Problem
Objektivitas
Salah satu hal yang penting untuk didiskusikan adalah masalah
objektivitas. Hasil penelitian sains dikatakan objektif, yang berarti “mengenai
keadaan yang sebenarnya tanpa dipengaruhi pendapat atau pandangan pribadi”.[1]
Artinya, objektif adalah sesuai keadaan yang sebenarnya, tanpa ada pelibatan
unsur pandangan pribadi pengamat. Objektif adalah lawan dari subjektif. Kaidah
ini lahir dari positivisme Comte. Dimana ia memberi jarak antara fakta dan
nilai. Menurutnya, pengetahuan yang murni harus lahir dari pengamatan tanpa
melibatkan nilai dan pandangan-pandangan subjektif peneliti. Akan tetapi
mungkinkah itu terjadi ?. Jika seseorang meneliti kondisi sosial masyarakat,
maka untuk objektif, ia harus masuk menjadi anggota masyarakat tersebut. Akan
tetapi, pendapat lain mengatakan, justru untuk mendapatkan data yang akurat,
peneliti tidak boleh masuk dan mengkondisikan diri dalam masyarakat sebab ia
akan terpengaruh dengan pandangan-pandangan yang berlaku dalam masyarakat tersebut.
Akan tetapi, mungkinkah itu terjadi ?. bisakah sebuah objek
berdiri sendiri tanpa ‘tafsiran’ dari peneliti yang memiliki pengalaman dan
keyakinan yang berbeda ?. Wacana ini, hingga sekarang masih menjadi perdebatan
panjang para filosof. Tentang dualisme objek dan pengamat.
Menurut Budi Handrianto, istilah objektif dan netral sebenarnya
adalah produk dari hasil pemikiran barat yang diarahkan berdasarkan pengalaman
intelektual barat sendiri. Sebab menurut ilmuwan barat, ide netralitas sudah
mengarah pada defenisi, batasan dan konsep positivisme Comte.
Pandangan ilmu bebas nilai pun masih menjadi perdebatan. Banyak
yang mempertahankan, dan sebaliknya tidak sedikit yang justru mengkritiknya. Sangat
banyak intelektual, bahkan dari Barat sendiri yang mengkritik ‘netralitas
ilmu’, bahkan sejak zaman Yunani kuno, Aristitoteles pun sudah berasusmsi bahwa
ilmu itu tumbuh dengan nilai-nilai. Begitu pula Karl Raimund Popper, seorang
pemikir Jerman mempermasalahkan objektivitas ilmu dengan berpendapat bahwa kita
tidak pernah bisa memastikan secara logis bahwa kita telah mencapai kebenaran
lewat verifikasi terhadap fakta, meski juga kita dapat semakin mendekati
kepastian dengan falsifikasi[2].
Ilmuwan yang lain yang
menentang ide netralitas ilmu adalah, Thomas S. Khun, ilmuwan Fisika dan
sejarawan filsafat ilmu. Ia beranggapan ide netralitas ilmu hanyalah sekedar
ilusi. Karena menurutnya paradigma-lah yang menentukan jenis-jenis eksperimen
yang dilakukan para ilmuwan, jenis-jenis, pertanyaan yang mereka ajukan dan
masalah yang mereka anggap penting. Tanpa paradigma tertentu, para ilmuwan
bahkan tidak bisa mengumpulkan “fakta”. Lebih sederhana dan jelas, Khun
membahas ketidaknetralan ilmu pengetahuan itu karena dibangun di atas pijakan
seorang pakar yang mungkin berbeda dengan pakar lainnya. Di mana pijakan
tersebut telah memuat nilai ataupun kepentingan dalam bentuk paradigma[3].
Selain individu pemikir,
sekelompok ilmuwan yang tergabung dalam Madzhab Frankfurt menunjukkan bahwa di
balik klaim bebas nilai tersembunyi nilai-nilai ideologis. Mereka berpendapat,
ide rasionalisme dan empirisisme adalah upaya untuk membebaskan diri dari dunia
mitos, dikotomi fakta dan nilai, hanyalah bentuk upaya lain bagi pengurungan
manusia dan alam ke alam mitologi rasio[4].
