Tidak ada
peradaban yang bisa bangkit kecuali dibangun di atas tradisi ilmu. Tradisi menulis,
membaca, menghafal, ceramah dan diskusi menjadi aktivitas sentral dalam
struktur sosial masyarakat. Seperti itulah kondisi peradaban Islam yang
terbentang dari Baghdad hingga Maroko di abad pertengahan. Masa dimana tradisi
ilmu menjadi basis pengembangan masyarakat. Ribuan suffah, ma’had,
madrasah, halaqah, kuttab, majlis dan berbagai institusi lainnya menjadi
magnet ilmu pengetahuan. Didatangi oleh para penuntut ilmu dari berbagai
penjuru. Dari institusi tersebut, lahir ratusan ulama dan cendekiawan yang
menguasai al-Qur’an, hadits dan fiqh dan ilmu-ilmu seperti astronomi,
kedokteran, filsafat, dan matematika, dimana mereka mampu memandu dan memberi
pencerahan pada umat. Membangun pandangan tauhidi antara dunia dan akhirat.
Namun seiring
berjalannya waktu, Peradaban Barat, yang lahir dari aktivitas sosio-politik
Laut Tengah (Mediterania) selama beradab-abad mulai menjumpai negeri-negeri
muslim. Sebelumnya, lewat berbagai persinggungan-persinggungan, ilmu-ilmu yang
telah mentradisi dalam sistem pendidikan islam mulai dipelajari oleh Barat. Sains,
kedokteran, teknik dan bahasa mulai dikembangkan di barat atas proyek pendidikan
negara-negara barat berupa penerjemahan dan pengiriman pelajar ke pusat peradaban
ilmu seperti Baghdad, Damaskus, Kairo, Andalusia, Cordoba dan lain-lain.
Ilustrasi Perjalanan Kapal Imperialisme Barat |
Berdasarkan
analisis Tamim Anshary dalam bukunya “Dari Puncak Baghdad”, bahwa asas-asas
ilmu yang diimplementasikan dalam bentuk teknologi sederhana sudah banyak
diterapkan di dunia islam -saat itu-, hanya masih terbatas pada lingkungan
kerajaan. Struktur sosial negeri muslim masih berbasis pertanian, peternakan
dan perdagangan. Sementara di Barat, dasar-dasar ilmu tersebut telah dikembangkan
dan diwujudkan dalam laboratorium serta rumah-rumah yang memproduksi proto-teknologi. Penemuan mesin pun
dimulai. Karya James Watt dalam bentuk mesin uap menggantikan kerja tangan pada
proses pertanian dan pertambangan. Dunia memasuki Abad Mekanisasi yang lahir
dari revolusi industri di berbagai belahan negara-negara Eropa dan Amerika.
Semua pekerjaan manusia tergantikan oleh mesin, dan menurut Tamim Anshary,
struktur sosial masyarakat Barat tersebut memang benar-benar sudah siap menerima
‘pesawat ilmu pengetahuan’ tersebut ‘lepas landas’ dan diterima oleh lapisan
masyarakat mereka.
Sementara dalam waktu
yang sama, kondisi masyarakat muslim mulai mengalami degradasi bersamaan dengan monopoli titik-titik pelabuhan dan
perdagangan oleh Pedagang dan Petualang Barat. Dalam proses yang lama, kondisi
sosial masyarakat muslim mulai bergeser. Pusat-pusat ilmu pengetahuan mulai
ditinggalkan, dan universitas-universitas mulai dikembangkan di Barat.
