Cari

VIRUS ILMU PENGETAHUAN

Monday, 21 September 2015




Di antara problem besar yang dihadapi umat Islam di era modern adalah masalah ilmu pengetahuan. Problem rendahnya kinerja keilmuan, menjadikan umat Islam terisolisi hanya menjadi pengikut teori-teori ilmu pengetahuan Barat. Selain itu, problem munculnya Barat sebagai pemimpin ilmu pengetahuan dan teknologi, yang bercorak sekuler membawa virus ilmu pengetahuan seperti materialisme[1], Ateisme, naturalisme, saintisme, positivisme dan sejenisnya. Oleh karena itu, penataan kembali kinerja keilmuwan dalam bingka agama menjadi sangat mendesak.

Dalam buku The Postmodern Condition: a Report on Knowledge yang ditulis Jean Francis Lyotard, mengungkapakan pemikirannya tentang kedudukan ilmu pengetahuan pada abad ini, khususnya tentang cara ilmu diabsahkan melalui “naratif besar” (grand narrative) seperti kebebasan, kemajuan dan emansipasi. Naratif besar menurutnya telah mengalami nasib yang sama dengan naratif-naratif besar sebelumnya seperti agama, negara bangsa, dan kepercayaan tentang keunggulan barat. Dengan kata lain, dalam abad ilmiah ini, naratif-naratif besar itu dipersoalkan tentang perananan dan tahap keshahihannya. Menurutnya lagi, dengan kedudukan ilmu yang tidak menyeluruh, dengan tuntutannya terhadap kebenaran adalah terhad dan kontekstual, maka sesuatu ilmu boleh diterima jika menegaskan kebenaran sebagai sesuatu yang terbatas dan relatif. Sebaliknya, apabila sesuatu ilmu dianggap serba lengkap dan mempunyai nilai yang universal dan mutlak, maka ilmu itu mesti ditolak. Pada tahap ini, patut ditekankan bahwa dalam pemikiran postmodern, semua naratif yang diterima dianggap kecil dan mempunyai kedudukan yang sama. Oleh karena itu, semua kebenaran yang disuarakan adalah terhad dan relatif[2].
Akan tetapi, hal ini membuat sebuah konsekuensi yang besar, yaitu penafian pencarian kebenaran yang universal dan hakiki. Oleh karena sebuah naratif dibimbangi menjadi hegemonik dan karena menginginkan keterbukaan, maka masalah pencarian kebenaran yang universal dan hakiki sanggup digugurkan dari agenda (kinerja) pemikiran[3].

Virus Ilmu Pengetahuan
Kaidah-kaidah yang lahir dari trauma sejarah, agama, kebudayaan dan filsafat barat kemudian dipaksakan untuk disebarkan melalui kolonialisme dan imperialisme. Hingga zaman sekarang, pemikiran itu terus berkembang menjadi virus yang meng-hegemoni umat islam. Kolonisasi berlanjut bukan sekedar pendudukan dan penaklukan ekonomi, melainkan lebih jauh dari itu adalah, pemengaruhan nilai dan pemikiran. Seperti kata Ibn Khaldun, bahwa Peradaban yang kalah, akan selalu mengorbit di sekitar peradaban yang menang.
Virus yang terkandung dalam sains Barat modern yang sekular merupakan tantangan yang paling besar bagi Kaum muslimin saat ini. Peradaban Barat modern telah membuat ilmu menjadi problematis. Sekalipun peradaban Barat modern menghasilkan juga ilmu yang bermanfaat, namun peradaban tersebut juga telah menyebabkan kerusakan yang luar biasa dalam kehidupan umat manusia. Itu karena, selain telah memahami makna ilmu, peradaban Barat juga relah menghilangkan maksud dan tujuan ilmu. Ilmu pengetahuan yang sejatinya dimaksudkan untuk mencapai kebahagiaan umat manusia di dunia sekaligus di akhirat (sa’adat al-darayn), malah justru menghasilkan teknologi yang telah menjatuhkan manusia ke posisi paling rendah dalam kacamata islam[4].


