Cari

KONSEP ILMU DALAM ISLAM (Bag-1)

Wednesday, 9 September 2015




Saya lahir dan dibesarkan di sebuah kampung. Setelah menamatkan Sekolah Menengah, Saya melanjutkan pendidikan di kota. Ada dua hal yang menarik setelah melihat bagaimana pemahaman dan praktik keagamaan dua jenis daerah dengan iklim kultur yang berbeda tersebut. Kultur di Desa, sangat kental bercorak mistisme dan sufisme. Masih banyak keyakinan yang sangat erat kaitannya dengan kepercayaan-kepercayaan tentang kekuatan alam dan ketidakberdayaan manusia atas alam. Sehingga muncul Pamali[1]. Berbeda halnya di daerah perkotaan. Kawasan elite, terbuka dan bebas menyebabkan informasi sangat mudah diakses dan menyebar. Akan tetapi dalam pandangan keagamaan, justru banyak yang melampau ‘porsi’ (ghuluw). Hal itu bisa dibuktikan dari kajian-kajian orientalisme yang masuk sebagai pendekatan dalam menjelaskan al-Qur’an dan Sunnah. Tafsir hermeneutika[2], Positivisme Sosiologis, Relativisme dan paham yang sejenisnya banyak menggerogoti pemikiran para intelektual.
Akhirnya terbentuk dua kutub keilmuwan yang jika tidak hati-hati justru akan sangat berbahaya. Yang pertama terjebak dalam kerangka mistisme dan dianggap sebagai sebuah ‘ilmu’. Yang kedua terjebak dalam kendali dominasi logika  dan juga menganggapnya sebagai sebuah ‘ilmu’. Menurut Nashruddin Syarif, dalam pendidikan umum terjadi ignorance sedangkan dalam pendidikan Tinggi terjadi Confusion[3], dalam hal agama. Satu pembahasan yang cukup rumit.
Namun untuk mengetahuinya, ada baiknya kita beralih dan bertolak dari kajian kita yang telah lalu. Bagaimana konsep ilmu itu. Apakah yang menjadi keyakinan, pengetahuan, fakta-realitas, yang sudah bertahun-tahun diturunkan itu adalah ilmu?. Kalau bukan, lalu apa sebenarnya ilmu itu ?.

