Jika
setiap peradaban yang maju menyerap hasil peradaban lain untuk dikembangkan, maka
pada hakikatnya, setiap peradaban terpengaruhi oleh aspek-aspek peradaban lain
yang pernah bersinggungan dengannya. Akan tetapi, dalam islam ada produk pemikiran yang lahir
tanpa pengaruh dari peradaban yang lain. Produk itu adalah fiqh dan ushul fiqh.
Nirwan Syafrin menyebutnya sebagai hasil kreativitas ulama yang sepenuhnya
berdasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW.
Bagi Umat Islam, Fiqh adalah perwujudan (embodiement) kehendak Allah terhadap manusia yang berisi perintah dan larangan. Para ulama mendefinisikan Fiqh sebagai “Pengetahuan tentang hukum syara’ praktis beserta dengan dalil-dalilnya yang terperinci berkenaan dengan perbuatan manusia”.[1] Fiqh sebagai sesuatu yang digali, menunjukkan pada sebuah pemahaman, bahwa fiqh lahir melalui serangkaian proses penalaran dan kerja intlektual yang panjang sebelum pada akhirnya dinyatakan sebagai hukum praktis. Produk fiqh tidak hanya dari hasil penalaran intlektual berdasarklan logika-logika keilmuan tertentu tetapi juga kerja ilmiyah ijtihadiyah.[2]
Karena
itu, Kalau al-Qur`ân dan
Hadîts sebagai sumber inspirasi pemikiran filosofis merupakan ciri khas
filsafat Islam, maka ilmu ushul fiqh adalah wujud nyata filsafat Islam. Ia
meletakkan al-Qur`ân dan Hadîts sebagai sumber utama argumentasi hukum. Bahkan
argumentasi rasional tidak boleh lepas dari payungan (naungan) al-Qur`ân dan
al-Hadîts. Suatu argumentasi yang tidak bisa direstui oleh al-Qur`ân dan
Hadîts, maka argumentasi itu akan dianggap produk luar Islam.[3]
Untuk
menurunkan hukum dari sumber hukum islam yang pertama maka dibutuhkan ushul
fiqh. Ushul Fiqh diibaratkan sebagai mesin yang memproses ‘masalah’ ke dalam
kerangka dalil dan produknya adalah ‘hukum’.
Ushul
Fiqh dimaknai dengan “Pengetahuan tentang dalil-dalil fiqh secara umum, cara
mempergunakannya, serta pengetahuan tentang orang yang menggunakan dalil-dalil
tersebut”. Jika ilmu logika mencegah kesalahan berpikir dan pemerolehan
kesimpulan yang salah, maka ilmu ushul fiqh mencegah mujtahid untuk
menghasilkan produk hukum yang salah. Salah seorang yang paling berperan dalam
peletakan ushul fiqh adalah Imam Syafi’i. Jasa besar tersebut dianggap menyamai
ketokohan para filsuf seperti Aristoteles dan Descartes dalam dunia filsafat.[4]
Ushul
fiqh sebenarnya adalah disiplin ilmu yang memiliki prinsip-prinsip epistemologi,
bukan sekedar metodologi penurunan hukum. Masalah qath’i, dan zhanni,
syakk, wahm, mutawatir dan ahad adalah contoh yang sangat kental
muatan epistemologis. Hal itu jelas, sebab untuk menjawab bagaimana cara kita
mengetahui atau dengan apa kita mengetahui (kebenaran) ?. Maka Imam Syafi’I
menjelaskan bentuk hierarki ilmu tersebut. Bahwa, “Alaa an laysa li ahadin
abadan anyaqula fi syay’in: hall aw haruma illa min jihah al-‘Ilm. Wa jihah
al-‘Ilm al-Khabar fi al-Qur’an aw as-Sunnag, aw al-Ijma’, aw al-Qiyas”. (Tak
seorang pun yang boleh mengatakan sesuatu itu halal atau haram kecuali dengan
ilmu. Dan ilmu itu diperoleh melalui khabar yang ada di al-Qur’an, atau sunnah,
‘ijma, atau qiyas). Dalam ushul Fiqh, al-Qur’an, Sunnag, ‘Ijma, dan Qiyas
disebut Adillah. Prinsip ini terambil dari QS. An-Nahl: 116,
وَلَا
تَقُولُواْ لِمَا تَصِفُ أَلۡسِنَتُكُمُ ٱلۡكَذِبَ هَٰذَا حَلَٰلٞ وَهَٰذَا
حَرَامٞ لِّتَفۡتَرُواْ عَلَى ٱللَّهِ ٱلۡكَذِبَۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَفۡتَرُونَ
عَلَى ٱللَّهِ ٱلۡكَذِبَ لَا يُفۡلِحُونَ ١١٦
Dan
janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara
dusta "ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan
terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan
terhadap Allah tiadalah beruntung.