Singkat kata, terjadilah
perpindahan ilmu. Barat bangkit menjadi sebuah peradaban yang sedikit demi
sedikit menancapkan pengaruhnya lewat kolonisasi dan imperialisme. Persinggungan
pemikiran, serta benturan budaya tidak bisa dielakkan. Dampaknya, sistem
pendidikan klasik mulai berubah menjadi sistem modern ala Barat. Sejalan dengan
itu, konsep-konsep ilmu yang dulunya diasuh dalam rahim Peradaban Islam yang
berlandaskan Wahyu-Tauhid berubah menjadi ilmu-ilmu yang dikembangkan dalam
bingkai tragedi gereja yang dilukis denga tinta filsafat helenisme. Epistemologi
Filsafat Ilmu Barat meresap masuk ke dalam ilmu-ilmu yang lahir dalam pandangan
(worldview) Barat. Teori ekonomi,
teologi, sosial, teori negara dan hukum, ilmu sains dan matematika mengalami
perkembangan ke arah epistemologi sekuler. Dan akhirnya hingga kini, ilmu itu
pun dikembangkan di seluruh universitas di dunia.
Peran
Universitas
Universitas menempati
posisi paling strategis dan paling puncak dalam pengembangan keilmuwan.
Pengaruh universitas tidak bisa dinafikan dalam kebangkitan sebuah peradaban. Dalam
bahasa Prof. Wan Daud, Arkitektonik. Tempat
yang melahirkan ilmuwan dan ulama yang menghasilkan karya-karya magnum-opus. Dalam bahasa Michael H.
Hart, bahwa takdir jutaan manusia sedikit banyaknya ‘diayunkan’ oleh tuas ilmu
pengetahuan. Karena itulah, universitas menjadi pusat ilmu pengetahuan. Teori-teori
serta hukum-hukum baru, lahir dari pengasuhan dan pengasahan nalar para ilmuwan
dan intelektual di dalamnya.
Dari sinilah Professor al-Attas melihat
betapa pentingnya mengembalikan ilmu pengetahuan yang sudah banyak menjalar dan
menyebarkan virus epistemologi sekuler di berbagai Perguruan Tinggi. Harus
dibangun kembali Jaami’ah, yaitu pusat
dimana ilmu-ilmu diresapkan masuk ke dalam sanubari manusia. Bukan hanya
dikembangkan dalam akal (ratio) yang dipisahkan dari intellectus. Menurut Syed Muhammad
Naquib al-Attas, pemecahan problematika pendidikan Islam adalah tugas terberat umat
islam di abad ini. Oleh karena itu
sangat memungkinkan perlunya usaha reformasi pemikiran pendidikan dan keilmuwan
islam sebagai respon atas arus sekulerisasi Barat.
Konsep ilmu
dalam islam memiliki garis demarkasi yang jelas berbeda dengan barat. Sehingga
ilmu-ilmu yang lahir dari peradaban Barat harus diasuh kembali dalam paradigma
keilmuwan berbasis epistemologi islam. Paradigma yang digali dari al-Qur’an dan
Sunnah, kaidah-kaidah fiqh, serta prinsip-prinsip dasar dalam sistem keilmuwan
islam lainnya. Hasilnya adalah lahir ilmu-ilmu yang dikembalikan kepada fitrah
asalnya yaitu untuk memahami realitas dan kebenaran yang mengantarkan kepada
pengenalan dan pengakuan pada Tuhan.
Biografi
al-Attas
Ilmuwan Muslim yang bernama lengkap Syed
Muhammad Naquib ibn Abdullah ibn Muhsin Al-Attas lahir pada tanggal 5 September
1931 di Bogor, Jawa Barat. Bakatnya sebagai seorang calon ilmuwan sudah
terlihat di masa mudanya, yang banyak dihabiskan dengan
membaca dan mendalami manuskrip-manuskrip sejarah, sastra, dan agama, serta
buku-buku klasik Barat dalam bahasa Inggris yang tersedia di perpustakaan
keluarga lainnya. Dengan iklim lingkungan keluarga yang mencintai ilmu dan asuhan
di bawah pengaruh kebudayaan melayu, al-Attas mampu mengembangkan gaya bahasa
yang baik dan pemilihan kosa kata yang tepat, yang kemudian sangat mempengaruhi
gaya bahasa tulisan dan lisannya.
Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas |
Syed Muhammad Naquib Al-Attas adalah
salah satu pemikir dan pembaharu yang memberi kontribusi dalam pendidikan
Islam. Al-Attas tidak hanya sebagai intelektual yang concern kepada pendidikan dan persoalan umum umat islam, tetapi
juga pakar dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ia juga dianggap sebagai
tokoh penggagas islamisasi ilmu pengetahuan yang mempengaruhi banyak tokoh
lainnya. Salah satu perannya yang paling signifikan adalah rumusan strategi islamisasi
ilmu yang dituangkannya dalam bentuk pendirian Universitas Islam.
Tahun 1987, ia mewujudkan gagasannya dengan mendirikan
The International Institute of Islamic
Thought and Civilization (ISTAC) setelah mendapat dukungan dari
negara-negara OKI (Organisasi Kerjasama Islam) pasca ceramahnya di Konferensi
Internasional Pendidikan Islam, Makkah 1977. Ia merancang dan membuat
arsitektur sendiri bangunan ISTAC, merancang kurikulum, dan membangun
perpustakaan ISTAC yang kini tercatat salah satu perpustakaan terbaik di dunia
dalam Islamic Studies.
Pembangunan ISTAC
Universitas adalah institusi yang paling kritis, yang
darinya akan bermula revivalisme (kebangkitan) dan reformulasi pendidikan dan
epistemologi. Al-Attas memberikan perincian yang sangat tepat tentang tujuan
dasar misi Nabi, yaitu mendidik individu menjadi dewasa dan bertanggung jawab. Dalam
konferensi Pendidikan Islam di Makkah 1977 tersebut, al-Attas mengajukan bahwa
universitas diumpamakan sebagai mikrokosmos (‘alam shagir) jika
dibandingkan makrokosmos (‘alam kabir). Oleh karena itu manusia harus
memerintah dirinya sendiri sebagaimana pemerintah mengatur kotanya ataupun
seorang raja memerintah kerajaan. Sebagaimana penjelasan para ulama
mutaqaddimin, bahwa hati adalah raja, maka sang raja harus memerintah dengan
baik berdasarkan ketulusan dan kebijaksanaan.
Struktur kurikulum ISTAC diformulasikan dalam dua
tujuan utama, Pertama: untuk mengonseptualisasikan, menjelaskan dan
mendefinisikan konsep-konsep penting yang relevan dalam masalah-masalah budaya,
pendidikan, keilmuwan dan epistemologi yang dihadapai muslim sekarang ini. Kedua:
untuk memberikan jawaban islam terhadap tantangan-tantangan intelektual dan
kultural dari dunia modern dan pelbagai kelompok aliran pemikiran, agama dan
ideologi. Secara umum target ISTAC adalah memformulasikan filsafat pendidikan,
ilmu pengetahuan, kesenian, arsitektur, penelitian kebudayaan Islam di dunia
melayu serta mengintegrasikan ilmu-ilmu pengetahuan di semua fakultas yang ada
di tingkat universitas dan melatih para pemimpin ilmuwan dan intelektual.
Secara fasilitas, al-Attas mendesain dan menata
bangunan dan area ISTAC. Menghadap kiblat dengan struktur bangunan membentuk U
dan didirikan tepat pada tanggal 27 Rajab sebagai simbol peristiwa Isra’
Mir’raj. Pengaturan bangunannya mencerminkan keharmonian, kekuatan dan karakter
seorang muslim sejati. Dari segi ketersediaan sumber belajar, perpustakaan
ISTAC Juli 1998, telah dilengkapi dengan 110.000 jilid buku rujukan penting
termasuk 3.000 judul (dalam 29.000 jilid) jurnal dengan berbagai manuskrip
bahasa Arab, Persia dan Turki. Terdapat hampir 2.000 manuskrip berbahasa Arab,
Persia dan Urdu, 200 manuskrip berbahasa Turki dan 8 manuskrip Melayu mengenai
berbagai subjek keagamaan, filsafat, hukum, sains, sastra dan lain-lain. Dengan
khazanah rujukan asli ini, al-Attas membangun iklim akademik dan menunjukkan
bahwa kerja dan karya para intelektual bukanlah kerja asal-asalan, tapi
betul-betul diakui dan berkualitas.