Menjelajahi Makna Ilmu
Secara bahasa al-‘ilmu[4] adalah lawan dari al-jahl atau kebodohan, yaitu mengetahui sesuatu yang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, dengan pengetahuan yang pasti. Secara istilah dijelaskan oleh sebagian ulama bahwa ilmu adalah ma’rifah (pengetahuan) sebagai lawan dari al-jahl (kebodohan). Menurut ulama lainnya ilmu itu lebih jelas dari apa yang diketahui.  Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullaah mengatakan, “Ilmu adalah mengetahui sesuatu dengan pengetahuan yang sebenarnya.”
Imam As-Shirazy dalam al-Luma’ fi Ushul al-Fiqh mendefenisikan ilmu sebagai ma’rifatu al-ma’lum ‘ala maa huwa ‘alaihi[5] (Pengenalan atas hal yang diketahui sebagaimana adanya).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat th. 728 H) rahimahullaah mengatakan, “Ilmu adalah apa yang dibangun di atas dalil, dan ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang dibawa oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Terkadang ada ilmu yang tidak berasal dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tetapi dalam urusan duniawi, seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung, ilmu pertanian, dan ilmu perdagangan.”
Imam Ibnu Rajab (wafat th. 795 H) rahimahullaah mengatakan, “Ilmu yang bermanfaat menunjukkan pada dua hal”. Diantaranya orang yang berilmu bersegera melakukan segala apa yang dicintai dan diridhai Allah Ta’ala dan menjauhi segala apa yang dibenci dan dimurkai-Nya. Apabila ilmu itu menghasilkan hal ini bagi pemiliknya, maka inilah ilmu yang bermanfaat. Kapan saja ilmu itu bermanfaat dan menancap di dalam hati, maka sungguh, hati itu akan merasa khusyu’, takut, tunduk, mencintai dan mengagungkan Allah ‘Azza wa Jalla, jiwa merasa cukup dan puas dengan sedikit yang halal dari dunia dan merasa kenyang dengannya sehingga hal itu menjadikannya qana’ah dan zuhud di dunia.” Imam Mujahid bin Jabr (wafat th. 104 H) rahimahullaah mengatakan, “Orang yang faqih adalah orang yang takut kepada Allah Ta’ala meskipun ilmunya sedikit. Dan orang yang bodoh adalah orang yang berbuat durhaka kepada Allah Ta’ala meskipun ilmunya banyak.”
Karena itu, Ibn Qayyim menjelaskan bahwa, “Jika kemuliaan kemauan tergantung pada kemuliaan sesuatu yang dicari, dan kemuliaan ilmu tergantung pada kemuliaan sesuatu yang diketahui dengan ilmu itu, maka puncak kebahagiaan seorang hamba adalah ketika keinginannya menuju pada sesuatu yang tidak binasa, tidak sirna, dan abadi; yaitu Tuhan Yang Maha Hidup. Tidak ada jalan baginya untuk mencapai tujuan yang sangat agung ini kecuali dengan ilmu yang diperoleh dari hamba, Rasul dan kekasih-Nya, yang menyeru dan menunjukkan serta menjadi perantara antara Dia dan manusia.”[6]
Ibnu taimiyah dalam Majma’ Fatawa mendefenisikan ilmu secara istilah berarti pengetahuan yang berdasar pada dalil (bukti). Dalil yang dimaksud bisa berupa penukilan wahyu dengan metode yang benar (al-naql al-mushaddaq), bisa juga berupa penelitian ilmiah (al-bahts al-muhaqqiq). Beliau berkata : Sesungguhnya ilmu itu adalah yang bersandar pada dalil, dan yang bermanfaat darinya adalah apa yang dibawa oleh Rasul. Maka sesuatu yang bisa kita katakan ilmu itu adalah penukilan yang benar dan penelitian yang akurat[7].
Beliau mengait-eratkan antara keyakinan dan ilmu. Seseorang yang yakin berarti menunjukkan bahwa ilmu itu telah bersemayam di dalam dirinya. Dengan kata lain, kalau pemikiran-pemikiran filosofis seperti yang berlaku dalam metafisika tidak mendatangkan keyakinan, itu berarti pemikiran tersebut belum mendatangkan ilmu.
Yakin melahirkan dua perkara, yaitu pengetahuan hati dan amal hati. Karena terkadang seseorang hamba sudah tahu sebuah ilmu dengan pasti tapi bersamaan dengan itu dalam hatinya masih ada keraguan untuk mengamalkan apa yang dituntut oleh ilmunya itu[8]. Dari defenisi ini sangat jelas hubungan antara yakin, ilmu dan amal. Sehingga menurut Ibn Taimiyah, ilmu adalah apa yang menjadi keyakinan dan terlihat dalam amal perbuatan.
