Cari

TRANSMIGRASI DAN NATURALISASI ILMU (2)

Tuesday 15 September 2015



Dari Yunani ke Islam
Transmigrasi Ilmu, menjadi pintu terjadinya Naturalisasi Ilmu. Transmigrasi ilmu yang paling efektif adalah penerjemahan karya-karya ilmuwan dan filosof di mana Peradaban itu berkembang. Seperti yang terjadi ketika Alexandria,  yang menjadi pusat pengembangan keilmuwan Romawi bercorak Helenisme jatuh dalam kekuasaan umat Islam. Aktivitas pengalihan bahasa dari buku-buku karya Aristoteles, Socrates, Plato dan lain-lain dimulai. Ilmu-ilmu logika, tata moral, filsafat alam, serta kedokteran mulai mengalir ke jantung Kekhilafahan Umat Islam di Baghdad (masa Abbasiyah). Mata air ilmu memancar dan selanjutnya menyebar dalam urat nadi ilmu pengetahuan umat islam.

Adalah Yahya bin al-Bithriq yang hidup pada masa kekhalifahan Harun ar-Rasyid dan al-Ma’mun menghasilkan terjemahan dari kitab Timeaus, Plato. Karya ini menurut al-Fihris, terdiri dari tiga makalah (maqalat). Terjemahan yang lain adalah dari parafrase De Anima karya Arostoteles, mungkin dalam versi Themistius, yang bersama-sama dengan parafrase Alexander dari Aphrodisias, yang selanjutnya memainkan perkembangan konsepsi Arab mengenai psikologi Aristoteles. Karya lain yang berbau Aristotelian adalah Analytica Priora dan Rahasia dari Segala Rahasia.[1]
Jejak awal Naturalisasi Ilmu sangat jelas terlihat dengan pendirian Bayt al-Hikmah, oleh Khalifah al-Ma’mun. Embrionya sudah ditanam pertama kali pada masa Harun al-Rasyid.[2] Majid Fakhry menyebutnya dengan Perpustakaan Rasional yang disediakan untuk kegiatan penerjemahan dan penelitian. Untuk melengkapi usaha tersebut, Khalifah al-Ma’mun mengirim utusan ke Bizantium untuk mencari-cari dan memperoleh untuknya buku-buku ‘pelajaran Kuno’ yang kemudian diserahkan kepada sekelompok sarjana untuk diterjemahkan. Diantara anggota kelompok ini adalah Yahya din Masawayh, al-Hajjaj bin Mathar, Yahya bin Bithriq, dan Salm sebagai pengurus Bayt al-Hikmah tersebut.[3] Selain itu yang dikenal dalam usaha penterjemahan tersebut adalah Hunain bin Ishaq (809-873), murid dan teman sezaman Ibnu Masawayh yang memberi dasar seni penerjemahan bahasa Arab berdasar rujukan ilmiah. Selain perhatian terhadap kedokteran, Hunain unggul dalam bidang filsafat, geometri dan astronomi. Ia terkenal dengan koreksinya terhadap terjemahan-terjemahan yang ada di bahasa Yunani termasuk diantaranya Sabda para Filosof, Perbedaan antara Jiwa dengan Ruh, Risalah Politik, Penjelasan tentang Ajaran-ajaran Yuani, Risalah Sejarah yang berjudul al-Firdaus, Tentang Pertumbuhan dan Perubahan (On Generation and Corruption), Pendapat para Fisikawan, karya Plutarch – atau Placita Philophorum.[4]