Interior Perpustakaan ISTAC |
Contoh Manuskrip Arab-Melayu |
Dalam studi islam, al-Attas telah mencetak intelektual-intelektual
yang bergerak di bidang islamisasi ilmu di berbagai negara. Al-Attas adalah
pemikir besar yang telah menggulirkan ide-ide besar dan orisinil di dunia islam
kontemporer. Melalui ISTAC, al-Attas juga berhasil mengklasifikasikan,
menjabarkan dan menghubungkan ide tersebut dengan lingkungan intelektual dan
dinamika budaya umat Islam kontemporer.
Usaha al-Attas untuk membendung sekulerisme, pluralisme
dan liberalisme telah banyak menampakkan hasil. Melalui ISTAC, ia menerbitkan
jurnal as-Syajarah, yang memuat kajian-kajian pemikiran dan peradaban
islam dan diakui keilmiahannya dalam dunia internasional. Selain itu, pemikiran
al-Attas banyak tersebar dan dikembangkan oleh murid-muridnya di berbagai
negara. Di Indonesia, gagasan-gagasan al-Attas banyak direproduksi oleh INSIST dan
disebarkan lewat jurnal ISLAMIA, diskusi, seminar, pelatihan dan penerbitan
buku.
Meski akhirnya dilengserkan dari jabatannya sebagai
pimpinan ISTAC oleh rezim saat itu, ide-idenya tentang islamisasi ilmu masih
terus hidup. Dan kini usahanya tersebut dilanjutkan oleh muridnya, Prof. Wan
Mohd. Nor dengan mendirikan CASIS (Center for Advanced Studies Of Islam and Civilisation),
di bawah naungan UTM, Malaysia.
Dengan sistem pendidikan yang melanjutkan tradisi
intelektual, kebudayaan dan khazanah muslim mutaqaddimin, al-Attas
bercita-cita bahwa dengan berdirinya universitas seperti itu di belahan dunia
islam, maka akan terjadi revolusi intelektual dan masalah ekonomi, sains dan
teknologi akan terselesaikan dengan sendirinya. Tujuan akhirnya adalah ilmu
pengetahuan kembali dalam kerangka epistemologi wahyu sebagai framework pembangunan
peradaban. Ilmu pengetahuan kembali menyatu dalam agama. Sehingga ilmu-ilmu
yang tersebar adalah ilmu yang sesuai dengan tujuannya. Menghasilkan individu
yang beradab serta menjadi pilar kebangkitan (peradaban) islam dan kaum
muslimin. (Wallohu a’lam bi as-Shawab)
Maraji’
Anshary, Tamim. 2015. Dari Puncak
Baghdad. Jakarta: Zaman,
Husain,
Syed Sajjad dan Syed Ali Asharaf. 1994. Menyongsong
Keruntuhan Pendidikan Islam. Bandung: Gema Risalah Press.
Husaini, Adian, dkk. 2013. Filsafat Ilmu. Jakarta: GIP.
Nata, Abuddin. 2012. Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat. Depok: Rajagrafindo Persada.
Wan Daud, Wan Mohd. Nor. 2003. Filsafat dan
Praktik Pendidikan Islam Syed M. N. Al-Attas. Bandung: Mizan.
----------------------------------.
2013. Islamisasi Ilmu-Ilmu Kontemporer
dan Peran Universitas Islam. Bogor: UIKA-CASIS UTM.
No comments:
Post a Comment