Cari

REVOLUSI INTELEKTUAL

Tuesday, 6 October 2015



Tidak ada peradaban yang bisa bangkit kecuali dibangun di atas tradisi ilmu. Tradisi menulis, membaca, menghafal, ceramah dan diskusi menjadi aktivitas sentral dalam struktur sosial masyarakat. Seperti itulah kondisi peradaban Islam yang terbentang dari Baghdad hingga Maroko di abad pertengahan. Masa dimana tradisi ilmu menjadi basis pengembangan masyarakat. Ribuan suffah, ma’had, madrasah, halaqah, kuttab, majlis dan berbagai institusi lainnya menjadi magnet ilmu pengetahuan. Didatangi oleh para penuntut ilmu dari berbagai penjuru. Dari institusi tersebut, lahir ratusan ulama dan cendekiawan yang menguasai al-Qur’an, hadits dan fiqh dan ilmu-ilmu seperti astronomi, kedokteran, filsafat, dan matematika, dimana mereka mampu memandu dan memberi pencerahan pada umat. Membangun pandangan tauhidi antara dunia dan akhirat.

Namun seiring berjalannya waktu, Peradaban Barat, yang lahir dari aktivitas sosio-politik Laut Tengah (Mediterania) selama beradab-abad mulai menjumpai negeri-negeri muslim. Sebelumnya, lewat berbagai persinggungan-persinggungan, ilmu-ilmu yang telah mentradisi dalam sistem pendidikan islam mulai dipelajari oleh Barat. Sains, kedokteran, teknik dan bahasa mulai dikembangkan di barat atas proyek pendidikan negara-negara barat berupa penerjemahan dan pengiriman pelajar ke pusat peradaban ilmu seperti Baghdad, Damaskus, Kairo, Andalusia, Cordoba dan lain-lain.

Ilustrasi Perjalanan Kapal Imperialisme Barat

Berdasarkan analisis Tamim Anshary dalam bukunya “Dari Puncak Baghdad”, bahwa asas-asas ilmu yang diimplementasikan dalam bentuk teknologi sederhana sudah banyak diterapkan di dunia islam -saat itu-, hanya masih terbatas pada lingkungan kerajaan. Struktur sosial negeri muslim masih berbasis pertanian, peternakan dan perdagangan. Sementara di Barat, dasar-dasar ilmu tersebut telah dikembangkan dan diwujudkan dalam laboratorium serta rumah-rumah yang memproduksi proto-teknologi. Penemuan mesin pun dimulai. Karya James Watt dalam bentuk mesin uap menggantikan kerja tangan pada proses pertanian dan pertambangan. Dunia memasuki Abad Mekanisasi yang lahir dari revolusi industri di berbagai belahan negara-negara Eropa dan Amerika. Semua pekerjaan manusia tergantikan oleh mesin, dan menurut Tamim Anshary, struktur sosial masyarakat Barat tersebut memang benar-benar sudah siap menerima ‘pesawat ilmu pengetahuan’ tersebut ‘lepas landas’ dan diterima oleh lapisan masyarakat mereka.



Sementara dalam waktu yang sama, kondisi masyarakat muslim mulai mengalami degradasi bersamaan  dengan monopoli titik-titik pelabuhan dan perdagangan oleh Pedagang dan Petualang Barat. Dalam proses yang lama, kondisi sosial masyarakat muslim mulai bergeser. Pusat-pusat ilmu pengetahuan mulai ditinggalkan, dan universitas-universitas mulai dikembangkan di Barat.
Singkat kata, terjadilah perpindahan ilmu. Barat bangkit menjadi sebuah peradaban yang sedikit demi sedikit menancapkan pengaruhnya lewat kolonisasi dan imperialisme. Persinggungan pemikiran, serta benturan budaya tidak bisa dielakkan. Dampaknya, sistem pendidikan klasik mulai berubah menjadi sistem modern ala Barat. Sejalan dengan itu, konsep-konsep ilmu yang dulunya diasuh dalam rahim Peradaban Islam yang berlandaskan Wahyu-Tauhid berubah menjadi ilmu-ilmu yang dikembangkan dalam bingkai tragedi gereja yang dilukis denga tinta filsafat helenisme. Epistemologi Filsafat Ilmu Barat meresap masuk ke dalam ilmu-ilmu yang lahir dalam pandangan (worldview) Barat. Teori ekonomi, teologi, sosial, teori negara dan hukum, ilmu sains dan matematika mengalami perkembangan ke arah epistemologi sekuler. Dan akhirnya hingga kini, ilmu itu pun dikembangkan di seluruh universitas di dunia.