Tokoh yang Lain adalah Abu ‘Utsman al-Dimasyqi  yang bertaunggungjawab dalam penerjemahan Topica, Etica Nichomacea, Fisika I, De Generatione at Corruptione, Element karya Euclides, Isagoghe Porphyri dan tiga buah risalah Alexander tentang warna, Substansi Immaterial, dan Pertumbuhan.[5]
Setelah berjalan dalam waktu yang tidak singkat, proses berikutnya beralih ke Naturalisasi. Pewargaan, pem-pribumi-an atau indegenisasi ilmu terus berlangsung setelah masa Greeco-Romawi dan lebih kentara lagi ketika Islam muncul sebagai sebuah kekuatan politik dan peradaban yang besar. Mulyadhi mengutip Prof. Sabra, bahwa ada tiga tahap naturalisasi - yang  kadang disebut ‘islamisasi ilmu’ Yunani -. Tahap Pertama, perolehan ilmu dan filsafat kuno, khususnya yunani, melalui upaya penerjemahan karya-karya dari bahwa Yunani dan Suriah ke dalam  Bahasa Arab. Ilmu yunani memasuki Dunia Islam, bukan sebagai sesuatu kekuatan yang menjajah dari pusatnya yang kuat di Iskandariah, Antiok atau Harran, melainkan tamu yang diundang. Orang-orang yang membawanya masuk masih mengambil jarak dan menunjukkan kewaspadaan karena hormatnya pada agama. Meskipun begitu pada tahap kedua, kewaspadaan pada pengambilan jarak ini telah memberi jalan pada rasa ingin tahu yang tinggi dan eksperimentasi intelektual. Karena pesona sang tamu yang jauh melampaui janji-janji kemampuan praktisnya, adopsi helenisme tidak terduga hampir secara langsung dan tanpa syarat anggota rumah tangga muslim, seperti al-Kindi. Selama fase kedua ini, sejumlah pemikir Muslim yang tangguh, yang kesetiaannya pada pandangan dunia Helenistik tentang materi, pemikiran, dan nilai-nilai dapat diperikan hanya dengan sebuah komitmen yang penuh. Mereka adalah al-farabi, Ibnu Sina, Ibnu Haitsam, al-Biruni, dan Ibnu Rusyd, kata Prof. Sabra.[6]
Fase Ketiga, terjadi asimilasi penelitian filosofis dalam batas-batas preskripsi/rambu-rambu agama: ‘Praktikfalsafah, semacam pemikiran dan wacana yang ditemukan dalam tulisan-tulisan para Filosof seperti al-Farabi dan Ibnu Sina, mulai dipraktikkan dalam konteks kalam, dan yang dokter-filosof (yang diwakili oleh ar-Razi) digantikan oleh Dokter-Qadi (diwakili oleh Ibn al-Nafis), ahli matematika (ta’limi) oleh sang Faradi, dan astronom-astrolog oleh al-Muwaqqit. Pada fase terakhir ini, pengembangan pengetahuan dan teknikilmiah serta medis kini sebagian besar terdiri dari orang-orang yang tidak saja Muslim sejak lahir, tetapi juga yang telah terwarnai oleh kajian dan tradisi muslim, dan yang kerangka kerjakonseptualnya telah dihasilkan dalam proses penciptaan pandangan Muslim yang sadar. [7]
Dalam proses Naturalisasi Ilmu Yunani di dunia Islam, Mulyadhi menyebutkan mengalami tiga bentuk. Pertama, Justifikasi, yaitu upaya pembenaran pengadopsian filsafat yunani dengan pelbagai alasan. Al-‘Amiri, misalnhya mengemukaan bahwa filsafat Yunani tidak menjadi masalah untuk diadopsi karena, tidak seperti yang dikesankan beberapa kalangan ulama, filsafat Yunani mempunyai sumber dan tradisi kenabian yang sama dengan Islam. Dalam Kitab al-Amad ‘ala al-Abad, al-‘Amiri menunjukkan bahwa filsafat Yunani memiliki sumber dari tradisi kenabisan yang dikenal dalam kitab suci. Ia menyebutkan bahwa Hermes, yang sangat dihormati bahkan oleh Aristoteles, tak lain adalah Nabi Idris yang digambarkan sebagai Nabi ketiga setelah Nabi Adam dan Syits. [8]
Bentuk kedua naturalisasi ilmu dalam Dunia Islam adalah sikap selektif dari para pemikir Muslim dalam memilih dan mengdaptasi bahan-bahan yang tersedia aagar tidak terjadi benturan nilai dan ideologis dengan nilai kepercayaan islam. Para Filosof Muslim tentunya akan menyambut gembira pemikiran-pemikiran Yunani yang dipandang mendukung pandangan tauhid Islam. Pembuktian para filosof Yunani terhadap keberadaan dan keesaan tuhan, misalnya dipandang al-‘Amiri sangat anggun dan bermanfaat untuk menguatkan keyakinan kita pada keberadaan dan keesaan Tuhan. Namun, ketika dalam pemikiran terdapat ajaran yang bertentangan dalam ajaran pokok agama, filosof muslim akan menolaknya. Ihsan Abbas, dalam karyanya Malaamih al-Yunaniyyin, menjelaskan mengapa di dunia islam, yang para filosof dan ilmuwannya begitu intensif mengkaji warisan-warisan Yunani, tidak ditemukan banyak bahan yang berkaitan dengan mitologi Yunani yang terkenal.