Spekulasi filosofis begitu dominan dalam kehidupan sekular Barat yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional. Akibatnya, ilmu pengetahuan dan nilai-nilai etika dan moral, yang diatur oleh rasio manusia, terus menerus berubah. Westernisasi ilmu telah mengangkat keraguan dan dugaan ke tahap metodologi ilmiah. Bukan hanya itu, westernisasi ilmu juga telah menjadikan keraguan sebagai alat epistemologi yang sah dalam keilmuwan. Westernisasi ilmu pun sama sekali tidak dibangun di atas wahyu dan kepercayaan agama.
Tanpa wahyu, ilmu sains dianggap oleh ilmuwan Barat satu-satunya pengetahuan yang otentik. Kosong dari wahyu, ilmu pengetahuan ini hanya terkait dengan fenomena. Akibatnya, kesimpulan mengenai fenomena tersebut akan selalu berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Tanpa wahyu, realitas yang dipahami hanya terbatas kepada alam nyata ini yang dianggap satu-satunya realitas[5].
Karena Ilmu Pengetahuan (baca: sains) barat tidak memberi tempat pada wahyu, agama dan bahkan pada Tuhan, maka sains Barat itu dianggap netral. Disini arti netral adalah bebas dari dari agama. Realitas tuhan tidak menjadi timbangan dalam sains Barat, karena tuhan dianggap tidak real.  Namun, sains tidak bebas dari ideologi, kultur, cara pandang, dan kebudayaan manusia Barat. Dan ternyata dalam sains sendiri, terdapat asumsi-asumsi, doktrin-doktrin, yang tidak berbeda dari agama. Pada akhirnya doktrin-doktrin sains yang dipercayai sebagai pasti, dipertentangkan dengan doktrin agama yang dianggap tidak rasional dan empiris. Yang terpojok dan dipojokkan adalah agama[6].
Akibat dari dipisahkannya nilai dari Ilmu adalah kekosongan jiwa. Ilmu dibatasi pada defenisi-defenisi sains dan filsafat. Sehingga menimbulkan ketimpangan pelajaran di institusi-institusi pendidikan di negeri muslim. Ketika membahas fenomena alam, penelitian ilmiah, agama ditinggalkan. Dan lahirlah cara pandang dikotomis-sekuler, yang dikenal dengan istilah worldview.
Worldview Barat sekuler ini telah masuk ke negeri-negeri muslim melalui kolonialisme. Pada saat para penjajah datang, mereka mengubah sistem pendidikan di Indonesia. Sejak saat itu, Indonesia seabagaimana ngeri-negeri Muslim lainnya mulai mengenal dualisme pendidikan. Pada satu sisi ada sistem pendidikan agama dan di sisi lain ada sistem pendidikan sekuler.[7]
Akibatnya, agama ditinggalkan karena dianggap sebagai bentuk ketertinggalan masyarakat. Nilai-nilai moral dan kebenaran harus disusun berdasarkan defenisi sains, sebagai hasil dari filsafat positivismes Auguste Comte. Iaones Rakhmat menulis, “pendek kata, ada banyak nilai moral yang ditawarkan kitab-kitab suci kuno, yang tak kena lagi untuk zaman sekarang. Akibatnya, fungsi agama sebagai satu sumber terpenting ajaran moral bagi kehidupan modern dipertanyakan.”[8]. Keberlangsungan perkembangan sains yang berjalan tanpa kendali agama, membuat sains kering nilai. Bahkan, semakin menjadi karena arogansi. Sehingga dampak akhirnya adalah ketidakpercayaan akan agama dan tuhan yang selanjutnya melahirkan ateisme.


Sebenarnya, salah satu sebab dari dihilangkannya jejak agama dalam ilmu pengetahuan adalah karena barat telah mengalami trauma sejarah yang panjang terhadap agama. Barat tidak mau melirik kitab-kitab agama, karena menurut mereka, agama adalah bentuk ketertinggalan manusia, dan menjadi ciri manusia-manusia primitif. Semua itu berdasarkan pada nilai yang dianut peradaban barat sendiri. Di mana kebaikan diatur dan berpusat pada manusia. Yunani menilai manusia hanya pada kemampuan mengendalikan diri, cinta tanah air, dan berpengetahuan.[9]  Oleh karena itu orang Barat berkeyakinan kalau alam sama sekali tidak ada hubungannya dengan Tuhan. Sains modern melarang kita membawa-bawa Tuhan, kata Laplace, tuhan itu adalah hipotesa, artinya ketika kita tidak bisa menjelaskan fenomena alam dengan rasional baru kita mengatakan itu tindakan Allah, tapi sekarang, menurutnya semua hampir-hampir fenomena alam itu sudah bisa dijelaskan oleh itu mana Tuhan tidak ada tempat lagi. Sigmund Freud lebih hebat lagi, setelah melakukan penelitian terhadap orang-orang neurisis, dia menyatakan kita tahu bahwa Tuhan yang menciptakan kita, tapi (padahal) kita yang menciptakan Tuhan.[10]
Dampaknya Pendidikan dan sistem keilmuwan sekarang terjagkiti Dualisme, berupa pembagi duaan menjadi sistem Islam dan sistem sekuler. Padahal kedua sistem ini harus diisi dengan semangat islam dan berfungsi sebagai sebuah bagian dari yang integral dari program ideologisnya.[11] Perpaduan kedua sistem ini haruslah merupakan kesempatan yang tepat untuk menghilangkan keburukan masing-masing sistem: tidak memadainya buku-buku pegangan di dalam sistem yang tradisional, dan peniruan metode ideal – ideal Barat di dalam sistem sekuler[12]. Karena sifatanya yang anti agama, umat islam tidak bisa terus menjalankan kurikulum “berwajah ganda”: yang satu Islami (ilmu-ilmu agama) sedangkan yang lain antiagama (ilmu-ilmu umum), kecuali kita menginginkan lahirnya generasi-generasi yang bingung di masa akan datang.[13]


