Salah satu potensi yang
Allah anugerahkan kepada manusia adalah rasa ingin tahu. Rasa tersebutlah yang
mendorongnya untuk berpikir, melakukan penelitian dan menemukan hal-hal baru.
Hal itu juga seiring dengan perintah untuk melakukan penelitian dan penyelidikan
terhadap diri manusia dan alam sekitarnya. Allah SWT menyebutkan,
Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, maka
perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian
Allah menjadikannya sekali lagi[1].
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS Al-Ankabut: 20).
Di ayat yang lain Allah menyebutkan,
Katakanlah: "Perhatikanlah apa yang ada di langit dan
di bumi...(QS. Yunus: 101)"
Ayat yang pertama menyebutkan perintah Allah untuk
memperhatikan bagaimana proses ke-hadiran manusia di bumi. Dari mana, mau apa,
dan hendak ke mana. Tiga pertanyaan sangat filosofis karena berkaitan dengan
cara pandang manusia terhadap diri mereka sendiri. Dengan adanya cara pandang,
maka selanjutnya akan lahir sikap dan perbuatan.
Sedangkan pada ayat kedua,
perintah Allah untuk memperhatikan apa yang berada di luar diri manusia. Apa yang ada di langit dan di bumi. Ayat ini
mengisyaratkan perlunya pengetahuan terhadap apa yang menjadi fasilitas Allah
atas manusia sebagai khalifah.
Dua cara pandang tersebut
akan menghasilkan konsep berpikir dan pijakan dalam bersikap dan berperilaku.
Jika cara pandangnya salah, yang terjadi adalah kelalaian tugas manusia dalam
mengemban tugasnya sebagai khalifah. Bumi akan rusak, dan kedzaliman akan
terjadi di mana-mana. Karena itulah, manusia membutuhkan ilmu. Dengan semangat
ingin tahu, manusia mampu mengembangkan kualitas hidupnya. Dengan ilmu pula,
manusia akan sampai pada puncak peradaban. Dan yang jauh lebih penting dari itu
adalah manusia dapat mengenal tuhannya.
Di ayat yang lain, Allah
menyatukan pandangan itu dalam dua ayat secara berurutan,
Sesungguhnya dalam penciptaan langit
dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal, 191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah
sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami,
tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka (QS. Ali Imran: 190-191).
Dalam ayat di atas, Allah
SWT menyebutkan yadzkuru untuk merujuk pada hubungan vertikal dan yatafakkaru
untuk hubungan horisontal. Sehingga dengan jelas, kita bisa melihat bagaimana
konsep Islam dalam memandang sumber ilmu. Berkaitan dengan hubungan vertikal
dan horisontal ini, dominasi peradaban barat sekarang terdapat kesalahan dalam
menginterpretasi konstelasi tuhan, manusia dan alam semesta. Sehingga terjadi mis-management
yang berujung pada rusaknya ekosistem, tata nilai, dan segi kebudayaan manusia.
Budi Handrianto
menulis “Saat ini peradaban Barat yang
berlandaskan paham sekulerisme, rasionalisme, uitilitarianismem dan
meterialisme telah membawa dunia menuju ambang kehancuran. Memang tidak menutup
mata berbagai keberhasilan dan kemajuan dihasilkan oleh peradaban ini. Namun
juga, tidak dimungkiri peradaban Barat telah menghasilkan penjajahan, perang
berkepanjangan, ketimpangan sosial, kerusakan lingkungan, keterasingan
(alienasi) dan anomie (berkurangnya adat sosial atau standar etika diri)[2]”.
Peradaban Barat dinyatakan
oleh Marvin Perry sebagai sebuah peradaban besar, tetapi sekaligus sebuah drama
yang tragis (a tragic drama)[3].
Hal itu diamini oleh Naquib Al-Attas karena peradaban barat tidak lagi
menganggap alam sebagai sesuatu kejadian yang kudus, sehingga membolehkannya
untuk bertindak bebas terhadap alam tabi’i (disenchantment of nature),
memanfaatkannya mengikuti keperluan dan rancangannya[4].
