“Bu, siapa sebenarnya
manusia pertama, Nabi Adam atau Kera ?.” Tanya seorang siswa saat mata
pelajaran Biologi.
“Sudah!, kalian pelajari saja. Yang jelas kalian tahu bahwa
menurut sains manusia pertama itu dari kera, sedangkan menurut agama, adalah
Nabi Adam”, Kata sang Guru.
Diskusi singkat di atas, sangat sering kita jumpai di kelas. Pertanyaan
yang jawabannya memberi pilihan atau kesejajaran yang dikotomistik. Jawaban
seperti itu sebenarnya lahir dari ilmu yang sekuler. Sebab tidak mungkin
jawabannya bernilai dua. Karena dalam kondisi seperti itu, kemungkinan yang
benar hanya satu.
Lalu bagaimana kita harus menjawabnya ?. Sebenarnya, perlu dicatat
bahwa kehilangan jatidiri dan cara pandang sebagai seorang muslim justru sangat
membahayakan kepribadian muslim sendiri. Padahal, kita sebagai muslim seharusnya bisa
lebih jeli melihat bagaimana ‘wujud asli’ ilmu dalam peradaban Barat yang
sekarang me-reproduksi ilmu yang sekuler. Karena itu menjadi tuntutan bagi muslim’s
scholar hari ini untuk mengenal betul, bagaimana karakteristik ilmu yang
lahir dari rahim peradaban barat, baik secara genetis dan ideologi. Tulisan ini
hendak mengkaji akar sejarah sekulerisasi ilmu secara ringkas. Selamat menikmati!.
Masalah
Sekulerisasi
Dalam tulisan sebelumnya juga sudah diungkapkan, bagaimana kondisi
kritis peradaban barat yang terus bergerak ke arah sekulerisasi. Peristiwa
bagaimana barat berubah dalam tradisi intelektual panjang yang merupakan
pergulatan antara agamawan (kristen), raja dan para ilmuwan, menunjukkan tragedi
ilmu, agama, dan kekuasaan tidak dapat dipertemukan. Hal itu pula-lah yang juga
melanda dunia islam. Kita bisa melihat pada sebagian besar orang-orang muslim yang
tidak punya sikap politik yang baik dalam memihak pada agamanya sendiri, dan
berbalik mendukung sekulerisasi[1].
“Tidak apa-apa kafir yang penting tidak korupsi”. Seakan-akan masalah yang
lebih penting dari persoalan bangsa hanya-lah korupsi. Dari ungkapan itu,
tercermin bahwa agama tidak perlu ikut campur dalam urusan politik dan negara.
Hal ini menarik, sebab Prof. al-Attas telah memberikan
penyelesaian pandangan problematis seperti ini. Kata beliau, “sangat penting
untuk kita ketahui bahwa masalah-masalah ini muncul disebabkan oleh masuknya cara-cara
Barat dalam berfikir, menilai, dan meyakini sesuatu, yang kemudian ditiru oleh
sarjana dan cendekiawan muslim,yang terlalu dipengaruhi oleh Barat dan
terpesona dengan kemajuan teknologi Barat dalam Sains dan Teknologi”.[2]
Lebih lanjut kata beliau, “Kenyataan bahwa mereka ini dapat
dipengaruhi menunjukkan kelemahan mereka dalam hal pemahaman yang benar dan
menyeluruh terhadap pandangan alam (worldview) Islam dan Barat, juga
terhadap prinsip-prinsip agama serta cara berfikir, yang menjadi
merefleksikannya.” Situasi ini dianggap oleh Prof. al-Attas sebagai krisis
pemikiran yang juga melanda umat islam. Bahwa sebenarnya, sebagian besar umat
islam tidak sadar akan implikasi proses sekulerisasi.[3]
Untuk itu, perlu dipahami apa dan bagaimana sekulerisasi itu sebenarnya, serta
bagaimana usaha serta solusi mengatasinya.
