Cari

MAHASISWA DALAM CENGKRAMAN HEDONISME[1]

Friday 13 July 2012


 

Abu Fath el_Faatih[2]

Untuk memulai satu pembicaraan tentang perubahan saya selalu merujuk pada kerangka ilahiah. Dialah al-Qur’an. Ternyata ayat yang paling pertama turun dalam reformasi peradaban yang dibangun oleh Rasulullah shallahu alaihi wasallam adalah QS Al-Alaq:1-5.
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, 2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. 3. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, 4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, 5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Dan ternyata setelah beliau diangkat menjadi seorang rasul, disebutkan dalam QS. Al-Mudatsir. Satu diantara perintahnya adalah :
4. … Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan.


Saat baru saja memasuki dunia kampus, saya langsung dihadapkan pada pilihan. Dalam LKMM, di himpunan saya diberi kesempatan untuk memilih karakter atau jatidiri. Mahasiswa Akademis, yang sibuk dengan kuliah dan tugas-tugasnya. Hedonis, yang sibuk dengan gemerlap hura-hura. Dan aktivis, yang sibuk dengan rutinitas kelembagaan dan pengembangan diri. Tapi bagi saya, masih ada karakter ke-empat yang belum dirangkum dari tiga jati diri tadi. Dialah mahasiswa saintis. Maksudnya adalah mahasiswa yang menjadikan ilmu sebagai tujuannya. Dan dengan ilmu itu pula ia menggunakannya untuk berbuat kebaikan.
Hari ini memang banyak akademis. Namun sayang, hanya untuk mencari profesi. Sebukt saja mengejar gelar, untuk meningkatkan pangkat dan jabatan. Demikian halnya aktivis, ternyata bergerak hanya karena doktrin tertentu. Pikirannya terbelenggu oleh ideolog-ideologi dogmatis. Mereka hanya menjadikan kebenaran berasal dari seoerang figure dan tokoh. Bukan karena apa yang dibawanya. Kebenaran seakan dikenal dari seseorang. Padahal yang benar adalah, seseorang dikenal karena memegang teguh kebenaran. Sama halnya dengan Iyas Bin Muawiyah yang berani menunjukkan kebenaran di hadapan khalifah. Ketika ditanya mengapa engkau melawan khalifah, ia adalah orang besar, sementara engkau hanya anak kecil. Beliau menjawab, “Bukankah kebenaran lebih besar darinya ?”.
Demikian halnya, Said Ibn Jubair. Seorang yang  memegang teguh kebenaran ketika dihadapan khalifah Hajjaj Bin Yusuf Ats-Tsaqafi, pemimpin yang kejam dan ditakuti. Ketika hendak dipenggal, ia tersenyum dan berkata kepada khalifah saat itu, “Aku takjub atas kecongkakanmu terhadap Allah dan kelapangan Allah terhadapmu”.
Khalifah langsung memerintah, “Bunuh dia !”.
Said yang menghadap kiblat, saat diayunkan pedang ke arahnya membaca firman-Nya Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”(QS Al-An’am:79)
Kahlifah menyuruh untuk berhenti, dan menyuruh algojonya memalingkannya dari kiblat. Akan tetapi Said masih membaca ayat.
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS Al-baqarah: 115).
Mendengar itu, khalifah kembali memerintahkan : “Sungkurkan dia ke Tanah !”.
Said kembali membaca,
Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain, (Qs Thaha: 55).
Ia pun mati setelah berdoa sambil mengangkat tangan, “Yaa Allah jangan lagi kau beri kesempatan ia melakukannya atas orang lain setelah aku”.
Maka Hajjaj tidak lebih dari 15 hari setelah kejadian itu, mengalami sangit demam, dan mati.
Yang lebih parah adalah ketika juga banyak aktvis yang juga ternyta telah terjerat virus pragmatis hingga menjadi hedonis. Sibuk dengan FB, dan kegiatan lain yang tidak bermanfaat.
Karena itu, membangun karakter dan jati diri sebagai seorang pejuang adalah hal mutlak untuk menjadi aktivis saintis. Aktivis yang cinta ilmu. Karena tidak aka nada perubahan yang dibangun di atas ilmu yang rapuh. Ia harus dibangun di atas prinsip-prinsip ilmiah. Sebagaimana para ulama yang menghabiskan waktu, tenaga dan dananya untuk mencari satu buah hadits.
Hari ini, jangankan satu hadist, demikian mudah sekarang kita memperolehnya, akan tetapi, dorongan syubhat dan syahwat telah menghalangi manusia dari kebenaran. Karena mengikuti Nafsu, Orang banyak, dan nenek moyang.
Terakhir, jika hari ini kita sibuk dengan buku-buku dan laboratorium. Sibuk dengan diskusi dan aktivitas ilmiah lainnya, tidak punya banyak waktu kecuali dengan Al-Qur’an dan memperbaiki tajwid, buku-buku tafsir, hadits, ensiklopedia dan yang lainnya, maka kita sebenarnya telah memiliki kunci itu. Akan tetapi jika hari kita hanya sibuk dengan SMS-an ria, gombal dan lebay dan FB-an yang tak kunjung usai, serta menikmati nikmatnya kasur empuk sepanjang hari. Maka tutuplah mata anda dan segeralah beranjak ke pembaringan. Karena anda tidak dibutuhkan oleh perjuangan membangun peradaban. Singkatnya, kita akan mengucapkan selamat tinggal !, kepada Anda. Karena kita kasihan. Umur anda terlalu boros hanya untuk hal-hal demikian
Karena itu jangan pernah berharap akan terjadi perubahan, jika ruh gerakan mahasiswa hari ini adalah budaya-budaya hasil warisan jahiliah. Perpecahan, perang, pertikaian, anarkisme, apalagi ketika lingkar budaya itu telah menjangkau sampai radius aktivitas-aktivitas sia-sia, seperti judi, miras dan pacaran. Jangan pernah berharap. Sekali lagi saya katakan, sedikit pun jangan pernah berharap !!!.
Jangan pernah memimpikan perubahan jika budaya itu masing-masing melingkupi aktivitas-aktivitas kita, dan budaya ilmiah belum menjadi nilai yang dijunjung tinggi dalam realisasi idealisme mahasiswa. Perubahan itu tidak hanya dibawa dengan batu dan darah, tapi perubahan itu dibawa dengan kecintaan terhadap tradisi ilmu, tinta dan peluh. Karena yang kita ingin bangun kembali adalah peradaban yang telah lama hilang. Sebuah peradaban warisan generasi terbaik manusia. Diletakkan pada wahyu ilahi yang paling pertama turun yang mampu mereformasi peradaban hingga memimpin 2/3 belahan dunia. Wahyu yang mengawal transformasi peradaban hingga menguasai sebagian besar daratan Eropa, Asia dan Afrika selama kurang lebih 700 tahun.
Bacalah, dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan (QS Al-‘Alaq:1)
Ya, wahyu inilah yang saya maksud (Wallohu ta’ala a’lam).


