Dari Yunani ke
Islam
Transmigrasi
Ilmu, menjadi pintu terjadinya Naturalisasi Ilmu. Transmigrasi ilmu yang paling
efektif adalah penerjemahan karya-karya ilmuwan dan filosof di mana Peradaban
itu berkembang. Seperti yang terjadi ketika Alexandria, yang menjadi pusat pengembangan keilmuwan Romawi
bercorak Helenisme jatuh dalam kekuasaan umat Islam. Aktivitas pengalihan
bahasa dari buku-buku karya Aristoteles, Socrates, Plato dan lain-lain dimulai.
Ilmu-ilmu logika, tata moral, filsafat alam, serta kedokteran mulai mengalir ke
jantung Kekhilafahan Umat Islam di Baghdad (masa Abbasiyah). Mata air ilmu
memancar dan selanjutnya menyebar dalam urat nadi ilmu pengetahuan umat islam.
Adalah
Yahya bin al-Bithriq yang hidup pada masa kekhalifahan Harun ar-Rasyid dan
al-Ma’mun menghasilkan terjemahan dari kitab Timeaus, Plato. Karya ini
menurut al-Fihris, terdiri dari tiga makalah (maqalat).
Terjemahan yang lain adalah dari parafrase De Anima karya Arostoteles,
mungkin dalam versi Themistius, yang bersama-sama dengan parafrase Alexander
dari Aphrodisias, yang selanjutnya memainkan perkembangan konsepsi Arab
mengenai psikologi Aristoteles. Karya lain yang berbau Aristotelian
adalah Analytica Priora dan Rahasia dari Segala Rahasia.[1]
Jejak
awal Naturalisasi Ilmu sangat jelas terlihat dengan pendirian Bayt al-Hikmah,
oleh Khalifah al-Ma’mun. Embrionya sudah ditanam pertama kali pada masa Harun
al-Rasyid.[2]
Majid Fakhry menyebutnya dengan Perpustakaan Rasional yang disediakan untuk
kegiatan penerjemahan dan penelitian. Untuk melengkapi usaha tersebut, Khalifah
al-Ma’mun mengirim utusan ke Bizantium untuk mencari-cari dan memperoleh
untuknya buku-buku ‘pelajaran Kuno’ yang kemudian diserahkan kepada sekelompok
sarjana untuk diterjemahkan. Diantara anggota kelompok ini adalah Yahya din
Masawayh, al-Hajjaj bin Mathar, Yahya bin Bithriq, dan Salm sebagai
pengurus Bayt al-Hikmah tersebut.[3]
Selain itu yang dikenal dalam usaha penterjemahan tersebut adalah Hunain bin
Ishaq (809-873), murid dan teman sezaman Ibnu Masawayh yang memberi dasar seni
penerjemahan bahasa Arab berdasar rujukan ilmiah. Selain perhatian terhadap
kedokteran, Hunain unggul dalam bidang filsafat, geometri dan astronomi. Ia
terkenal dengan koreksinya terhadap terjemahan-terjemahan yang ada di bahasa
Yunani termasuk diantaranya Sabda para Filosof, Perbedaan antara Jiwa dengan
Ruh, Risalah Politik, Penjelasan tentang Ajaran-ajaran Yuani, Risalah Sejarah
yang berjudul al-Firdaus, Tentang Pertumbuhan dan Perubahan (On Generation and
Corruption), Pendapat para Fisikawan, karya Plutarch – atau Placita
Philophorum.[4]
Tokoh
yang Lain adalah Abu ‘Utsman al-Dimasyqi yang bertaunggungjawab dalam penerjemahan Topica,
Etica Nichomacea, Fisika I, De Generatione at Corruptione, Element karya
Euclides, Isagoghe Porphyri dan tiga buah risalah Alexander tentang warna,
Substansi Immaterial, dan Pertumbuhan.[5]
Setelah
berjalan dalam waktu yang tidak singkat, proses berikutnya beralih ke Naturalisasi.
Pewargaan, pem-pribumi-an atau indegenisasi ilmu terus berlangsung
setelah masa Greeco-Romawi dan lebih kentara lagi ketika Islam muncul sebagai
sebuah kekuatan politik dan peradaban yang besar. Mulyadhi mengutip Prof. Sabra,
bahwa ada tiga tahap naturalisasi - yang kadang disebut ‘islamisasi ilmu’ Yunani -.