Salah satu penyebabnya
adalah terjadinya kekeliruan worldview terhadap sumber ilmu. Yang
selanjutnya dalam bidang kajian filsafat disebut epistemologi. Bagi pandangan
keilmuwan barat, sumber ilmu dibatasi pada hal-hal empirik dan rasional, dan
membuang wahyu. Al-Attas menulis, “Barat merumuskan pandangannya terhadap kebenaran
dan realitas bukan berdasarkan kepada ilmu wahyu dan dasar-dasar keyakinan
agama, tetapi berdasarkan pada tradisi kebudayaan yang diperkuat dasar-dasar
filosofis. Dasar-dasar filosofis ini berangkat dari dugaan (spekulasi) yang
berkaitan hanya dengan kehidupan sekulaer yang berpusat pada manusia sebagai
diri jasmani dan hewan rasional manusia sebagai satu-satunya kekuatan yang akan
menyingkap sendiri seluruh rahasia alam dan hubungannya dengan eksistensi,
serta menyingkap hasil pemikiran spekulatif itu bagi perkembangan nilai etika
dan moral yang berevolusi untuk membimbing dan mengatur kehidupannya”[5].
Dalam kajian epistemologi
di Barat, pembahasan tentang sumber ilmu melahirkan tiga mazhab utama, yaitu
rasionalisme, empirisme dan fenomenalisme Kant. Keberatan Islam terhadap ketiga
mazhab ini sebagaimana akan ditunjukkan nanti, terutama karena pengingkarannya
terhadap wahyu sebagai objek ilmu pengetahuan.
Defenisi Sumber Ilmu
Kata sumber dalam bahasa
arabnya adalah (مصدر), dengan jamaknya: (مصادر). Kata sumber atau “mashdar” dapat
diartikan sebagai suatu wadah yang dari wadah itu dapat ditemukan atau ditimba
norma hukum[6].
Menurut Kamus Bahasa Arab, مصدر diartikan sumber, asal, referensi,
atau sumber pengambilan[7].
Kata ilmu berasal dari kata
‘ilm, yang berarti pengetahuan, lawan dari kata al-jahl yang
berarti ketidaktahuan atau kebodohan[8].
Kata ilmu juga disepadankan dengan kata arab lainnya yaitu ma’rifah
(pengetahuan), fiqh (pemahaman), hikmah (kebijaksanaan), dan syu’ur
(perasaan).[9]
Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa sumber atau mashdar adalah
suatu tempat yang dari segala sesuatu digali atau diambil. Berdasarkan hal
tersebut, sumber ilmu adalah segala sesuatu yang menjadi tempat digali dan
diambilnya.
Sumber Ilmu Menurut Barat
Sebagaimana
disinggung di muka, kajian pokok tentang sumber ilmu dalam perspektif Barat
diwakili oleh tiga madzhab utama, yaitu rasionalisme, empirisme, dan kritisisme.
Madzhab Rasionalisme
dikaitkan filosof abad ke-17 dan 18, seperti Rene Descartes, Baruch Spinoza,
dan Gottfried Leibniz, yang sebenarnya berasal dari pemikiran filsafat Yunani.
Paham ini menyatakan bahwa pada hakikatnya ilmu itu bersumber dari akal budi
manusia. Descartes berpendapat bahwa dalam jiwa manusia terdapat ide bawaan (innate
ideas) yang dinamakan substansi yang sudah tertanam. Ide bawaan tersebut
terdiri atas : pemikiran, Tuhan, dan keluasan (ekstensi). Adapun ilmu-ilmu lain
yang dicapai manusia pada hakikatnya adalah derivasi dari ketiga prinsip dasar
tersebut. Menurut aliran ini sumber ilmu adalah akal melalui deduksi ketat
seraya mengabaikan pengalaman. Hal ini, menurut mereka, karena ilmu adalah
sesuatu yang sudah ‘built in’ dalam jiwa manusia dan tugas kita adalah
mencapainya melalui deduksi. Karenanya, ilmu yang dihasilkan oleh aliran
ini—biasanya dianggap—bersifat universal.
