Menurut
KH Yahya Cholil Staquf, dalam tulisannya “Nusantara dalam rangkulan Islam” di
situs islamnusantara.com, Nusantara disitilahkan untuk menggambarkan kepulauan
Indonesia yang merentang di wilayah tropis dari Sumatra di bagian barat sampai
Papua di bagian timur. Kata “nusantara” menurutnya,
pertama kali muncul dalam susastra Jawa di abad ke 14 M, yang merujuk pada
rangkaian pulau-pulau yang menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Kata
“nusantara” sendiri adalah kata benda majemuk yang berasal dari bahasa Jawa
Kuna : nusa (pulau) dan antara (terletak di seberang). Dalam kitab
“Negarakertagama” yang ditulis sekitar tahun 1365 M, Empu Prapanca – seorang
penulis sekaligus pendeta Budhha – menggambarkan wilayah penyusun Nusantara,
dengan memasukkan sebagian besar pulau-pulau dalam wilayah Indonesia modern
(Sumatra, Jawa, Bali, Kepulauan Sunda Kecil, Kalimantan, Sulawesi, sebagian dari
Maluku dan Papua Barat), ditambah wilayah lain yang cukup luas yang saat ini
menjadi daerah kekuasaan Malaysia, Singapura, Brunei, dan bagian selatan
Filipina. Pada 2010, menurut data Biro Pusat Statistik, wilayah Indonesia
sekarang terdiri dari 1.340 kelompok etnik, dengan 2.500 bahasa dan dialek yang
berbeda.
Dapat
dikatakan penamaan nusantara ini adalah berdasarkan sudut pandang Majapahit
(Jawa), mengingat pada waktu itu belum ada sebutan yang pasti untuk menyebut
seluruh kepulauan yang sekarang bernama Indonesia dan juga Malaysia. Sebutan
Nusantara pernah dihidupkan kembali oleh Ki Hajar Dewantara untuk menggantikan
sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie), namun setelah disetujuinya
penggunaan sebutan Indonesia oleh Kongres Pemuda Indonesia (dalam Sumpah
Pemuda) tahun 1928, sebutan Nusantara digunakan sebagai sinonim untuk menyebut
kepulauan Indonesia.
Dalam
banyak kajian pakar sejarah, Nusantara tidak bisa dipisahkan dari proses
islamisasi. Kapan masuknya islam pertama kali di Indonesia ?. Guru Besar Ilmu
Sejarah UNPAD, Prof. Ahmad Mansur Suryanegara menyatakan, sangat sulit menentukan
kapan pertama kali masuknya islam di Indonesia. Sebab kepulauan Nusantara sangatlah
luas. Indonesia terdiri atas sekitar 27.000 pulau dengan daratan sekitar 2 juta
Km persegi dan lautan sebesar 3,2 Juta Km persegi. Namun, setidaknya proses
masuknya islam di Indonesia dapat diketahui melalui empat teori.
Pertama, teori yang populer yaitu teori
Gujarat. Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13
dari Gujarat. Yaitu pasca jatuhnya Dinasti Abbasiyah akibat serbuan pasukan
mongol tahun 1258 M. Teori ini diungkapkan dengan bukti (a) hubungan dagang
Indonesia dengan India telah lama melalui jalur Indonesia – Gujarat – Timur
Tengah – Eropa; (b) adanya batu nisan Sultan Samudra Pasai yaitu Malik Al-Saleh
pada 1297 M yang bercorak khas Gujarat. Teori Gujarat didukung oleh Snouck
Hurgronje, W. F. Stutterheim, Bernard H. M. Vlekke, Pijnappel dan Moquette. Meski
kemudian ini mendapat kritikan, sebab Prof. Ahmad Mansur menyebutkan tidak
disebutkan madzhab yang dianut kerajaan Samudera Pasai. Dan yang paling penting
adalah, “Mungkinkah Islam pertama kali datang langsung mendirikan Kekuasaan
Politik?”, Kata Prof. Ahmad Mansur.