Bentuk ketiga adalah kritik. Dimana ilmu-ilmu yang datang dari luar dikritisi oleh filosof Muslim dalam rangka penyesuaian dengan pokok-pokok ajaran islam. Para filosof besar seperti Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd, setelah melakukan kajian yang mendalam dan saksama terhadap ajaran-ajaran para filosof Yunani, sering menemukan kejanggalan atau kerancuan-kerancuan. Ibnu Sina, seperti yang dikatakan Goodman merupakan pengkritik agung Aristoteles. Salah satu kritiknya adalah argumen Ibnu SIna tentang adanya Tuhan. Setelah mempelajari argumen kosmologi Aristoteles, Ibnu Sina menemukan kekurangan dan kesalahan dari metode pembuktian Aristoteles. Ia menyatakan, “Kenyataan bahwa mereka menjadikan prinsip pertama sebagai prinsip gerak dari benda-benda angkasa tidak mesti berarti bahwa mereka juga bisa menjadikannya sebagai prinsip substansi benda tersebut”.[9]
Usaha Nautralisasi Ilmu dari Peradaban Yunani bisa kita lihat dalam bidang filsafat dan logika. Logika Yunani masuk ke dalam pemikiran umat islam, dan dari sekian banyak usaha penerjemahan corak pemikiran Neo-Platonisme banyak dinaturalisasikan terutama di bidang tasawuf tentang emanasi dan ilmunisme. Selain itu, terdapat adopsi dan adaptasi ilmu kedokteran, Teknik, Mekanik, Kimia dan lain-lain.[10]


Dari Islam ke Barat
Proses Transmigrasi Ilmu terjadi juga pada abad ke-12 dan ke-13 M. Karya-karya ilmuwan Muslim dalam pelbagai bidang telah diterjemahkan secara massif ke dalam bahasa latin, yang hingga abad ke-18 merupakan Lingua-Franca sekaligus bahasa agama dan ilmu pengetahuan. Bermula dari Perang Salib yang berlangsung antara 1096 hingga 1192 M Reconquista (perebutan kembali Andalusia oleh orang-orang Kristen) yang terjadi antara tahun 70 hingga 1.300 M.[11] Sami bin Abdullah menyimpulkan dalam “Atlas Perang Salib”, bahwa dengan persinggungan antara peradaban Barat dan Islam selama Perang Salib membuat kemajuan Barat dalam bidang Kedokteran. Barat, sebelum perang salib melarang praktik medis disebabkan keyakinan bahwa penyakit adalah sanksi dari Tuhan yang tidak boleh dihindari.[12]