Menurut mazhab ini, indera
adalah sumber pemahaman terhadap konsepsi-konsepsi dan gagasan-gagasan
sederhana. Hanya saja indera bukan satu-satunya sumber. Di samping indera, ada
fitrah yang mendorong munculnya sekumpulan konsepsi dalam akal[10].
Mazhab kedua adalah
empirisisme yang menekankan pentingnya pengalaman sebagai sarana pencapaian
pengetahuan. Aliran ini dipelopori oleh Francis Bacon, sekalipun dalam
pengertian tertentu pemikiran yang mengutamakan pendekatan empirik. Puncak
pemikiran aliran ini terdapat pada pemikiran David Hume yang dalam karyanya A
Treatise of Human Nature. Dalam buku tersebut David Hume mengupas
persoalan-persoalan epistemologis penting. Berbanding terbalik dengan
rasionalisme, mazhab ini berpandangan
bahwa seluruh isi pemikiran manusia berasal dari pengalaman, yang kemudian
diistilahkan dengan persepsi. Persepsi, kemudian, dibagi menjadi dua macam,
yaitu kesan-kesan (impressions) dan gagasan (ideas). Yang pertama
adalah persepsi yang masuk melalui akal budi, secara langsung, sifatnya kuat
dan hidup. Yang kemudian adalah persepsi yang berisi gambaran kabur tentang
kesan-kesan. Derivasi ilmiah yang diakui oleh aliran ini adalah induksi
terhadap fakta-fakta empiris. Tapi hal ini tidak berarti mereka mengklaim
univesalitas induksi. Alih-alih, mereka justru menekankan keterbatasan induksi
yang hal ini berarti mereka menolak generalisasi[11].
Menurut Hobbes, segala yang
ada bersifat bendawi. Bendawi dimaksudkan ialah segala sesuatu yang tidak bergantung
kepada gagasan kita. Ia juga mengajarkan bahwa segala kejadian adalah gerak,
yang berlangsung karena keharusan. Realitas segala yang bersifat bendawi terliput di dalam gerak itu. Segala
obyektifitas di dalam dunia luar bersandar kepada suatu proses tanpa pendukung
yang berdiri sendiri. Ruang atau keluasan tidak memiliki eksistensi atau
keber-“ada”-an sendiri. Ruang justru gagasan tentang hal yang ber-“ada” itu.
Sedangkan waktu adalah gagasan tentang gerak[12].
Aliran ketiga adalah
kritisisme yang merupakan usaha untuk mensintesa dua kutub ekstrim sebelumnya;
rasionalisme dan empirisisme. Tokoh utama aliran ini adalah Immanuel Kant.
Pemikiran yang disampaikan oleh Kant berusaha untuk mengakhiri perdebatan yang
terjadi tentang objektivitas pengetahuan antara rasionalisme Jerman, yang
diwakili Leibniz dan Wolff, dan Empirisisme Inggris. Dalam usahanya, Kant
berusaha menunjukkan unsur mana saja dalam pikiran manusia yang berasal dari
pengalaman dan unsur mana yang berasal dari akal. Berbeda dengan aliran
filsafat sebelumnya yang memusatkan perhatian pada objek penelitian, Kant
mengawali filsafatnya dengan memikirkan manusia sebagai subjek yang berpikir.
Dengan demikian fokus perhatian Kant adalah pada penyelidikan rasio manusia dan
batas-batasnya[13].
Dari ketiga madzhab di
atas dapat disimpulkan bahwa, sumber-sumber ilmu menurut ilmuwan-ilmuwan barat
hanya terbatas pada akal (rasio) dan panca indera. Mereka hanya menitikberatkan
pada dua komponen ini. Sehingga hasilnya, makna ilmu terbatas pada objek-objek nyata.
Sedangkan berita shahih yang datang dari wahyu mereka nafikan, dan tidak
memasukkannya ke dalam defenisi ilmu. Akibatnya, ilmu pengetahu
an dan nilainilai etika dan moral,
yang diatur oleh rasio manusia, terus
menerus berubah[14].