Kedua, Teori Persia. Teori ini berpendapat
bahwa Islam masuk ke Indonesia dari Persia (Iran) dan bermazhab Syi’ah. Teori
ini dikembangkan berdasarkan adanya kesamaan budaya Persia dengan beberapa
budaya masyarakat Islam Indonesia, seperti Peringatan 10 Muharram atau Asyura
atas meninggalnya Husein cucu Nabi Muhammad. Di Sumatera Barat peringatan itu
disebut dengan upacara Tabuik (Tabut), sedangkan di Pulau Jawa ditandai dengan
pembuatan bubur Syura. Kesamaan ajaran Sufi yang dianut Syaikh Siti Jenar
dengan sufi dari Persia, yaitu Al-Hallaj. Penggunaan bahasa Persia dalam sistem
mengeja huruf Al-Qur’an untuk tanda-tanda bunyi harakat, terutama di Jawa
Barat. Arab mengeja dengan fathah, kasrah dan dhammah, sedangkan Persia
menyebutnya jabar, je-er dan py-es. Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim di
Gresik yang meninggal pada 1419. Menurut para sejarawan, ulama ini berasal dari
Persia. Adanya perkampungan Leran di Giri daerah Gresik. Leran adalah nama
salah satu suku di Persia.
Ketiga, Teori Cina. Teori ini berpendapat
bahwa Islam masuk ke Indonesia dari Cina. Pendukung teori ini di antaranya
adalah Slamet Mulyana. Menurutnya, Sultan Demak dan para Wali Sanga adalah
keturunan Cina. Pendapat ini bertolak dari Kronik Klenteng Sam Po Kong yang
menyebutkan nama-nama Wali Sanga dengan nama Cina. Selain itu ia menyebutkan
Arya Damar sebagai pengasuh Panembahan Jim Bun pada waktu di Palembang, bernama
Cina, Swan Liong. Sultan Trenggana disebutkan dengan nama Cina, Tung Ka Lo. Namun,
teori ini sangat lemah. Menurut budaya Cina, dalam penulisan sejarah nama
tempat yang bukan Cina dan nama orang yang bukan Cina, juga dicinakan
penulisannya. Selain itu, Islam sudah masuk dan menyebar di Indonesia sebelum
masa Wali Sanga.
Keempat, teori Makkah, juga mendasarkan analisis pada hal-hal
yang sifatnya artefak dan berita pelancong. Menurut teori ini, Islam masuk ke
Indonesia pada abad 7 dari Arab (Mekah dan Mesir). Dasar teori ini adalah pada
abad ke-7 M, yaitu pada 674 M, di pantai barat Sumatra telah terdapat
perkampungan Islam (Arab). Sumber informasi ini berasal dari berita Cina
Dinasti Tang. Kerajaan Samudra Pasai menganut mazhab Syafi’i, dimana pengaruh
mazhab Syafi’i terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekah. Adapun Gujarat
adalah penganut mazhab Hanafi. Raja-raja Samudra Pasai menggunakan gelar Al-Malik.
Gelar tersebut berasal dari Mesir. Pendukung teori Arab di antaranya adalah
Hamka, A. Hasymi, C. J. van Leur, T. W. Arnold dan John Crawfurd.
Professor
al-Attas mengkritik keras kesalahan para orientalis dalam menulis sejarah. Alasannya,
pertama, Islamisasi kepulauan Nusantara hanya lebih difokuskan pada
fakta-fakta empirik seperti artefak, arca, batu nisan, atau catatan-catatan
perjalanan yang mengisahkan pertemuan dengan komunitas Muslim di wilayah ini. Kedua,
kerangka penulisan sejarah mereka terjebak dalam kerangka waktu (Chronological
Framework) yang mereka buat sendiri, sehingga ada kecenderungan menolak
bukti yang tidak sesuai dengan pendekatan kronologi yang mereka bangun. Ketiga,
Kesimpulan penulisan sejarah hanya berdasarkan anngapan belaka (Conjectural
Promise). Menurutnya, kekeliruan inilah yang ditemukan dalam tulisan C.