Ilmu hanya berhubungan dengan fakta-fakta eksternal, dengan pengkajian dan analisis-analisis objektif semata. Tetapi ilmu telah dipisahkan dari pemecahan masalah manusia dan masyarakat[14]. Lebih lanjut, netralitas ilmiah, sebagai produk khas abad ini, telah menyebabkan jenius-jenius, fisikawan-fisikawan, psikolog-psikolog, ahli-ahli statistik dan sabagainya menjadi budak sewaan dan tentara upahan dari modal dan kekuatan yng disajikan baik oleh sistem kapitalistik ataupun sistem diktatorial yang ada di dunia ini[15].
Sains untuk sains dalam bahasa latin scientia gratia scientia. Sains dilepaskan dari maksud awalnya sebagai usaha untuk memahami realitas (kebenaran) dan hanya lebih banyak ditujukan untuk melayani industri dan pemuasan rasa ingin tahu (curiosity). Akibatnya, ketika terjadi kerusakan alam, eksploitasi, kekacauan ekosistem, masalah limbah dan sampah, tidak sedikit saintis yang ambil bagian di dalamnya. Hal itu dikarenakan, sains telah menjadi senjata yang bergerak tanpa arah. Dari fenomena itulah, muncul kesadaran akan pentingnya islamisasi sains[16].


[1]  Mohammad Kosim, Ilmu Pengetahuan Dalam Islam  (Perspektif Filosofis-Historis),  Jurnal TadrĂ®s, (Volume 3. Nomor 2, 2008), hlm. 121
[2] Shaharom TM Sulaiman, Dunia Pemikiran Intelektual, Kuala Lumpur: Institut Terjemahan dan Buku Malaysia Berhad, 2013, hlm. 8-9
[3] Shaharom TM Sulaiman, Dunia Pemikiran Intelektual, hlm. 8-9
[4] Seperti dalam Konteks QS. Al-A’raf: 179
[5] Shaharom TM Sulaiman, Dunia Pemikiran Intelektual, hal. 149
[6] Hamid Fahmy Zarkasyi, Makna Sains Islam, Jurnal Islamia, INSIST (Vol. III, No. 4), tahun 2008, hlm. 7
[7] Irfan Habibie Martanegara, Studi Kritis Sains Ateis Richrad Dawkins, Bogor: FPs UIKA, 2013, hlm. 6 (Tesis)
[8] Diakses dari https://www.facebook.com/notes/ioanes-rakhmat-full/tiga-ranah-debat-sains-dan-agama/10150225136754096 4 Desember 2014, Pukul 14.50 WIB
[9] Ahmad Tafsir dalam Wendi Zarman, Problematika Pendidikan Tinggi Berorientasi Kerja (vocational education), Tawazun Jurnal Pendidikan Islam, Bogor: PPS UIKA, (Volume 4 No. 4, Juli 2010), hlm. 60-61
[10] Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu Pengetahuan; itulah islam dalam A.M.Saefuddin, On Islamic Civilization, Banten: Republikata, 2010, hlm. 247-249
[11] Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, Bandung: Pustaka, 1984, hlm. 21-22
[12] Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi.., hlm. 21-22
[13] Wendi Zarman, Sekolah Islam Terpadu dan Agenda Islamisasi Pendidikan, INSIST (Volume IX No. 1 Maret), 2014, 99
[14] Ali Syariati, Ideologi Kaum Intelektual, Bandung: Mizan, 1993, hlm. 108
[15] Ali Syariati, Ideologi Kaum Intelektual, hlm. 109
[16] Usep Mohammad Ishaq, Menjadi Saintis Muslim, Depok: Indie Publishing, 2014, hlm. 2

No comments:

Post a Comment

 

Iklan Buku

Followers

Bincang-Bincang