Saya lahir dan
dibesarkan di sebuah kampung. Setelah menamatkan Sekolah Menengah, Saya melanjutkan
pendidikan di kota. Ada dua hal yang menarik setelah melihat bagaimana pemahaman
dan praktik keagamaan dua jenis daerah dengan iklim kultur yang berbeda tersebut.
Kultur di Desa, sangat kental bercorak mistisme dan sufisme. Masih banyak
keyakinan yang sangat erat kaitannya dengan kepercayaan-kepercayaan tentang
kekuatan alam dan ketidakberdayaan manusia atas alam. Sehingga muncul Pamali[1].
Berbeda halnya di daerah perkotaan. Kawasan elite, terbuka dan bebas
menyebabkan informasi sangat mudah diakses dan menyebar. Akan tetapi dalam
pandangan keagamaan, justru banyak yang melampau ‘porsi’ (ghuluw). Hal
itu bisa dibuktikan dari kajian-kajian orientalisme yang masuk sebagai
pendekatan dalam menjelaskan al-Qur’an dan Sunnah. Tafsir hermeneutika[2],
Positivisme Sosiologis, Relativisme dan paham yang sejenisnya banyak
menggerogoti pemikiran para intelektual.
Akhirnya
terbentuk dua kutub keilmuwan yang jika tidak hati-hati justru akan sangat
berbahaya. Yang pertama terjebak dalam kerangka mistisme dan dianggap sebagai
sebuah ‘ilmu’. Yang kedua terjebak dalam kendali dominasi logika dan juga menganggapnya sebagai sebuah ‘ilmu’.
Menurut Nashruddin Syarif, dalam pendidikan umum terjadi ignorance sedangkan
dalam pendidikan Tinggi terjadi Confusion[3],
dalam hal agama. Satu pembahasan yang cukup rumit.
Namun untuk
mengetahuinya, ada baiknya kita beralih dan bertolak dari kajian kita yang
telah lalu. Bagaimana konsep ilmu itu. Apakah yang menjadi keyakinan,
pengetahuan, fakta-realitas, yang sudah bertahun-tahun diturunkan itu adalah ilmu?.
Kalau bukan, lalu apa sebenarnya ilmu itu ?.
Menjelajahi Makna Ilmu
Secara bahasa al-‘ilmu[4]
adalah lawan dari al-jahl atau kebodohan, yaitu mengetahui sesuatu yang
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, dengan pengetahuan yang pasti. Secara
istilah dijelaskan oleh sebagian ulama bahwa ilmu adalah ma’rifah (pengetahuan)
sebagai lawan dari al-jahl (kebodohan). Menurut ulama lainnya ilmu itu
lebih jelas dari apa yang diketahui.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullaah mengatakan, “Ilmu
adalah mengetahui sesuatu dengan pengetahuan yang sebenarnya.”
Imam As-Shirazy
dalam al-Luma’ fi Ushul al-Fiqh mendefenisikan ilmu sebagai ma’rifatu
al-ma’lum ‘ala maa huwa ‘alaihi[5]
(Pengenalan atas hal yang diketahui sebagaimana adanya).
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah (wafat th. 728 H) rahimahullaah mengatakan, “Ilmu adalah apa
yang dibangun di atas dalil, dan ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang dibawa
oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Terkadang ada ilmu yang tidak
berasal dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tetapi dalam urusan
duniawi, seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung, ilmu pertanian, dan ilmu
perdagangan.”
Imam Ibnu Rajab
(wafat th. 795 H) rahimahullaah mengatakan, “Ilmu yang bermanfaat menunjukkan
pada dua hal”. Diantaranya orang yang berilmu bersegera melakukan segala apa
yang dicintai dan diridhai Allah Ta’ala dan menjauhi segala apa yang dibenci
dan dimurkai-Nya. Apabila ilmu itu menghasilkan hal ini bagi pemiliknya, maka
inilah ilmu yang bermanfaat. Kapan saja ilmu itu bermanfaat dan menancap di
dalam hati, maka sungguh, hati itu akan merasa khusyu’, takut, tunduk,
mencintai dan mengagungkan Allah ‘Azza wa Jalla, jiwa merasa cukup dan puas
dengan sedikit yang halal dari dunia dan merasa kenyang dengannya sehingga hal
itu menjadikannya qana’ah dan zuhud di dunia.” Imam Mujahid bin Jabr (wafat th.