[1] Materi Dialog yang diselenggarakan oleh PUSDAMM FBS UNM, gedung FSD UNM. Rabu, 16 Mei 2012
[2] Aktivis LDK Makassar

AKU MUAK DENGAN FORMALITAS



Abu Fath el_Faatih 

Sepertinya, kemodernan telah membuat formalisasi. Termasuk dalam memperoleh ilmu. Setelah orang berada pada puncak kesuksesannya, dan menduduki posisi dalam suatu jabatan strategis tertentu, justru mereka hanya menjadikannya sebagai sarana dalam menikmati hidup.
Bagi mereka, itu adalah hasil jerih payah yang harus untuk dinikmati. Menurut mereka, dalam fase tertentu, mereka harus berjuang. Dan akan datang suatu masa di mana mereka akan mendapatkan hasil dari jerih payahnya itu. Akhirnya setelah ia sampai pada posisi tertentu, ia malah seperti menjadi hilang tujuan. Semua menjadi kesempatan untuk dinikmati dan dirayakan. Maka dibuatlah acara-acara formal, dari tingkat yang paling rendah sampai tingkat yang paling tinggi. Pertemuan itu seakan-akan menjadi begitu  sakral. Semua harus berpakaian resmi, lengkap dengan jas dan mengenakan fasilitas mewah. Yang datang dengan fasilitas murahan sepertinya minder dan merasa rendah. Sekalipun mungkin ilmunya lebih tinggi. Para pemimpin bukan lagi menjadi pekerja dan pejuang kebaikan bagi rakyat atau masyarakat yang dipimpinnya. Akan tetapi, jabatan baginya adalah kekuasaan dan kedigjayaan. Karena demikian mereka akan memiliki ketenaran dan popularitas. Demikian halnya kekayaan.
Ilmi bukan lagi menjadi kebanggaan. Yang berilmu, jika tidak punya kedudukan atau posisi, tidak akan dianggap kata-katanya. Kalimatnya sepertinya ringan di telinga para pendengar. Adapun pejabat, mereka justru dihormati. Digelari karpet merah, berkalung dan bertabur bunga dengan kedatangannya. Momentum seperti itu sangat sarat dengan penampilan yang dibuat-buat. Dan itulah yang menjadi bagian dari formalitas zaman ini.
Ya, zaman ini saya sebut sebagai zaman formalitas. Zaman di mana orang berdasi dan berjas dianggap lebih pantas untuk dihormati dibanding seorang bersurban dan berpakaian kusut masai. Sekali lagi, meskipun ia lebih berilmu. Itu semua tidak lain karena ilmu bukan lagi menjadi sumber kemuliaan. Mengapa ?. Karena sebagian besar manusia adalah  makhluq yang jahil. Jahil agama dan ilmu dunia. Yang dinilai adalah ketenaran, dan seberapa banyak anda diminati oleh masyarakat. Seberapa banyak anda tampil di media. Persoalan ilmu itu belakangan. Yang penting anda tampil dengan banyak gelar, meskipun itu diperoleh dengan sejumlah uang untuk membayar makalah, atau buku ajar untuk dipelajari sendiri. Sarjana, tidak perlu lama cukup 1 tahun. Jangankan satu tahun, tiga hari pun jadi. Yang penting tinggal siapkan uang pengganti percetakan ijazah yang tidak masuk akal harganya, 10-20 juta. Demikianlah jika ilmu sekarang sudah dikomersialkan. Yang penting sudah bergelar, urusan ‘isi’ nati belakangan.
Sayang. Ini memang patut untuk kita sayangkan. Sebenarnya kita harus sedih, karena tantangan zaman yang semakin keras, akan tetapi bekal ilmu tidak menjadi prioritas. Ancaman degradasi akhlaq dan pergeseran nilai semakin besar, namun semangat menuntut ilmu masih dalam angan–angan. Budaya ilmiah tidak dipegang teguh oleh para intelektual. Orang-orang bergerak karena dorongan ekonomi. Itu pun tidak didasari dengan prinsip-prinsip ilmu muamalah[1]. Sebuah program yang seharusnya menjadi pengarah masyarakat, justru disikapi sebagai peluang dalam mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Perusahaan jasa komunikasi dan pengelola informasi yang seharusnya membangun prinsip objektif dalam mengelola berita, justru menjadikan ‘kebebasan finansial’ pemilik modal menjadi prioritas utama. Dan tidak lain, karena merebaknya materialisme.
Aku muak dengan formalitas. Perayaan-perayaan yang tidak berguna. Menghabiskan waktu, biaya energi dan menyedot pikiran dalam energi besar, namun hasilnya hanya beberapa saat terasa. Formalitas upacara, rapat, dan peringatan-peringatan apa pun yang tidak berlandaskan pada kaidah ilmiah ilmu dan agama.
Karena memang yang orang cintai sekarang adalah formalitas. Yang lebih dinikmati, dan disukai hanya kulit, merek, brand, dan pack atau kemasan dan bungkus. Bukan isi. Lihatlah produk-produk industry sekarang.  Desain kemasan begitu menarik, sayang isinya ringan. Bentuknya mungkin besar, tetapi besar karena mengembang. Tidak berbobot.
Untuk itu, sekaranglah saatnya menjadikan patron ilmu sebagai standar kebaikan. Standar kemuliaan dan penghargaan seseorang seharusnya dari ilmu yang dimilikinya. Seseorang seharusnya dinilai, bukan dari apa yang dikatakan, tapi apa yang ia perbuat. Seseorang dihargai karena berkah ilmu yang dimilikinya. Seseorang dimuliakan karena wara’, dan rasa takut mereka yang besar kepada Allah azza wajalla. Bukan karena jabatan dan kedudukannya. Kalau dengan kedudukan, maka setelah pemimpin kita turun jabatan, ia tak lagi pantas dihargai.
Oleh sebab itu, saatnya budaya ilmiah digulirkan. sudut-sudut kampus dipenuh-sesaki kajian. Saatnya penjuru-penjuru sekolah sibuk dengan diskusi dan gema pengetahuan. Karena masyarakat akan kokoh karakternya hanya dengan ‘kegilaan’ mereka terhadap ilmu. Waktu, pikiran, tenaga dan biaya seluruhnya habis untuk ilmu. Sahabat Nabi shallahu alaihi wasallam, Ibnu Abbas mengatakan : “Dahulu kami menuntut ilmu dalam keadaan hina, namun setelah kami berilmu, allah memuliakan kami dengannya”.
Itulah sebabnya tiket penyanyi terkenal laris-manis sampai 50-an ribu dengan harga melangit, sementara kedatangannya masih berjarak 1 bulan. Adapun kedatangan seorang ustadz, syaikh atau seorang ilmuwan sepi pengunjung, dari ta’lim, orasi ilmiah dan seminar-seminar mereka. Kalaupun ada yang datang, hanya untuk menginginkan sertifikatnya. Wallahu al musta’an.
Saatnya sudut-sudut ruang kelas digemakan teriakan idealisme keilmuan, bukan teriakan yang sarat doktrin yang menjajah pikiran. Karena ‘aktivisme’[2] dibangun di atas tradisi ilmiah. Saatnya mimbar-mimbar ilmiah menggemakan suara dan ajakan untuk mengkaji agama dan ilmu pengetahuan dari orang-orang yang kapabel. Dari orang-orang yang terlihat keberkahan ilmu pada dirinya. Bukan dengan titel yang panjang namun tidak punya produktivitas. Tidak berkontribusi bagi masyarakat karena sibuk dengan proyek formalitas.
Akan tetapi, mungkin malam ini, kita masih mendengarkan alunan-alunan musik remeh dan membuat mental-mental kita menjadi pengecut, ciut tak bernyali. Tidur dan terbuai dengan petikan-petikan gitar dari penyanyi-penyanyi bermoral buruk, dan diikut-ikuti. Tapi dengan gerakan cinta ilmu, suatu saat kita akan melihat, konser-konser musik tak lagi ramai. Karena yang ramai adalah majelis-majelis ilmu, sampai berdesa-desak lutut di dalamnya. Hanya saja semua butuh perjuangan. Semua butuh pengorbanan.