Peran Universitas

Universitas menempati posisi paling strategis dan paling puncak dalam pengembangan keilmuwan. Pengaruh universitas tidak bisa dinafikan dalam kebangkitan sebuah peradaban. Dalam bahasa Prof. Wan Daud, Arkitektonik. Tempat yang melahirkan ilmuwan dan ulama yang menghasilkan karya-karya magnum-opus. Dalam bahasa Michael H. Hart, bahwa takdir jutaan manusia sedikit banyaknya ‘diayunkan’ oleh tuas ilmu pengetahuan. Karena itulah, universitas menjadi pusat ilmu pengetahuan. Teori-teori serta hukum-hukum baru, lahir dari pengasuhan dan pengasahan nalar para ilmuwan dan intelektual di dalamnya.
Dari sinilah Professor al-Attas melihat betapa pentingnya mengembalikan ilmu pengetahuan yang sudah banyak menjalar dan menyebarkan virus epistemologi sekuler di berbagai Perguruan Tinggi. Harus dibangun kembali Jaami’ah, yaitu pusat dimana ilmu-ilmu diresapkan masuk ke dalam sanubari manusia. Bukan hanya dikembangkan dalam akal (ratio) yang dipisahkan dari intellectus. Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, pemecahan problematika pendidikan Islam adalah tugas terberat umat islam di abad ini.  Oleh karena itu sangat memungkinkan perlunya usaha reformasi pemikiran pendidikan dan keilmuwan islam sebagai respon atas arus sekulerisasi Barat.



Konsep ilmu dalam islam memiliki garis demarkasi yang jelas berbeda dengan barat. Sehingga ilmu-ilmu yang lahir dari peradaban Barat harus diasuh kembali dalam paradigma keilmuwan berbasis epistemologi islam. Paradigma yang digali dari al-Qur’an dan Sunnah, kaidah-kaidah fiqh, serta prinsip-prinsip dasar dalam sistem keilmuwan islam lainnya. Hasilnya adalah lahir ilmu-ilmu yang dikembalikan kepada fitrah asalnya yaitu untuk memahami realitas dan kebenaran yang mengantarkan kepada pengenalan dan pengakuan pada Tuhan.

Biografi al-Attas

Ilmuwan Muslim yang bernama lengkap Syed Muhammad Naquib ibn Abdullah ibn Muhsin Al-Attas lahir pada tanggal 5 September 1931 di Bogor, Jawa Barat. Bakatnya sebagai seorang calon ilmuwan sudah terlihat di masa mudanya, yang banyak dihabiskan dengan membaca dan mendalami manuskrip-manuskrip sejarah, sastra, dan agama, serta buku-buku klasik Barat dalam bahasa Inggris yang tersedia di perpustakaan keluarga lainnya. Dengan iklim lingkungan keluarga yang mencintai ilmu dan asuhan di bawah pengaruh kebudayaan melayu, al-Attas mampu mengembangkan gaya bahasa yang baik dan pemilihan kosa kata yang tepat, yang kemudian sangat mempengaruhi gaya bahasa tulisan dan lisannya. 

Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas

Syed Muhammad Naquib Al-Attas adalah salah satu pemikir dan pembaharu yang memberi kontribusi dalam pendidikan Islam. Al-Attas tidak hanya sebagai intelektual yang concern kepada pendidikan dan persoalan umum umat islam, tetapi juga pakar dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ia juga dianggap sebagai tokoh penggagas islamisasi ilmu pengetahuan yang mempengaruhi banyak tokoh lainnya. Salah satu perannya yang paling signifikan adalah rumusan strategi islamisasi ilmu yang dituangkannya dalam bentuk pendirian Universitas Islam.
Tahun 1987, ia mewujudkan gagasannya dengan mendirikan The International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) setelah mendapat dukungan dari negara-negara OKI (Organisasi Kerjasama Islam) pasca ceramahnya di Konferensi Internasional Pendidikan Islam, Makkah 1977. Ia merancang dan membuat arsitektur sendiri bangunan ISTAC, merancang kurikulum, dan membangun perpustakaan ISTAC yang kini tercatat salah satu perpustakaan terbaik di dunia dalam Islamic Studies.


