Keenam, kajian antropologi dan arkeologi atau apa yang disebut
dengan arkeoantropologi dan paleoantropologi. Bidang yang berhubungan
langsung dengan asal-usul berbagai jenis manusia kuno, cara hidup dan
pengaruh-pengaruh peninggalan mereka dalam bentuk artifak atau hasil
tangan. Secara ringkasnya, secara mendasar tidak terdapat jurang perantara (significant
gap) antara daya cipta dan berbudaya berbagai jenis manusia kuno terawal
dengan manusia modern sekarang.
Ini bermakna bahwa sebenarnya tidak berlaku
proses perubahan evolusi sosio-budaya secara progresif dari tahap primitif
kurang sempurna kepada lebih sempurna dalam sejarah dan pra-sejarah manusia. Dalam
sebuah makalah New scientist (14 Maret 1998) bertajuk ‘Ancient
Mariners; Early humans were much smarter than we suspected’, ahli
paleoantropologi Mike Morwood melaporkan penemuannya bahwa jenis insan kuno
awal bernama Homo Erectus yang hidup 700.000 tahun lalu, memiliki ilmu, bahasa
dan teknologi yang cukup tinggi sehingga mereka mampu membinan kapal layar yang
melayari lautan. Dari segi anatomi pun, tiada berwujud perbedaan diantara jenis
manusia modern dengan Homo Erectus yang dianggap sebagai jenis manusia paling
kuno dan primitif atau mundur. Hak-ikat ini diakui oleh Alan walker, Richard
Leakey dan William Laughlin. Uraian-uraian lanjut dapat diperoleh pada karya
Michael A. Cremo dan Richard L. Thompson, Forbidden Archaeology: The Hidden
History of human Race).[1]
Ilustrasi Homo Erectus |
Tentang Archaeopteryx
Salah satu argumen para Evolusionis tentang
missing link adalah fosil Archaeopteryx. Makhluk yang dianggap
sebagai nenek moyang burung modern oleh para evolusionis, hidup sekitar 150
juta tahun silam. Menurut teori ini, ada sejenis dinosaurus berukuran kecil,
misalnya Velociraptors dan Dromaesaurs, yang berevolusi, yaitu
menumbuhan sayap dan lalu mulai terbang. Jadi, Archaeopteryx dianggap
sebagai bentuk peralihan, yang muncul dari dinosaurus – nenek moyangnya – lalu
mulai terbang untuk pertama kalinya.
Tetapi, kajian terakhir atas fosil Archaeopteryx
menunjukkan bahwa penjelasan ini tidak memiliki dasar ilmiah. Archaeopteryx
bukan bentuk peralihan, melainkan spesies burung yang sudah punah, yang
tidak jauh berbeda dengan burung modern. Hingga beberapa waktu yang lalu,
pendapat bahwa Archaeopteryx adalah “setengah burung” yang belum sanggup
terbang sempurna merupakan pandangan yang umum diterima di kalangan kaum
evolusionis. Tiadanya tulang dada atau sternum
pada makhluk ini, dianggap sebagai bukti terpenting bahwa kemampuan terbangnya
tidak sempurna. (Sternum adalah
tulang tempat menempel otot-otot untuk terbang, yang terletak di bawah toraks. Di zaman sekarang, tulang
dada terdapat pada semua jenis burung, baik yang dapat terbang maupun tidak,
bahkan terdapat juga pada kelelawar, yang tergolong mamalia terbang.)[2]
Fosil Archaeopteryx |
Akan tetapi, fosil Archaeopteryx ketujuh,
yang ditemukan tahun 1992, menjadi bukti penentang argumen tadi. Alasannya
adalah, dalam fosil yang baru saja ditemukan ini, terdapat tulang dada yang
selama ini dianggap tak ada oleh kaum evolusionis. Dalam jurnal Nature,
fosil ini digambarkan sebagai spesimen yang ditemukan, menampakkan tulang
sternum yang berbentuk persegi, yang sudah lama diperkirakan ada, tetapi belum
pernah didokumentasikan. Ini menjadi tanda akan kekuatan otot terbangnya,
walaupun kemampuan terbang-jauhnya masih dipertanyakan.
Penemuan ini meruntuhkan tiang utama yang
melandasi pernyataan bahwa Archaeopteryx adalah makhluk setengah burung,
yang tak mampu terbang sempurna. Lagi pula, struktur bulu burung ini merupakan
salah satu bukti terpenting bahwa Archaeopteryx adalah burung sejati
yang dapat terbang. Struktur bulu Archaeopteryx, yang tidak
simetris, tidak bisa dibedakan dari bulu burung zaman modern. Ini menandakan
bahwa burung ini benar-benar bisa terbang. Seperti kata ahli paleontologi
ternama, Carl O. Dunbar, “Dilihat dari bulunya, jenis [Archaeopteryx]
jelas termasuk kelompok burung.” Ahli paleontologi Robert Carroll menjelaskan
hal ini lebih lanjut, “Geometri bulu yang berfungsi untuk terbang pada Archaeopteryx
adalah sama persis dengan bulu burung modern yang dapat terbang, sedangkan
bulu pada unggas yang tak bisa terbang adalah simetris. Pola yang dengannya
bulu-bulu tersebut tersusun pada sayapnya juga masih termasuk dalam kelompok
burung modern… Menurut Van Tyne dan Berger, bentuk dan ukuran relatif sayap Archaeopteryx
serupa dengan yang ada pada burung yang biasa menembus rapatnya pepohonan,
misalnya burung unggas yang sudah
didomestikasi, merpati, burung
rawa, burung pelatuk, dan kebanyakan burung layang… Bulu yang berfungsi untuk terbang ini telah berada dalam
keadaan yang sama selama
sedikitnya 150 juta tahun”.[3]
Fakta lain yang terungkap lewat struktur
bulu Archaeopteryx adalah metabolismenya yang tergolong berdarah panas.