Snouck Hurgronje, Van Leur, Anthony H. Johns, S.Q. Fatimi, Slamet Mulyana, dan
lai-lain.
Prof.
Syamsuddin Arif, mengetengahkan kesimpulan Seminar Historiografi Islam yang
diselenggarakan Puslitbang Kemenag Agama RI pada 10-12 Desember 2007 yang
dihadiri para tokoh dari berbagai dispilin ilmu termasuk Azyumardi Azra, Badri
Yatim, Maidir Harun, dan ormas-ormas besar di Indonesia, bahwa agama Islam
masuk di Nusantara sejak abad ke-7 Masehi langsung dibawa oleh para ahli agama
dari Arabia (Yaman) yang datang langsung ke gugusan pulau-pulau di semenanjung Melayu,
diantaranya pula Sumatera. Dimana Islam masuk ke Yaman dibawa oleh Mu’adz bin
Jabal, seorang Sahabat Nabi yang diangkat menjadi Gubernur Yaman 630 M. Dari
sanalah para ulama muballigh berlayar ke Cina menelusuri Asia Selatan hingga ke
Sumatera.
Dalam
proses akulturasi dan asimilasi yang berlangsung lama, Islam sebagai cara
pandang masuk ke dalam sistem falsafah masyarakat nusantara. Hal itu bisa
dilihat bagaimana kosakata dasar islam diadopsi sebagai kosakata dalam
kehidupan masyarakat. Sebagai suatu proses sejarah dan budaya, penyebaran Islam
di kepulauan ini menurut Prof. al-Attas terbagi dalam tiga tahap. Pertama,
tahun 578-805 H/ 1200-1400 M, tahapan ini juga disebut sebagai pengislaman
‘raga’, yakni hukum-hukum atau fiqh berperan besar dalam menafsirkan syariah
dalam mengislamkan masyarakat Nusantara. Konsep dasar ilmu tawhīd belum
diperkenalkan lebih jauh sebab dominasi pengaruh ajaran animisme dan dinamisme sebelum
Islam masih sangat kuat. Kedua, tahun 803-1112 H/ 1400-1700 M, adalah
kelanjutan dari tahap awal yang mana penafsiran hukum agama berpindah ke ilmu tasawwuf
dan kalām untuk mengislamkan ‘jiwa’. Konsep-konsep dasar ilmu tawhīd
juga telah diperkenalkan secara mendalam sesuai dengan pandangan alam (worldview)
Islam. Ketiga, tahun 1112H/ 1700 M dan seterusnya, yaitu kelanjutan
tahap I dan penyempurnaan tahan II yang pada umumnya berhasil. Bersamaan dengan
proses Islamisasi di atas masyarakat nusantara telah menyerap spirit dan
nilai-nilai Islam.
Dengan
demikian, yang lebih penting dari proses masuknya Islam di Indonesia adalah bagaimana
peran islam dalam membentuk struktur pengetahuan dan pandangannya terhadap
realitas. Hal yang sama juga terjadi di kepulauan Nusantara yang berbahasa
Melayu. Sebelum bersentuhan dengan Islam, bahasa Melayu Kuno adalah bahasa seni
atau bahasa estetis. Semesta bahasa dikandungnya tidak menggambarkan pemahaman
atas wujud secara rasional dan ilmiah. Wujud yang dihadapi hanya dilihat dari
sudut estetika hingga pemahaman atas wujud tidak pernah melahirkan ilmu
pengetahuan dan peradaban. Berbeda saat Islam datang ke wilayah ini. Al-Quran
yang merupakan sumber pokok ajaran agama ini mengajarkan terlebih dahulu
tentang konsepsi wujud secara benar. Wujud dipahami secara rasional dan ilmiah,
bukan secara estetis. Misalnya, dalam paham Melayu Kuno yang dipengaruhi
Hindu-Budha, alam ini dianggap hanya bayangan semu balaka sehingga dianggap
sebagai ilusi apabila kehidupan dunia menjadi perhatian utama. Berbeda dengan
Islam yang mengajarkan bahwa wujud kehidupan dunia ini adalah nyata, namun dia
akan mengantarkan pada kehidupan yang lebih abadi kelak di akhirat. Untuk
sampai ke sana, maka di dunia manusia hidup dilengkapi ruh. Pandangan semacam
ini telah mengajarkan kepada masyarakat melayu tentang bagaimana seharusnya
memperlakukan alam ini.
