Prof. Wan Daud seperti yang dikuti Prof A.M. Saefuddin dalam buku ‘Islamisasi Sains dan Kampus’ menyatakan bahwa tantangan terbesar yang dihadapi umat islam saat ini adalah problem ilmu pengetahuan. Sebabnya. Peradaban barat yang kini mendominasi telah menjadikan ilmu sebagai hal yang problematis. Selain telah mengosongkan ilmu dari agama, konsep ilmu dalam peradaban Barat juga telah menlenyapkan wahyu sebagai sumber ilmu, menghilangkan nilai-nilai kesucian ‘wujud’, mereduksi intelek dan menjadikan rasio sebagai basis keilmuwan. Barat juga telah menyalah-lahami konsep ilmu, mengaburkan maksud dan tujuan ilmu sebenarnya, menjadikan keraguan dan dugaan sebagai metodologi ilmiah. Teori ilmu yang telah berkembang di Barat termanisfestasikan dalam berbagai aliran seperti rasionalisme, empirisisme, skeptisisme, agnotisme, positivisme, objektivisme, subjektivisme, dan relatifsme. Aliran-aliran semacam ini setidaknya berimplikasi pada sejumlah hal. Pertama, menegasikan dan memutuskan relasi manusia dengan alam metafisika, mengosongkan manusia dari kehidupannya dari unsur-unsur dan nilai transenden serta mempertuhankan manusia. Kedua, melahirkan dualisme. Manusia dibuat terjebak dalam dualisme dunia-akhirat, agama-sains, tekstual-kontekstual, akal-wahyu, objektif-subjektif, induktif-deduktif dan lain-lain. Ini mengakibatkan manusia sebagai makhluk yang terbelah jiwanya.[1]
Implikasi sifat dari ilmu ini menyebabkan krisis kemanusiaan yang
memilukan, yaitu rusaknya akhlak manusia dan hilangnya adab dari kehidupan
manusia yang akhirnya meruntuhkan peradaban manusia itu sendiri. Hingga yang
tampil adalah peradaban yang dibangun diatas materialisme.[2]
Menurut al-Faruqi, dunia Barat menyatakan bahwak ilmu-ilmu sosial
mereka bersifat ilmiah sebab mereka netral; bahwa mereka secara sengaja
menghindari penilaian dan preferensi manusia; bahawa mereka menganggap
fakta-fakta sebagai fakta-fakta dan membiarkan mereka berdiri sendiri. Ini,
telah kita lihat, merupakan suatu pernyataan yang sia-sia. Sebab tidak ada
persepsi teoretis dan fakta mana pun yang tidak mengandung persepsi dari sifat
dan hubungan-hubungan aksiologisnya.[3] Artinya bahwa ilmu yang dikembangkan di dunia
muslim sekarang, adalah ilmu yang di-universal-kan menurut pengalaman barat yang
mengacu pada pengalama Kristen dan hukum-hukum sosial ekonomi Sekuler.
Hal itu telah kita lihat dari apa yang disebutkan pada tulisan
sebelumnya. Karena itu, pada tulisan ini, kita hendak mengkaji apa dan bagaimana
sebenarnya ilmu pengetahuan itu sendiri. Apakah ia memang berdiri sendiri
(netral) ataukah ilmu pengetahuan berwujud dalam sebuah ‘tafsiran’ serta menyandarkan
diri pada satu pandangan tertentu ?. Mari kita lihat bersama.
Makna Netral
Kata ‘netral’ mengandung beberapa pengertian.
Setidaknya, (1) tidak berpihak (tidak ikut atau tidak membantu salah satu
pihak); (2) tidak berwarna (dapat dipakai untuk segala warna); (3) tidak dalam
kelompok jantan atau betina; (4) Menunjukkan sifat yg secara kimia tidak asam
dan tidak basa; (5) cak bebas; tidak terikat (oleh pekerjaan, perkawinan, dsb).[4]
Kata “netral” juga biasanya diartikan tidak
memihak[5]
atau imbang atau murni. Dalam isitilah “ilmu netral” atau “sains netral” maupun
“netralitas ilmu” berarti bahwa ilmu itu tidak memihak pada apapun termasuk
kebaikan dan tidak juga pada kejahatan. Ilmu berdiri sendiri (independent) tidak terpengaruh oleh
apapun. Kebaikan atau keburukan adalah hal lain di luar permasalahan keilmuan.
