah yang panjang terhadap agama. Barat tidak
mau melirik kitab-kitab agama, karena menurut mereka, agama adalah bentuk
ketertinggalan manusia, dan menjadi ciri manusia-manusia primitif. Semua itu
berdasarkan pada nilai yang dianut peradaban barat sendiri. Di mana kebaikan
diatur dan berpusat pada manusia. Yunani menilai manusia hanya pada kemampuan
mengendalikan diri, cinta tanah air, dan berpengetahuan.[9] Oleh karena itu orang Barat berkeyakinan
kalau alam sama sekali tidak ada hubungannya dengan Tuhan. Sains modern
melarang kita membawa-bawa Tuhan, kata Laplace, tuhan itu adalah hipotesa,
artinya ketika kita tidak bisa menjelaskan fenomena alam dengan rasional baru
kita mengatakan itu tindakan Allah, tapi sekarang, menurutnya semua
hampir-hampir fenomena alam itu sudah bisa dijelaskan oleh itu mana Tuhan tidak
ada tempat lagi. Sigmund Freud lebih hebat lagi, setelah melakukan penelitian
terhadap orang-orang neurisis, dia menyatakan kita tahu bahwa Tuhan yang
menciptakan kita, tapi (padahal) kita yang menciptakan Tuhan.[10]
Dampaknya Pendidikan
dan sistem keilmuwan sekarang terjagkiti Dualisme, berupa pembagi duaan menjadi
sistem Islam dan sistem sekuler. Padahal kedua sistem ini harus diisi dengan
semangat islam dan berfungsi sebagai sebuah bagian dari yang integral dari
program ideologisnya.[11] Perpaduan
kedua sistem ini haruslah merupakan kesempatan yang tepat untuk menghilangkan
keburukan masing-masing sistem: tidak memadainya buku-buku pegangan di dalam
sistem yang tradisional, dan peniruan metode ideal – ideal Barat di dalam
sistem sekuler[12].
Karena sifatanya yang anti agama, umat islam tidak bisa terus menjalankan
kurikulum “berwajah ganda”: yang satu Islami (ilmu-ilmu agama) sedangkan yang
lain antiagama (ilmu-ilmu umum), kecuali kita menginginkan lahirnya
generasi-generasi yang bingung di masa akan datang.[13]
Ilmu hanya berhubungan dengan fakta-fakta
eksternal, dengan pengkajian dan analisis-analisis objektif semata. Tetapi ilmu
telah dipisahkan dari pemecahan masalah manusia dan masyarakat[14]. Lebih lanjut, netralitas
ilmiah, sebagai produk khas abad ini, telah menyebabkan jenius-jenius,
fisikawan-fisikawan, psikolog-psikolog, ahli-ahli statistik dan sabagainya
menjadi budak sewaan dan tentara upahan dari modal dan kekuatan yng disajikan
baik oleh sistem kapitalistik ataupun sistem diktatorial yang ada di dunia ini[15].
Sains
untuk sains dalam bahasa latin scientia gratia scientia. Sains
dilepaskan dari maksud awalnya sebagai usaha untuk memahami realitas
(kebenaran) dan hanya lebih banyak ditujukan untuk melayani industri dan
pemuasan rasa ingin tahu (curiosity). Akibatnya, ketika terjadi
kerusakan alam, eksploitasi, kekacauan ekosistem, masalah limbah dan sampah,
tidak sedikit saintis yang ambil bagian di dalamnya. Hal itu dikarenakan, sains
telah menjadi senjata yang bergerak tanpa arah. Dari fenomena itulah, muncul
kesadaran akan pentingnya islamisasi sains[16].
[1]
Mohammad Kosim, Ilmu Pengetahuan Dalam Islam (Perspektif Filosofis-Historis), Jurnal Tadrîs, (Volume 3. Nomor 2, 2008),
hlm. 121
[2] Shaharom TM Sulaiman, Dunia
Pemikiran Intelektual, Kuala Lumpur: Institut Terjemahan dan Buku Malaysia
Berhad, 2013, hlm. 8-9
[3] Shaharom TM Sulaiman, Dunia
Pemikiran Intelektual, hlm. 8-9
[4] Seperti dalam Konteks QS. Al-A’raf:
179
[5] Shaharom TM Sulaiman, Dunia
Pemikiran Intelektual, hal. 149
[6] Hamid Fahmy Zarkasyi, Makna Sains
Islam, Jurnal Islamia, INSIST (Vol. III, No. 4), tahun 2008, hlm. 7
[7] Irfan Habibie Martanegara, Studi
Kritis Sains Ateis Richrad Dawkins, Bogor: FPs UIKA, 2013, hlm. 6 (Tesis)
[8]
Diakses dari
https://www.facebook.com/notes/ioanes-rakhmat-full/tiga-ranah-debat-sains-dan-agama/10150225136754096
4 Desember 2014, Pukul 14.50 WIB
[9] Ahmad Tafsir dalam Wendi Zarman, Problematika
Pendidikan Tinggi Berorientasi Kerja (vocational education), Tawazun Jurnal
Pendidikan Islam, Bogor: PPS UIKA, (Volume 4 No. 4, Juli 2010), hlm. 60-61
[10] Mulyadhi Kartanegara, Integrasi
Ilmu Pengetahuan; itulah islam dalam A.M.Saefuddin, On Islamic
Civilization, Banten: Republikata, 2010, hlm. 247-249
[11] Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi
Pengetahuan, Bandung: Pustaka, 1984, hlm. 21-22
[12] Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi..,
hlm. 21-22
[13] Wendi Zarman, Sekolah Islam
Terpadu dan Agenda Islamisasi Pendidikan, INSIST (Volume IX No. 1 Maret),
2014, 99
[14] Ali Syariati, Ideologi Kaum
Intelektual, Bandung: Mizan, 1993, hlm. 108
[15] Ali Syariati, Ideologi Kaum
Intelektual, hlm. 109
[16] Usep Mohammad Ishaq, Menjadi
Saintis Muslim, Depok: Indie Publishing, 2014, hlm. 2
No comments:
Post a Comment