Tahap Pertama, perolehan ilmu dan filsafat kuno, khususnya yunani, melalui upaya
penerjemahan karya-karya dari bahwa Yunani dan Suriah ke dalam Bahasa Arab. Ilmu yunani memasuki Dunia
Islam, bukan sebagai sesuatu kekuatan yang menjajah dari pusatnya yang kuat di
Iskandariah, Antiok atau Harran, melainkan tamu yang diundang. Orang-orang yang
membawanya masuk masih mengambil jarak dan menunjukkan kewaspadaan karena
hormatnya pada agama. Meskipun begitu pada tahap kedua, kewaspadaan pada
pengambilan jarak ini telah memberi jalan pada rasa ingin tahu yang tinggi dan
eksperimentasi intelektual. Karena pesona sang tamu yang jauh melampaui
janji-janji kemampuan praktisnya, adopsi helenisme tidak terduga hampir secara
langsung dan tanpa syarat anggota rumah tangga muslim, seperti al-Kindi. Selama
fase kedua ini, sejumlah pemikir Muslim yang tangguh, yang kesetiaannya pada
pandangan dunia Helenistik tentang materi, pemikiran, dan nilai-nilai dapat
diperikan hanya dengan sebuah komitmen yang penuh. Mereka adalah al-farabi,
Ibnu Sina, Ibnu Haitsam, al-Biruni, dan Ibnu Rusyd, kata Prof. Sabra.[6]
Fase
Ketiga, terjadi asimilasi penelitian filosofis dalam batas-batas preskripsi/rambu-rambu
agama: ‘Praktikfalsafah, semacam pemikiran dan wacana yang ditemukan dalam
tulisan-tulisan para Filosof seperti al-Farabi dan Ibnu Sina, mulai
dipraktikkan dalam konteks kalam, dan yang dokter-filosof (yang diwakili
oleh ar-Razi) digantikan oleh Dokter-Qadi (diwakili oleh Ibn al-Nafis), ahli
matematika (ta’limi) oleh sang Faradi, dan astronom-astrolog oleh
al-Muwaqqit. Pada fase terakhir ini, pengembangan pengetahuan dan
teknikilmiah serta medis kini sebagian besar terdiri dari orang-orang yang
tidak saja Muslim sejak lahir, tetapi juga yang telah terwarnai oleh kajian dan
tradisi muslim, dan yang kerangka kerjakonseptualnya telah dihasilkan dalam
proses penciptaan pandangan Muslim yang sadar. [7]
Dalam
proses Naturalisasi Ilmu Yunani di dunia Islam, Mulyadhi menyebutkan mengalami tiga
bentuk. Pertama, Justifikasi, yaitu upaya pembenaran pengadopsian filsafat
yunani dengan pelbagai alasan. Al-‘Amiri, misalnhya mengemukaan bahwa filsafat
Yunani tidak menjadi masalah untuk diadopsi karena, tidak seperti yang
dikesankan beberapa kalangan ulama, filsafat Yunani mempunyai sumber dan
tradisi kenabian yang sama dengan Islam. Dalam Kitab al-Amad ‘ala al-Abad,
al-‘Amiri menunjukkan bahwa filsafat Yunani memiliki sumber dari tradisi
kenabisan yang dikenal dalam kitab suci. Ia menyebutkan bahwa Hermes, yang
sangat dihormati bahkan oleh Aristoteles, tak lain adalah Nabi Idris yang
digambarkan sebagai Nabi ketiga setelah Nabi Adam dan Syits. [8]
Bentuk
kedua naturalisasi ilmu dalam Dunia Islam adalah sikap selektif dari para
pemikir Muslim dalam memilih dan mengdaptasi bahan-bahan yang tersedia aagar
tidak terjadi benturan nilai dan ideologis dengan nilai kepercayaan islam. Para
Filosof Muslim tentunya akan menyambut gembira pemikiran-pemikiran Yunani yang
dipandang mendukung pandangan tauhid Islam. Pembuktian para filosof Yunani
terhadap keberadaan dan keesaan tuhan, misalnya dipandang al-‘Amiri sangat
anggun dan bermanfaat untuk menguatkan keyakinan kita pada keberadaan dan
keesaan Tuhan. Namun, ketika dalam pemikiran terdapat ajaran yang bertentangan
dalam ajaran pokok agama, filosof muslim akan menolaknya. Ihsan Abbas, dalam
karyanya Malaamih al-Yunaniyyin, menjelaskan mengapa di dunia islam,
yang para filosof dan ilmuwannya begitu intensif mengkaji warisan-warisan
Yunani, tidak ditemukan banyak bahan yang berkaitan dengan mitologi Yunani yang
terkenal.