Konsepsi
tentang wujud itu tercermin dalam bahasa Melayu-Islam, yaitu melalui kosa-kata
yang banyak dipinjam dari bahasa Arab, bahasa yang berkembang sempurna karena
menjadi bahasa Al-Quran. Pengayaan kosa kata bahasa Melayu dengan konsep-konsep
kunci yang berasal dari Islam inilah yang telah memungkinkan orang-orang di
kepulauan Nusantara ini secara mudah dapat memahami apa yang diajarkan Islam,
yaitu cara-cara berpikir rasional dan ilmiah. Ini pula yang menyebabkan
masyarakat di kawasan ini mulai meninggalkan dunia klenik dan mistik menuju
dunia ilmiah-rasional yang berimplikasi pada kemajuan peradaban yang tinggi.
Pada
fase yang panjang, terbentuk sebuah urat nadi yang menjembatani transmigrasi
pemikiran dan agama dari timur tengah ke wilayah nusantara. Dari sekedar
pertukaran barang-dagangan, kebudayaan, bahasa, hingga sedikit demi sedikit
terjadi proses perubahan pola pikir masyarakat melayu yang menganut animisme
dan dinamisme di bawah proyek islamisasi Nusantara.
Prof.
Azyumardi Azra menyebutkan ada banyak ulama kepulauan Melayu-Indonesia pada
abad ke-17 yang memainkan peranan penting. Dalam membentuk pemikiran dan
praktik keagamaan kaum Muslim di negeri bawah angin (zirbad-Persian) adalah Hamzah
Fansūrī [w. 1607] dan Shams al-Dīn al-Sumatrānī [1630]; Generasi selanjutnya
tercatat nama Nūr al-Dīn al-Rānīrī [1658] yang pernah menjabat Syekh Islam di
kesulatanan Aceh pada tahun 1637 dan disebut sebagai penyambung mata rantai
tradisi Islam di Timur Tengah (Haramayn) dengan tradisi Islam di kepualaun
Melayu-Indonesia; Abd al-Ra’ūf al-Sinkīlī [w. 1693] dengan murid-muridnya
Burhān al-Dīn di Ulakan-Minangkabau, Dawud al-Jāwī al-Fansūrī [w. 1693] di
Aceh, Abd al-Malik ibn Abd Allāh [w. 1736] atau dikenal dengan “Tok Pulau
Manis” disemenanjung Melayu-Trengganu, Abd Muhyī [w. 1738] di Tasikmalaya-Jawa
Barat; Muhammad Yūsuf al-Makassarī [w. 1699] yang juga dikenal dengan “Tuanta
Salamaka dari Gowa” (guru kami yang diberkati dari Gowa). Beliau adalah murid
Nūr al-Dīn al-Rānīrī dan pernah menjadi mufti dan penasihat kesultanan Banten
di bawah kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa [w. 1683]. Diantara muridnya sewaktu
menetap di Mekah adalah Abd al-Bashīr al-Harīr al-Raffānī dari Rappang di
Sulawesi Selatan, Abd al-Qādir Karaeng Jeno di Sulawesi, dan Pangeran Abd
al-Qahhār di Banten.