Sumber Ilmu Menurut Islam
Pengetahuan Islam yang lebih banyak berpijak pada al-Qur’an, untuk melihat
kerangka epistemologinya, bisa dicermati pada sebuah ayat yang mengandung makna
suatu pertanyaan, seperti kata kaifa pada beberapa ayat Al- Qur’an, hal
inilah yang meyakinkan adanya inspirasi tersebut. Kata kaifa tersebut
yang biasanya dipakai untuk mengajukan suatu pertanyaan yang berkaitan dengan
keadaan dan cara (method). Hal ini bisa dicermati seperti; dalam ayat Al-Qur’an
Surat Al-Mu’minun (40) ayat 82, dan Surat Al-Gasyiyah (88) ayat 17-20. Ayat-
ayat ini bukan hanya menjelaskan keadaan, melainkan mengandung sebuah maksud
yang disebut dengan metode. Sedangkan metode tercakup dalam bahasan
epistemologi[15].
Melihat ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung makna pertanyaan, maka ayat ini
secara implisit tentu memberikan anjuran agar seseorang mempelajari metode
untuk mendapat suatu pengetahuan. Dengan demikian epistemologi yang dimaksudkan
dalam hal ini itu memiliki sandaran teologis Islam yang tertuang dalam kitab
suci al-Qur’an. Di mana secara implisit cara atau metode untuk memperoleh
pengetahuan itu benar adanya disinggung dalam kitab suci al- Qur’an. Bangunan epistemologi ini bisa dipelajari dan
dicermati dalam satu keilmuan Islam seperti dalam ilmu tasawuf, ilmu fiqih,
ilmu kalam (teologi), akhlak, dan filsafat Islam. Disiplin keilmuan ini
semuanya selalu merujuk pada al-Qur’an sebagai sumber (episteme) nya[16].
Dalam sub tema “Filsafat Islam dan Tradisi Keilmuan Islam”, Syamsuddin Arif
menjelaskan tentang sumber-sumber ilmu dan bagaimana meraihnya.
Menurutnya, ada tiga sumber ilmu yaitu
persepsi indra (idrak al-hawass), proses akal sehat (ta’aqqul) serta intuisi
hati (qalb), dan melalui informasi yang benar (khabar sadiq).
“Persepsi indrawi meliputi lima (pendengar, pelihat, perasa, pencium,
penyentuh), plus indra keenam yang disebut al-hiss al-musytarak atau sensus
communis yang menyertakan daya ingatan atau memori (dhakirah), daya
penggambaran (khayal) atau imajinasi dan daya estimasi (wahm). Proses akal
mencakup nalar (nazar) dan alur pikir (fikr) dengan nalar dan alur pikir ini
anda bisa berartikulasi, menyusun proposisi, menyatakan pendapat,
berargumentasi, melakukan analogi, membuat keputusan dan menarik kesimpulan. Selanjutnya,
dengan intuisi qalbu seseorang dapat menangkap pesan-pesan gaib,
isyarat-isyarat ilahi, menerima ilham, fath, kasyf, dan sebagainya. Sumber lain
yang tak kalah pentingnya adalah khabar sadiq yang berasal dari dan bersandar
pada otoritas. Sebuah khabar sadiq, apalagi dalam urusan agama, adalah wahyu
(Kalam Allah dan Sunnah Rasul-Nya) yang diterima dan diteruskan yakni
ditransmit (ruwiya) dan ditransfer (nuqila) sampai akhir zaman.[17]
Secara lebih jelas dapat diikuti pembahasan berikut.