Makna dan
Kelahiran Ilmu Sekuler
Dalam bukunya, Prof. al-Attas mengurai makna Sekuler. Secular
berasal dari bahasa latin saeculum, mengandung suatu makna yang ditandai
dengan dua pengertian yaitu waktu dan tempat atau ruang.
Sekuler dalam pengertian waktu merujuk pada kata ‘sekarang’, atau ‘kini’,
sedangkan dalam pengertian ruang merujuk pada ‘dunia’ atau ‘duniawi’. Jadi saeculum,
bermakna ‘zaman kini’ atau ‘masa kini’, dana zaman ini atau masa kini, merujuk
pada peristiwa di dunia ini, dan itu juga berarti ‘peristiwa-persitiwa masa
kini’. Tekanan makna pada istilah sekuler adalah diletakkan pada suatu waktu
atau masa tertentu di dunia yang dipandang sebagai proses kesejarahan. Konsep
sekuler merujuk pada keadaan dunia pada waktu, tempo, dan zaman ini. [4]
Dari definisi di atas, jelas terlihat bagaimana bidang semantika
sekuler. Bahwa maknanya berputar disekitar penunjukan kehidupan untuk zaman
sekarang dan kini. Istilah ringkasnya, paham sekulerisme adalah paham
‘ke-disini-kini-an’. Sebuah paham yang bertautan dengan materialisme dan
relativisme. Sekuler mengandung makna spatio-temporal. Dan jika dilacak
ke belakang, dua makna itu lahir dari perkawinan tradisi-tradisi Yahudi di
dalam kristen-Barat, dan tradisi-tradisi
Yunani-Romawi. Percampuran antara unsur-unsur pandangan Hellenik
(Yunani) dan Ibrani (Hebrew) yang saling bertentangan yang sengaja dimasukkan
ke dalam agama kristen inilah yang kemudian diakui para teolog dan para sarjana
Kristen sebagai sesuatu yang bermasalah. Sebab hanya memandang eksistensi
sebatas ‘ruang’ dan ‘waktu’.[5]
Paham tersebut, muncul dari dikotomi antara regnum dan sacerdotium,
pemisahan antara kekuasaan raja dan otoritas gereja, antara wewenang negara dan
wewenang agama. Doktrin ini kita ketahui berasal dari tradisi inteletual barat
yang dilegitimasi oleh St. Augustin, yakni distingsi antara Kota Bumi (civitas
terrena) dan Kota Tuhan (civitas dei).[6]
Dampak dari dominasi Filsafat yunani klasik terhadap Teologi
Kristen awal menyebabkan kata sekuler memiliki konotasi sesuatu yang inferior.
Sekuler sudah bermakna perubahan di ‘dunia ini’ bertentangan dengan ‘dunia
agama’ yang kekal, tidak berubah dan benar serta lebih hebat dari dunia sekuler
yang berlalu (passing) dan bersifat sementara (transcienti). Maka
kata sekuler semakin memiliki konotasi negatif ketika terjadinya sintesis pada
abad pertengahan antara Filsafat Yunani kuno dan ajaran Yahudi. Sintesis itu
adalah ruang (spatial world) lebih tinggi dan lebih agamais, sedangkan
dunia sejarah yang berubah lebih rendah atau ‘dunia sekuler’. [7]
Sekulerisasi tidak hanya berkaitan dengan politik, namun seluruh
bidang kehidupan. Berdasarkan defenisi Harvey Cox, bahwa sekulerisasi adalah pembebasan manusia
dari proteksi agama dan metafisika. Pengalihan dari alam lain ke dunia ini. (Secularization
is The Liberation of man from religious and metaphysical tutelage, the turning
of his attention away from other worlds toward this one)[8],
maka sekulerisasi bisa dibagi ke dalam tiga dimensi utama. Pertama,
Penghilangan pensona alam tabi’i (disanchantment of nature), kedua
peniadaan kesucian dan kewibawaan agama dari politik (desacralization of
Politics), dan ketiga penghapusan kesucian dan kemutlakan nilai-nilai agama
dari kehidupan (deconsentration of values)[9]
Teologi sekuler yang dikembangkan Harvey Cox menjadikan manusia
sebagai pembahasan utama, menggantikan teologi tradisional yang masih