104 H) rahimahullaah mengatakan, “Orang yang faqih adalah orang yang takut
kepada Allah Ta’ala meskipun ilmunya sedikit. Dan orang yang bodoh adalah orang
yang berbuat durhaka kepada Allah Ta’ala meskipun ilmunya banyak.”
Karena itu, Ibn
Qayyim menjelaskan bahwa, “Jika kemuliaan kemauan tergantung pada kemuliaan
sesuatu yang dicari, dan kemuliaan ilmu tergantung pada kemuliaan sesuatu yang
diketahui dengan ilmu itu, maka puncak kebahagiaan seorang hamba adalah ketika
keinginannya menuju pada sesuatu yang tidak binasa, tidak sirna, dan abadi;
yaitu Tuhan Yang Maha Hidup. Tidak ada jalan baginya untuk mencapai tujuan yang
sangat agung ini kecuali dengan ilmu yang diperoleh dari hamba, Rasul dan
kekasih-Nya, yang menyeru dan menunjukkan serta menjadi perantara antara Dia
dan manusia.”[6]
Ibnu taimiyah dalam Majma’
Fatawa mendefenisikan ilmu secara istilah berarti pengetahuan yang berdasar
pada dalil (bukti). Dalil yang dimaksud bisa berupa penukilan wahyu
dengan metode yang benar (al-naql al-mushaddaq), bisa juga berupa
penelitian ilmiah (al-bahts al-muhaqqiq). Beliau berkata : Sesungguhnya
ilmu itu adalah yang bersandar pada dalil, dan yang bermanfaat darinya adalah
apa yang dibawa oleh Rasul. Maka sesuatu yang bisa kita katakan ilmu itu adalah
penukilan yang benar dan penelitian yang akurat[7].
Beliau mengait-eratkan
antara keyakinan dan ilmu. Seseorang yang yakin berarti menunjukkan bahwa ilmu
itu telah bersemayam di dalam dirinya. Dengan kata lain, kalau
pemikiran-pemikiran filosofis seperti yang berlaku dalam metafisika tidak mendatangkan
keyakinan, itu berarti pemikiran tersebut belum mendatangkan ilmu.
Yakin melahirkan dua
perkara, yaitu pengetahuan hati dan amal hati. Karena terkadang seseorang hamba
sudah tahu sebuah ilmu dengan pasti tapi bersamaan dengan itu dalam hatinya
masih ada keraguan untuk mengamalkan apa yang dituntut oleh ilmunya itu[8]. Dari defenisi ini sangat jelas hubungan antara yakin,
ilmu dan amal. Sehingga menurut Ibn Taimiyah, ilmu adalah apa yang menjadi
keyakinan dan terlihat dalam amal perbuatan.
Defenisi lain, seorang
pakal Filologi, al-Raghib al-Isfahani (w.
443.1060), dalam karyanya Kamus Istilah Qur’an mendefenisikan ilmu
sebagai “persepsi suatu hal dalam hakikatnya”. Ini berarti bahwa sekadar
menilik sifat (misalnya menilik bentuk, ukuran, berat, isi, warna dan
sifat-sifat lain) suatu hal tidak merupakan bagian dari ilmu. Mendasari
defenisi ini adalah suatu pandangan filosofis bahwa setiap zat terdiri atas essence
dan accidents. essence adalah apa yang membuat sesuatu sebagai dirinya,
yang akan tetap satu dan sama sebelum, semasa, setelah perubahan, maka disebut
sebagai hakikat. Sehingga ilmu adalah segala hal yang menyangkut hakikat yang
tak berubah[9].
Sedangkan menurut
‘Hujjatul Islam’, Imam al-Ghazali mendefenisikan ilmu sebagai pengenalan
sessuatu atas dirinya (ma’rifa al-ashay ‘ala ma huwa bihi). Defenisinya
di sini, untuk tahu sesuatu, berarti mengenali sesuatu itu sebagai mana adanya.