Jeneponto, 29 Mei 2012
21.05 Wita
Mengisi waktu, mencari semangat di tengah pengaruh dunia yang hebat…..


[1] salah satu bidang kajian dalam Ilmu Fiqh meliputi hubungan manusia dengan manusia lainnya seperti hukum dagang, pinjam-meminjam, gadai dan lain-lain.
[2]  Istilah bagi penulis; Paham ke-aktivis-an

MENAPAK JEJAK SUNNAH, MEREBUT KEMBALI KEJAYAAN ISLAM (Sebuah Catatan dari Perjalanan Meniti Jalan-Jalan Tadabbur)



------Part 2------
Abu Fath el_Faatih

Pos pertama adalah pos ilmu. Seperti tahun lalu. Di sini peserta diuji kapasitas ilmu mereka. Sejauh mana mereka mengetahui dalil-dalil dan memahaminya. Ada juga beberapa pertanyaan syubhat yang ditanyakan. Pertanyaan mengenai dasar-dasar keislaman. Semuanya menjadi ujian dan untuk melihat siapa diantara mereka yang masih minim ilmu. Terakhir, pos ini ditutup dengan motivasi menuntut ilmu. Semua tim harus melewati pos ini. Dan di sini pula mereka mulai bertolak mendaki gunung “Bulu satu”[1].
Dua jam perjalanan. Latihan ini melatih otot-otot kaki. Kekuatan betis, lutut dan paha. Subhanallah… dua jam itu, semua medannya terjal, nyaris 900. Disekeliling hanya terlihat pohon. Mata kita hanya terpaku menyusuri jejak-jejak yang dianggap sudah dilewati manusia sebelumnya. Karena jika kita lalai. Kita bisa tersesat. Tidak jauh. Karena di samping kiri-kanan, hanya ada bukit terjal berbatu yang di bawahnya jurang. Jika kita melihat keluar, maka yang ada adalah bayang-bayang langit yang biru di sela-sela rindanganya dedaunan hijau. Beberapa tanaman berlumut, pakis, dan pohon-pohon besar kami dapati di sini. Untungnya, kita dapat melewati jalur ini dengan mengikuti jejak aliran air. Sebuah sungai kecil yang menghimpun seluruh mata air di puncak melintasi bebatuan di gunung ini. Rintangannya licin, kaki harus kokoh. Jangan sampai terpeleset dan terguling ke bawah, karena akibat nya bisa fatal. Tidak sampai jatuh ke jurang. Minimal tersangkut di pohon. Tapi tidak tahu berapa jauh  kita jatuh, baru akan tersangkut.
Dengan usaha yang keras. Kami berusaha melalui perjalanan itu. Setelah tepat pukul 12.15 wita, puncak sepertinya semakin menjauh. “wahh… itu dia puncaknya…”, teriakku. Tapi, semakin kami berusaha mengejarnya, sepertinya ada puncak lain yang lebih tinggi. Keringat mulai bercucuran, baju kaos sudah mulai melengket di tubuh karena keringat. Sementara matahari semakin panas. Ditambah lagi kami berdua (sebagai Steering Comitee) bersama Syuaib tidak membawa bekal air minum yang cukup. Hanya dua gelas air mineral. Tapi bagi kami itu sudah cukup. Ini juga menjadi pelajaran, bahwa dalam menempuh perjalanan persiapkanlah bekal.
Perjalanan kami berdua terus dilanjutkan. Sampai berkas-berkas semburat langit kami mulai dapatkan. Semakin lama semakin jelas. Semakin lama, semakin terang. “Nah… itu dia puncaknya…”, kataku dalam hati. “waduh… ternyata kita tertahan. Ada satu batu besar licin yang harus dilewati untuk naik”, kataku kepada syuaib. “Oh… tidak, coba dulu cari jalan… berdasarkan jejak-jejak, sepertinya batu ini tidak menjadi jalan untuk naik”, syuaib menganalisis. Begitulah dia. Otak kirinya selalu menjadi tumpuan selama mendapat masalah. Sehingga kalau ada masalah, pertimbangannya selalu harus logis, analisis, dan sistematis didasarkan ada bukti ilmiah dan empiris. Wah… seperti ilmu sains saja. Karena seperti itu, kami beberapa kali harus turun mengulangi jalan, bahkan meminta bantuan ikhwa di bawah. Karena memang, jejak-jejak yang dilewati masih begitu asing. Ini memang jalur yang baru. Belum banyak yang melaluinya. Jalur lain sebenarnya ada, hanya saja butuh waktu lama, dan tidak begitu menantang.
“Nah… ini dia, kita lewat kanan. Jalur di sini sepertinya dilalui oleh ikhwa yang naik ke sini tadi”, kata syuaib sambil menunjuk dahinya yang sedari tadi berkerut. “Na’am… langsung naik saja”, kataku. Setelah beberapa langkah, puncak semakin membuat kami penasaran. “Sedikit lagi, sedikit lagi….”, kataku dalam hati. Thussss…… Setelah melewati satu pohon besar, kami langsung dikejutkan dengan pemandangan luar biasa. “Allahu akbar…!!!”, aku berteriak sekencang-kencangnya. Suara itu datang kembali menggema dari satu gunung disebelah yang tingginya hampir sama dengan gunung yang kami daki.
