Sejak lahirnya periode pencerahan (enlighment) di Eropa,
yang dimulai dari abad 17 sampai dengan 19, bersamaan dengan timbulnya
rasionalisme, empirisisme, pertumbuhan teknologi dan ilmu pengetahuan di Barat,
para filosof Inggris, Belanda, Perancis dan Jerman sebenarnya telah meramalkan
terjadinya krisis.[1] Jacques
Maritain (182-1973), seorang filosof Kristen yang sangat berpengaruh dan
dianggap oleh golongan Kristen sebagai filosof terkemuka abad ini, melukiskan
bagaimana Kristen dan Dunia Barat sedang mengalami krisis yang sangat
mengkhawatirkan. Krisis yang membawa dampak terjadinya peristiwa-peristiwa masa
kini yang sumbernya berasal dari pengalaman, pemahaman dan pemaknaan kehidupan
dalam peradaban perkotaan, seperti tercermin dalam tren pemikiran
neo-modernisme.[2]
Di awal pertengahan abad ke-19, Auguste Comte meramalkan terbitnya
era ilmu pengetahuan dan dikesampingkannya agama. Ia percaya, dengan logika
sekulernya, pada kemajuan filsafat dan ilmu pengetahuan Barat di mana
masyarakat tumbuh dan berkembang dari fase primitif menuju fase modern.[3]
Salah seorang Teolog Prostestan Kontemporer yang gigih menyerukan
sekulerisasi adalah Harvey Cox. Pertengahan tahun 1960-an ia menulis sebuah
buku, The Secular City. Ia menyebutkan sekulerisasi adalah pembebasan
manusia dari proteksi agama dan metafisika. Pengalihan dari alam lain ke dunia
ini. (Secularization is The Liberation of man from religious and
metaphysical tutelage, the turning of his attention away from other worlds
toward this one).[4]
Dampak dari dominasi Filsafat yunani klasik terhadap Teologi
Kristen awal menyebabkan kata sekuler memiliki konotasi sesuatu yang inferior.
Sekuler sudah bermakna perubahan di ‘dunia ini’ bertentangan dengan ‘dunia
agama’ yang kekal, tidak berubah dan benar serta lebih hebat dari dunia sekuler
yang berlalu (passing) dan bersifat sementara (transcienti). Maka
kata sekuler semakin memiliki konotasi negatif ketika terjadinya sintesis pada
abad pertengahan antara Filsafat Yunani kuno dan ajaran Yahudi. Sintesis itu
adalah ruang (spatial world) lebih tinggi dan lebih agamais, sedangkan
dunia sejarah yang berubah lebih rendah atau ‘dunia sekuler’. [5]
Akibatnya, kata Fritjouf Capra yang menulis The Turning Point;
Science, Society and The Rising Culture, awal dua dasawarwa terakhir
abad ke-20, dunia telah menemukan dirinya berada pada krisis global. Krisis
yang menyentuh setiap aspek kehidupan manusia dan krisis tersebut belum pernah
terjadi di zaman mana pun. Kata Capra, produksi puluhan ribu senjata nuklir
serta perlombaan senjata melaju dengan drastis. Biaya kegilaan nuklir
mengejutkan, yaitu 425 miliar Dollar pada tahun 1978, yang artinya lebih dari
satu satu milliar dollar setiap hari. Sementara itu, kira-kira 90 % dari lebih
dari 100 negara Dunia Ketiga menjadi pembeli senjata dan menghabiskan sebagian
besar dari pendapatan negaranya. Sementara di sisi yang lain, 15 juta orang
meninggal –sebagian besar anak-anak- karena kelaparan setiap tahun, 500 juta
lainnya kekurangan gizi serius, dan hampir 40% penduduk dunia tidak mempunyai
peluang untuk mendapatkan pelayanan kesehatan profesional, 35 % penduduk dunina
kekurangan air bersih, sementara negara-negara sedang berkembang menghabiskan
biaya untuk persenjataan 3 kali lebih besar untuk biaya kesehatan.[6]
Budi
Handrianto menulis “Saat ini peradaban
Barat yang berlandaskan paham sekulerisme, rasionalisme, uitilitarianismem dan
meterialisme telah membawa dunia menuju ambang kehancuran. Memang tidak menutup
mata berbagai keberhasilan dan kemajuan dihasilkan oleh peradaban ini. Namun
juga, tidak dimungkiri peradaban Barat telah menghasilkan penjajahan, perang
berkepanjangan, ketimpangan sosial, kerusakan lingkungan, keterasingan
(alienasi) dan anomie (berkurangnya adat sosial atau standar etika diri)[7]”.