Ada tiga hal yang perlu diuraikan. Pertama, Ilmu adalah pengenalan, sehingga
nampak bahwa ilmu adalah masalah perseorangan. Kedua, tidak seperti idrak
yang tidak hanya mengyiratkan suatu gerakan nalar atau perubahan dari satu
keadaan lain (misalnya dari jahil menjadi berilmu), tetapi juga menyiratkan
bahwa ilmu datang sebagaimana adanya ke dalam minda (pikiran) seseorang dari
luar. Istilah ma’rifah dalam defenisi Imam al-Ghazali mengiaskan kepada
fakta bahwa ilmu selalu merupakan semacam penemuan-diri[10].
Murid Ibnu Taimiyah, Ibn
Qayyim dalam kitabnya Madarijus Salikin Baina Manazil Iyyaka Na’budu wa
Iyyaka Nasta’in, mendefenisikan ilmu sebagai pengetahuan yang dihasilkan
dengan syawahid (empiris) melalui panca indera dan adillah (dalil
syar’i) melalui keyakinan. Beliau berkata : Kami berpendapat bahwa ilmu yang
dihasilkan melalui syawahid dan dalil-dalil itulah yang dinamakan ilmu haqiqi
(ilmu yang sesungghunya), sedangkan ilmu yang diperoleh tanpa menggunakan
syawahid dan dalil maka tidak ada jalan untuk mempercayainya, atau dengan kata
lain, bukan ilmu[11].
Dari sini pula jelas
bahwa batasan bahwa ilmu bisa diperoleh lewat saluran indera, dan wahyu.
Sehingga makna yang diberikan Ibn Qayyim menyangkut fisik dan metafisik.
Adapun
ilmu menurut Intelektual Barat diantaranya, Plato, menyebutkan ilmu adalah
keyakinan sejati yang dibenarkan. Defenisi ini dapat dipecah menjadi tiga unsur
yaitu (1) Keyakinan, (2) Kebenaran, (3) Nalar. Menurut Plato, mengetahui adalah
ilmu. Sehingga jika Kita mengetahui bahwa gula itu manis, kita sesungguhnya
yakin pada keberadaan yang disebut “gula” dan kita yakin akan rasanya yang
manis. Namun, ilmu bukanlah sekadar yakin. Hanya keyakinan-keyakinan yang benar
dapat disebut sebagai ilmu. Keyakinan yang salah bukanlah ilmu, menurut Plato.
Akan tetapi, bagaimana kita dapat membedakan keyakinan yang benar dari yang
salah ?, darisinilah berperan “logos”. Supaya memenuhui syarat sebagai ilmu,
keyakinan kita harus didukung oleh nalar. Maksudnya, suatu keyakinan benar jika
dan hanya jika secara nalar dibenarkan. Suatu keyakinan yang benar sebab suatu
suatu kebetulan tidak memenuhi syarat sebagai ilmu. Sesungguhnya, sebagaimana
sering kita jumpai halnya keyakinan yang minim bukti malah salah, meski
keyakinan demikian ini mungkin terkadang malah benar[12].
Bertrand Russel membagi
ilmu akan sesuatu dan ilmu akan kebenaran, dan kemudian membagi-bagi apa yang
ia sebut ilmu akan sesuatu menjadi dua bagian. Ilmu berdasarkan pemberian dan
ilmu berdasarkan pengenalan. Ilmu
berdasarkan pengenalan adalah ilmu yang diperoleh secara langsung melalui
pengalaman inderawi. Sedangkan ilmu berdasarkan pemberian diperoleh secara tidak
langsung. Misalnya kecepatan cahaya, jarak bumi-matahari, panas bintang[13].