Kaki yang sedari tadi pegal, dipaksa mengangkat berat badan yang sudah sempoyongan. “Sedikit lagi… sedikit lagi…”. Tetes keringat mengiringi langkah ini. Tapi angin yang dingin membuat badan tetap berusaha berdiri. Ia seperti sebuah aroma syurga yang menuntun kami menuju pintunya. Bahwa di atas, ada sebuah kenikmatan menanti. Akhirnya kami tiba di puncak. Seakan sebuah tabir yang tadi menghalangi menikmati pemandangan terbuka lebar. Satu landscape pemandangan maha karya dari yang maha pencipta tersibak. Kami tepat berada di puncak. “Allahu akbar…”. Kami teriakkan berkali-kali. Dan sedemikian itu juga suaranya memantul sayup-sayup ke arah kami. “Subhanallah…”. Dari sini laut terlihat di kejauhan. Sebelah timur ada gunung-gunung yang berjejer. Seperti shaf-shaf yang teratur rapi menghadap Rabb-Nya. Semakin lama, semakin kelam dan akhirnya menghilang, ditutup oleh awan abu-abu yang bergerak mendekati puncak-puncak gunung. Bergerak di sela-sela lembah, seperti kawanan burung yang terbang tanpa permisi. Kami tepat berada di puncak. Puncak bumi yang bersinggungan dengan lapisan awan paling bawah, awan troposfer.  Awan ini jika sudah berkumpul akan menghasilkan awan nimbus dan jika berderet ke atas menjadi comulunimbus. Awan yang menghasilkan hujan karena pertemuan molekul-molekul air yang dibawa oleh kabut berkumpul hingga massanya membesar. Terkadang pula menghasilkan halilintar dan Guntur karena pertemuan awan positif dan negatif.
Di kejauhan panorama tanpa sudut ini, sebuah gumpalan raksasa, awan pekat mendekati kami. Saat jauh sepertinya sangat besar, namun ketika dekat ia menyebar menjadi titik yang menghalangi pandangan. Inilah kabut. Kabut melintas mengenai tubuh kami. Ia adalah titik-titik yang terbang menghampiri kami, dan menitip sebagian kesejukannya di tubuh. kesejukan yang mendekati dingin yang dibawa oleh angin.
Di sebelah barat, ada panorama alam raya yang dahsyat. Matahari  membusur api di atas sana, bergerak sedikit demi sedikit merunduk menghampiri peraduannya. Sementara garis horison memecah dua warna yang berdegradasi menyatu dipertengahan. Hijau di bumi dan biru di langit. Di sana ada laut. Ada satu pulau kecil di tengahnya. Konfigurasi panorama ini, tidak akan kami dapatkan di kota. Di kota hanya ada gedung-gedung menjulang. Sebuah simbol keangkuhan dan keserakahan umat manusia mengeksploitasi alam. Deretan kendaraan mulai dari mobil reot yang sudah berasap hitam seperti kapal sampai mobil mengkilat yang suara mesinnya sangat susah dideteksi adalah pemandangan menjemukan. Namun keduanya menyisakan hikmah.
Itulah sebuah perbandingan. Dan dengan mengelilingi alam ini, seorang akan semakin bijak. Seorang akan semakin paham bahwa, tidak ada yang pantas untuk dibanggakan dari apa-apa yang dimiliki. Sifat takabbur hanyalah menjadi simbol kelemahan diri seorang hamba. Bahkan ia tidak akan menambah perbendaharaan. Justru malah mengundang adzab yang pedih. Oleh karena itu, ambillah dan bacalah bait-bait yang  singgah dalam ayat-ayat kauniyah-Nya. Nikmatilah kesejukan imaniah dan renungilah pencipta-Nya. Temukan ketakjuban di balik fakta-fakta logika dan simponi estetika semesta yang mendorong agar kita lebih beretika.
190. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (QS Ali Imran: 190)
Dan bacalah hingga kita betul-betul mengerti tentang makna kejadian kita menapaki kehidupan dalam semesta-Nya.
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, 2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. 3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, 4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, 5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (QS Al-‘Alaq: 1-5).
Jika belum cukup, sepertinya ada yang mendung di hati anda. Karena cahaya itu begitu jelas dan terang. Karena frekuensinya sangat presisi dengan celah hati yang bening. Dan ia akan beresenonansi bersama dengan hati yang murni. Karena qalbu yang bersih akan menangkap kebenaran itu, akurasinya tepat tanpa bias sedikit pun. Jika pun masih belum… Belajar dan berjuanglah untuk mengetahui kebenaran itu. Memahami kebenaran, meyakininya, memperjuangkannya hingga al-yaqin[2] betul-betul menjemput anda.
Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal) (Al-Hijr: 99).
----------------------