Bentuk
ketiga adalah kritik. Dimana ilmu-ilmu yang datang dari luar dikritisi oleh
filosof Muslim dalam rangka penyesuaian dengan pokok-pokok ajaran islam. Para
filosof besar seperti Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd, setelah melakukan kajian yang
mendalam dan saksama terhadap ajaran-ajaran para filosof Yunani, sering
menemukan kejanggalan atau kerancuan-kerancuan. Ibnu Sina, seperti yang
dikatakan Goodman merupakan pengkritik agung Aristoteles. Salah satu kritiknya
adalah argumen Ibnu SIna tentang adanya Tuhan. Setelah mempelajari argumen
kosmologi Aristoteles, Ibnu Sina menemukan kekurangan dan kesalahan dari metode
pembuktian Aristoteles. Ia menyatakan, “Kenyataan bahwa mereka menjadikan
prinsip pertama sebagai prinsip gerak dari benda-benda angkasa tidak mesti
berarti bahwa mereka juga bisa menjadikannya sebagai prinsip substansi benda
tersebut”.[9]
Usaha
Nautralisasi Ilmu dari Peradaban Yunani bisa kita lihat dalam bidang filsafat
dan logika. Logika Yunani masuk ke dalam pemikiran umat islam, dan dari sekian
banyak usaha penerjemahan corak pemikiran Neo-Platonisme banyak
dinaturalisasikan terutama di bidang tasawuf tentang emanasi dan ilmunisme. Selain
itu, terdapat adopsi dan adaptasi ilmu kedokteran, Teknik, Mekanik, Kimia dan
lain-lain.[10]
Dari
Islam ke Barat
Proses
Transmigrasi Ilmu terjadi juga pada abad ke-12 dan ke-13 M. Karya-karya ilmuwan
Muslim dalam pelbagai bidang telah diterjemahkan secara massif ke dalam bahasa
latin, yang hingga abad ke-18 merupakan Lingua-Franca sekaligus bahasa
agama dan ilmu pengetahuan. Bermula dari Perang Salib yang berlangsung antara
1096 hingga 1192 M Reconquista (perebutan kembali Andalusia oleh
orang-orang Kristen) yang terjadi antara tahun 70 hingga 1.300 M.[11]
Sami bin Abdullah menyimpulkan dalam “Atlas Perang Salib”, bahwa dengan
persinggungan antara peradaban Barat dan Islam selama Perang Salib membuat
kemajuan Barat dalam bidang Kedokteran. Barat, sebelum perang salib melarang
praktik medis disebabkan keyakinan bahwa penyakit adalah sanksi dari Tuhan yang
tidak boleh dihindari.[12]
Secara
kronologis tampak bahwa proses penerjemahan dari Arab ke Latin itu terjadi
secara bertahap dalam kurun waktu 400 tahun lamanya. Pada mulanya (sekitar
tahun 1150 M), buku-buku yang diterjemahkan masih seputar filsafat, kosmologi
dan psikologi karya al-Kindi, al-Farabi, Ikhwan as-Shafa dan terutama Ibn Sina.
Pada babak berikutnya (sekitar 1250 M) keinginan untuk memahami pemikiran
Aristoteles telah mendorong penerjemahan karya-karya Ibn Rusyd baik berupa
ringkasan maupun komentar panjang dan menengahnya. Cendekiawan Yahudi turut
berperan dalam gerakan ini, di mana mereka berinisiatif menulis komentar
tersendiri. Maka pada tahap sesudahnya (sekitar 1450 M), tatkala kaum
intelektual Eropa sedang gandrung kepada teks klasik, orang Yahudi menjadi
sumber rujukan dan banyak menolong mereka menerjemahkan ulang kitab-kitab Ibn
Sina, al-Ghazali dan Ibn Rusyd.[13]
Syamsuddin
Arif membagi babakan tarnsmigrasi ilmu lewat empat fase penerjemahan
besar-besaran yang dilakukan orang Eropa terhadap karya-karya di dunia islam. Periode
awal, Constantinus yang menguasai beberapa bahasa memboyong puluhan buku-buku
ilmiah dari wilayah Islam ke Eropa untuk diterjemahkan ke bahasa Latin. Buku-buku
yang ia alihbahasakan termasuk: Liber Regius karya Ali Ibn Abbas (w.