Secara kronologis tampak bahwa proses penerjemahan dari Arab ke Latin itu terjadi secara bertahap dalam kurun waktu 400 tahun lamanya. Pada mulanya (sekitar tahun 1150 M), buku-buku yang diterjemahkan masih seputar filsafat, kosmologi dan psikologi karya al-Kindi, al-Farabi, Ikhwan as-Shafa dan terutama Ibn Sina. Pada babak berikutnya (sekitar 1250 M) keinginan untuk memahami pemikiran Aristoteles telah mendorong penerjemahan karya-karya Ibn Rusyd baik berupa ringkasan maupun komentar panjang dan menengahnya. Cendekiawan Yahudi turut berperan dalam gerakan ini, di mana mereka berinisiatif menulis komentar tersendiri. Maka pada tahap sesudahnya (sekitar 1450 M), tatkala kaum intelektual Eropa sedang gandrung kepada teks klasik, orang Yahudi menjadi sumber rujukan dan banyak menolong mereka menerjemahkan ulang kitab-kitab Ibn Sina, al-Ghazali dan Ibn Rusyd.[13]
Syamsuddin Arif membagi babakan tarnsmigrasi ilmu lewat empat fase penerjemahan besar-besaran yang dilakukan orang Eropa terhadap karya-karya di dunia islam. Periode awal, Constantinus yang menguasai beberapa bahasa memboyong puluhan buku-buku ilmiah dari wilayah Islam ke Eropa untuk diterjemahkan ke bahasa Latin. Buku-buku yang ia alihbahasakan termasuk: Liber Regius karya Ali Ibn Abbas (w. 994), yang aslinya berjudul Kamil al-Sinah al-Tibbiyah dan naskahnya masih tersimpan di Basel (edisi 1539); Himpunan kata-kata Hipocrates berikut penjelasan Galen yang diberi judul Hippocratis Aphorismorum liber cum Galeni Commentario; dan kitab kedokteran Abu Bakr ar-Razi yang diterjemahkan menjadi AbuBecri filii Zachariae Rhasis Divisionum liber (tersimpan di Oxford Coxe Pars II. Colleg St. Joh. Bapt. No. 85). Demikian pula Gerard dari Cremona, yang dijuluki ‘Tuan Guru’ (Doctus magister) di Toledo, telah menerjemahkan dari bahasa Arab ke Latin tak kurang dari tujuh-puluh buku. Termasuk diantaranya buku Analytica Posteriora, Physica, Meteorologia dan De Generationeet Corruptione karya Aristoteles, empat risalah karya al-Kindi, satu risalah Ikhwan as-Shafa dan Kitab Ihsa’ al-‘Ulum karya al-Farabi. Pada saat yang sama kitab al-Syifa karya Ibn Sina juga diterjemahkan oleh Tim Pakar terdiri dari Abraham Ibn Dawud alias Avendauth, Domonicus Gundissalinus (1161-1181) dan Jihanes Hispanus. Mereka juga mengalihbahasakan Kitab Maqasid al-Falasifah dan Kibat Tahafut al-Falasifah karya Imam al-Gazali ke dalam bahasa Latin, kitab al-Kalam fi Mahdh al-Khair yang merupakan petikan 20 proposisi teologi Proclus dalam versi Arab, dilatinkan menjadi Liber de Causis. [14]
Periode kedua, penerjemahan kitab al-Syifa’ yang terdiri dari ribuan halaman Karya Ibn Sina itu berlanjut dari abada ke-13. Kitab al-Hayawan (zoologi) karya Aristoteles dilatinkan oleh Michael Scot (w tahun 1236), sementara kitab ilmu-ilmu alamnya (yang belum semuanya digarap oleh penerjemah sebelumnya) yang dialihbahasakan ke Latin adalah Kitab fi al-Sama’ (De Caelo), al-Kawm wa al-Fasad (De Generatione et Corruptione), al-Af’al wa al-‘Ulwiyyah (Meteorlogia), oleh Juan Gonsalvez atas permintaan Gonsalvez garcia de Gudiel, Uskup Burgos (1275-1280) berdasarkan manuskrip tunggal yang tersimpan di gereka Toledo.[15]
Periode ketiga, pada masa abad kegelapan di Barat penerjemahan justru tetap berlanjut. Meski mendapat kekangan dan pengutukan[16] akan ilmu pengetahuan, Aktvitas penerjemahan justru tetap berjalan. Hal ini dapat dilihat dengan aktivitas Calonymus ben calonymus ben Meir, intelektual Yahudi yang menerjemahkan Kitab Tahafut al-Tahafut, karya Ibn Rusyd untuk memenuhi permintaan Robert Anjou, Raja Napoli. Sekurang-kurangnya ada 38 karya Ibn Rusyd yang tersimpan, diterjemahkan ke dalam Bahasa Ibrani ataupun disalin dengan bahasa Ibrani (bukan langsung dari versi Arab atau Romawi). Tokoh-tokoh seperti Moses ibn Tibbon, Levi ben Gerson 9alias Gersonides), ShemTov ibn Falaquera dan Moses Narbonsis yang masing-masing mempunyai andil menyediakan versi Latin dari Karya-Karya Ibn Rusyd. Mereka semua inilah yang memuluskan cendekiawan renaissance yang haus ilmu semacam Pico della Mirandola, Kardinal Domenico dan Paus Leo X. Tokoh-tokoh yang mensponsori penerjemahan karya-karya Ibn Rusyd oleh: 1) Elias del Medigo (komentar menengah atas Meteorologi I-II, masalah-masalah yang berkenaan dengan Analytica Priora), 2) Paulus Israelita (komentar menengah atas de Caelo), 3) Abram de Balmes (ringkasan dari Organon, komentar menegah atas Topica, Sophistica, dan salah satu risalah Ibn Bajjah. 4) Johannes Burana (ringkasan dan komentar atas Analytica Priora) dan Analytica Posteriora; 5) Vitalis Nissu (ringkasan Degeratione et Corruptione), dan 6) terutama Jacob Mantinus (w. 1549).[17]
Periode keempat, saat memasuki abad ke-16, dimana orang-orang Eropa tak surut minatnya untuk mempelajari khazanah Islam. Sebuah buku tata Bahasa Arab beserta kamusnya karya Pedro Alcala pada tahun 1505 di Spanyol. Seorang ilmuwan Muslin yang diculik dan diberi nama baru ‘Leo Africanus’ oleh Paus Leo X, (disuruh) menghimpun data bibliografi karya ilmiah yang ditulis oleh orang Islam semenjak tahun 1518. Pemburuan dan pengumpulan manuskrip semakin gencar dilakukan. Naskah Arab dari Ennead IV-VI yang bertajuk Uthulujiya Aristhathalis dari Damaskus, berikut versi latinnya oleh Moses Arrovas dan Pier Nicolas Castellani diterbitkan di Roma pada Tahun 1519. Masih di Damaskus, Andreas Alpago merevisi terjemahan kitab al-Qanun fi al-Tibb karya Ibn Sina dan menerbitkan dua risalah psikologi Ibn SIna yang lain. Kemudian pada tahun 1584 di Roma, Giovan Battista Raimond berkat dukungan para MEdisi telah mendirikan percetakan Arab. Kajian Islam semakin marak dengan diangkatnya Guillaume Postel sebagai guru besar Bahasa Arab di Paris pada 1535, Thomas Erpenius di Leiden pada tahun 1613. Adapun Oxford, Edward Pococke menerbitkan karyanya yang berjudul Speceimen Historiae Arabum menerjemahkan novel filsasat Ibn Tufail (w. 1185), Hayy Ibn Yaqzan, yang konon menjadi inspirasi bagi penulis Robinson Crusoe.[18]