menekankan Tuhan. Menurutnya, Tuhan, hukum Tuhan dan agama harus dimanusiakan
Gagasan Dietrich Benhoeffer dan Harvey Cox ini menggemakan kembali pendapat
Ludwig Feuerbach (1804 – 1872), guru Karl Max. Baginya, Agama-lah yang
menyembah manusia. Agama sendiri yang menyatakan Tuhan adalah manusia dan
manusia adalah Tuhan (God is man, man is God). Jadi agama menafikan
Tuhan yang bukan manusia. Teologi yang sebenarnya adalah antropologi. Agama
merupakan mimpi dan akal manusia.[10]
Dengan konsep Tuhan yang sosial dan Politis, maka Harvey Cox telah mengganti
teologi metafisis dengan teologi perubahan Sosial. [11]
Dalam kasus teologi kristen, dua istilah Intellectus dan Ratio
masing0masing bermakna ilmu kebijaksanaan (sapiental) dan ilmu sains
(scientific knowledge) difahami sebagai dua hal yang tidak saling
sesuai. Inilah yang menjadi akibat dari Teologi Kristen yang menekan peranan kebijaksanaan
akal dan mengutamakan pentingnya peranan ilmu sains di atas rasional murni yang
hanya dapat bekerja pada alam dengan mengabaikan makna spiritual dan mengikuti
logika naturalisnya hingga ke akhir kesimpulan. Akhirnya, alam dunia dipandang
sebagai objek benda (material), dan jasmani yang tidak berhubungan dengan
realitas spiritual dan kebenaran yang melandasinya. Karena itu alam tabi’i
(natural world) ditolak, karena dianggap tidak berguna dan bahkan
menghalangi usaha kristen untuk mencapai dunia spiritual. Aristotelianisme
telah terserap ke dalam teologi dan metafisika Kristen. Proses asimilasi
filsafat Aristotelian ke dalam teologi Kristen mencapai kesempurnaan pada abad
ke-13 ketika Aquinas mencapai apa yang dikenal dengan Sintesis Thomistis.
Hasil logis dari rasionalisme dan sekulerisasi terhadap alam, dalam
perkembangan ilmu sains Barat telah digarisbawahi oleh Copernicus. Dimana
desentralisasi bumi dalam kosmos telah membawa dampak yang mengurangi arti
penting manusia di dalamnya. Ia akhirnya membawa manusia tersingkir dari arti
penting kosmos; hakikat manusia diturunkan menjadi hanya bersifat kebumian (terrestelisation)
dan makna spiritualnya (transendece) disangkal. Kesan sekulerisasi yang
lebih penting terhadap ilmu pengetahuan di Barat adalah revolusi cartesian dalam
abad ke-17 yang memberi kesan wujudnya dualisme mutlak antara materi (benda)
dengan roh sehingga alam tabi’i menjadi terbuka bagi pengamatan dan
khidmat ilmu sains sekuler. Filsafat Barat berkembang dengan pasti dan logis
bergandengan dengan ilmu sains yang semakin sekuler. Kemudian, melalui filsafat
dan ilmu sains sekuler, manusia menegaskan pengakuan dirinya dan mencoba
merebut kebebasannya dari Tuhan Semesta Alam, sehingga ia bebas untuk berbuat
terhadap alam (exploitation).[12]
Seperti itulah sejarah kelahiran
Ilmu Sekuler. Telah jelas terpampang bahwa, pemisahan antara agama dan ilmu
pengetahuan adalah produk tradisi intelektual Barat yang lahir dari perkawinan
silang antara pandangan dan ajaran Yunani-Romawi-Kristen-Yahudi. Sementara
dalam Islam, tidak dikenal ada adopsi ilmu pengetahuan dari peradaban manapun,
sebagaimana Barat. Yang ada adalah adaptasi. Penyesuaian konsep-konsep kunci sebuah
ilmu dengan konsep-konsep cara pandang islam. Selama ilmu itu sesuai dengan
Qur’an dan Sunnah serta tidak keluar dari kerangka epistemologi islam, maka
ilmu itu diterima dan dikembangkan. Bahkan bisa menjadi fardhu. Sedangkan
jika ilmu itu bertolak belakang atau bahkan melawan Struktur epistemologi islam
maka, ilmu itu wajib untuk ditinggalkan.