994), yang aslinya berjudul Kamil al-Sinah al-Tibbiyah dan naskahnya
masih tersimpan di Basel (edisi 1539); Himpunan kata-kata Hipocrates berikut
penjelasan Galen yang diberi judul Hippocratis Aphorismorum liber cum Galeni
Commentario; dan kitab kedokteran Abu Bakr ar-Razi yang diterjemahkan
menjadi AbuBecri filii Zachariae Rhasis Divisionum liber (tersimpan di
Oxford Coxe Pars II. Colleg St. Joh. Bapt. No. 85). Demikian pula Gerard dari
Cremona, yang dijuluki ‘Tuan Guru’ (Doctus magister) di Toledo, telah
menerjemahkan dari bahasa Arab ke Latin tak kurang dari tujuh-puluh buku.
Termasuk diantaranya buku Analytica Posteriora, Physica, Meteorologia
dan De Generationeet Corruptione karya Aristoteles, empat risalah
karya al-Kindi, satu risalah Ikhwan as-Shafa dan Kitab Ihsa’ al-‘Ulum
karya al-Farabi. Pada saat yang sama kitab al-Syifa karya Ibn Sina juga
diterjemahkan oleh Tim Pakar terdiri dari Abraham Ibn Dawud alias Avendauth,
Domonicus Gundissalinus (1161-1181) dan Jihanes Hispanus. Mereka juga
mengalihbahasakan Kitab Maqasid al-Falasifah dan Kibat Tahafut
al-Falasifah karya Imam al-Gazali ke dalam bahasa Latin, kitab al-Kalam
fi Mahdh al-Khair yang merupakan petikan 20 proposisi teologi Proclus dalam
versi Arab, dilatinkan menjadi Liber de Causis. [14]
Periode
kedua, penerjemahan kitab al-Syifa’ yang terdiri dari ribuan halaman Karya
Ibn Sina itu berlanjut dari abada ke-13. Kitab al-Hayawan (zoologi)
karya Aristoteles dilatinkan oleh Michael Scot (w tahun 1236), sementara kitab
ilmu-ilmu alamnya (yang belum semuanya digarap oleh penerjemah sebelumnya) yang
dialihbahasakan ke Latin adalah Kitab fi al-Sama’ (De Caelo), al-Kawm
wa al-Fasad (De Generatione et Corruptione), al-Af’al wa al-‘Ulwiyyah
(Meteorlogia), oleh Juan Gonsalvez atas permintaan Gonsalvez garcia de Gudiel,
Uskup Burgos (1275-1280) berdasarkan manuskrip tunggal yang tersimpan di gereka
Toledo.[15]
Periode
ketiga, pada masa abad kegelapan di Barat penerjemahan justru tetap berlanjut.