1. Wahyu
Wahyu adalah kebenaran yang
langsung dari Allah kepada seorang hamba-Nya, dengan kata lain wahyu merupakan
komunikasi Tuhan dengan manusia. Dalam filsafat Tuhan dikatakan mind,
akal. Karena Tuhan adalah akal, akal manusia mempunyai akal tidak mustahil dapat
berkomunikasi dengan Tuhan sebagai akal. Dalam Islam, Tuhan dianggap akal
kurang diterima. Tuhan sebagai pencipta dan pengatur alam semesta, mestilah
suatu substansi yang mempunyai daya berpikir, maka tidak mustahil daya berpikir
manusia dapat berkomunikasi atau berhubungan dengan daya berpikir yang ada pada
substansi Tuhan. Kalau ini tidak mustahil, adanya wahyu tidak mustahil pula[18].
Wahyu dalam terminologi ini
dimaksudkan al-Quran dan Hadits Shahih. Allah mempertegas hal tersebut,
Kami menurunkan Al-Quran kepadamu untuk menjelaskan segala
sesuatu (QS An- Nahl: 89)
Adapun cara-cara wahyu bisa sampai pada diri manusia yaitu
bisa dicermati dalam ayat al-Qur’an, yaitu pada Surat, as-Syura: 51-52, Q S.
as- Saffat: 102, QS. Al-A’raf: 143, QS. As-Syuara: 192-195, QS. Al-Baqarah: 97,
QS. At-Takwir: 19-23, Qs. An-Najm: 10-12, Qs. Ayat-ayat tersebut menunjukkan
bahwa wahyu disampaikan dengan berbagai cara sesuai dengan kehendak Allah, dan
hakekat wahyu tidak ada seorangpun yang mengetahui kecuali Allah dan yang menerimanya.
Pengetahuan yang diterima tidak diragukan lagi kebenarannya, hal ini bisa
dicermati melalui sebuah kitab suci baik al-Qur’an maupun kitab suci yang lain
yang diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul yang bisa dijadikan petunjuk
umat disepanjang zaman, sebagaimana al-Qur’an yang sampai ini tak seorangpun
yang dapat membuat. Dan al-Qur’an merupakan kumpulan wahyu Tuhan (pengetahuan)
yang diturunkan secara langsung dari Allah kepada Nabi Muhammad saw[19].
Berita yang benar (khabar shadiq) terbagi menjadi dua
jenis. Berita yang dibawa oleh orang banyak yang memustahilkan terjadinya
kebohongan (khabar mutawatir) dan berita yang disampaikan oleh Rasulullah saw.
Otoritas pada jenis yang pertama—yang memasukkan kesepakatan ulama, ilmuwan,
dan orang-orang terpelajar—dapat dipertanyakan dengan metode-metode rasional
dan eksperimen. Namun, otoritas jenis kedua adalah mutlak. Hal ini karena,
sebagaimana terdapat tingkatan pada rasio dan pengalaman, dalam otoritas pun
terdapat tingkatan. Dalam keyakinan muslim, otoritas tertinggi adalah Al-Quran
dan Sunnah Nabi saw, yang mencakup pribadinya. Dalam pengertian bahwa kedua
bukan hanya menjelaskan kebenaran, tapi keduanya adalah kebenaran itu sendiri
yang merupakan representasi otoritas berdasar tingkatan tertinggi
intelektualitas, pencerapan spiritual dan pengalaman transendental, sehingga
keduanya tidak bisa direduksi pada tingkatan rasio dan pengalaman normal
manusia[20].
2. Akal
Dalam al-Qur`an dijumpai
49 kali kosa kata yang berakar kata
a-q-l (عقل) dalam berbagai bentuk. Misalnya: عقلوا – تعقلون- نعقل – يعقل – يعقلون
.[20] Sebarannya sebagai berikut: kata عقلوه (‘aqaluh) dijumpai dalam 1 ayat, kata تعقلون (ta’qilun) 24 ayat, نعقل (na’qil) 1 ayat, يعقتها (ya’qiluha) 1 ayat, dan يعقلون (ya’qilun) 22 ayat[21].
Makna kosa kata itu dalam arti paham dan mengerti. Sebagai contoh dapat dilihat
pada ayat-ayat berikut:
Maka apakah kamu (muslimin) sangat mengharapkan mereka akan
percaya kepadamu, sedangkan segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu
mereka mengubahnya setelah memahaminya, padahal mereka mengetahuinya? (QS.