Defenisi lain, seorang pakal Filologi, al-Raghib al-Isfahani (w. 443.1060), dalam karyanya Kamus Istilah Qur’an mendefenisikan ilmu sebagai “persepsi suatu hal dalam hakikatnya”. Ini berarti bahwa sekadar menilik sifat (misalnya menilik bentuk, ukuran, berat, isi, warna dan sifat-sifat lain) suatu hal tidak merupakan bagian dari ilmu. Mendasari defenisi ini adalah suatu pandangan filosofis bahwa setiap zat terdiri atas essence dan accidents. essence adalah apa yang membuat sesuatu sebagai dirinya, yang akan tetap satu dan sama sebelum, semasa, setelah perubahan, maka disebut sebagai hakikat. Sehingga ilmu adalah segala hal yang menyangkut hakikat yang tak berubah[9].
Sedangkan menurut ‘Hujjatul Islam’, Imam al-Ghazali mendefenisikan ilmu sebagai pengenalan sessuatu atas dirinya (ma’rifa al-ashay ‘ala ma huwa bihi). Defenisinya di sini, untuk tahu sesuatu, berarti mengenali sesuatu itu sebagai mana adanya. Ada tiga hal yang perlu diuraikan. Pertama, Ilmu adalah pengenalan, sehingga nampak bahwa ilmu adalah masalah perseorangan. Kedua, tidak seperti idrak yang tidak hanya mengyiratkan suatu gerakan nalar atau perubahan dari satu keadaan lain (misalnya dari jahil menjadi berilmu), tetapi juga menyiratkan bahwa ilmu datang sebagaimana adanya ke dalam minda (pikiran) seseorang dari luar. Istilah ma’rifah dalam defenisi Imam al-Ghazali mengiaskan kepada fakta bahwa ilmu selalu merupakan semacam penemuan-diri[10].
Murid Ibnu Taimiyah, Ibn Qayyim dalam kitabnya Madarijus Salikin Baina Manazil Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in, mendefenisikan ilmu sebagai pengetahuan yang dihasilkan dengan syawahid (empiris) melalui panca indera dan adillah (dalil syar’i) melalui keyakinan. Beliau berkata : Kami berpendapat bahwa ilmu yang dihasilkan melalui syawahid dan dalil-dalil itulah yang dinamakan ilmu haqiqi (ilmu yang sesungghunya), sedangkan ilmu yang diperoleh tanpa menggunakan syawahid dan dalil maka tidak ada jalan untuk mempercayainya, atau dengan kata lain, bukan ilmu[11].
Dari sini pula jelas bahwa batasan bahwa ilmu bisa diperoleh lewat saluran indera, dan wahyu. Sehingga makna yang diberikan Ibn Qayyim menyangkut fisik dan metafisik.
         Adapun ilmu menurut Intelektual Barat diantaranya, Plato, menyebutkan ilmu adalah keyakinan sejati yang dibenarkan. Defenisi ini dapat dipecah menjadi tiga unsur yaitu (1) Keyakinan, (2) Kebenaran, (3) Nalar. Menurut Plato, mengetahui adalah ilmu. Sehingga jika Kita mengetahui bahwa gula itu manis, kita sesungguhnya yakin pada keberadaan yang disebut “gula” dan kita yakin akan rasanya yang manis. Namun, ilmu bukanlah sekadar yakin. Hanya keyakinan-keyakinan yang benar dapat disebut sebagai ilmu. Keyakinan yang salah bukanlah ilmu, menurut Plato. Akan tetapi, bagaimana kita dapat membedakan keyakinan yang benar dari yang salah ?, darisinilah berperan “logos”. Supaya memenuhui syarat sebagai ilmu, keyakinan kita harus didukung oleh nalar. Maksudnya, suatu keyakinan benar jika dan hanya jika secara nalar dibenarkan. Suatu keyakinan yang benar sebab suatu suatu kebetulan tidak memenuhi syarat sebagai ilmu. Sesungguhnya, sebagaimana sering kita jumpai halnya keyakinan yang minim bukti malah salah, meski keyakinan demikian ini mungkin terkadang malah benar[12].
Bertrand Russel membagi ilmu akan sesuatu dan ilmu akan kebenaran, dan kemudian membagi-bagi apa yang ia sebut ilmu akan sesuatu menjadi dua bagian. Ilmu berdasarkan pemberian dan ilmu berdasarkan pengenalan.  Ilmu berdasarkan pengenalan adalah ilmu yang diperoleh secara langsung melalui pengalaman inderawi. Sedangkan ilmu berdasarkan pemberian diperoleh secara tidak langsung. Misalnya kecepatan cahaya, jarak bumi-matahari, panas bintang[13].
Dari sini jelas perbedaan antara kedua worldview tentang ilmu. Di mana islam mengakomodasi objek fisik dan metafisik. Sedangkan Barat hanya membatasi ilmu pada objek yang rasional dan empirik. (Bersambung)