Kini kita bisa melihat, ilmu yang ada dalam kurikulum pendidikan
sekolah kini adalah ilmu yang sekuler. Karena itu, tidak serta merta kita harus
menerimanya secara mutlak dan membawanya sampai pada tahap yaqin. Masih
banyak teori yang justru masih berada dalam darajat dzhan, syak (hipotesa)
atau bahkan wahm. Karena itu, ada ilmu yang bukan membangun konstruk
aqidah kita sebagai muslim. Ada yang mengacaukan atau bahkan merubuhkannya. Yang
menjadi penting adalah kita harus memahami secara mendasar dan filosofis, bagaimana
derajat dan urutan ilmu itu dirunut dalam hirarki-nya sesuai konsep
epistemologi dalam islam. Demikian halnya, untuk memahami lingkungan dan alam,
karena ilmu adalah alat untuk sampai pada kebenaran. Apa tujuan alam dan untuk
apa kita mempelajari fakta-fakta kauniyah ?. Serta bagaimana seharusnya ‘ilmu’
menempatkan diri kita sendiri sebagai manusia, di mana tempat tuhan, alam dan
objek ilmu pengetahuan itu sendiri.
Lalu
Bagaimana ?
Dalam konsep islam, alam semesta adalah lambang, simbol, atau
tanda. Dalam bahasa arab dikenal keterkaitan makna ‘ilm, ‘alam, dengan ‘alamat,
yang huruf dasarnya terdiri atas ‘ain, lam dan mim. Alam adalah
lambang untuk mencapai makna dibalik dari lambang tersebut. Prof. al-Attas
menjelaskan sangat detil dalam ‘Islam dan FIlsafat Sains’. Beliau
mengungkapkan, “Sesungguhnya alam tabi’i adalah bentuk lain dari wahyu ilahi
yang analog dengan al-Qur’an itu sendiri.” Kajian atas alam misalnya, setiap objek
ilmu di dunia adalah ciptaan, dan kajian atas alam yang berhenti pada fakta,
tanpa melanjutkan apa makna di baliknya adalah ilmu yang perlu dipertanyakan
keabsahannya.[13]
Hal itu juga dijelaskan Zaidi bahwa,
The various objects in the World of Nature which it seeks to
study and investigate are not to be tread as mere things to which one may do as
one wishes because such objects, being the various signs of God, they are never
existentially and epistemologically independent from him… The other implication
concerns science as an apistemic act, as a disciplined act of reading and
thinking with method(s) suitable to the cosmos concevied as such. In the
Islamic intellectual an scientific tradition, the Cosmos is often regarded as
the Created Book, somewhat analogous to the Qur’an as the revealed book.[14]
Ilmu yang tidak mengantar pada pencipta, adalah ilmu sekuler.
Sebagaimana kita telah jelaskan di bagian awal. Golshani
mengungkapkan bahwa sains dan agama memiliki tugas masing-masing namun saling
melengkapi dan saling menjelaskan. Sains yang baik adalah sains yang dapat
mendorong kepada ibadah. Bila suatu ilmu menyebabkan perpisahan hati dengan
Tuhannya, itu merupakan penyimpangan. Sebaliknya, kekuatan agama terletak pada
kemampuannya mengorganisasikan energi batin menuju dimensi yang melebihi
keterbatasan manusia. Agama akan tetap
bernilai dan inspiratif bila tetap mampu berperan sebagai benteng hati nurani
paling bening dan paling maju setiap kali menarik teknologi, ekonomi, serta
sains ke persoalan-persoalan terdalam kehidupan dan manusia.[15]
Proses pemisahan agama dari ilmu pengetahuan terjadi dalam proses
berabad-abad lamanya. Dan kini dampaknya telah dapat kita rasakan. Sangat
sering para siswa dijejali dengan jawaban dikotomistik. Manusia Pertama menurut
agama adalah Adam, sementara manusia pertama menurut sains adalah kera (makhluk
homonid). Padahal telah jelas, bagaimana lahirnya sains yang telah memisahkan
wahyu sebagai sumber ilmu yang sudah memberi konsep kosmik yang bersifat
transenden dan ultimate. Asal-muasal manusia sudah jelas, bahwa ia
diciptakan dari ketiadaan[16].