Peradaban
Barat dinyatakan oleh Marvin Perry sebagai sebuah peradaban besar, tetapi
sekaligus sebuah drama yang tragis (a tragic drama)[8].
Hal itu diamini oleh Naquib Al-Attas karena peradaban barat tidak lagi
menganggap alam sebagai sesuatu kejadian yang kudus, sehingga membolehkannya
untuk bertindak bebas terhadap alam tabi’i (disenchantment of nature),
memanfaatkannya mengikuti keperluan dan rancangannya[9].
Karena
bergerak di bawah hegemoni peradaban Barat, setiap sisi kehidupan mengalami
ilusi kemajuan. Klaim istilah modern, progresif, canggih, dikonotasikan dengan
mengikut kepada Barat. Sementara tradisional, kuno, dan fundamental
dikonotasikan pada peradaban selain Barat.
Istilah
kemajuan dibangun di atas indikator-indikator materi yang harus bisa terukur
dan kasat mata. Tanpa ‘bisa terlihat’, maka bagi Barat tidak boleh diangkat sampai pada derajat ilmu
otentik. Oleh karenanya, orang-orang Eropa harus membuat orang-orang non-eropa
menyamakan “modernisasi’ dengan “peradaban” demi memaksakan pola konsumsi baru
atas mereka, kerena setiap orang berhasrat pada peradaban. “Modernisasi”[10]
dilukiskan sebagai peradaban[11].
Karena berbicara termodernkan, berarti termodernkan dalam hal konsumsi.
Seseorang menjadi termodernkan adalah seseorang yang sekarang merasakan
keinginan terhadap hal-hal modern untuk
memuasi keinginannya[12].
Dalam
bidang ini, tatanan perekonomian dunia dibangun atas dasar sistem kapitalis
ribawi. Amerika Serikat (AS) memaksakan sistem kapitalis ini kepada seluruh
negara di dunia melalui lembaga internasional, yaitu World Bank (Bank Dunia)
dan International Monetary Fund (IMF). Adapun bentuk yang lainnya melalui
berbagai lembaga dunia atau dengan melalui kesepakatan dunia yang telah diakui
oleh lembaga tersebut dan sebagainya[13].
Yang
lebih parah lagi adalah terjadi kesenjangan yang luar biasa di beberap negara.
Secara angka menunjukkan bahwa kekayaan yang dimiliki oleh 358 milyader
(orang-orang super kaya) yang berada di dunia ini melebihi kekayaan yang
dimiliki oleh 2,5 milyar penduduk dunia. Terdapat 20% dari berbagai negara yang
penghasilan alamnya mencapai 85% dan 84% dari perdagangan. 85% dari hasil
pertambangan dilimiliki oleh para penduduknya. Tingkatan yang terjadi di
berbagai negara ini hampir menyamai tingkatan lain yang terjadi di setiap
negara. Sehingga, hanya minoritas saja dari penduduk negara-negara tersebut
yang taraf ekonominya menengah ke atas. Mayoritas di antara mereka berada pada
taraf kemiskinan. Hal itu akan berdampak pada hasil sosial yang berbahaya[14].
Dalam
bidang Politik. Setelah Unisoviet jatuh, Amerika pun naik ke permukaan. Belum
ada negara di dunia saat ini yang bisa menandingi AS dalam hal kekuatan
militer. Oleh karena itu, wajar saja jika AS kini berhasil mengendalikan dunia
(global cop). Kesempatan ini dimanfaatkan benar oleh AS. Melalui lembaga
perserikatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), seluruh negara di dunia diarahkan
oleh AS untuk menjadi negara dengan sistem demokrasi. Setiap negara dibuat
sibuk untuk mengurusi demokrasi. Dengan cara demikian, mereka dengan mudah
dapat dikendalikan oleh satu pusat kekuatan, yaitu AS. Mereka selalu
menggembar-gemborkan penegakkan Hak Asasi Manusia (HAM). Jika di suatu negara
terjadi pelanggaran HAM, mereka kemudian menghukumnya dengan sanksi ekonomi
atau embargo ekonomi. Namun, yang menarik di sini adalah hal itu tidak berlaku
jika pelanggaran HAM itu terjadi pada kaum muslimin di negeri yang mayoritas
berpenduduk muslim. Ini berarti AS menerapkan standar ganda dalam penegakkan
HAM. Dengan demikian, ini adalah sistem yang tidak adil[15].
