Pemuda
sejatinya adalah agen perubah (agent of change). Generasi yang bangkit
melawan kezaliman serta kelemahan. Angkatan yang menjadi tumpuan harapan para generasi
sebelumnya. Kita bisa melihat, bagaimana nasib bangsa ini, jika kalangan Muda
tidak berani untuk ‘menculik’ Soekarno di Rengasdengklok untuk segera
mengumandangkan proklamasi. Kita bisa bayangkan, bagaimana nasib umat kristen
ortodoks konstantinopel yang akan terus berkubang dalam gelapnya dogma trinitas,
jika Panglima berumur 22 Tahun tidak datang membebaskan mereka, Sultan Muhammad
al-Faatih. Kita bisa bayangkan, bagaimana nasib rakyat Surabaya, yang terus
tertelungkup dalam penindasan dan penghinaan dibawah telapak kaki Kompeni
Belanda, jika Bung Tomo tidak memunculkan diri sebagai arsitek bom Syahid, dan
pengumandang kalimat takbir yang menggerakkan Ribuan manusia merindu Syahid. “Saya
tidak mendapatkan sati kalimat yang bisa menggerekkan ribuan orang, kecuali
dengan kalimat Takbir, Allahu Akbar!”, kata Bung Tomo.
Allah, Dialah yang menciptakan kamu
dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu
menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali)
dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha
Mengetahui lagi Maha Kuasa. (QS. Ar-Rum: 54)
Oleh
karena itu, pemuda adalah kesempatan yang sangat potensial untuk memperjuangkan
syariat dan berkhidmat untuk ummat.
Dari
era pra-kemerdekaan, orde lama, orde baru sampai reformasi, pemuda memegang
peran penting. Di mana semua perubahan fasenya digerakkan oleh pemuda. Siapa
yang tidak mengenal Sultan Hasanuddin yang menjadi Raja dan melawan Belanda di
umurnya yang ke-35 Tahun dan berjuang melawan usia hingga tutup usia 39 tahun
?. Siapa yang tidak mengenal Usamah Bin Zaid yang memimpin perang di umur 18
tahun ?. siapa yang tidak mengenal Imam Syafi’i yang menghafal qur’an di umur 7
tahun ?.
Lalu
perhatikan Pemuda zaman sekarang. Menghabiskan waktu emasnya untuk hidup memenuhi
keinginan syahwat dan hiburan dengan musik dan nyanyian. Menikmati angan-angan
kosong dan musik melancolis. Tertidur pulas dalam mimpi-mimpi hampa. Dan
menghabiskan waktu produktif setelah perut dipenuhi “topi miring”.
Pemuda
seperti itukah calon Pemimpin ?. Generasi yang hanya bisa menghambur-hamburkan
uang. Menyemboyankan muda foya-foya, tua kaya-raya, mati masuk surga. Relax
mengisap sebuah gulungan rempah dan tembakau yang berisi ribuan racun
mematikan. Bahan bakar roket, pembersih porcelain, bahan baku mesiu, peledak
dan korek api serta zat campuran racun tikus masuk ke dalam setiap isapan nafas
mereka. Ketika dijelaskan dampak buruknya, mereka hanya tersenyum sombong dan
berkata “aah…, merokok mati, tidak merokok mati, lebih baik merokok sampai mati.”
Saya
yakin, bahwa sebuah peradaban dan masyarakat islami, tidak pernah bisa dimulai
dari pembangunan fisik. Betapa banyak bangunan-bangunan fisik telah rubuh,
lapuk dimakan lumut dan usia, namun idealisme para pengusung dakwah hari ini
masih tetap eksis. Bahkan terus berkembang.
Saya
juga yakin, bahwa untuk membangun umat dan bangsa, adalah dengan membangun ruh
dan hatinya. Fasilitas yang cukup, akan tetapi dihuni oleh orang-orang yang
tidak memiliki himmah dakwah tinggi tidak akan menghasilkan apa-apa. Lihatlah
Suriah, yang melahirkan ratusan ribu Mujahidin justru saat hak hidup mereka
dirampas. Mereka terusir dari rumah, dan dipisahkan dengan keluarga mereka
dengan Bom, Birmil dan Rudal serta peluru. Namun mereka bangkit menjadi
Pejuang, yang menjaga perbatasan.
Kekuatan
yang sejati ada pada jiwa. Jiwa yang telah diliputi bashirah dan ilmu.
Hingga tetesan darah dan keringat bukan menjadi hal yang ditakuti, bahkan
menjadi hal yang dirindui. Kerja-kerja dakwah di jalan. Urus proposal,
undangan, berkorban pulsa dan waktu, serta jadwal tidur bukan lagi sebuah
kerugian. Karena jiwa itu telah kembali kepada fitrahnya. Fitrah pejuang.
Fitrah pemberani. Fitrah sebagai seorang pemuda muslim, yang selalu menjadi
pembela terdepan dalam memperjuangkan syariat-Nya, hingga tegak di kampus yang
tercinta.
Tujuan
dari dakwah yang kita lakukan adalah membumikan
tarbiyah. Hingga tida saatnya nanti kita
melihat kampus-kampus yang wanitanya berhijab dari kepala hingga ke kakinya.