[1] Dalam istilah Bugis atau Jawa, bermakna “Larangan”, yang jika dikejakan akan menimbulkan musibah atau sial. Pamali atau pantangan adalah hal-hal yang sering kita dengar dari orang tua kita atau kakek/nenek kita. Pantangan tersebut berawal dari banyaknya kasus yang terjadi karena melanggar pantangan tersebut padahal segala sesuatunya bersandarkan atas kehendak Allah SWT. Diantara Pamali tersebut: Bangun Tidur terlalu siang, akan berakibat segala bentuk rezeki yang akan datang akan selalu menjauh kembali, Berlama-lama dikamar mandi, akan terlihat lebih tua dari usia anda sebenarnya, Duduk dipintu, karena khawatirkan ada makhluk lewat yang melewati pintu tersebut dan anda akan jatuh sakit,  Memotong Kuku menurut hari, Memotong kuku pada hari Minggu akan mendapat bencana, demikian juga pada hari Senin, karena akan ada orang yang dengki atau irihati, selain itu hari Sabtu juga termasuk hari yang kurang baik untuk memotong kuku karena akan mendatangkan halangan atau rintangan. Disarankan untuk memotong kuku pada hari Selasa karena akan disukai orang banyak. Hari Rabu juga termasuk hari baik karena akan membawa keselamatan dan perlindungan dari Tuhan. Hari baik yang disarankan adalah hari Kamis anda akan mendapat rezeki. Terakhir hari yang disarankan membawa kebaikan adalah hari Jum’at karena akan membuat anda disukai dan dicintai orang, Membuka payung, karena akan terjadi sesuatu yang buruk dikeluarga (Lihat  http://www.gallerydunia.com/2011/11/pengertian-dan-macam-macam-pamali.html#sthash.C9dwnOpL.dpuf)
[2] Contoh ungkapan nyeleneh tersebut dapat dijumpai di buku Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan, oleh Aksin Wijaya, 2004, hlm.123,  (“Mushaf itu tidak sakral dan absolute, melainkan profan dan fleksibel. Yang sakral dan absolut hanyalah pesan Tuhan yang terdapat di dalamnya, yang masih dalam proses pencarian. Karena itu, kini kita diperkenankan bermain-main dengan mushaf tersebut, tanpa ada beban sedikitpun, beban sakralitas yg melingkupi perasaan dan pikiran kita.”)
[3] Lihat Nashruddin Syarif, Konsep Ilmu dalam Islam dalam Adian Husaini, dkk., Filsafat Ilmu, Jakarta: GIP, 2013, hlm. 49
[4] Dalam sebuah kajian Ini penulis dapatkan dalam sebuah Kajian Pemikiran Berjudul “Konsep Ilmu dalam Islam” yang dibawakan oleh Ust. Ilham Kadir, MA menyebutkan bahwa filologi huruf  علم memiliki falsafah. Huruf  ع menggambarkan mulut yang besar. Pertanda bahwa seorang berilmu tidak pernah merasa kenyang dengan ilmunya. Huruf ل  yang bermakna kelurusan, daan ketinggian. Seorang berilmu akan selalu berada di atas pijakan yang lurus dan adil. Dan dengan keadilannya ia dianugerahi hikmah kemuliaan, dengan diangkat derajatnya oleh allah swt. Huruf  م memperlihatkan ekor yang menjuntai ke bawah. Menunjukkan bahwa seorang yang berilmu, semakin menundukkan hati mereka di hadapan Rabb-Nya. Serta semakin rendah hati di hadapan manusia. Pepatah mengatakan, “Jadilah seperti padi, semakin berisi semakin merunduk”.
[5] Lihat Al-Imam as-Syirazi, Al-Luma’ Fii Ushul al-Fiqh, tt: al-Haramain Jaya Indonesia, tt, hlm. 2
[6] Ibn Qayyim al-Jauziyah, Kunci Kebahagiaan, Jakarta: Akbar Media, 20014, hlm. 101
[7] Akhmad Alim, Studi Islam; Islamisasi Ilmu Pendidikan, Bogor: PUSKI-UIKA, 2013, hlm. 13
[8] Akhmad Alim, Studi Islam, hml. 14
[9] Syamsuddin Arif, Mendefenisikan dan Memetakan Ilmu, dalam Adian Husaini, dkk, Filsafat Ilmu, Jakarta: GIP, 2013, hlm. 75
[10] Syamsuddin Arif, Mendefenisikan dan Memetakan Ilmu, hlm. 75-76
[11] Akhmad Alim, Studi Islam, hlm. 14-15
[12] Syamsuddin Arif, Mendefenisikan dan Memetakan Ilmu, hal 73-74
[13] Syamsuddin Arif, Mendefenisikan dan Memetakan Ilmu, hlm. 74-75

No comments:

Post a Comment

 

Iklan Buku

Followers

Bincang-Bincang