Al-Baqarah: 75).
Prof. Wan menjelaskan bahwa aspek akal merupakan saluran
penting yang dengannya diperoleh ilmu pengetahuan tentang sesuatu yang jelas,
yaitu perkara yang dapat dipahami dan dikuasai oleh akal dan tenang sesuatu
yang dapat dicerap oleh indera. Akal fikiran (al-aql) bukan hanya rasio.
Akal adalah “fakultas mental” yang mensistematisasikan dan menafsirkan
fakta-fakta empiris menurut kerangka logika, yang memungkinkan pengalaman
inderawi menjadikan sesuatu yang dapat dipahami. Akal adalah entitas spiritual
yang rapat dengan hati (al-qalb), yaitu menjadi tempat intuisi[22].
3. Indera
Saeful Anwar mengutip
al-Ghazali menyebutkan, panca indera merupakan sarana penangkap pertama yang
muncul dari dalam diri manusia, disusul dengan daya khayal yang menyusun aneka
bentuk susunan, dari partikular-partikular yang ditangkap indera kemudian tamyiz
(daya pembeda), yang menangkap sesuatu di atas alam empirik sensual di
sekitar usia tujuh tahun, kemudian disusul oleh akal yang menangkap hukum-hukum
akal yang tidak terdapat pada fase sebelumnya. Panca indera diumpamakan sebagai
tentara kalbu yang disebar ke dunia fisis-sensual, dan beroperasi di wilayahnya
masing-masing dan laporannya berguna bagi akal.[23]
Pengetahuan inderawi dimiliki manusia melalui kemampuan indera. Kemampuan
itu diperoleh manusia sebagai makhluk biotik, berkat inderanya manusia dapat
mengetahui apa yang terjadi di alam ini. Indera menghubungkan manusia dengan
hal-hal yang konkrit material. Pengetahuan indera bersifat parsial, disebabkan
perbedaan indera dengan yang lain. Namun pengetahuan inderawi sangat dibutuhkan
karena indera merupakan gerbang pertama untuk pengetahuan yang utuh[24].
4. Ilham/Intuisi
Berbeda dengan yang
dipahami dalam peradaban Barat, intuisi bukan sekedar pemahaman langsung, oleh
subjek, tentang dirinya; kesadarannya; ‘diri’ lain selain dirinya; ‘dunia luar’
(external world), yang universal, nilai-nilai, dan kebenaran rasional.
Disamping semua itu, intuisi, juga, adalah pemahaman langsung tentang
kebenaran-kebenaran agama, realitas dan eksistensi Tuhan, realitas
eksistensi-eksistensi sebagai kebalikan dari esensi; dan karenanya, pada
tingkatan yang lebih tinggi intuisi adalah intuisi tentang eksistensi itu
sendiri.
Sumber islam menurut Islam dan Barat memiliki perbedaan yang mendasar. Kerangka epistemologi islam didasarkan pada otentitas wahyu, sementara barat adalah hasil dari spekulasi-spekulasi filosis berbasis indera dan akal. Sehingga pembatasan makna 'ilmu' akan sangat berbahaya jika dikembangkan dalam sistem keilmuwan bagi orang muslim. Hasilnya akan terjadi kekacauan. Apa yang diistilahkan oleh Prof. al-Attas sebagai "The Confusion of Knowledge". Insya Allah kita bahas pada postingan berikutnya (Wallohu a'lam bi as-Showab).
DAFTAR
PUSTAKA
Anhar, http://anharnst.wordpress.com/2011/05/14/sumber-ilmu-dalam-perspektif-islam-dan-implikasinya-terhadap-isi-kurikulum-pendidikan-islam/
pada tanggal 16 Oktober 2012, pukul 21.36 WIB
Armas, Adnin, 2007, Konsep Ilmu dalam Islam, Makalah.