Keduanya adalah nilai yang sama sekali tidak boleh mempengaruhi ilmu. Itulah
sebabnya kemudian istilah “netralitas ilmu” atau semacamnya sering juga disebut
dan diganti dengan istilah ilmu yang bebas nilai (value free).[6]
Di samping kedua istilah tersebut, yang
secara jelas menunjukkan saling keterkaitannya, juga dikenal dengan istilah
lain berupa “ilmu objektif”. Artinya bahwa ilmu pengetahuan terbentuk dari
gugusan teori yang didapat dari objek pengetahuan yang berupa data-data fakta
empirik (semesta). Data-data tersebut harus sesuai dengan fakta empiri tanpa
melibatkan karakteristik tertentu di luar objek ilmu itu sendiri termasuk dari
seorang ilmuwan. Hal yang berada di luar objek ilmu berfungsi sebagai subjek.
Ilmuwan misalnya hanyalah sebagai subjek yang mengamati/meneliti objek dan
menyimpulkan fakta-fakta empiri darinya. Fakta-fakta tersebut disusun sebagai
teori-teori pengetahuan yang independen tanpa dipengaruhi oleh hal-hal yang
bersifat subjektif. Teori-teori yang dikumpulkan dari fakta objek terSebut
kemudian disebut dengan ilmu. Karena ilmu itu terbentuk dari fakta-fakta
empiris dari objek maka kemudian ia disebut dengan ilmu yang objektif.[7]
Kebenaran objektifitas ilmu hanya dapat
dinilai ketika unsur-unsur subjektifitas ilmu tersebut tidak mempengaruhinya
atau tidak masuk sebagai salah satu unsur dari bangunan teori-teorinya. Dalam
hal ini berarti unsur-unsur subjektifitas ilmu dihilangkan. Unsur-unsur
tersebut dapat berupa keyakian-keyakinan, kepercayaan, paradigma, kepentingan,
nilai dan lain sebagainya.[8]
Sampai di sini, jelas dapat dikatakan bahwa
ilmu pengetahuan akan dikatakan objektif apabila ia terlepas dari unsur-unsur
lain di luar dirinya, termasuk nilai (value
free). Begitu ilmu terbebas dari nilai atau unsur-unsur lainnya, maka ilmu
dalam keadaan posisi netral, karena ia tidak memihak kepada sesuatu apapun
kecuali pada dirinya sendiri (independent).
Netralitas ilmu menekankan pentingnya objektifitas ilmu pengetahuan, mencoba
meminimalisir subjektifitas di luarnya, bahkan berusaha untuk menghilangkan
subjektifitas itu sendiri. Paradigma netralitas ilmu ini meyakini bahwa semakin
objektif (terbebas dari nilai) ilmu pengetahuan semakin mendekati kebenaran
(positif).[9]
Paradigma netralitas ilmu atau bebas nilai
ini pertama kali dianut serta dikembangkan oleh paham positivisme dalam sejarah
filsafat ilmu pengetahuan.[10]
Paham ini memandang bahwa pengetahuan positif-ilmiah adalah pengetahuan yang pasti,
nyata dan berguna. Objek-objek fisik hadir independen dari subjek dan hadir
secara langsung melalui data inderawi. Data-data inderawi ini adalah satu. Apa
yang dipersepsi adalah fakta sesungguhnya, tanpa melibatkan unsur diluarnya.
Sebuah masalah keilmuan harus dirumuskan
sedemikian sehingga pengumpulan data dapat dilakukan secara objektif, bebas
nilai dan netral. Objektif artinya bahwa data dapat tersedia untuk penelaahan
keilmuan tanpa ada hubungannya dengan karakterisktik individual dari seorang ilmuwan.[11]
Bebas nilai berarti dikotomi yang tegas antara fakta dan nilai mengharuskan
subjek peneliti mengambil jarak dengan semesta dengan bersikap
imparsial-netral. Sedangkan netral berarti ilmu tidak memihak pada selain
dirinya sendiri.
Netralitas
Sains
Selain itu paradigma netralitas sain juga penting untuk dikaji
karena pemahaman ini terkait dengan dengan pemahaman sains, di mana banyak
sekali aspek kehidupan manusia yang diatur secara langsung oleh sains. Paham
bahwa sains itu netral atau terikat oleh nilai akan mempengaruhi hubungan cara
kerja sains dan manusia itu sendiri.