Dalam
bidang Kesehatan, berbagai penyakit baru terus bermunculan menghinggapi manusia
dan parahnya belum ditemukan obat yang paten yang mampu menyembuhkan secara
total, seperti halnya virus HIV, dan juga Virus H5N1 dalam kasus Flu Burung
sampai virus Ebola yang mewabah di Liberia. Di lain sisi, obat-obatan kimiawi
yang diproduksi oleh dunia medis dan direkomendasi oleh para dokter ternyata
juga tidak bebas dari efek samping. Obat untuk sesuatu penyakit ternyata jika
digunakan secara kontinyu akan menimbulkan penyakit lain. Sayuran dan
buah-buahan di bidang pertanian, dalam perawatannya selalu disemprot dengan
herbisida atau insektisida yang tidak aman bagi manusia. Belum lagi zat
pengawet yang biasa diberikan kepada sayuran dan buah-buahan impor agar lebih
tahan lama dan tidak mudah busuk, juga menambah daftar zat kimia berbahaya yang
dipastikan akan ikut masuk ke dalam tubuh manusia jika dikonsumsi.
Inilah wajah Peradaban Barat. Wajah
ketidakseimbangan sebagaimana yang diungkapkan oleh Capra. Inilah peradaban
tragedi yang lahir dari dualisme akal dan hati. Pemisahan dunia dan akhirat.
Serta penyingkiran Tuhan dan wahyu dari ruang publik. Peradaban yang mematung
agama dalam ruang privasi dan pemutusan agama dalam kerangka hukum tatanegara.
Peradaban yang membangun defenisi kemajuan berdasarkan pandangan (worldview)
sekuler. Seperti ini-lah wajah Peradaban Barat. Wajah peradaban yang penuh
dengan tragedi. Seperti inilah peradaban yang diperjuangkan Sekuleris yang
menghayalkan puncak kemajuan dalam utopia. Kita tidak tahu, sampai kapan ini berlangsung.
Namun kita yakin, Peradaban yang lebih baik pasti akan datang, Insya Allah!. (Wallohu
a’lam)
[1]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Latar Belakang Kristen Barat Kontemporer (Alih
bahasa: Elisabeth Diana Dewi), Jurnal Islamia, Jakarta: INSIST, (Vol. III, No.
2, 2005), hlm. 12
[2]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Latar Belakang Kristen Barat Kontemporer …, hlm.
12
[3]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Latar Belakang Kristen Barat Kontemporer …, hlm.
13
[4]
Adnin Armas, Sebuah Catatan Untuk Sekulerisasi Harvey Cox, Jurnal
Islamia, Jakarta: INSIST, (Vol. III, No. 2, 2005), hlm. 28
[5]
Adnin Armas, Sebuah Catatan Untuk Sekulerisasi Harvey Cox…, hlm. 31
[6]
Lihat Fritjouf Capra dalam Ahmad Tafsir, Filsafat Umum…, hlm. 260
[7] Adian Husaini dkk, Filsafat Ilmu,
Jakarta: GIP, 2013, hal. 231-232
[8] Adian
Husaini dkk, Filsafat Ilmu…, hlm. 232
[9] Naquib
Al-Attas, Islam dan Sekulerisme, Bandung: PIMPIN, 2011, hal. 39
[10] Menurut
Syamsuddin Arif, masyarakat modern sesuai pandangan barat, minimal memiliki
tiga ciri. Pertama, ada diferensiasi fungsi dan struktur sosial,
ditandai dengan munculnya sistem birokrasi dan profesionalisme, menggantikan
hirarki, dominasi dan preensi kelompok tertentu. Ini disertai oleh fragmentasi
ideologi dan maraknya tren pluralisme dan reletivisme, bahwasanya tidak ada
kebenaran tunggal. There is no longer one single truth, one single way to
God, but a whole variety of equally good ways, Kata Steve Bruce, Sosiolog
Agama dari Universitas Aberdeen, Skotlandia. Kedua, privatisasi agama
sebagai konsekuensi dari kehidupan yang lebih terorganisir dan terjamin,
sehingga agama dirasakan tidak lagi relevan jika tidak berpengaruh sama sekali
dalam konteks sosial. Ketiga, terjadinya rasionalisasi dimana sains dan
teknologi tampil dominan menggantikan mitologi dan mistisme, sihir dan
perdukunan (Lihat Syamsudin Arif, Kemodernan, Sekularisasi dan Agama, Jurnal Islamia, Jakarta: INSIST, (Vol. III,
No. 2, 2005), hlm. 34)
[11] Ali
Syariati, Ideologi Kaum Intelektual, Bandung: Mizan, 1993, hal. 152
[12] Ali Syariati,
Ideologi …, hlm. 151 - 152
[13] Dr. Ghazy
at-taubah, Plus Minus Globalisasi, Diakses dari http://www.alislamu.com/455/plus-minus-globalisasi/
Pada 26 November 2014, Pukul 20.08 WIB
[14] Dr. Ghazy at-taubah, Plus Minus…
[15] Dr. Ghazy at-taubah, Plus Minus…
No comments:
Post a Comment