Cari

KRITIK SAINS ATAS TEORI EVOLUSI DARWIN (3)

Tuesday 13 October 2015


Keenam, kajian antropologi dan arkeologi atau apa yang disebut dengan arkeoantropologi dan paleoantropologi. Bidang yang berhubungan langsung dengan asal-usul berbagai jenis manusia kuno, cara hidup dan pengaruh-pengaruh peninggalan mereka dalam bentuk artifak atau hasil tangan. Secara ringkasnya, secara mendasar tidak terdapat jurang perantara (significant gap) antara daya cipta dan berbudaya berbagai jenis manusia kuno terawal dengan manusia modern sekarang.
Ini bermakna bahwa sebenarnya tidak berlaku proses perubahan evolusi sosio-budaya secara progresif dari tahap primitif kurang sempurna kepada lebih sempurna dalam sejarah dan pra-sejarah manusia. Dalam sebuah makalah New scientist (14 Maret 1998) bertajuk ‘Ancient Mariners; Early humans were much smarter than we suspected’, ahli paleoantropologi Mike Morwood melaporkan penemuannya bahwa jenis insan kuno awal bernama Homo Erectus yang hidup 700.000 tahun lalu, memiliki ilmu, bahasa dan teknologi yang cukup tinggi sehingga mereka mampu membinan kapal layar yang melayari lautan. Dari segi anatomi pun, tiada berwujud perbedaan diantara jenis manusia modern dengan Homo Erectus yang dianggap sebagai jenis manusia paling kuno dan primitif atau mundur. Hak-ikat ini diakui oleh Alan walker, Richard Leakey dan William Laughlin. Uraian-uraian lanjut dapat diperoleh pada karya Michael A. Cremo dan Richard L. Thompson, Forbidden Archaeology: The Hidden History of human Race).[1]

Ilustrasi Homo Erectus

 Tentang Archaeopteryx
Salah satu argumen para Evolusionis tentang missing link adalah fosil Archaeopteryx. Makhluk yang dianggap sebagai nenek moyang burung modern oleh para evolusionis, hidup sekitar 150 juta tahun silam. Menurut teori ini, ada sejenis dinosaurus berukuran kecil, misalnya Velociraptors dan Dromaesaurs, yang berevolusi, yaitu menumbuhan sayap dan lalu mulai terbang. Jadi, Archaeopteryx dianggap sebagai bentuk peralihan, yang muncul dari dinosaurus – nenek moyangnya – lalu mulai terbang untuk pertama kalinya.
Tetapi, kajian terakhir atas fosil Archaeopteryx menunjukkan bahwa penjelasan ini tidak memiliki dasar ilmiah. Archaeopteryx bukan bentuk peralihan, melainkan spesies burung yang sudah punah, yang tidak jauh berbeda dengan burung modern. Hingga beberapa waktu yang lalu, pendapat bahwa Archaeopteryx adalah “setengah burung” yang belum sanggup terbang sempurna merupakan pandangan yang umum diterima di kalangan kaum evolusionis. Tiadanya tulang dada atau sternum pada makhluk ini, dianggap sebagai bukti terpenting bahwa kemampuan terbangnya tidak sempurna. (Sternum adalah tulang tempat menempel otot-otot untuk terbang, yang terletak di bawah toraks. Di zaman sekarang, tulang dada terdapat pada semua jenis burung, baik yang dapat terbang maupun tidak, bahkan terdapat juga pada kelelawar, yang tergolong mamalia terbang.)[2]

Fosil Archaeopteryx

Akan tetapi, fosil Archaeopteryx ketujuh, yang ditemukan tahun 1992, menjadi bukti penentang argumen tadi. Alasannya adalah, dalam fosil yang baru saja ditemukan ini, terdapat tulang dada yang selama ini dianggap tak ada oleh kaum evolusionis. Dalam jurnal Nature, fosil ini digambarkan sebagai spesimen yang ditemukan, menampakkan tulang sternum yang berbentuk persegi, yang sudah lama diperkirakan ada, tetapi belum pernah didokumentasikan. Ini menjadi tanda akan kekuatan otot terbangnya, walaupun kemampuan terbang-jauhnya masih dipertanyakan.
Penemuan ini meruntuhkan tiang utama yang melandasi pernyataan bahwa Archaeopteryx adalah makhluk setengah burung, yang tak mampu terbang sempurna. Lagi pula, struktur bulu burung ini merupakan salah satu bukti terpenting bahwa Archaeopteryx adalah burung sejati yang dapat terbang. Struktur bulu Archaeopteryx, yang tidak simetris, tidak bisa dibedakan dari bulu burung zaman modern. Ini menandakan bahwa burung ini benar-benar bisa terbang. Seperti kata ahli paleontologi ternama, Carl O. Dunbar, “Dilihat dari bulunya, jenis [Archaeopteryx] jelas termasuk kelompok burung.” Ahli paleontologi Robert Carroll menjelaskan hal ini lebih lanjut, “Geometri bulu yang berfungsi untuk terbang pada Archaeopteryx adalah sama persis dengan bulu burung modern yang dapat terbang, sedangkan bulu pada unggas yang tak bisa terbang adalah simetris. Pola yang dengannya bulu-bulu tersebut tersusun pada sayapnya juga masih termasuk dalam kelompok burung modern… Menurut Van Tyne dan Berger, bentuk dan ukuran relatif sayap Archaeopteryx serupa dengan yang ada pada burung yang biasa menembus rapatnya pepohonan, misalnya burung unggas yang sudah didomestikasi, merpati, burung rawa, burung pelatuk, dan kebanyakan burung layang… Bulu yang berfungsi untuk terbang ini telah berada dalam keadaan yang sama selama sedikitnya 150 juta tahun”.[3]
Fakta lain yang terungkap lewat struktur bulu Archaeopteryx adalah metabolismenya yang tergolong berdarah panas. Seperti telah dibahas tadi, reptil dan – walaupun ada pendapat kaum evolusionis yang menentang ini – dinosaurus tergolong hewan berdarah dingin, yang suhu tubuhnya berubah tergantung suhu lingkungan. Lain halnya pada hewan berdarah panas, yang suhu tubuhnya diatur secara homeostatis (tidak bergantung pada suhu lingkungan di luar tubuh – penerj.). Fungsi bulu burung yang amat penting adalah pemeliharaan suhu tubuh yang senantiasa tetap. Fakta bahwa Archaeopteryx memiliki bulu membuktikan bahwa makhluk ini adalah burung sejati berdarah panas yang perlu menjaga panas tubuhnya; tidak demikian halnya pada dinosaurus.”[4]