Dalam
menjelaskan teorinya, yang ia tuangkan dalam Preleminary Statement on a
General Theory of the Islamization of the Malay-Indonesia Archipelago, yang
diterbitkan tahun 1969 oleh Dewan Bahasa & Pustaka, Kuala Lumpur, Al-Attas melakukan
pendekatan pemikiran dan falsafah. Menurutnya, bahwa sekalipun melalui tangan
siapa saja, bahasa Arab sebagai bahasa Al-Quran pasti akan tetap menjadi dasar
penyebaran Islam. Dengan begitu, hulu Islamisasi tetap akan berasal dari Arab
sebagai bangsa dan bahasa yang dipilih untuk diturunkannya Nabi Muhammad Saw.
dan Al-Quran. Dalam melihat proses Islamisasi kepulauan Nusantara yang padanya
dibawa serta Al-Quran yang berbahasa Arab, Al-Attas justru dengan sangat jeli
bagaimana pengaruh konsepsi-konsepsi bahasa Arab Al-Quran dalam mengubah
paradigma dan cara pandang masyarakat. Oleh sebab itu, ia berusaha untuk
menilik proses Islamisasi itu dari sudut pandang pemikiran dan falsafah.
Pendekatan ini merupakan pendekatan yang jenial dan relatif baru dalam
memandang proses Islamisasi. Umumnya, para peneliti barat lebih berfokus pada
sudut pandang sosial dan politik dalam melihat aspek-aspek Islamisasi di
Nusantara. Pada aspek kebudayaan, terutama pada seni sastra dan artefak sebagai
ekspresi kultural, dilihat oleh para peneliti Barat sebagai belum
memperlihatkan pengaruh Islam yang signifikan. Bahkan, secara serampangan
bahasa yang berkembang di kepulauan Nusantara inipun masih dipengaruhi oleh
konsepsi Hindu-Budha. Oleh sebab itu, bagi mereka Islam tidak lebih hanya
sebatas menjadi pelitur saja. Orang-orang masuk Islam hanya disebabkan
faktor-faktor sosial-ekonomi yang lebih menguntungkan sebagai orang Islam dan
faktor politik di mana raja-raja telah banyak yang memeluk Islam.
Al-Attas
menolak sudut pandangan seperti itu. Tilikan semacam itu tidak menyentuh aspek
paling dalam dari Islamisasi, yaitu pemikiran. Aspek pemikiran ini tidak bisa
dilihat dari proses-proses sosial, ekonomi, dan politik. Pun tidak mungkin
diungkap apabila analisis terhadap aspek kebudayaan dan bahasa semata-mata
dilihat dari hasil-hasil karya sastra yang bersifat seni belaka yang hanya memuja
keindahan, tanpa memedulikan isi pemikirannya yang beguna bagi kehidupan.
Prosa-prosa yang mengandung unsur-unsur pemikiran serius dan konsepsi kebahasan
yang matang banyak diabaikan seperti karya-karya Hamzah Fansuri yang diteliti
dalam disertasinya.
Bagi
Al-Attas, untuk sampai pada penelusuran pengaruh pemikiran dalam Islam yang
nanti berdampak pada pembentukan semesta bahasa yang berlaku di kepulauan
Nusantara ini, penelusuran sejarah harus bertumpu pada naskah-naskah tentang
hal-hal mendasar dalam mengkonsepsi pemikiran. Tentu saja, naskah-naskah
tersebut selain bernilai seni tinggi, juga mencerminkan pemikiran yang
mendalam. Kesimpulan pendekatan semacam ini ditawarkan Al-Attas setelah ia
secara sangat baik menulis mengenai naskah-naskah tulisan Hamzah Fansuri. Ia
berkesimpulan bahwa inilah naskah ”melayu modern” paling penting dan paling
berpengaruh hingga penulisnya layak disebut sebagau bapak sastra melayu modern,
bukan Abdullah Munsyi yang terpengaruh oleh Barat. Karakter bahasa Melayu
seperti yang tercermin dalam karya-karya Hamzah Fansuri inilah yang nanti
diikuti oleh para penulis Melayu berikutnya seperti Abdul-Rauf Singkel,
Syamsudin Pasai, dan Nurudin Al-Raniry. Semenjak itu pula, bahasa Melayu yang
tersebar di masyarakat pun adalah bahasa melayu yang telah mendapat perubahan
seperti dalam naskah-naskah Hamzah Fansuri itu.