Dari sini kita bisa juga memahami bahwa para tokoh ilmu pengetahuan Barat yang dikenal hari ini seperti Robert Boyle (1691), Isaac Newton (1727), atau Charles Darwin (1882) mendapatkan dampak transmigrasi dan naturalisasi ilmu pengetahuan dari Islam yang telah menyebar ke jantung – jantung ilmu pengetahuan Eropa dan Amerika abad ke-17. Syamsuddin Arif mengutip kembali perkataan Newton untuk Robert Hooke, If I Have Seen Futher, It is By standing on (The) Shoulders of Giants.[19]
Penjelasan dari awal di atas memperlihatkan bagaimana ilmu pengetahuan (sains) adalah satu entitas yang menyusun struktur bangunan peradaban. Ilmu bahkan menjadi jantung yang memompa darah kebangkitan peradaban dan mendenyutkan nadi teknologi. Struktur sosial telah banyak dirubah wajahnya dengan bergeraknya ilmu dari peradaban yang takluk ke peradaban yang menaklukkan. Satu hal yang tidak bisa dihindari sejak dulu, seperti tesis Huntington, The Clash of Civilization.
Dari narasi sejarah itu pula kita melihat bagaimana corak ilmu pengetahuan diproyeksikan berdasarkan sudut pandang atau worldview yang menjadi ciri khas peradaban pengembang-nya. Jika Peradaban Timur Dekat, mendekatkan makna ilmu kepada animisme, dinamisme dan Paganisme, maka Persia membaurkannya ke dalam Tradisi Penyembahan Api Zoroasterianisme. Jika Yunani Kuno mengidentikkan ilmu dengan filsafat alam yang dibangun diatas logika Aristotelian, maka Romawi Kuno menyandarkan Ilmu pada doktrin teologi Gereja. Dan, jika Islam membangun tradisi ilmu dengan peradaban wahyu, maka Barat bangkit dengan melepaskan diri dari kerangka agama. Seperti inilah gambaran sederhana konsep-konsep kunci pandangan hidup setiap peradaban.
Oleh karena itu, semakin jelas bahwa ‘ilmu’  itu sendiri terikat dengan kebudayaan  dan corak pemikiran dari peradaban yang menaturalisasikannya. Ilmu akan terikat dengan animisme saat berada di Mesopotamia, terikat dengan mitologi saat Yunani Klasik, dan saat ia berada dalam rahim peradaban barat, ilmu menjadi ter-baratkan (westernisasi)[20]. Dengan demikian hal itu juga berlaku jika ilmu itu berada dalam rahim peradaban islam. Maka bukan hal yang tidak mungkin ilmu itu ter-islamisasi-kan.
Dari situ pula pentingnya membangun universitas yang mendorong kajian-kajian dengan basis epistemologi islam. Sehingga mata kuliah agama, dan filsafat ilmu, bukan sekedar pelengkap kurikulum. Akan tetapi landasan bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Sebab manusia yang dididik di dalamnya, bukan sekedar membutuhkan ilmu pengetahuan dalam satu disiplin ilmu semata. Apalagi Ilmu yang telah direduksi ke dalam makna kebenaran rasional-empirik semata. Sehingga semakin jelas, bagaimana gagasan ilmu, serta universitas yang membasiskan kajiannya pada epistemologi islam menjadi sebuah keniscayaan. Dan bukan merupakan hal yang sia-sia.
Oleh karena itu, sebelum membahas konsep universitas serta konsep pendidikan dalam islam, ada baiknya kita membincang -pada bagian berikutnya,- Epistemologi Islam dengan pendekatan Fiqih dan Ushul Fiqh (basis peradaban Islam), Insya Allah!. (Wallohu a’lam bi as-Shawab)