Keimanan itulah yang paling pertama yang harus dibenahi. Dengan berusaha meraih manisnya iman. Ulama menjelaskan bahwa menikmati iman adalah dengan mencintai allah di atas kecintaan kepada makhluk. Setelah merenggut hidayah keimanan, maka selanjutnya adalah menyebarkan dengan mengajarkannya. Berdakwah kepada jalan-Nya. Kemudian berjuang meniti jalan itu. Terakhir adalah berusaha untuk itqan[3] dalam dakwah itu dalam kerjasama secara jama’iyah.
Itu yang ingin kami tanamkan dalam muhayyam tarbawy kali ini. Sebuah tahap dalam perubahan umat yang lebih luas. Mu’min, Muslih, Mujahid, Mutqin dan Muta’awin. 5M sebagai out put dari madrasah Rasulullah saw, Tarbiyah Islamiyah. Sebuah instrumen yang menjadi keyakinan sebagai jalan terbaik melakukan usaha islahul ummah.
-------------
Setelah kami berkumpul di puncak, dengan menghabiskan waktu sekitar 3 jam, semua peserta sudah berkumpul. Semuanya nyaris memiliki ekspresi yang sama dengan saya. Kelelahan dibarengi ketakjuban  ternyata menjadi pengantar untuk langsung merebahkan diri.

(Bersambung insya allah)
PDA, 21 Juni 2012
Pkl. 13.10 Wita
Saatnya bergerak….


[1] Kami menyebutnya Bulu Satu, karena daerah ini bernama Bulu Dua (Bulu [Bugis]: Gunung )
[2] Al-Maut atau kematian
[3] Profesional. Menurut Prof. Halide (Rektor UNIFA, Makassar) Itqan adalah doing the job as the best work.

MENAPAK JEJAK SUNNAH, MEREBUT KEMBALI KEJAYAAN ISLAM; (Sebuah Catatan dari Perjalanan Meniti Jalan-Jalan Tadabbur)