Ide netralitas ilmu pengetahuan baru mendapat legitimasinya pada
zaman modern ketika muncul Filsafat Positivisme yang dimotori oleh Auguste
Comte (1798-1857) di mana pemikiran-pemikirannya tertuang dalam bukunya yang
berjudul “The Course of Positive
Philosophy” yang berisi garis-garis besar prinsip positivisme-nya.[12]
Ia berpendapat bahwa realitas ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan
sesuai dengan hukum alam (natural law). Tanpa ada pengaruh apapun di luarnya
(objektif) karena realitas itu independen dari subjek. Dengan begitu paham ini
juga mengenyampingkan realitas metafisika, termasuk di dalamnya mitologi dan
hal-hal yang bersifat esoteris lainnya seperti nilai.
Diantara ciri-ciri positivisme adalah bahwa ilmu pengetahuan
dipandang sebagai sesuatu yang ‘bebas nilai’ atau ‘netral’ atau ‘objektif’.
Inilah yang menjadi dasar prinsip filosofis pemikiran positivisme. Paham ini
mencoba memberi garis demarkasi antara fakta dan nilai. Fakta berdiri sendiri
di luar nilai. Dengan begitu subjek peneliti harus mengambil jarak dengan
realita dengan bersikap imparsial-netral. Ciri lainnya adalah ‘mekanisme’,
yaitu paham yang mengatakan bahwa semua gejala alam dapat dijelaskan secara mekanikal-determinis
seperti layaknya mesin.
Posistivisme telah menjadi wacana filsafat ilmu yang dominan
diterapkan pada berbagai sains hari pada abad ini. Hingga dari semakin
pervasifnya dominasi tersebut, positivisme bukan hanya menjadi bagian dari
paham filsafat ilmu, menurut Ian Hacking ia juga telah dianggap menjadi semacam
agama baru[13],
karena ia telah melembagakan pandangan-pandangan menjadi doktrin bagi berbagai
bentuk pengetahuan manusia, dengan tetap berpegang teguh pada prinsip bebas
nilai, objektif, dan sekularismenya.
Meski demikian paham ini mendapat sorotan tajam dari kalangan
ilmuwan.[14]
Dari beberapa pemikir yang mempermasalahkan tersebut adalah Karl R. Popper,
para filsuf Frankfurt Schule, Feyerabend, N. A. Withehead, Nashr, Al-Attas,
Paul Illich dan lainnya. Mereka menemukan fakta bahwa ilmu itu mesti terikat
oleh nilai, subjek dan tidak netral. Di balik klaim bebas nilai, tersembunyi
nilai-nilai ideologis yang mempunyai maksud tersendiri (Bersambung).
[1]
A.M. Saefuddin, Islamisasi Sains dan Kampus, Jakarta: PPA Consultants, 2010,
hlm. 16-17
[2]
A.M. Saefuddin, Islamisasi Sains dan Kampus…, hlm. 17
[3]
Syed Syajjad Husain dan Syed Ali Asharaf, Menyongsong Keruntuhan Pendidikan
Islam, Bandung: CV. Gem Risalah Press, Cetakan ke-5, 1994, hlm. 126 - 127
[4]
Lihat http://kbbi.web.id/netral
[5]
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, dalam Khairul Umam,
[6]
Umam, Menyoal Netralitas Ilmu, hlm. 5
[7]
Khairul Umam, Menyoal Netralitas Ilmu, hlm. 5
[8]
Khairul Umam, Menyoal Netralitas Ilmu, hlm. 5
[9]
Khairul Umam, Menyoal Netralitas Ilmu, hlm. 6
[10]
Donny Gahral Adian, Menyoal, Op.Cit.
h.65-67
[11]
Peter R. Senn, Stuktur Ilmu, dalam
Jujun S. Suraisumantri (penyunting), Ilmu
dalam Perspektif, (Jakarta;Yayasan Obor Indonesia) Cet. 16 h. 115
[12]
lihat Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu Kajian atas Dasar Paradigma dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. (Yoqyakarta; Belukar), 2004, hlm.94 dalam
Khairul Umam, Menyoal Netralitas Sains, hlm. 3
[13]
Lihat Donny, Ibid, h. 67 bandingkan dengan Andrew Ross, ‘Introduction, Social Text 46-7, 1996, h.1-13 dalam
Ziauddin Zardar, Thomas Kuhn dan Perang
Ilmu. Yogyakarta: Jendela, 2002, hlm.4
[14]
lihat Ziauddin Zardar, Jihad Intelektual
Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam, ed. Dan terj. AE. Priyono,
Surabaya: Risalah Gusti, 1998, hlm. 36
No comments:
Post a Comment