Agaknya
dalam penelusuran sejarah (yang Euro-centric), Thales disebutkan sebagai
orang yang pertama kali berfilsafat dan Socrates dianggap sebagai orang yang
paling pertama menurunkan filsafat dari langit ke bumi (man anzala a-falaasifah
min as-samaa’ ila al-ardh) sebab ia adalah orang yang membantah sofisme
yang menyatakan bahwa kebenaran tidak mungkin bisa diketahui. Pemikiran yang
maju melampaui zamannya dimulai dari sana. Serta kemajuan peradaban hari ini
mengambil banyak sumbangsih pemikiran filsafat Yunani Kuno.
Dengan
demikian, tradisi ilmiah sudah berlangsung sejak masa Nabi-Nabi terdahulu.
Kapal Nabi Nuh, dan Piramida Mesir bisa menjadi satu contoh bagaimana kemajuan
peradaban di zaman tersebut sudah mencapai puncaknya. Kapal Nabi Nuh secara
logika tidak mungkin bisa dibuat di zaman dahulu dengan ukuran dan proses
pembuatan di puncak gunung. Begitu pula, piramida mesir yang sampai hari ini
banyak dikaji tentang proses pembuatan batu serta denah penyusunan makam
raja-raja tersebut.
Profesor
George G. M. james mempelopori usaha menyingkap kepincangan kerangka Porso-Eropa
dengan menerbitkan bukunya Stolen Legacy: Greek Philosphy is Stolen Egyptian
Philosophy tahun 1954 berpedoman pada beberapa sumber Yunani klasik seperti
Phaedo dan Timaeus karya Plato, Life of Eminent Philospher karya
Diogenes Laeritus, dan lain-lain. Ia meringkas semua doktrin asli yang terdapat
dalam filsafat Yunani dan selanjutnya membuktikan doktrin-doktrin tersebut bisa
diketahui asal-usulnya dalam sistem kepercayaan terpahat di batu prasasti yang
disebut sebagai Teologi Memphis lebih-kurang 4.000 SM yaitu pada zaman ketika
dinasti-dinasti pertama Mesir mendirikan ibukota pertama mereka di Memphis
(kini berdekatan Kairo). Sistem kepercayaan Mesir Kuno ini menyebutkan
diantaranya bahwa: air sumber segala benda, penciptaan alam direncanakan dalam
‘akal’ tuhan besar Ptah dan dilahirkan melalui ‘titahnya’. Alam semesta dipandu
oleh prinsip pertentangan (doctrine of opposites), unsur-unsur dasar
alam semesta ialah api, air, tanah dan udara. James mengatakan, jelas terdapat
keserasian paham (conceptual affinity) yang erat antara sistem
kepercayaan teologi Memphis dengan doktrin air Thales, udara Anaximenes, api
Phytagoras, Heraclitus, Democritus dan Plato. Kaitan erat ini juga ditemua
dalam doktrin pertentangan yang dikembangkan oleh Phytagoras, paham nous
(akal) dan logos (titah), dan unsur-unsur api, air, tanah, dan udara
dalam filsafat tabi’i Yunani.[3]
Penyerapan
ciri-ciri kebudayaan Mesir-Babylon ke dalam Pemikiran Yunani sedikit banyak membina
pemikiran Yunani mejadi lebih rasional, lalu ketika sampai pada zaman Thales,
pemikiran mereka menjadi cukup ‘matang’ untuk bisa mengakui dan menghargai
nilai pencapaian pemikiran rasional dalam peradaban-peradaban kuno yang
bertetangga yang jauh lebih maju dalam pemikiran filsafat dan sains, termasuk
juga pencapaian teknologi. Adi Setia kemudian menyimpulkan dari dengan
ciri-ciri akan kemunculan sains/filsafat Yunani secara umum adalah:
1. Pengembaraan
orang-orang yunani ke Mesir, Babylonia dan Asia kecil untuk tujuan menuntut
ilmu
2. Penempatan
orang-orang Yunani di Pesisir pantai Syria dan Mesir, seperti penempatan
orang-orang Ionia (Anatolia) dan Naukritas (Mesir)
3. Pertukaran diplomat
antara Yunani dengan Mesir, Funesia, dan Babylon
4. Pembelajaran
bahwa Mesir dan Semit oleh para pelajar yang datang dari Yunani, seperti yang
terjadi dalam hal Phytagoras, dan wujudnya budaya dwi atau aneka bahwa di
daerah perbatan antara peradaban Yunani dan sejumlah peradaban yang bertetangga
dengannya.