------Part 1------

Abu Fath el_Faatih

Sungguh, memang benar hadits nabi saw, “Safar, adalah sepotong adzab…”. Hari itu aku kelelahan. Perjalanan panjang menempuh 5 jam ternyata berat. Sebenarnya saya sudah sering menempuh  perjalanan seperti ini. Namun, memang demikianlah. Menapak-jejakkan kaki di bumi adalah keletihan. Berjalan menuju sebuah negeri nun jauh meniscayakan sisa kelelahan.
Kali ini saya ingin menyampaikan rekam-jejak kami selama dua hari-dua malam diantara dua negeri. Sebuah tempat yang menundukkan hati. Menghancurkan kesombongan dan menyadarkan betapa kecilnya manusia dihadapan Rabb-Nya. Membuat jiwa terenyuh, namun menjadi setitik asa dari titik balik kebangkitan dakwah kampus.
Izinkan saya mengawali dengan satu ayat dalam al-Qur’an Surah Al-Baqarah : 197,
 (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi[1], Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats[2], berbuat Fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan Sesungguhnya Sebaik-baik bekal adalah takwa[3] dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal.
Mari kita sedikit tadabburi.
Allah memulai ayatnya dengan aturan dalam pelaksanaan ibadah haji. Waktu dan larangan dalam ibadah mulia tersebut. Namun, selanjutnya allah menutup di akhir kalimat itu dengan sebuah perintah agung. Perintah untuk berbekal. Dan allah azza wa jalla menyambungnya, sebaik-baik bekal adalah taqwa. Di sini para ulama tafsir menjelaskan hubungan dari dua kalimat ini. Tentang haji dan tentang perintah berbekal. Kira-kira menurut pembaca, –yang dirahmati allah- apa korelasinya ?.
Ternyata, para mufassir menjelaskan bahwa ibadah haji adalah ibadah yang paling berat pelaksanaannya. Ia membutuhkan persiapan. Baik mental, fisik dan material. Oleh karena itu, tidak semua kaum muslimin mampu untuk  melakukannya. Dan hampir dari keseluruhan ibadah haji dalam syariat adalah perjalanan. Dan tentu membutuhkan kesiapan fisik yang memadai. Oleh karena itu, dalam riwayat, orang-orang mendatangi masjidil haram sampai bertahun-tahun lamanya. Ketika nabi Ibrahim diperintahkan oleh allah untuk menyeru manusia mendatanginya, dalam al-qur’an allah menyebutkan :
Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus[4] yang datang dari segenap penjuru yang jauh (QS Al-Hajj: 22)
Bahkan disebutkan, bahwa ketika para jamaah haji telah sampai di depan ka’bah, mereka yang saling bertanya, “Tahun berapa engkau meninggalkan kampungmu ?”. Yang lain menjawab “Saya bertolak dari kampung dalam usia masih muda, namun sekarang uban telah mulai tumbuh dan memenuhi rambutku”. Dalam perjalanan menuju baitullah, orang-orang di zaman nabi Ibrahim As membutuhkan waktu hingga puluhan tahun untuk sampai. Bahkan, bekal yang mereka bawa dari negerinya tidak cukup dalam perjalanannya. Sehingga ketika bekal mereka habis, mereka terkadang harus singgah menetap, hingga berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk mempersiapkan bekal mereka dalam melanjutkan perjalanan kembali.
Demikianlah beratnya safar dalam ibadah haji tersebut. Belum lagi rentetan ibadah di dalamnya, seperti thawaf (mengelilingi ka’bah sebanyak 7 kali). Berlari-lari kecil (3 kali) antara  shafa dan marwah. Dan perjalanan di setiap tempat-tempat bersejarah dalam syariat. Oleh karena itu, rasulullah saw menyebutkan bahwa safar adalah sepotong adzab.
Maka tentu semakin jelaslah, bahwa perjalanan itu adalah pasti melelahkan. Namun jika dilihat hadist nabi saw di atas dalam konteks kekinian, sepertinya safar bukan lagi sebuah adzab. Teknologi transpotasi yang sudah demikian mapan. Perjalanan darat sudah demikian cepat untuk ditempuh. Apalagi sudah terbuka jalur laut yang dengan kapal – kapal laut, perjalanan bahkan dinikmati dengan pelesiran dan melancong ke tempat-tempat wisata. Begitu pula perjalanan udara, dengan ditemukannya pesawat terbang, waktu tempuh semakin ringkas dan padat.
Akan tetapi, ternyata jika dilihat lebih dekat, perjalanan justru tetap melelahkan. Seorang yang menempuh jalur darat, di atas kendaraan mungkin hanya istirahat, bahkan tidur di dalamnya masih merasakan keletihan. Padahal tidak ada aktivitas dalam kendaraan itu. Setelah sampai, kita malah merasakan keletihan yang sangat dan butuh istirahat kembali.
Demikian halnya dalam perjalanan laut sampai perjalanan udara. Baru – baru ini tragedi Sukhoi SJ 100 yang jatuh di gunung salak bogor sepertinya menjadi tekanan, bagi orang-orang yang memilih jalur udara dalam perjalanannya. Paling tidak ia memberi warning bagi setiap kita untuk semakin menyiapkan  mental menempuh jalur udara. Itulah kebenaran hadist nabi saw dan kesesuaiannya terhadap perkembangan zaman.
Perumpamaan safar dan perjalanan itulah kehidupan dunia. Dalam satu atsar, umar Ibn Khattab Ra menyebutkan : “Jadilah kalian hidup di dunia ini seperti musafir.” Orang yang sedang melakukan perjalanan tentu hanya sekedar singgah di tempat persitirahatannya. Tidak membangun rumah yang besar-besar dan tinggi. Karena sebentar lagi ia akan meninggalkannya.
Kehidupan dunia adalah seperti menempuh sebuah jalan. Suatu saat, kita akan sampai ke tujuan. Dan rasulullah saw menyebutkan “seseorang yang hidup di dunia ini seperti berjalan di atas sebuah jalan, dan kematian berjalan menuju kepadanya, suatu saat ia akan bertemu dengan kematian itu”.