Pertanyaannya
kemudian, apa yang membuat bahasa seperti yang digunakan oleh Hamzah Fansuri
itu disebut baru atau modern dan maju? Apa implikasinya terhadap proses
Islamisasi? Untuk menjawab pertanyaan itu, Al-Attas membandingkan apa yang
menjadi esensi dalam sejarah modern di Eropa dengan apa yang terjadi di
kepulauan Nusantara. Di Eropa, kemoderenan muncul karena interaksi Eropa dengan
umat Islam yang mengajarkan berpikir rasional dan ilmiah. Selama berabad-abad
Eropa berada dalam kungkungan kebudayaan Romawi yang tidak pernah mengantarkan
Eropa pada puncak kejayaannya. Baru setelah Islam masuk ke Eropa dan
diperkenalkan kepada masyarakat Eropa, sekalipun mereka tidak kemudian menjadi
Muslim, tapi unsur-unsur rasional dalam Islam inilah yang mereka jadikan dasar
serius dalam mengembangkan kebudayaan mereka. Pendek kata, Eropa berubah
menjadi rasional dan ilmiah setelah diajari oleh orang-orang Islam. Hal
demikian tercermin dalam perubahan bahasa-bahasa Eropa setelah zaman modern.
Hal
yang sama juga terjadi di kepulauan Nusantara yang berbahasa Melayu. Sebelum
bersentuhan dengan Islam, bahasa Melayu Kuno adalah bahasa seni atau bahasa
estetis. Semesta bahasa dikandungnya tidak menggambarkan pemahaman atas wujud
secara rasional dan ilmiah. Wujud yang dihadapi hanya dilihat dari sudut
estetika hingga pemahaman atas wujud tidak pernah melahirkan ilmu pengetahuan
dan peradaban. Berbeda saat Islam datang ke wilayah ini. Al-Quran yang
merupakan sumber pokok ajaran agama ini mengajarkan terlebih dahulu tentang
konsepsi wujud secara benar. Wujud dipahami secara rasional dan ilmiah, bukan
secara estetis. Misalnya, dalam paham Melayu Kuno yang dipengaruhi Hindu-Budha,
alam ini dianggap hanya bayangan semu balaka sehingga dianggap sebagai ilusi
apabila kehidupan dunia menjadi perhatian utama. Berbeda dengan Islam yang
mengajarkan bahwa wujud kehidupan dunia ini adalah nyata, namun dia akan
mengantarkan pada kehidupan yang lebih abadi kelak di akhirat. Untuk sampai ke
sana, maka di dunia manusia hidup dilengkapi ruh. Pandangan semacam ini telah
mengajarkan kepada masyarakat melayu tentang bagaimana seharusnya memperlakukan
alam ini.
Dengan
demikian sangat jelas bagaimana kedatangan islam mengubah konsepsi dan
semantika bahasa masyarakat. Itulah yang Prof. al-Attas sebut sebagai Islamisasi
Bahasa. Karena bahasa terkait dengan pengasosiasian hakikat dari apa yang
dikandung oleh bahasa itu sendiri. Begitu pula dalam hubungannya dengan budaya.
Islam datang mengubah konsepsi dan praktik budaya yang tidak sesuai dengan
fitrah. Di sisi yang lain ada budaya yang justru didorong oleh islam karena
bersesuaian dengan nilai kewahyuan islam itu sendiri. (Wallohu a’lam)
Maraji’ (Tulisan ini hasil elaborasi dari
beberapa sumber berikut)
Buku
Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, Bandung: PT Grafindo Media Pratama, 2013, Cet. VI
Situs
Buku
Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, Bandung: PT Grafindo Media Pratama, 2013, Cet. VI
Situs
No comments:
Post a Comment