5. Penaklukan Mesir
oleh Iskandar Agung dan pendirian kota Iskandariyah sebagai Pusat ilmu dan
Penyelidikan
6. Pengambil-alihan
karya-karya filsafat dan sains yang terpelihara dalam perpustakaan istana dan
kuil di Mesir
7. Penugasan para
sarjana-paderi Mesir dan Babylonia seperti Manetho dan Berosss sebagai guru,
penterjemah, penyalin dan penulis untuk menyegerakan pemindahan khazanah ilmu
Mesir dan Babylonia ke dalam bahasa Yunani.[4]
Dari
penjelasan di atas terlihat bahwa, Peradaban Yunani –sebenarnya- memperoleh
pemikiran-pemikiran dari daerah sekitarnya. Dan sepertinya memang perlu
dikritisi tentang penulisan sejarah yang cenderung Euro-Centric. Hal ini
justru akan memperoleh justifikasi psikologis bahwa, memang Peradaban Barat
yang embrio sistem dan tradisi keilmuwan mereka lahir dari ‘loncatan sejarah’
yang mereka buat sendiri. Padahal, loncatan-loncatan seperti pencapaian
pemikiran rasional filsafat Yunani banyak dipengaruhi dari daerah tetangganya.
Dari Mesopotamia ke
Persia
Sekarang, kita telah paham bahwa, puncak peradaban dibangun
dengan tonggak tradisi ilmu yang tinggi. Dan dalam setiap peradaban terjadi
pergiliran. Peradaban yang maju akhirnya runtuh akibat kekuasaan serta dominasi
peradaban lain. Ilmu itu kemudian diserap, diadopsi dan diadaptasi hingga masuk
menjadi elemen dasar peradaban yang melakukan penaklukan.
Tamim
menjelaskan keunikan geografis Mesopotamia. Selain diapit dua sungai yang
menjadi sumber penggerak pertanian masyarakatnya, dataran Mesopotamia sangat
memudahkan untuk didekati dari segala arah. Geografinya tidak memberikan
pertahanan alami kepada orang yang hidup di sana. Berbeda dengan sungai Nil
yang diapit rawa pada sisi timurnya, dan oleh tebing-tebing terjal di ujung
atasnya.[5]
Mesopotamia
adalah peradaban berbasis pertanian yang ditempati menetap oleh orang-orang
Sumeria. Menurut Tamim, suku-suku Nomaden pada gilirannya muncul dan
menaklukkan para pemimpin di daerah ini. Dan terjadi asimilasi dan akulturasi. Suku
Nomaden yang keras tadi akan melebur dalam kebudayaan masyarakat permanen dan
akhirnya Suku Nomaden yang lain datang dan menaklukkan mereka kembali.
Siklusnya menurut Ibnu Khaldun: Penaklukan, Konsolidasi, Ekspansi, Degenerasi. Dari
Peradaban ini telah ditemukan aksara, roda, gerobak, peroda, tembikar dan
sistem bilangan awal. Lalu suku Akkadian menaklukkan Sumeria. Lalu setelah itu Suku
Guttian, Kassit, Hurrian, dan Amori secara bergantian menduduki peradaban ini.