Dan menjadi hal yang mafhum[5], bahwa semakin jauh perjalanan itu, semakin kita membutuhkan bekal. Semakin lama perjalanan yang akan kita tempuh, semakin baik pula bekal yang harus kita persiapkan. Jika dalam kehidupan dunia, semakin jauh tempatnya, semakin banyak bekal yang mesti untuk dipersiapkan. Semakin lama perjalanannya, semakin kita butuh kesiapan materi, fisik dan mental. Maka, apatah lagi jika kampung yang akan kita tempuh adalah kampung akhirat. Kampung yang tidak ada lagi ujungnya dan sejauh-jauh perjalanan.
Abu hurairah, Sahabat nabi saw yang mulia di akhir kehidupan beliau dalam kondisi sakaratul maut, saat berlinangan air mata keluar dari lisannya, “bagaimana mungkin saya tidak menangis, jika sedikitnya bekal, dan jauhnya perjalanan”.
Oleh karena itu, Allah menyebutkan “dan berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa”. Bekal yang terbaik bagi seorang manusia, tidak lain adalah bekal taqwa. Bekal menuju kampung hakiki mereka, syurga atau neraka. Maka pantaslah, jika pengingat yang paling pantas di kala kita butuh nasihat adalah, “Ittaqillah…!!!”, bertaqwalah kepada Allah. Karena ia adalah sebaik-baik bekal. Dan cukupkan diri kita dengan nasihat itu.
---------------
Saat itu, saya merasa letih hingga tidak menyempatkan diri untuk menggubah beberapa baris kalimat. Ya, letih dan lelah. Belum lagi bis yang sudah ditunggu sejak beberapa jam. Sejak jam 16.00 wita, usai shalat ashar. Semua peserta langsung terbaring melepas kepenatan dan haus yang sudah dari pagi mereka tahan saat kepulangan ini.
Perjalanan itu diawali saat seluruh peserta dikumpulkan di depan gedung auditorium kampus UNM Gunung Sari. Waktu sosialisasi memang agak mepet. Hanya sekitar satu pekan. Sehingga beberapa LDK tidak dapat menghadiri acara ini. Tapi itu sudah saya bantu, di setiap majelis, saya selalu menyampaikannya agar mereka semua bersiap-siap dalam waktu dekat. Sebuah ajang yang mempertemukan para pejuang dakwah kampus melepas diri mereka di alam raya. Tadabbur dan tafakkur imaniah di lintas batas bumi. Keluar dari kota yang setiap hari hanya hiruk-pikuk kendaraan yang berlalu-lalang menuju lembah dan gunung. Orang menyebutnya Desa Bulu Dua. Di tepi batas di antara dua kabupaten. Barru dan Soppeng.
Hanya saja karena konsolidasi yang kurang baik, seluruh peserta tidak berangkat bersamaan. Dua gelombang. Tepatnya empat gelombang, karena kita terpisah ke dalam satu mobil bis yang berangkat menjelang jam 17.00 petang. Setelah itu mobil bis kedua bersamaan dengan 4 motor dengan 5 orang. Dan sebuah mobil panther, terakhir mobil mewah. Satu jamaah dari ikhwa taddulako. Saya dan wardi bersama mereka.
Sebenarnya bersama mobil panther itu kami mulai start. Hanya saja karena salah belok di tol reformasi, akhirnya kami tersesat. Keluar di jalur pelabuhan. Terpaksa memutar kembali setelah sekitar 30 menit yang lalu, mobil panther itu telah mendahului kami.
-----------------
Tidak banyak kisah yang saya bisa uraikan di perjalanan. Kami hanya banyak istirahat. Sejenak singgah mengisi perut yang sudah keroncongan di Barru. Dan melanjutkan kembali hingga lewat perbatasan kami baru awas. Ternyata tempatnya tidak begitu kami ketahui. Tepatnya tidak tahu sama sekali, sementara waktu semakin larut, memakan detik-detik yang telah berlalu. Kami berada paling belakang. Menyusuri jalan raya yang  sesekali di selingi kabut. “Wah… daerah ini bagi saya masih asing, saya mungkin baru lewat disini seumur-umur”, kataku dalam hati. Apalagi tiga orang yang kami temani dari Universitas Taddulako, Palu. Parahnya, jalan yang kurang bersahabat ditambah sinyal yang hilang sama sekali membuat kami semakin bertanya-tanya, di mana sebenarnya tempat perkemahan. Setelah lewat sekitar 10 Km dari perbatasan, jejak sinyal sudah membaik. Kami langsung menghubungi ketua panitia, Sukandi. “halo…, assalamu alaikum…”, kataku. “wa alaikum salam warahmatullah… “, balasnya. “Kenapa kak…??, di mana maki ??”, Tanya sukandi. “Justru saya yang mau Tanya, di mana tempatnya ?”, aku menimpali. “saya sekarang sudah lewat dari perbatasan Barru-Soppeng, lewat di daerah berkabut tadi.”, Lanjutku. “Wah… lewat maki itu pale’…. Jauh maki itu… kembaliki…,” kata sukandi. Ternyata ia berada di belakang kami karena motor salah seorang ikhwa mengalami kedala. Bannya pecah, kuncinya hilang dan kehabisan bensin. Peristiwa itu berturut-turut ia alami di Barru. Mereka berhenti sejenak untuk memperbaiki kendaraannya.
Akhirnya setelah lama menyusuri jejak-jejak di jalan, dan melewati banyak petunjuk jalan, kami berusaha meraba-raba. Bukan main jam sudah menunjukkan pukul 01.30  wita. Semua ikhwa di mobil yang berjumlah lima orang sudah terlelap kecuali saya, zam-zam, dan satu orang lagi yang sudah terbangun. Bukan main, malam ini pun diguyur hujan rintik-rintik. Dingin menusuk ditambah kabut yang banyak membuat kami kehilangan jarak pandang dan semakin memperlambat jalan. Apalagi ini jalan terjal, di sebelah kiri adalah jurang. Saya terus konfirmasi ke akh sukandi. Ingin betul-betul memastikan bahwa kami telah lewat. Dan sebenarnya kami memang cenderung pada kesimpulan itu. Karena isyaratnya adalah, tempatnya tepat di perbatasan. Tandanya ada tugu di situ. Dan kami melihat tugunya tadi.
Setelah menempuh jalan kembali, tepat bis yang kedua juga berhenti di perbatasan. Di kejauhan, cahaya lampu bis  itu kelihatan. Dan kami pun menepi, berhenti di trotoar jalan.