Ilustrasi Archaeopteryx

Perbandingan  Ukuran Archaeopteryx dengan Manusia

Hasil penelitian terakhir menunjukkan bahwa tangan dinosaurus theropoda berasal dari digit (bakal jari –terj.) I, II, dan III, sedangkan sayap burung, walaupun strukturnya tampak mirip, berasal dari digit II, III, dan IV… Terdapat sejumlah kesulitan lain yang mengganjal teori “burung adalah dinosaurus” ini. Tungkai depan theropoda jauh lebih kecil (relatif terhadap ukuran tubuh) daripada tungkai sayap Archaeopteryx. “Bakal sayap” yang kecil pada theropoda tidaklah begitu meyakinkan, terutama mengingat tubuh dinosaurus tersebut cukup berat. Hewan theropoda umumnya tidak memiliki tulang pergelangan tangan berbentuk sabit, dan memiliki sejumlah bagian penyusun pergelangan yang tidak memiliki homologi dengan tulang-tulang Archaeopteryx. Selain itu, hampir pada seluruh hewan theropoda, saraf VI keluar dari tempurung otak melalui samping, bersama-sama beberapa saraf lainnya; sedangkan pada burung, saraf VI keluar dari depan tempurung otak, melalui lubangnya tersendiri. Di samping itu, terdapat pula masalah kecil: sebagian besar jenis theropoda muncul setelah Archaeopteryx.[5]
Sekali lagi, fakta-fakta tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa Archaeopteryx maupun burung-burung purba lainnya yang sejenis bukanlah makhluk peralihan. Catatan fosil tidak menunjukkan bahwa berbagai spesies burung mengalami evolusi dari satu jenis ke jenis lainnya. Sebaliknya, catatan fosil membuktikan, burung-burung jenis modern di masa kini dan beberapa jenis burung purba seperti Archaeopteryx pernah hidup dalam satu zaman. Memang benar bahwa sebagian dari burung purba seperti Archaeopteryx dan Confuciusornis telah punah, tetapi fakta bahwa hanya sebagian saja dari spesies-spesies yang dulu pernah hidup bisa bertahan hingga masa kini tidak berarti dengan sendirnya mendukung teori evolusi.[6]

Ilustrasi Confuciusornis

Dari gambaran di atas semakin nampaklah bahwa Teori Evolusi Darwin, tidak lain hanyalah sekedar asumsi-asumsi dan khayalan-khayalan yang tidak pernah bisa dibuktikan secara empiris. Teori Darwin adalah argumen yang dibangun tanpa dasar ilmiah sama sekali, dan bukti betapa semakin jelas bagaimana kehidupan dimuka bumi dimulai dari penciptaan Adam. Yang menjadi masalah dalam konsep ilmu dalam teori ini adalah pendekatakan yang dibangun. Dengan asumsi dan keyakinan bahwa, tanpa Tuhan pun, manusia bisa hadir di permukaan bumi. Kehidupan ada sejak dulu. Dan yang berlaku dalam alam hanyalah prinsip naturalisme. Argumen-argumen demikian sangat nampak kelemahannya. Dan tidak lain penyebabnya adalah sekulerisasi ilmu. Ketika jejak wahyu, tuhan dan agama telah dihilangkan dari struktur episetemologi ilmu. Ilmu menjadi bebas berkelana tanpai konsep dan keyakinan yang benar. Akhirnya, ilmu-ilmu seperti ini kemudian menghasilkan ilmuwan-ilmuwan sekuler. Dan puncaknya, para pencetus dan pendukungnya menganut ateisme. Atau minimal agnostik. Mendudukkan tuhan hanya sekedar hipotesa. Dari situlah patut disadari akan pentingnya mencetak ilmuwan atau cendekiawan yang memperjuangkan ilmu dengan epistemologi yang benar. Ilmuwan yang melawan ilmu-ilmu sekuler. Ilmuwan yang menjadi pejuang intelektual!. (wallohu a’lam).




[1] Adi Setia, Kritik Sains terhadap Teori Evolusi Darwin, hlm.  82-83
[2] Harun Yahya, Runtuhnya Teori Evolusi dalam 20 Pertanyaan, hlm. 28
[3] Harun Yahya, Runtuhnya Teori Evolusi dalam 20 Pertanyaan, hlm. 28
[4] Harun Yahya, Runtuhnya Teori Evolusi dalam 20 Pertanyaan, hlm. 28
[5] Harun Yahya, Runtuhnya Teori Evolusi dalam 20 Pertanyaan, hlm. 30
[6] Harun Yahya, Runtuhnya Teori Evolusi dalam 20 Pertanyaan, hlm. 31

No comments:

Post a Comment

 

Iklan Buku

Followers

Bincang-Bincang