Mazhab Frankfurt menolak
dikotomi fakta/nilai karena berpengaruh negatif baik secara epistemologis
maupun sosiologis[5].
Mereka menilai bahwa dikotomi tersebut akan membuat akal manusia menjadi akal
instrumental. Akal yang sifatnya manipulatif, kalkulatif, dominasi terhadap
semesta yang hanya berurusan dengan perangkat teknologis dan lupa akan tujuan
hidup manusia itu sendiri. Maka, agar hal tersebut tidak terjadi, nilai-nilai
harus menjadi penyeimbang dominasi rasio. Dengan demikian kemudian ilmu akan terikat
dengan kepentingan, karena memang seharusnya begitu.
Habermas dalam bukunya Knowledge and Human Interest (1968)
mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan dan kepentingan tidak dapat dipisahkan. Ide
netralitas ilmu pengetahuan yang tidak berpihak kepada apapun hanya akan
membutakan ilmuwan terhadap kepentingan atau tujuan yang mendasari sebuah
penelitian ilmiah. Di mana kebutaan tersebut akan menjadi-jadi, hingga timbul
persoalan-persoalan sosial-etis bahkan hingga mencapai proses dehumanisasi
manusia itu sendiri sebagai pemilik ilmu dan teknologi.[6]
Di samping itu, jika ilmu
bebas nilai akan berimplikasi pada lepasnya kerangka nilai dan tanggungjawab
terhadap kehidupan sosial. Alasannya karena, ilmu hanya untuk ilmu, . Kegiatan-kegiatan
keilmuan tak bisa lagi dipersoalkan dengan dalih pengembangan ilmu pengetahuan.
Bukankah banyak produk ilmu pnegetahuan yang justru malah berdampak negatif
terhadap kehidupan sosial, ekonomi dan lingkungan ?. Penulis mendapati beberapa
daerah yng sudah menggunakan mesin penanam dan pemanen, secara otomatis
menggeser peran petani kelas bawah.[7]
Sosok filosof lain yang juga menentang ide netralitas ilmu
adalah Paul Feyerabend (1924-1994). Ia berpendapat bahwa sebenarnya tidak ada
fakta yang netral. Fakta tidak pernah bicara dengan sendirinya melainkan
diinterpretasikan dalam suatu kerangka konseptual tertentu.[8]
Ian Hacking pun menambahkan pendapat ini dengan mengemukakan bahwa ilmu
pengetahuan bukan hanya diinterpretasi malainkan juga diitervensi. Ketika
sebuah teori mengemuka dan mencoba melakukan konfirmasi empirisnya lewat
eksperimen, maka eksperimen tersebut mengintervensi fakta-fakta sehingga tidak
lagi netral.
Setidaknya ada dua
argumentasi Feyerabend yang dapat menggugurkan ide netralitas ilmu.[9] Pertama, perkembangan ilmu pengetahuan
diwarnai oleh banyak penemuan-penemuan ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan
melanggar aturan metodologi yang ketat, seperti intuisi, kebetulan dan
imajinasi. Kedua, tidak ada fakta
yang netral dan terberi, fakta dilihat dalam suatu kerangka konseptual yang
berbeda-beda dari satu teori-teori lain. Dia pun kemudian bersiteguh – dengan
tetap mengusung ide-ide radikalnya – bahwa pengetahuan yang selama ini
dipinggirkan dalam wacana ilmu pengetahuan harus kembali diberi wewenang untuk
menyuarakan kebenarannya sendiri-sendiri.
Pemikir Muslim kontemporer,
Wan Daud menyatakan bahwa ilmu telah diresapi elemen-elemen pandangan hidup,
agama, kebudayaan dan peradaban seseorang. Oleh karena itu ilmu pengetahuan
tidaklah netral karena ilmu adalah sifat manusia. Segala sesuatu yang berada di
luar akal pikiran bukanlah ilmu pengetahuan, melainkan fakta dan informasi yang
merupakan objek ilmu pengetahuan[10].