Berpakaian dengan tidak mencolok, serta menundukkan pandangan. Para
mahasiswanya mengenakan pakaian muslim, tanda keshalihan. Songkok putih di
kepalanya, celana cingkrang, serta mushaf di tangan kanannya, di dalam kelas.
Dan ingat, semua itu bukan perjuangan simbolik, akan tetapi tanda terbangunnya
jiwa sebagai seorang muslim yang berserah diri pada Tuhannya.
Kampus
yang semarak dengan syiar dakwah. kelas dan koridor dipenuhi dengan kajian. Kelas
dipenuhi dengan lantunan bacaan alquran. Agar kampus penuh dengan kelembutan
hati, dan ketinggian adab dan akhlak. Dan semuanya dirangkul dengan ukhuwah
imaniyyah. Saling mendahulukan dan saling memperhatikan. Itulah cita-cita dan
perjuangan kita. Dan kita tidak akan berhenti hingga Allah sendiri yang
berkenan menghentikan langkah kita.
Dalam
perjalanannya, tentu kita akan menemui riak-riak ujian. Namun, seorang pejuang
sejati tak akan mudah mundur dengan ujian apa pun. Mereka akan menjadikan
kenikmatan ada pada perjuangan. Mereka menikmati indahnya merasakan segarnya
guyuran hujan di malam hari saat pulang dari kajian malam di kampus. Merasakan
letihnya mendorong kendaraan yang kempes atau kehabisan bahan bakar untuk
menghadiri liqo’ ba’da Isya. Dan mereka menikmati lamanya
menunggu proses-proses birokrasi untuk menggolkan proyek dakwah di kampus.
Kita
telah ketahui, bahwa setetes keringat di jalan dakwah, jauh lebih berarti dari
apa yang dikumpulkan oleh manusia dengan lelah. Peluh saat mengantar proposal
daurah. Pinggang letih saat menge-print surat dan undangan seminar
dakwah. Uang jajan yang disisihkan untuk infaq tarbiyah. Serta waktu istirahat
yang dipangkas untuk rapat membahas agenda jama’ah. Semuanya, kita harapkan
kepada Allah. Menjadi pemberat timbangan kebaikan, berbalas rahmah dan berkah.
Meski
orang-orang mengumpulkan pakaian yang indah, dan kendaraan mewah. Dan saat yang
sama kita hanya bermodal motor ‘butut’, sepeda ontel, atau hanya dengan dua
betis kecil kita yang mirip pelepah. Berjalan menyusuri lorong, persimpangan
jalan dan lampu merah. Dengan pakaian yang telah basah. Karena keringat ilmu
dan dakwah. Mengucur di kening, menghadiri ta’lim dan liqo’ tarbiyah.
Waktu
senggang yang kita gunakan untuk muraja’ah.
Rasa lapar yang kita tahankan saat musyawarah, serta kepenatan yang
dirasakan saat meninjau lokasi Muktamar, Tabligh Akbar, dan Muhadharah.
Hingga debu-debu yang menempel di sandal-sandal kita, saat menghadiri majelis
ilmu dan mudzakarah. Semuanya, akan berbalas dengan rasa iman yang
indah, yang di jiwa, manis tercurah.
Berjuang
untuk umat adalah usaha untuk memperbaiki diri sendiri. Usaha kita untuk
mendidik diri dan mengarahkannya pada kecintaan akhirat. Menyisihkan tenaga,
dan waktu adalah perjuangan untuk diri kita yang utama. Untuk melatih jiwa agar
kita tidak rapuh dan manja.
Semua
itu adalah persiapan menjadikan diri masuk dalam barisan para pejuang. Barisan
yang menjadi penjaga di garis terdepan. Bergabung dalam arus besar perubahan. Saat Barat menjadi pemimpin
peradaban.
Memastikan diri balam gerakan pembinaan individu, pembentukan
kelompok, pengorganisasian masyarakat, hingga pembentukan penaklukan. Sebab
kita rindu akan jutaan kitab, ribuan institusi pendidikan islam, jutaan ulama,
ribuan pusat penelitian dan laboratorium, jutaan Masjid, dan istana lahir yang menjadi
saksi bagaimana Islam hadir menjadi sebuah peradaban di bumi. Meski kini, semua
itu hanya tinggal kenangan dan mungkin sekedar menjadi nostalgia. Hanya berada
di balik lembaran-lembaran buku-buku sejarah. Atau bahkan mungkin telah hilang
pesonanya terganti oleh modernisme virtual gadget, game-online
dan dunia media sosial.
Namun, saya yakin, perjalanan perjuangan
islam masih menyisakan Api. Api yang masih membara. Api yang dinyalakan kembali
di halaqah yang mewarisi Halaqah Darul Arqam. Tempat tumbuhnya idealisme,
kerinduan akan keadilan, keamanan dan kepemimpinan di bawah naungan Shahwah
Islamiyyah. Tempat bersemainya benih iman dalam qalbu. Mengakarnya
tauhid dalam dada. Dan dinyalakannya cahaya ilmu dengan setitik api. Api
Tarbiyah!.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pesan Bukunya Sekarang Juga Dengan,
1. Like dan Klik FP Cahaya Tarbiyah
2. Inboxkan Nama, Alamat Lengkap, dan No. HP
3. Tunggu Balasan.Terima Kasih
No comments:
Post a Comment