Meski mendapat kekangan dan pengutukan[16]
akan ilmu pengetahuan, Aktvitas penerjemahan justru tetap berjalan. Hal ini
dapat dilihat dengan aktivitas Calonymus ben calonymus ben Meir, intelektual
Yahudi yang menerjemahkan Kitab Tahafut al-Tahafut, karya Ibn Rusyd
untuk memenuhi permintaan Robert Anjou, Raja Napoli. Sekurang-kurangnya ada 38
karya Ibn Rusyd yang tersimpan, diterjemahkan ke dalam Bahasa Ibrani ataupun
disalin dengan bahasa Ibrani (bukan langsung dari versi Arab atau Romawi). Tokoh-tokoh
seperti Moses ibn Tibbon, Levi ben Gerson 9alias Gersonides), ShemTov ibn
Falaquera dan Moses Narbonsis yang masing-masing mempunyai andil menyediakan
versi Latin dari Karya-Karya Ibn Rusyd. Mereka semua inilah yang memuluskan
cendekiawan renaissance yang haus ilmu semacam Pico della Mirandola, Kardinal
Domenico dan Paus Leo X. Tokoh-tokoh yang mensponsori penerjemahan karya-karya
Ibn Rusyd oleh: 1) Elias del Medigo (komentar menengah atas Meteorologi I-II,
masalah-masalah yang berkenaan dengan Analytica Priora), 2) Paulus
Israelita (komentar menengah atas de Caelo), 3) Abram de Balmes
(ringkasan dari Organon, komentar menegah atas Topica, Sophistica,
dan salah satu risalah Ibn Bajjah. 4) Johannes Burana (ringkasan dan komentar
atas Analytica Priora) dan Analytica Posteriora; 5) Vitalis Nissu
(ringkasan Degeratione et Corruptione), dan 6) terutama Jacob Mantinus
(w. 1549).[17]
Periode
keempat, saat memasuki abad ke-16, dimana orang-orang Eropa tak surut minatnya
untuk mempelajari khazanah Islam. Sebuah buku tata Bahasa Arab beserta kamusnya
karya Pedro Alcala pada tahun 1505 di Spanyol. Seorang ilmuwan Muslin yang
diculik dan diberi nama baru ‘Leo Africanus’ oleh Paus Leo X, (disuruh)
menghimpun data bibliografi karya ilmiah yang ditulis oleh orang Islam semenjak
tahun 1518. Pemburuan dan pengumpulan manuskrip semakin gencar dilakukan. Naskah
Arab dari Ennead IV-VI yang bertajuk Uthulujiya Aristhathalis dari
Damaskus, berikut versi latinnya oleh Moses Arrovas dan Pier Nicolas Castellani
diterbitkan di Roma pada Tahun 1519. Masih di Damaskus, Andreas Alpago merevisi
terjemahan kitab al-Qanun fi al-Tibb karya Ibn Sina dan menerbitkan dua
risalah psikologi Ibn SIna yang lain. Kemudian pada tahun 1584 di Roma, Giovan
Battista Raimond berkat dukungan para MEdisi telah mendirikan percetakan Arab.
Kajian Islam semakin marak dengan diangkatnya Guillaume Postel sebagai guru
besar Bahasa Arab di Paris pada 1535, Thomas Erpenius di Leiden pada tahun
1613. Adapun Oxford, Edward Pococke menerbitkan karyanya yang berjudul Speceimen
Historiae Arabum menerjemahkan novel filsasat Ibn Tufail (w. 1185), Hayy
Ibn Yaqzan, yang konon menjadi inspirasi bagi penulis Robinson Crusoe.[18]
Dari
sini kita bisa juga memahami bahwa para tokoh ilmu pengetahuan Barat yang
dikenal hari ini seperti Robert Boyle (1691), Isaac Newton (1727), atau Charles
Darwin (1882) mendapatkan dampak transmigrasi dan naturalisasi ilmu pengetahuan
dari Islam yang telah menyebar ke jantung – jantung ilmu pengetahuan Eropa dan
Amerika abad ke-17. Syamsuddin Arif mengutip kembali perkataan Newton untuk Robert
Hooke, If I Have Seen Futher, It is By standing on (The) Shoulders of Giants.[19]
Penjelasan
dari awal di atas memperlihatkan bagaimana ilmu pengetahuan (sains) adalah satu
entitas yang menyusun struktur bangunan peradaban. Ilmu bahkan menjadi jantung
yang memompa darah kebangkitan peradaban dan mendenyutkan nadi teknologi. Struktur
sosial telah banyak dirubah wajahnya dengan bergeraknya ilmu dari peradaban yang
takluk ke peradaban yang menaklukkan. Satu hal yang tidak bisa dihindari sejak
dulu, seperti tesis Huntington, The Clash of Civilization.
Dari
narasi sejarah itu pula kita melihat bagaimana corak ilmu pengetahuan diproyeksikan
berdasarkan sudut pandang atau worldview yang menjadi ciri khas
peradaban pengembang-nya. Jika Peradaban Timur Dekat, mendekatkan makna ilmu
kepada animisme, dinamisme dan Paganisme, maka Persia membaurkannya ke dalam Tradisi
Penyembahan Api Zoroasterianisme. Jika Yunani Kuno mengidentikkan ilmu dengan
filsafat alam yang dibangun diatas logika Aristotelian, maka Romawi Kuno menyandarkan
Ilmu pada doktrin teologi Gereja. Dan, jika Islam membangun tradisi ilmu dengan
peradaban wahyu, maka Barat bangkit dengan melepaskan diri dari kerangka agama.