Begitu pula sains hari ini, bersifat tidak
netral karena merupakan wujud konkrit
jagad raya ini, isinya ialah jalinan-jalinan sebab akibat. Sains tidak netral karena dibangun oleh
pakar berdasarkan paradigma yang menjadi pijakannya, dan pijakannya itu merupakan
hasil penginderaan terhadap jagad raya. Pijakan ilmuwan tersebut tentulah
nilai. Tetapi sebaliknya pada dasar ontologi dan aksiologi bahwa ilmuwan harus
menilai antara yang baik dan buruk pada suatu objek, yang hakikatnya
mengharuskan dia menentukan sikap[11]. Oleh karena itu, sains
adalah rumusan dan tafsir terhadap alam, bukan alam itu sendiri. Sains adalah
alam yang telah ter-objek oleh paradigma subjektif para saintis, sehingga
sangat memungkinkan terpengaruh pandangan filosofis, dan worldview. Inilah
yang dimaksud tidak bebas nilai.
Alparslan Acikgenc menyebutkan,
On the basis
of this definition, Western scientific tradition is, for example, the
accumulated scientific knowledge and practices carried out through the
epistemology of the Western worldview, together with a set of cultural values
and mores that grew out through time among the network of scholars actively
engaged in scientific activities in the West. The same is valid for Islamic
scientific tradition and all other such traditions.[12]
Terjemahan
bebasnya, “Atas dasar definisi ini, tradisi ilmiah Barat, misalnya, adalah akumulasi
pengetahuan ilmiah dan praktek yang dilakukan melalui epistemologi pandangan
dunia Barat, bersama-sama dengan seperangkat nilai-nilai budaya dan adat
istiadat yang tumbuh sepanjang waktu melalui jaringan sarjanawan yang aktif
terlibat dalam aktivitas ilmiah di
Barat. Hal yang sama juga terjadi dalam tradisi ilmiah Islam dan tradisi yang lainnya.”
Pandangan ini dikuatkan oleh al-Attas, dalam Risalah untuk Kaum
Muslimin,
Kita harus
mengetahui dan menyadari bahwa sebenarnya ilmu pengetahuan tidak bersifat
netral; bahwa setiap kebudayaan memiliki pemahaman yang berbeda-beda
mengenainya – meskipun diantaranya terdapat beberapa persamaan. Antara Islam
dan kebudayaan Barat terbentang pemahaman yang berbeda mengenai ilmu, dan
perbedaan itu begitu mendalam sehingga tidak bisa dipertemukan.[13]
Wan Daud menyebutkan bahwa ilmu telah diresapi elemen-elemen
padangan hidup, agama, kebudayaan, dan peradaban seseorang. Selain itu, sering
pendapat dan spekulasi yang merefleksikan unsur-unsur kepribadian, agama, dan
kebudayaan dianggap sebagai ilmu pengetahuan. Dikatakan bahwa ilmu pengetahuan
itu tidak bebas nilai (neutral) karena ilmu adalah sifat manusia. Segala
sesuatu yang berada di luar akal pikiran manusia, bukanlah ilmu pengetahuan,
melainkan fakta dan informasu yang semuanya adalah objek ilmu pengetahuan.
Menurut Mulyadhi Kartanegara, ilmu berbeda dengan fakta. Fakta boleh netral,
tetapi ilmu tidak sekedar fakta, ia fakta sekaligus penjelasan dari ilmuwan.
Justru ketika ilmu melibatkan penjelasan, ilmu tidak lagi bersifat netral atau
objektif dalam arti yang sebenar-benarnya. Dilemanya adalah ilmu tidak bisa
menjadi ilmu, kecuali melibatkan penjelasan.