Depok. Tidak diterbitkan
at-Thabari, Imam, 1420/1999, Tafsir At-Thabari Jilid
III, Libanon: Darul Kutub al-Islamiyah
Hidayat, Nuim. http://www.
hidayatullah.com/artikel/tsaqafah/read/2013/08 /20/5942 /
filsafat-ilmu-islam-vs-barat.html#.VD8TqJjybn0
pada tanggal 16 Oktober 2014 Pukul 22.21 WIB
http://robbani.wordpress.com/2008/11/17/tentang-sumber-sumber-pengetahuan-antara-barat-dan-islam/
tanggal 16 Oktober 2012, pukul 21.36 WIB
Husaini, Adian dkk.,
2013, Filsafat Ilmu,
Jakarta: GIP
Katsir, Ibnu, 2001, Tafsir Ibnu Katsir Juz 4,
Jakarta: Sinar Baru Algesindo
Mubarok, Ainul, 2007, Sumber-Sumber
Ilmu, IAIN
Muhammad Naquib, Al-Attas, 2011, Islam
dan Sekulerisme, Bandung: PIMPIN
Nata, Abuddin, 2002, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Nurdin, Nasrullah, 2013,
Alquran dan Sunnah Sebagai Sumber Doktrin dan Ilmu Dalam Islam,
Makalah, Jakarta: UIN Syahid
Tanpa nama, Kamus Bahasa Arab-Indonesia,
Tanpa tahun
Tim Penyusun, 1997, Ensiklopedia
Islam, Jilid 2, Jakarta: Van Hoeve
Ikhtiar baru
[1] Maksudnya: Allah
membangkitkan manusia sesudah mati kelak di akhirat
[2] Adian Husaini dkk, Filsafat
Ilmu, Jakarta, GIP, 2013, hal. 231-232
[3] Ibid.
[4] Naquib Al-Attas,
Islam dan Sekulerisme, Bandung, PIMPIN , 2011, hal. 39
[6] Nasrullah Nurdin, Alquran
dan Sunnah Sebagai Sumber Doktrin Dan Ilmu dalam Islam, Makalah, Jakarta,
UIN Syahid, 2013, hal. 4
[7] Tanpa nama, tanpa tahun,
hal. 1737
[8] Ensiklopedia Islam,
Jilid 2, Jakarta, Van Hoeve Ikhtiar
Baru, Tahun 1997, cetakan ke-4, hal. 2001
[9] Abuddin Nata, Tafsir
Ayat-Ayat Pendidikan, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, Tahun 2002, hal.
155
[10] Diakses dari
http://anharnst.wordpress.com/2011/05/14/sumber-ilmu-dalam-perspektif-islam-dan-implikasinya-terhadap-isi-kurikulum-pendidikan-islam/
pada tanggal 16 Oktober 2012, pukul 21.36 WIB
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Diakses dari
http://robbani.wordpress.com/2008/11/17/tentang-sumber-sumber-pengetahuan-antara-barat-dan-islam/
tanggal 16 Oktober 2012, pukul 21.36 WIB
[14] Al-Attas dalam Adnin
Armas, Konsep Ilmu dalam Islam, Makalah, Depok, 2007, hal. 7
[15] Ainul Mubarok, Sumber-Sumber
Ilmu, IAIN, tahun 2007, hal. 56-57
[16] Ibid, hal. 57
[18] Ibid, Harun Nasution
dalam Ainul Mubarok, hal. 59
[19] Ibid, Ainul Mubarok,
hal. 61
[20] Ibid,
http://robbani.wordpress.com/2008/11/17/tentang-sumber-sumber-pengetahuan-antara-barat-dan-islam/
[21] Ibid, Harun Nasution
dalam Anhar
[22] Nuim Hidayat, diakses
dari http://www.hidayatullah.com/artikel/tsaqafah/read/2 013/08/
20/5942/filsafat-ilmu-islam-vs-barat.html#.VD8TqJjybn0 pada tanggal 16 Oktober
2014 Pukul 22.21 WIB
[23] Ibid, Adian Husaini dkk,
Hal. 109
[24] Ibid, Ahmad tafsir dalam
Ainul Mubarok, hal. 75
No comments:
Post a Comment