Begitu
pula QS. Al-Isra’: 36,
وَلَا
تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ
كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسُۡٔولٗا ٣٦
Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya.
Format
hierarkis ini mempunyai implikasi epistemologis yang sangat besar. Salah satu implikasinya
adalah bahwa segala jenis ilmu, dari mana pun ia diderivasi, mestilah memenuhi
standar al-Qur’an. Dan jika terdapat kontradiksi akan dua unsur hierarki
tersebut, maka bisa terdapat dua kemungkinan. Pertama, Ilmu tersebut sepenuhnya
salah. Kedua, Pemahaman dan penafsiran tentang al-Qur’an yang salah. Karena
al-Qur’an tidak mungkin mengandung kesalahan.[5]
Dan jika konflik yang terjadi tidak dapat dielakkan, maka diadakan
rekonsiliasi. Dalam ilmu ushul dikenal Istilah Ta’arud wa al-Tarjih. Dalam
rekonsiliasi ini dilakukan melalui prinsip-prinsip amm-khass, haqiqah-majaz,
muqayyad-muthlaq, mujmal-mubayyan, nasikh-mansukh, dan seterusnya. Apabila terjadi jalan buntu,
maka dilakukan tarjih. Untuk sampai pada kompetensi ini, seseorang harus
memiliki otoritas dalam ilmu hadits; apakah sebuah hadits saqim, mutawatir,
ahad, hasan atau dhaif dan lain-lain. Jika masih belum bisa
didamaikan, maka metode terakhir adalah nasikh wa al-masukh. Dan
otoritas kekuatannya sesuai susunan hierarkinya.
Al-Qur’an tidak bisa dimansukhkan oleh Sunnah. Al-Qur’an hanya dapat
dimansukhkan oleh Qur’an itu sendiri.[6]
Bagaimana
jika terjadi konflik antara wahyu dan
akal. Para ulama masih tetap melakukan rekonsiliasi. Akan tetapi, jika
pertentangan tersebut berada pada ranah syariat, akal-lah yang harus tunduk
pada ketetapan syara’. Bukan al-Qur’an atau sunnah yang tunduk pada realitas
sosial.[7]
Maksud dari al-Qur’an sebagai sumber ilmu adalah bahwa kita bisa memperoleh
ilmu dari al-Qur’an. Terutama sekali persoalan metafisik, seperti Tuhan,
Malaikat, Jiwa Manusia, dan juga mengenai sejarah masa lalu. Karena kita tidak
bisa mengetahui semua hal ini dengan indera. Sebab, tanpa wahyu Nama Tuhan pun
akan selamanya menjadi misteri. Dan karena wahyu adalah tanzil, maka
mustahil ia mengandung kesalahan.[8]
Selain
itu dikenal pula Sunnah sebagai sumber kedua. Meski berbeda dengan al-Qur’an
yang dijamin kebenarannya yang tidak 100 persen mutlak, namun bukan berarti
Sunnah tidak bisa membawa ilmu (kebenaran). Oleh sebab banyaknya informasi yang
diriwayatkan secara palsu dan lemah, maka budaya verifikasi. Verifikasi hadits
adalah satu tradisi yang khas dalam dunia Islam. Aktivitas yang menyangkut
bagaimana para ulama menghimpun dan menetapkan validitas sebuah sunnah yang
dikenal dengan Mustholahul Hadits. Selain dalam segi validitas (keshahihan),
dikenal juga ilmu verifikasi sanad, seperti Jarh wa At-Ta’dil[9].