Penjelasan yang gamblang bisa diperoleh dari Dr. Abbas Mansur
Tamam, bahwa ilmu hari ini bukan sekedar fakta empiris, tetapi ada penafsiran yang
berdasar filsafat. Menurutnya, fakta yang diungkapkan dalam beberapa disiplin
ilmu pengetahuan, bukanlah sekedar fakta tetapi juga telah termuati ‘filsafat
sains’ (yang menggandengnya). Yang terkadang bermasalah adalah filsafat yang
menggandeng fakta tersebut telah diresapi elemen-elemen kunci pandangan hidup
Barat.
Dalam mengakhiri perbincangan tentang
netralitas ilmu, Khairul Umam mengutip perkataan Prof. Herman Soewardi tentang ketidaknetralan
ilmu pengetahuan[14].
menurutnya, dari sudut epistemologi, sains (ilmu pengetahuan) terbagi dua, yaitu
sains formal dan sains empirikal. Sain formal itu berada di
pikiran kita yang berupa kontemplasi dengan menggunakan simbol-simbol,
merupakan implikasi-implikasi logis yang tidak berkesudahan. Sain formal itu
netral karena ia berada di dalam pikiran kita dan diatur oleh hukum-hukum
logika. Adapun sains empirikal, ia tidak netral. Sains
empirikal merupakan wujud konkrit, yaitu jagad raya ini, isinya ialah
jalinan-jalinan sebab akibat. Sains empirikal itu tidak netral karena
dibangun oleh pakar berdasarkan paradigma yang menjadi pijakannya, dan
pijakannya itu merupakan hasil penginderaan terhadap jagad raya.
Pijakan-pijakan ilmuwan tersebut tentulah nilai. Maka sifatnya tidak netral.
Tidak netral karena dipengaruhi pijakannya itu[15].
Sepertinya, selain menjelaskan netralitas
ilmu, kita perlu untuk mengetahui apa dan bagaimana batasan sains, ilmu, dan
pengetahuan. Sebab, perbicangan tentang ketiga hal tersebut terkadang disalahpahami
dalam oleh pembahas filsafat ilmu dan saintis. Bahkan tidak jarang bertolak
belakang. Hal itu disebabkanperbedaan persepsi akan batasan, ta’rif, dan
definisi dari ‘ilmu’ itu sendiri. Mudah-mudahan bisa kita kaji di postingan
berikutnya. Insya Allah…(wallohu a’lam)
[1]
Lihat : http://kbbi.web.id/objektif
[2] Budi
Handrianto, Islamisasi ilmu Pengetahuan,
dalam Adian Husaini, Filsafat Ilmu, GIP, Depok 2013, hlm. 237-238
[3] Budi
Handrianto, Islamisasi…, hlm. 238
[4] Budi
Handrianto, Islamisasi…, hlm. 239
[5] Donny Gahral Adian, Objektivisme
Ilmu Pengetahuan dari David Hume hingga Thomas S Kuhn, (Jakarta; Teraju)
2002, hlm.92-93 dalam
Khairul Umam, hlm. 12
[6]
Donny Gahral Adian, Objektivisme
Ilmu …, dalam Khairul Umam, hlm. 12
[7]
Hal ini penulis jumpai di Polman, Sulawesi Barat dari diskusi lepas dengan
seorang petani, Akhir Bulan Juli 2015 lalu.
[8] Donny Gahral Adian, Objektivisme
Ilmu …, dalam Khairul Umam, hlm. 12
[9] Donny Gahral Adian, Objektivisme
Ilmu …, dalam Khairul Umam, hlm. 12
[10] Budi
Handrianto, Islamisasi…, hal. 240
[11] Diakses
dari http://www.inilahjalanku.com/ilmu-antara-bebas-atau-terikat-nilai/ Senin,
24 November 2014, Pukul 14.27
[12] Lihat
Alparslan Acikgenc, Holisitic Approach To Scientific Traditions, Journal
of Islam and Sciences, (Vol. 1. No. 1. June 2003), hlm. 12
[13] SMN
al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, Kuala Lumpur: ISTAC, 2001, hlm.
61
[14] Ahmad Tafsir, Filsafat
Ilmu…, hlm.50
[15]
Khairul Umam, Menyoal Netralitas Sains, hlm. 16
No comments:
Post a Comment