Berikutnya Suku Amori dituntukkan oleh bangsa Kasdim yang kemudian membangun kembali
kota Babel (sebuah kota yang sangat maju dalam prestasi astronomi, kedokteran,
dan matematika). Merekalah yang pertama kali menggunakan sistem bilaganan dasar
12 yang sampai hari ini pengukuran dan pembagian waktu dibagi atas dua belas
(bulan, jam, dan detik). Dan Kasdim pula-lah yang membangun Taman Gantung Babel.[6]
Tahun
550 M, Persia mengambil alih tempat ini, banyak konsolidasi yang dilakukan.
Setiap daerah, penaklukan sebelumnya telah menarik berbagai suku lokal dan
kota-kota ke dalam sistem tunggall yang diperintah oleh orang seorang raja dan
pusat ibukota, seperti Elam, ur, Niniwe, atau babel. Persia melakukan
penerjemahan yang memungkinkan Kaisar untuk menyiarkan deskripsi tertulis
tentang kemegahan dan kebesaran mereka dalam berbagai bahasa.[7]
Mehdi
Nakosten, menyebutkan bahwa Persia telah memperoleh kekayaan ilmu pengetahuan
dari Babylonia dan India, dan telah membuat kemajuan besar di bidang matematika
dan musik. Perpustakaan-perpustakaan di tempat peribadatan Zoroaster memiliki
beberapa buku ilmiah dan buku tentang etika yang ditulis dalam bahasa Pahlavi
(Persia Tengah), beberapa kemudian diterjemahkan ke bahasa Arab.[8]
Universalisme
politis dan budaya kemaharajaan Persia mempunyai pasangannya dalam kemunculan
suatu agama yang lebih tinggi, Zoroastrianisme, yang memuat baik unsur-unsur
monoteis maupun dualistis dan menekankan etika. Zoroaster, pendirinya
mengajarkan tentang kepercayaan kepada Ahura Mazda, Tuan Bijaksana – Dewa
Terang, Keadilan, Kebijaksanaan, Kebaikan, dan Kebakaan. Persia menyatukan
bangsa-bangsa di Timur Dekat menjadi satu negara-dunia, yang dimpimpin oleh
seorang raja yang ditetapkan secara dewata.[9]
Ketika
tradisi pendidikan Yunani telah meredup di Eropa pada awal-awal abad Kristen,
ketika Akademi Athena ditutup oleh Kaisar Justinianus pada tahun 529, dan
ketika orang-orang Nestorian diusir dari kota-kota dan akademi-akademi yang
berada di bawah kekuasaan Kristen Ortodoks, maka orang-orang Sassanian di
Persia, di bawah raja Anushirwan yang adil, para cendekiawan Syria, Alexandria
dan yahudi memperoleh perlindungan. Di sana mereka melestarikan tradisi ilmu
pengetahuan Helenistik[10],
Alexandrian, Syrian dan Hindu yang telah tersebar ke pusat-pusat ilmu
pengetahuan Sassanian di kekaisaran Persia. Di antara pusat-pusat Ilmu
pengetahuan Persia ini adalah Salonika, Ctesiphon[11],
Nishapur, dan terutama adalah Jundi-Shapur.
Dari Timur Dekat ke
Yunani
Marvin Perry menyebutkan bahwa
Bangsa Ibrani dan Yunani sama-sama menyerap prestasi peradaban-peradaban Timur
Dekat, tetapi mereka juga mengembangkan sudut-sudut pandang dan gaya-gaya
pemikiran mereka yang khas, yang memisahkan mereka dari orang Mesopotamia dan
Mesir.[12]
Manusia Timur Dekat terlibat dalam
bentuk-bentuk pemikiran dan perilaku rasional. Sudah pasti mereka menggunakan
nalar di dalam membangun pekerjaan-pekerjaan irigasi, kalender dan pekerjaan
matematis lain. Akan tetapi, karena pemikiran rasional atau logis tetap berada
di bawah orientasi mitis-religius, makan mereka tidak sampai pada metode
penyelidikan yang secara konsisten dan sadar-diri rasional terhadap alam
jasmaniah dan kebudayaan manusia. Mereka tidak membentuk suatu badan filosofis
dan ide-ide iliah yang secara logis dikonstruksikan, didisikusikan, dan
diperdebatkan. Peradaban Timur dekat mencapai level pertama dalam perkembangan
ilmu mengamati alam, merekam data, dan memperbaiki teknologi di bidang pertambangan,
metalurgi dan arsitektur. Tetapi peradaban ini tidak beranjak dari level
pemikiran filosofis dan ilmiah yang sadar diri. Yakni mendeduksi secara logis
abstraksi, hipotesis, dan generalisasi.[13]
Orang-orang
Sumeria dan Mesir memperagakan kreativitas dan kecerdasan yang hebat. Mereka
membangun irigasi dan kota-kota, mengorganisasi pemerintahan, memetakan
perjalanan benda-benda langit, melaksanakan kegiatan-kegiatan matematis,
membangun monumen-monumen berskala besar, terlibat dalam perdagangan
internasional, membangun birokrasi dan sekolah-sekolah. Setelah ditaklukkan
oleh bangsa Persia, kemajuan itu diserap ke dalam kebudayaan Persia. Namun, dengan
latar belakang kepercayaan yang berbeda, Raja Persia memberlakukan penghargaan
terhadap tradisi-tradisi lokal, khususnya dalam soal agama, selama rakyat
taklukan membayar pajak dan mengabdi kepada kerajaan dan mencegah gerakan
subversif[14].