Dan akhirnya akan sampai pada akhirat.
Lalu, bagaimana proses
penyesuaian itu ?. Insya Allah kita bahas dalam kajian berikutnya, Islamisasi
Ilmu. Baik Menurut al-Faruqi maupun al-Attas (wallohu a’lam).
[1]
Lihat Syamsuddin Arif, Islam dan Tantangan Sekulerisme, (Makalah yang
disampaikan pada Seminar Pemikiran di Baruga A.P. Pettarani UH, Makassar, Ahad
21 Februari 2010). “Sejak mendiang Nurcholish Madjid menyatakan bahwa Islam
sebenarnya mendukung sekularisasi. Khususnya urusan politik dan negara, yang
merupakan perkara duniawi, katanya, jangan diagamakan. Meski mengelak bahwa
‘dengan sekularisasi tidaklah dimaksudkan penerapan sekularisme dan mengubah
kaum muslimin menjadi kaum sekularis,’ namun gagasan yang dilontarkannya pada 2
Januari 1970 dalam acara diskusi yang diadakan HMI, PII, GPI dan Persami, di
Menteng Raya 58, Jakarta itu masih bergema hingga kini. Misalnya pada ungkapan
ini: ‘Jangan mempolitisir agama’ atau ‘Jangan mencampur-adukkan agama dan
politik”.
[2]
Lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam
dan Sekulerisme, Bandung: PIMPIN-ATMA UKM, 2010, hlm. 17
[3]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekulerisme…, hlm. 17-18
[4]
Dari bahasa Latin “saeculum”
(zaman, masa). ks. ‘saecularis’ (mengikuti zaman). kb. “Saeculares”
lawan kata “religiosi” (orang-orang beragama). Dalam bahasa Arab modern : العلمانية. Istilah
Prof. Syed M. Naquib al-Attas الهنا الآنية . Pokok-pokok Akidah sekular: 1. secularization
is good, necessary and inevitable. 2. Secularity is characteristic of
modernity, 3. being secular = being modern. 4. Modern life = secular
life. (Lihat Syamsuddin Arif, Sekulerisme, Liberalisme, dan Pluralisme,
file PPT.)
[5]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekulerisme…, hlm. 18-19
[6]
Lihat Syamsuddin Arif, Islam dan Tantangan Sekulerisme…
[7]
Adnin Armas, Sebuah Catatan Untuk Sekulerisasi Harvey Cox, Jurnal
Islamia, Jakarta: INSIST, (Vol. III, No. 2, 2005), hlm. 31
[8]
Adnin Armas, Sebuah Catatan Untuk Sekulerisasi Harvey Cox…, hlm. 28
[9]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekulerisme…, hlm. 20
[10]
Adnin Armas, Sebuah Catatan Untuk Sekulerisasi Harvey Cox…, hlm. 31
[11]
Adnin Armas, Sebuah Catatan Untuk Sekulerisasi Harvey Cox…, hlm. 28
[12] Syed
Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekulerisme…, hlm. 43-45
[13]
Lihat Syed
Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, Bandung: Mizan,
1995, hlm. 43-45
[14] Mohd.
Zaidi b. Ismail, The Nature of Thr Cosmos and Its Implications On Science
Education , Educational Awakening, Malaysia: IIUM, (Volume 5 Number 1,
2008), hlm. 115
[15] Lihat
Augustina Kurniasih, Hubungan Sains dan Agama, hlm. 42
[16]
Lihat QS. At-Thur: 35-37
No comments:
Post a Comment