Ternyata, jadwal yang disusun sangat molor. Seharusnya seluruh MDK[6] sampai paling lambat pukul 20.00 wita di sini. Namun ternyata sampai jam 02.00 wita. Kami belum terdeteksi berapa jumlahnya. Menurut saya saat itu sekitar 80-an orang. 5 fakultas dari UNM (SCMM MIPA, PUSDAMM FBS, KBM FT, SRN FIP, dan SC Al-Furqan FIS. Untuk LDK lain LPKSM Unismuh, MA’HAD ALY STIBA dan MPM UNHAS, serta FORMASI STAIN PARE-PARE DAN UNTAD PALU) Dan semuanya terkatung-katung karena hujan yang mengguyur di tengah malam, ditambah dingin dan rasa ngatuk yang menyerbu, membuat sebagian mengambil jalan pintas. Ya, tidur. Adalah jalan terbaik dari semua ini. Tapi dimana ?. sementara, tempat campingnya belum diketahui pasti. Akhirnya  diputuskan untuk minta izin menginap di rumah warga. Wardi pun memberanikan diri mengetuk pintu rumah warga tepat di seberang jalan. Dan semua MDK dari LDK dan LDF terselamatkan. Mereka melepas lelah di rumah warga. Rumah beralas tembok cor. Kasar dan berdebu. Namun itu disiasati dengan menggelar tikar – tikar yang mereka sudah persiapkan untuk camping. Semua menikmati malam yang lelap. Tapi Alhamdulillah, kami terbangun di waktu subuh. Semua bangun dari tidur lelapnya. Tidur berkualitas. Cepat, namun sangat dinikmati.  
Saat itu subuh. Air seperi diambil dari freezer kulkas. Wuhh…. Dingin menusuk. Diantara kami sepertinya tidak ada yang saling mengenal. Masing-masing mengenakan sarung menutup muka. Seperti orang kedinginan. Bukan seperti, tapi memang kedinginan.
Subuh itu dilalui dengan khusyu’. Masih ada bekas-bekas ngantuk semalam kami bawa dalam shalat. Sisa-sisa kepenatan masih terasa. Namun berusaha untuk disusir dengan mengikuti bacaan imam. Amir memimpin jama’ah shalat. Dan shalat pun usai hampir sesaat sebelum mahari terbit. Setelah terbit, ternyata seluruh medan baru kelihatan dengan baik. Kita berada di lereng gunung. Naik sekitar 50 m dari jalan raya. Membangun tenda dan selanjutnya bersiap-siap untuk mendaki.
Inilah Islamic camp IV. Kami para MDK yang tergabung dalam LIDMI[7] mengambil momen pertemuan di alam raya. Sebuah kesempatan mempekokoh ukhuwah dan menjalin silaturahim di antara para pengurus LDK se sul-sel. Bukan hanya itu, ini juga adalah wadah membangun kerjasama tim. Melihat kekompakan dari pengurus LDK dan melihat sejauh mana ketahanan mereka dari segi fisik dan mental. Di sini tempatnya. Tempat mengadu kekuatan dan menujukkan kebolehan mereka dalam segala hal.
--------------
Setelah matahari meninggi. Ia mulai memperlihatkan ronanya yang menguning. Menyebar memenuhi ufuk dan menebarkan kehangatan di tubuh kami yang sudah sedari tadi menggigil. Foton-nya menabrak partikel-partikel yang dibawa kabut memendar diangkasa. Berpendar ke segala arah seperti pedang-pedang cahaya. Di sebelah kiri kami gunung. Di sebelah kanan pun gunung. Keduanya terjal. Dan sesaat lagi salah satu dari mereka akan kami taklukkan pagi ini. Allahu Akbar ….!!!!
Materi pertama dari Ust. Ismail Rajab, ST. Seorang pakar pergerakan dan Manajemen dakwah kampus. Beliau menghabiskan sekitar 1,5 jam menyampaikan bagaimana LIDMI dirintis di akhir tahun 90-an. Serta bagaimana pergerakan mahasiswa di era rezim orde baru.
Satu hal yang kami petik, “kita semua adalah aktivis. Seorang aktivis adalah orang yang dapat hidup di manapun dan bagaimana pun kondisinya. Tidak ada batas yang dapat menghambat gerakan seorang aktivis. Karena itu jadilah aktivis sejati”. Terakhir kami ditantang untuk bisa hidup dengan hasil keringat sendiri. Singkatnya itulah aktivis. Orang yang mampu berdiri di atas kaki mereka sendiri.
---------------
Setelah berta’aruf dari LDK masing-masing, semua tim diberi waktu 60 menit untuk membangun tenda, dan menyantap sarapan pagi mereka. Yang tentu, mereka harus menyalakan api yang diperoleh dari ranting atau batang pohon kering di sekitar mereka.
Semua MDK dibagi. Dan mereka masing-masing mendirikan tenda. Terlihat asap mengepul-ngepul ke angkasa. Ternyata itu adalah asap dari tungku api masing-masing tim. Ada yang baru mencari kayu bakar. Ada yang sudah menanak nasi. Ada pula yang baru membangun tendanya. Semua seperti para mujahidin yang bergerilya melawan tentara musuh di daerah mereka. Tak lupa, suasana itu diperlengkap dengan satu nasyid perjuangan. “Pemuda Kahfi”….Bangkitkan negeri… siapkan generasi…. Pemuda harapan… tumbangkan kedzalimaaaann….”. Allahu Akbar !!!. Sebuah suasana yang jarang kami dapati di kampus.
Satu jam berlalu semua berkumpul. Ini diawali dengan pemanasan, yel-yel penyemangat dari masing-masing tim dan persiapan mendaki.
Setelah semua berbaris, semua dilepas dengan berbaris seperti sebuah pasukan semut. Menuruni jalan menuju gunung yang akan ditaklukkan…
(bersambung insya allah…)
-----------




[1] Ialah bulan Syawal, Zulkaidah dan Zulhijjah.

[2] Rafats artinya mengeluarkan Perkataan yang menimbulkan berahi yang tidak senonoh atau bersetubuh.

[3]  Maksud bekal takwa di sini ialah bekal yang cukup agar dapat memelihara diri dari perbuatan hina atau minta-minta selama perjalanan haji.

[4] Unta yang kurus menggambarkan jauh dan sukarnya yang ditempuh oleh jemaah haji.
[5] Sudah dipahami dengan baik
[6] Mujahid Dakwah Kampus
[7] Lingkar Dakwah Mahasiswa Indonesia
 

Iklan Buku

Followers

Bincang-Bincang