Seperti inilah gambaran sederhana konsep-konsep kunci pandangan hidup setiap
peradaban.
Oleh
karena itu, semakin jelas bahwa ‘ilmu’ itu
sendiri terikat dengan kebudayaan dan corak
pemikiran dari peradaban yang menaturalisasikannya. Ilmu akan terikat dengan
animisme saat berada di Mesopotamia, terikat dengan mitologi saat Yunani
Klasik, dan saat ia berada dalam rahim peradaban barat, ilmu menjadi
ter-baratkan (westernisasi)[20].
Dengan demikian hal itu juga berlaku jika ilmu itu berada dalam rahim peradaban
islam. Maka bukan hal yang tidak mungkin ilmu itu ter-islamisasi-kan.
Dari
situ pula pentingnya membangun universitas yang mendorong kajian-kajian dengan
basis epistemologi islam. Sehingga mata kuliah agama, dan filsafat ilmu, bukan
sekedar pelengkap kurikulum. Akan tetapi landasan bagi pengembangan ilmu
pengetahuan. Sebab manusia yang dididik di dalamnya, bukan sekedar membutuhkan ilmu
pengetahuan dalam satu disiplin ilmu semata. Apalagi Ilmu yang telah direduksi
ke dalam makna kebenaran rasional-empirik semata. Sehingga semakin jelas,
bagaimana gagasan ilmu, serta universitas yang membasiskan kajiannya pada epistemologi
islam menjadi sebuah keniscayaan. Dan bukan merupakan hal yang sia-sia.
Oleh
karena itu, sebelum membahas konsep universitas serta konsep pendidikan dalam
islam, ada baiknya kita membincang -pada bagian berikutnya,- Epistemologi Islam
dengan pendekatan Fiqih dan Ushul Fiqh (basis peradaban Islam), Insya Allah!.
(Wallohu a’lam bi as-Shawab)
[11] Syamsuddin Arif, transmigrasi Ilmu;
dari Dunia Islam ke Eropa, Jurnal Tsaqafah, Ponorogo, (Vol. 6 No. 2,
Oktober 2010), hlm. 207
[16] Pada tahun 1270 Etienne Tempier, Uskup
Paris, mengutuk tiga belas proposisi Aristoteles termasuk ide-ide yang
dijelaskan di muka. Karena pengutukan ini tidak sepenuhnya mengurangi semangat
Aristotehianisme radikal, maka pada tahun 1277 ia bereaksi atas
Aristotehianisme dengan lebih keras dengan mengutuk 219 pnoposisi Anistoteles,
lbn Rushd, dan Thomas Aquinas. Dengan
pengutukan pada tahun 1270 dan 1277, orang-orang Barat mengikuti gaya
al-Ghazãli yang pada akhir abad ke11 telah mengkritik dua puluh poin Aristotelianisme.
Sementara orang-orang Barat atau Etienne Tempier membuat daftar ide-ide bid’ah,
al-Ghazãli telah menulis Sebuah buku yang mengagumkan yang menentang ide-ide
bid’ah Aristotelianisme tersebut. Dengan demikian, prestasi a!Ghazali itu
lebih bermakna, lebih akademis, dan lebih berkesadaran. (Lihat: http://menaraislam.com/content/view/175/1/)
[17]Syamsuddin
Arif, transmigrasi Ilmu; dari Dunia Islam ke Eropa, hlm. 213-214
[19] Syamsuddin Arif, transmigrasi Ilmu; dari Dunia Islam ke Eropa,
hlm. 204. Ungkapan ini menjadi Inspirasi bagi Stephen Hawking dan menjadikannya
judul dari salah satu bukunya, On The Shoulders of Giants. Dalam buku
ini, Stephen Hawking menyatukan karya-karya besar, dari Copernicus, Galileo,
Kepler, Newton dan Einstein. Dari klaim revolusioner Copernicus 'bahwa bumi
mengorbit matahari dan pengembangan Kepler dari hukum gerak planet untuk
jalinan Einstein ruang dan waktu, masing-masing ilmuwan dibangun di atas teori
pendahulu mereka untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang fundamental mengenai
alam semesta dengan pendekatan sains.
No comments:
Post a Comment