Pembangunan ISTAC

Universitas adalah institusi yang paling kritis, yang darinya akan bermula revivalisme (kebangkitan) dan reformulasi pendidikan dan epistemologi. Al-Attas memberikan perincian yang sangat tepat tentang tujuan dasar misi Nabi, yaitu mendidik individu menjadi dewasa dan bertanggung jawab. Dalam konferensi Pendidikan Islam di Makkah 1977 tersebut, al-Attas mengajukan bahwa universitas diumpamakan sebagai mikrokosmos (‘alam shagir) jika dibandingkan makrokosmos (‘alam kabir). Oleh karena itu manusia harus memerintah dirinya sendiri sebagaimana pemerintah mengatur kotanya ataupun seorang raja memerintah kerajaan. Sebagaimana penjelasan para ulama mutaqaddimin, bahwa hati adalah raja, maka sang raja harus memerintah dengan baik berdasarkan ketulusan dan kebijaksanaan.
Struktur kurikulum ISTAC diformulasikan dalam dua tujuan utama, Pertama: untuk mengonseptualisasikan, menjelaskan dan mendefinisikan konsep-konsep penting yang relevan dalam masalah-masalah budaya, pendidikan, keilmuwan dan epistemologi yang dihadapai muslim sekarang ini. Kedua: untuk memberikan jawaban islam terhadap tantangan-tantangan intelektual dan kultural dari dunia modern dan pelbagai kelompok aliran pemikiran, agama dan ideologi. Secara umum target ISTAC adalah memformulasikan filsafat pendidikan, ilmu pengetahuan, kesenian, arsitektur, penelitian kebudayaan Islam di dunia melayu serta mengintegrasikan ilmu-ilmu pengetahuan di semua fakultas yang ada di tingkat universitas dan melatih para pemimpin ilmuwan dan intelektual.
Secara fasilitas, al-Attas mendesain dan menata bangunan dan area ISTAC. Menghadap kiblat dengan struktur bangunan membentuk U dan didirikan tepat pada tanggal 27 Rajab sebagai simbol peristiwa Isra’ Mir’raj. Pengaturan bangunannya mencerminkan keharmonian, kekuatan dan karakter seorang muslim sejati. Dari segi ketersediaan sumber belajar, perpustakaan ISTAC Juli 1998, telah dilengkapi dengan 110.000 jilid buku rujukan penting termasuk 3.000 judul (dalam 29.000 jilid) jurnal dengan berbagai manuskrip bahasa Arab, Persia dan Turki. Terdapat hampir 2.000 manuskrip berbahasa Arab, Persia dan Urdu, 200 manuskrip berbahasa Turki dan 8 manuskrip Melayu mengenai berbagai subjek keagamaan, filsafat, hukum, sains, sastra dan lain-lain. Dengan khazanah rujukan asli ini, al-Attas membangun iklim akademik dan menunjukkan bahwa kerja dan karya para intelektual bukanlah kerja asal-asalan, tapi betul-betul diakui dan berkualitas.

Interior Perpustakaan ISTAC
Contoh Manuskrip Arab-Melayu
Dalam studi islam, al-Attas telah mencetak intelektual-intelektual yang bergerak di bidang islamisasi ilmu di berbagai negara. Al-Attas adalah pemikir besar yang telah menggulirkan ide-ide besar dan orisinil di dunia islam kontemporer. Melalui ISTAC, al-Attas juga berhasil mengklasifikasikan, menjabarkan dan menghubungkan ide tersebut dengan lingkungan intelektual dan dinamika budaya umat Islam kontemporer.
Usaha al-Attas untuk membendung sekulerisme, pluralisme dan liberalisme telah banyak menampakkan hasil. Melalui ISTAC, ia menerbitkan jurnal as-Syajarah, yang memuat kajian-kajian pemikiran dan peradaban islam dan diakui keilmiahannya dalam dunia internasional. Selain itu, pemikiran al-Attas banyak tersebar dan dikembangkan oleh murid-muridnya di berbagai negara. Di Indonesia, gagasan-gagasan al-Attas banyak direproduksi oleh INSIST dan disebarkan lewat jurnal ISLAMIA, diskusi, seminar, pelatihan dan penerbitan buku.
Meski akhirnya dilengserkan dari jabatannya sebagai pimpinan ISTAC oleh rezim saat itu, ide-idenya tentang islamisasi ilmu masih terus hidup. Dan kini usahanya tersebut dilanjutkan oleh muridnya, Prof. Wan Mohd. Nor dengan mendirikan CASIS (Center for Advanced Studies Of Islam and Civilisation), di bawah naungan UTM, Malaysia.
Dengan sistem pendidikan yang melanjutkan tradisi intelektual, kebudayaan dan khazanah muslim mutaqaddimin, al-Attas bercita-cita bahwa dengan berdirinya universitas seperti itu di belahan dunia islam, maka akan terjadi revolusi intelektual dan masalah ekonomi, sains dan teknologi akan terselesaikan dengan sendirinya. Tujuan akhirnya adalah ilmu pengetahuan kembali dalam kerangka epistemologi wahyu sebagai framework pembangunan peradaban. Ilmu pengetahuan kembali menyatu dalam agama. Sehingga ilmu-ilmu yang tersebar adalah ilmu yang sesuai dengan tujuannya. Menghasilkan individu yang beradab serta menjadi pilar kebangkitan (peradaban) islam dan kaum muslimin. (Wallohu a’lam bi as-Shawab)


Maraji’

Anshary, Tamim. 2015. Dari Puncak Baghdad. Jakarta: Zaman,

Husain, Syed Sajjad dan Syed Ali Asharaf. 1994. Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Islam. Bandung: Gema Risalah Press.

Husaini, Adian, dkk. 2013. Filsafat Ilmu. Jakarta: GIP.

Nata, Abuddin. 2012. Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat. Depok: Rajagrafindo Persada.

Wan Daud, Wan Mohd. Nor. 2003. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. N. Al-Attas. Bandung: Mizan.

----------------------------------. 2013. Islamisasi Ilmu-Ilmu Kontemporer dan Peran Universitas Islam. Bogor: UIKA-CASIS UTM.

No comments:

Post a Comment

 

Iklan Buku

Followers

Bincang-Bincang