Selain
itu, ada Ijma’ sebagai sumber kebenaran
otoritatif berikutnya. Dalam islam ada Ijma’ al-Ummah (kesepakatan
masyarakat islam seluruhnya). Dan Ijma’ al-‘Ulama (Kesepakatan ulama di
satu zaman). Dan yang terakhir adalah Qiyas. Qiyas menurut Imam as-Syafi’I diidentikkan
dengan Ra’yu. Ia merupakan penghubung antara teks dengan realitas. Dengan
Qiyas, makna teks bisa divergen pada masalah yang lain. Dan ini ditegaskan oleh
as-Syatibi. Bahwa Qiyas, bukan semata-mata produk akal, karena masih berada
dalam lingkaran al-Qur’an.[10]
Dari
uraian di atas jelaslah konsep epistemologi islam dengan pendekatan fiqh dan
ushul fiqh. Dengan demikian juga menjadi jelas, bagaimana konsep kebenaran
dibangun dan bersandar pada sumber ilmu yang seperti apa. Umat islam telah dari
awal menjadikan al-Qur’an sebagai sumber kebenaran otoritatif. Sebab al-Qur’an
adalah kitab tanzil lafzhan wa ma’nan. Bukan kitab suci yang diracik,
dianyam atau di-adon dalam kerangka konteks lingkungan, psikologi, dan sejarah
budaya arab. Karena itu al-Qur’an bukanlah produk budaya. Dan Yang paling
penting adalah, Tafsir terhadap Qur’an melaui penjagaan makna dan semantika
bahasa Arab dari masa ke masa membuat al-Attas menjadikan Ilmu tafsir dianggap
sebagai “Ilmu Pasti”. Tafsir terhadap al-Qur’an dan Al-Qur’an itu sendiri
hakikatnya adalalah satu. Sebab untuk memahami kehendak Islam sendiri tidak
bisa dengan salah satunya. Yang jadi masalah, adalah tafsir yang keliru, yang
tidak membangun nilai kewahyuan al-Qur’an. Tafsir yang justru mendekonstruksi al-Qur’an
dan derivasi hukum fiqh-nya bertolak belakang dengan kemauan al-Qur’an. Inilah
yang dianggap oleh al-Attas sebagai Confusion of Knowledge. Kejahilan,
dianggap sebagai ilmu. Dari situlah, muncul aliran pemikiran yang sangat jauh
menyimpang dari kebenaran seperti yang disebutkan di awal (Wallohu a’lam bi
as-Shawab).
[1]
Nirwan Syafrin, Konstruk Epistemologi Islam; Telaah Bidang Fiqh dan Ushul
Fiqh, dalam Adian Husaini, et. All, Jakarta: GIP, 2013, hlm. 127-129
[2]
Syaifuddin, Epistimologi Fiqh : Bagaimana Fiqh Diproduk, Jurnal Falasifa
(Vol. 2 No. 2 September 2011), hlm. 42.
[3]
Lihat: Muhyar Fanani, Ilmu Ushul Fiqh (Kajian Ontologis dan Aksiologis), Jurnal
al-Ihkâm (Vol. IV No. 2 Desember 2009), hlm. 198
[4]
Nirwan Syafrin, Konstruk Epistemologi Islam…, hlm. 131-132
[5]
Lihat QS. Al-Baqarah: 176, QS. Az-Zukhruf: 78, Qs. Al-Mu’minun: 90, QS.
Al-Haqqah: 51.
[6]
Nirwan Syafrin, Konstruk Epistemologi Islam…, hlm. 142-143
[7]
Nirwan Syafrin, Konstruk Epistemologi Islam…, hlm. 143
[8]
Nirwan Syafrin, Konstruk Epistemologi Islam…, hlm. 144
[9]
Bagian dari ilmu hadits yang mengkritik para periwayat dari segi
kepribadian serta aktivitas keseharian mereka dalam mengamalkan agama. Jika
didapati periwayat yang lemah hafalan, mudallis, tidak menjaga muru’ah, maka
hadits yang diriwayatkannya bisa turun derajat. Diantaranya bisa menjadi dhaif
(lemah) atau mungkin sampai maudhu (palsu).
[10]
Nirwan Syafrin, Konstruk Epistemologi Islam…, hlm. 145-146
No comments:
Post a Comment