Dari
sini jelas perbedaan antara kedua worldview tentang ilmu. Di mana islam
mengakomodasi objek fisik dan metafisik. Sedangkan Barat hanya membatasi ilmu
pada objek yang rasional dan empirik. (Bersambung)
[1]
Dalam istilah Bugis atau Jawa, bermakna “Larangan”, yang jika dikejakan akan
menimbulkan musibah atau sial. Pamali atau pantangan adalah hal-hal yang sering
kita dengar dari orang tua kita atau kakek/nenek kita. Pantangan tersebut
berawal dari banyaknya kasus yang terjadi karena melanggar pantangan tersebut padahal
segala sesuatunya bersandarkan atas kehendak Allah SWT. Diantara Pamali
tersebut: Bangun Tidur terlalu siang, akan berakibat segala bentuk
rezeki yang akan datang akan selalu menjauh kembali, Berlama-lama dikamar
mandi, akan terlihat lebih tua dari usia anda sebenarnya, Duduk dipintu,
karena khawatirkan ada makhluk lewat yang melewati pintu tersebut dan anda
akan jatuh sakit, Memotong Kuku
menurut hari, Memotong kuku pada hari Minggu akan mendapat bencana,
demikian juga pada hari Senin, karena akan ada orang yang dengki atau irihati,
selain itu hari Sabtu juga termasuk hari yang kurang baik untuk memotong kuku
karena akan mendatangkan halangan atau rintangan. Disarankan untuk memotong
kuku pada hari Selasa karena akan disukai orang banyak. Hari Rabu juga termasuk
hari baik karena akan membawa keselamatan dan perlindungan dari Tuhan. Hari
baik yang disarankan adalah hari Kamis anda akan mendapat rezeki. Terakhir hari
yang disarankan membawa kebaikan adalah hari Jum’at karena akan membuat anda
disukai dan dicintai orang, Membuka payung, karena akan terjadi sesuatu yang
buruk dikeluarga (Lihat http://www.gallerydunia.com/2011/11/pengertian-dan-macam-macam-pamali.html#sthash.C9dwnOpL.dpuf)
[2]
Contoh ungkapan nyeleneh tersebut dapat dijumpai di buku Menggugat
Otentisitas Wahyu Tuhan, oleh Aksin Wijaya, 2004, hlm.123, (“Mushaf itu tidak sakral dan absolute,
melainkan profan dan fleksibel. Yang sakral dan absolut hanyalah pesan Tuhan yang
terdapat di dalamnya, yang masih dalam proses pencarian. Karena itu, kini kita
diperkenankan bermain-main dengan mushaf tersebut, tanpa ada beban sedikitpun,
beban sakralitas yg melingkupi perasaan dan pikiran kita.”)
[3]
Lihat Nashruddin Syarif, Konsep Ilmu dalam Islam dalam Adian Husaini,
dkk., Filsafat Ilmu, Jakarta: GIP, 2013, hlm. 49
[4]
Dalam sebuah kajian Ini penulis
dapatkan dalam sebuah Kajian Pemikiran Berjudul “Konsep Ilmu dalam Islam” yang
dibawakan oleh Ust. Ilham Kadir, MA menyebutkan bahwa filologi huruf علم memiliki falsafah. Huruf ع menggambarkan mulut yang besar. Pertanda bahwa
seorang berilmu tidak pernah merasa kenyang dengan ilmunya. Huruf ل yang bermakna kelurusan, daan ketinggian.
Seorang berilmu akan selalu berada di atas pijakan yang lurus dan adil. Dan
dengan keadilannya ia dianugerahi hikmah kemuliaan, dengan diangkat derajatnya
oleh allah swt. Huruf م memperlihatkan ekor yang
menjuntai ke bawah. Menunjukkan bahwa seorang yang berilmu, semakin menundukkan
hati mereka di hadapan Rabb-Nya. Serta semakin rendah hati di hadapan
manusia. Pepatah mengatakan, “Jadilah seperti padi, semakin berisi semakin
merunduk”.
[5] Lihat
Al-Imam as-Syirazi, Al-Luma’ Fii Ushul al-Fiqh, tt: al-Haramain Jaya
Indonesia, tt, hlm. 2
[6] Ibn Qayyim al-Jauziyah, Kunci
Kebahagiaan, Jakarta: Akbar Media, 20014, hlm. 101
[7] Akhmad
Alim, Studi Islam; Islamisasi Ilmu Pendidikan, Bogor: PUSKI-UIKA, 2013,
hlm. 13
[8] Akhmad
Alim, Studi Islam, hml. 14
[9]
Syamsuddin Arif, Mendefenisikan dan Memetakan Ilmu, dalam Adian Husaini,
dkk, Filsafat Ilmu, Jakarta: GIP, 2013, hlm. 75
[10]
Syamsuddin Arif, Mendefenisikan dan Memetakan Ilmu, hlm. 75-76
[11] Akhmad
Alim, Studi Islam, hlm. 14-15
[12]
Syamsuddin Arif, Mendefenisikan dan Memetakan Ilmu, hal 73-74
[13]
Syamsuddin Arif, Mendefenisikan dan Memetakan Ilmu, hlm. 74-75
No comments:
Post a Comment