Bukan urusan yang mudah, dengan kekuasaan Persia yang membentang ke Barat
hingga Asia Kecil, selatan Sungai Nil, dan ke Timur melalui dataran tinggi Iran
dan Afghanistan hingga Sungai Indus.[15]
Unsur-unsur
peradaban Timur Dekat yang pindah ke Barat seperti kendaraan beroda, bajak dan
abjak fonetik. Di dunia kedokteran, Orang Mesir menyumbang pengetahuan nilai
tentang obat-obat tertentu, seperti minyak jarak; mereka juga mengetahui
bagaimana menggunakan belat dan Perban. Pembagian inovatif 3600
kepada satu lingkaran dan 60 menit untuk satu jam berasal dari Mesopotamia,
Geometri Mesir dan Astronomi Babylonia digunakan oleh orang Yunani dan menjadi
bagian dari pengetahuan Barat.[16] (Bersambung)
[1] Salah satu definisi FIlsafat adalah
Hikmah, sebidang makna dengan Hakim. Dengan demikian Luqman diberi gelar
sebagai ahli hikmah atau ahli filsafat.
[2] Budi Handrianto, Islamisasi Ilmu
Pengetahuan dalam Adian Husaini, et. all. FIlsafat Ilmu,
Jakarta: GIP, 2013, hlm. 242-243
[3] Penjelasan lebih komprehensif dapat dilihat
di: Adi Setia, Melacak Ulang Asal-Usul Filsafat dan Sains Yunani Kuno, Jurnal
Islamia, Jakarta (Vol. III No. 1, 2006), hlm. 108
[8] Mehdi Nakosten, Kontribusi Islam atas
Dunia Intelektual Barat; Deskripsi Analisis abad Keemasan Islam, Surabaya:
Risalah Gusti, cet. II, 2003, hlm. 23
[9] Marvin Perry,
Peradaban Barat; dari Zaman Kuno sampai zaman Pencerahan, Bantul: Kreasi
Wacana, cet. Ke-2, 2014, hlm. 29
[10] Hal ini masih butuh penelusuran lebih
lanjut, sebab bagi penulis Romawi dan Persia adalah dua Peradaban yang tidak
saling mempengaruhi. …..
[11] Ctesiphon Persia di bangun di tepi kiri
sungai Tigri, 25 mil arah tenggara Baghdad. Kota ini telah disebut-sebut oleh
Polybus pada tahun 220 SM. Ctesiphon sering dipakai sebagai tempat kediaman
pada musim dingin oleh orang-orang Parthian Arsacid setelah mereka menaklukkan
wilayah tersebut pada tahun 129 SM, hingga kota itu diberontak dari Parthia
pada abad pertama Masehi. Dengan didirikannya dinasti Sassanian pada abad
selanjutnya, kota tersebut berkembang menjadi sebuah metropolis dengan beberapa
bangunan yang indah. Kota tersebut ditaklukkan oleh orang islam pada tahun 637
M. Ketika Baghdad menjadi ibukota Pemerintahan Abbaasiyah, Ctesiphon musnah,
kecuali beberapa tembok yang tetap uuh dan beberapa bangunan kuno. (Lihat
catatan kaki di Mehdi Nakoosten, Kontribusi Islam atas Dunia Barat;
Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, Surabaya: Risalah Gusti, cet. II,
2003, hlm. 23)
No comments:
Post a Comment