[1] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1987, hlm. 36-37
[2] Yusuf al-Isy, Dinasti Abbasiyah, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, Cet. II, 2009, hlm. 252
[3] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, hlm. 40-41
[4] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, hlm. 45
[5] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, hlm. 47
[6] Mulyadhi Kartanegara, Menyingkap Tirai Kejahilan…, hlm. 113-114
[7] Mulyadhi Kartanegara, Menyingkap Tirai Kejahilan…, hlm. 114
[8] Mulyadhi Kartanegara, Menyingkap Tirai Kejahilan…, hlm. 117
[9] Mulyadhi Kartanegara, Menyingkap Tirai Kejahilan…, hlm. 117-118
[10] Yusuf al-Isy, Dinasti Abbasiyah, hlm. 255                                 
[11] Syamsuddin Arif, transmigrasi Ilmu; dari Dunia Islam ke Eropa, Jurnal Tsaqafah, Ponorogo, (Vol. 6 No. 2, Oktober 2010), hlm. 207
[12] Sami Bin Abdullah al-Maghluts, Atlas Perang Salib, Jakarta: Almahira, Cet. II, 2010, hlm. 275
[13] Syamsuddin Arif, transmigrasi Ilmu; dari Dunia Islam ke Eropa, hlm. 210
[14] Syamsuddin Arif, transmigrasi Ilmu; dari Dunia Islam ke Eropa, hlm. 211
[15] Syamsuddin Arif, transmigrasi Ilmu; dari Dunia Islam ke Eropa, hlm. 212
[16] Pada tahun 1270 Etienne Tempier, Usk­up Paris, mengutuk tiga belas proposisi Aris­toteles termasuk ide-ide yang dijelaskan di muka. Karena pengutukan ini tidak sepenu­hnya mengurangi semangat Aristotehianisme radikal, maka pada tahun 1277 ia bereaksi atas Aristotehianisme dengan lebih keras dengan mengutuk 219 pnoposisi Anistote­les, lbn Rushd, dan Thomas Aquinas. Dengan pengutukan pada tahun 1270 dan 1277, orang-orang Barat mengikuti gaya al-Ghazãli yang pada akhir abad ke­11 telah mengkritik dua puluh poin Aris­totelianisme. Sementara orang-orang Barat atau Etienne Tempier membuat daftar ide-ide bid’ah, al-Ghazãli telah menulis Se­buah buku yang mengagumkan yang me­nentang ide-ide bid’ah Aristotelianisme tersebut. Dengan demikian, prestasi a!­Ghazali itu lebih bermakna, lebih akade­mis, dan lebih berkesadaran. (Lihat: http://menaraislam.com/content/view/175/1/)
[17]Syamsuddin Arif, transmigrasi Ilmu; dari Dunia Islam ke Eropa, hlm. 213-214
[18] Syamsuddin Arif, transmigrasi Ilmu; dari Dunia Islam ke Eropa, hlm. 214-215
[19] Syamsuddin Arif, transmigrasi Ilmu; dari Dunia Islam ke Eropa, hlm. 204. Ungkapan ini menjadi Inspirasi bagi Stephen Hawking dan menjadikannya judul dari salah satu bukunya, On The Shoulders of Giants. Dalam buku ini, Stephen Hawking menyatukan karya-karya besar, dari Copernicus, Galileo, Kepler, Newton dan Einstein. Dari klaim revolusioner Copernicus 'bahwa bumi mengorbit matahari dan pengembangan Kepler dari hukum gerak planet untuk jalinan Einstein ruang dan waktu, masing-masing ilmuwan dibangun di atas teori pendahulu mereka untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang fundamental mengenai alam semesta dengan pendekatan sains.
[20] Dari situlah muncul gagasan de-westernisasi ilmu pengetahuan yang dicetuskan oleh al-Attas

No comments:

Post a Comment

 

Iklan Buku

Followers

Bincang-Bincang