Seperti telah dibahas tadi, reptil dan – walaupun ada pendapat kaum evolusionis
yang menentang ini – dinosaurus tergolong hewan berdarah dingin, yang suhu
tubuhnya berubah tergantung suhu lingkungan. Lain halnya pada hewan berdarah
panas, yang suhu tubuhnya diatur secara homeostatis (tidak bergantung pada suhu
lingkungan di luar tubuh – penerj.). Fungsi bulu burung yang amat penting
adalah pemeliharaan suhu tubuh yang senantiasa tetap. Fakta bahwa Archaeopteryx
memiliki bulu membuktikan bahwa makhluk ini adalah burung sejati berdarah
panas yang perlu menjaga panas tubuhnya; tidak demikian halnya pada dinosaurus.”[4]
Ilustrasi Archaeopteryx |
Perbandingan Ukuran Archaeopteryx dengan Manusia |
Hasil penelitian terakhir menunjukkan
bahwa tangan dinosaurus theropoda berasal dari digit (bakal jari –terj.) I, II,
dan III, sedangkan sayap burung, walaupun strukturnya tampak mirip, berasal
dari digit II, III, dan IV… Terdapat sejumlah kesulitan lain yang mengganjal
teori “burung adalah dinosaurus” ini. Tungkai depan theropoda jauh lebih kecil
(relatif terhadap ukuran tubuh) daripada tungkai sayap Archaeopteryx.
“Bakal sayap” yang kecil pada theropoda tidaklah begitu meyakinkan, terutama
mengingat tubuh dinosaurus tersebut cukup berat. Hewan theropoda umumnya tidak
memiliki tulang pergelangan tangan berbentuk
sabit, dan memiliki sejumlah bagian penyusun pergelangan yang tidak
memiliki homologi dengan tulang-tulang Archaeopteryx. Selain itu, hampir
pada seluruh hewan theropoda, saraf VI keluar dari tempurung otak melalui
samping, bersama-sama beberapa saraf lainnya; sedangkan pada burung, saraf VI
keluar dari depan tempurung otak, melalui lubangnya tersendiri. Di samping itu,
terdapat pula masalah kecil: sebagian besar jenis theropoda muncul setelah Archaeopteryx.[5]
Sekali lagi, fakta-fakta tersebut
menunjukkan dengan jelas bahwa Archaeopteryx maupun burung-burung purba
lainnya yang sejenis bukanlah makhluk peralihan. Catatan fosil tidak menunjukkan bahwa
berbagai spesies burung mengalami evolusi dari satu jenis ke jenis lainnya.
Sebaliknya, catatan fosil membuktikan, burung-burung jenis modern di masa kini
dan beberapa jenis burung purba seperti Archaeopteryx pernah hidup dalam
satu zaman. Memang benar bahwa sebagian dari burung purba seperti Archaeopteryx
dan Confuciusornis telah punah, tetapi fakta bahwa hanya sebagian saja
dari spesies-spesies yang dulu pernah hidup bisa bertahan hingga masa kini
tidak berarti dengan sendirnya mendukung teori evolusi.[6]
Ilustrasi Confuciusornis |
Dari gambaran di atas
semakin nampaklah bahwa Teori Evolusi Darwin, tidak lain hanyalah sekedar
asumsi-asumsi dan khayalan-khayalan yang tidak pernah bisa dibuktikan secara
empiris. Teori Darwin adalah argumen yang dibangun tanpa dasar ilmiah sama
sekali, dan bukti betapa semakin jelas bagaimana kehidupan dimuka bumi dimulai
dari penciptaan Adam. Yang menjadi masalah dalam konsep ilmu dalam teori ini
adalah pendekatakan yang dibangun. Dengan asumsi dan keyakinan bahwa, tanpa
Tuhan pun, manusia bisa hadir di permukaan bumi. Kehidupan ada sejak dulu. Dan yang
berlaku dalam alam hanyalah prinsip naturalisme. Argumen-argumen demikian
sangat nampak kelemahannya. Dan tidak lain penyebabnya adalah sekulerisasi ilmu.
Ketika jejak wahyu, tuhan dan agama telah dihilangkan dari struktur
episetemologi ilmu. Ilmu menjadi bebas berkelana tanpai konsep dan keyakinan
yang benar. Akhirnya, ilmu-ilmu seperti ini kemudian menghasilkan
ilmuwan-ilmuwan sekuler. Dan puncaknya, para pencetus dan pendukungnya menganut
ateisme. Atau minimal agnostik. Mendudukkan tuhan hanya sekedar hipotesa. Dari
situlah patut disadari akan pentingnya mencetak ilmuwan atau cendekiawan yang memperjuangkan
ilmu dengan epistemologi yang benar. Ilmuwan yang melawan ilmu-ilmu sekuler. Ilmuwan
yang menjadi pejuang intelektual!. (wallohu a’lam).
[1] Adi Setia, Kritik
Sains terhadap Teori Evolusi Darwin, hlm.
82-83
[2] Harun Yahya, Runtuhnya
Teori Evolusi dalam 20 Pertanyaan, hlm. 28
[3] Harun Yahya, Runtuhnya
Teori Evolusi dalam 20 Pertanyaan, hlm. 28
[4] Harun Yahya, Runtuhnya
Teori Evolusi dalam 20 Pertanyaan, hlm. 28
[5] Harun Yahya, Runtuhnya
Teori Evolusi dalam 20 Pertanyaan, hlm. 30
[6] Harun Yahya, Runtuhnya
Teori Evolusi dalam 20 Pertanyaan, hlm. 31
No comments:
Post a Comment