Pertama, Michael Behe. Ia adalah seorang Profesor Madya dalam
bidang biokomia di Universitas Lehigh di Amerika Serikat dan pengarang Darwin’s
Balck Box: The Biochemical Challange to Evolution (New York: Free Press,
1996, 307 Halaman). Ia bertolak dari hak-ikat proses biokomia yang berlaku
dalam bermacam fungsi anggota badan manusia, seperti proses biokomia yang
berlaku apabila mata melihat sesuatu, apabila darah dari luka yang mengalir
menjadi beku, dan seperti pengangkutan bahan-bahan kimia yang berlaku dalam
sel-sel kita. Setiap proses ini melibatkan proses timbal-balik. Dan interaksi
dinamis yang amat teratur lagi canggih diantara berbagai macam jenis enzim dan
protein, serta melibatkan berbagai unit anggota halus dalam sel-sel dalam proses
pembekuan darah, dan metabolisme tubuh.[1]
Penelitiannya menemukan bahwa alam biokimia dalam sel-sel terdiri dari
berbagai unit ‘alat’ kimia halus yang saling bergantungan dan bekerjasama
secara serentak dan seimbang. Dalam sistem dinamik terpadu yang amat kompleks ini.
Setiap unit dan bagian dalam struktur dinamik dan kompleks ini, tidak mungkin
muncul satu demi satu secara berangsur-angsur. Sederhananya, hasil
penelitiannya bisa dianalogikan dengan lonceng jam. Jam memiliki struktur
kompleks dan dinamik dari berbagai unsur elektronika. Kesemua unsur ini saling
berkaintan satu dengan yang lain. Dan jika ada satu unsur yang hilang, maka
lonceng tidak akan berfungsi. Artinya, semua unit-unit tersebut haruslah ada
secara serentak, bukan hadir satu demi satu.[2]
Mesin Jam |
Sama halnya dengan pembekuan darah. Jenis protein seperti fibrinogen,
trombin, fibrin, akselerin, vitamin K dan asam amino seperti glutamate
haruslah berinteraksi supaya darah luka menjadi beku dan berhenti mengalir. Semua
unsur tersebut haruslah terbentuk pada waktu yang dikehendaki, kalau satu unit
hilang atau rusak, sistem pembekuan darah tidak akan terbentuk. Logikanya, Jika
sistem itu ada secara berangsur-angsur dalam jangka waktu yang lama maka,
penderita luka akan (habis) mati lebih dulu. Sistem canggih terpadu ini
(seperti pernafasan, penglihatan, penghazaman dan sebagainya) tidak mungkin
terbentuk secara berangsur-angsur, dengan arti kata unit-unitnya terbentuk dan
muncul satu persatu secara paralel ke dalam sistem itu. Sebaliknya, semua unit
itu harus tersedia sebelum sistem itu berfungsi. Michael Behe menyebutkan
dengan fenomena ireducible complexity (kompleksitas yang tak terurai).[3]
Fase Pembekuan Darah |
Jika kita kembali, pada jam lonceng tadi, tidak satupun unsur di dalamnya mampu
bekerja secara terpisah. Baterai tidak bisa menunjukkan waktu. Jarum dan roda
gigi-roda gigi di dalamnya. Sistem lonceng dan waktu itu ada, jika semua unsur
ada secara bersamaan. Sehingga bahwa faktor fungsi tertentu tidak didahului dengan
sebab fisik (physical precursor), tetapi oleh sebab rasional (conceptual
precursor). Sehingga ia menyimpulkan, design is the purposeful
arrangement of parts which is evident when a number of separate, interacting
component are ordered in such a way as to accomplish a function beyond the
individual components.[4]
Kedua, Michael Denton, ahli mikrobiologis dan pakar kedokteran
berkebangsaan australia yang terkenal dengan penyelidikan biologinya. Ia
menulis buku penting berjudul Evolution: A Theory in Crisis untuk
mengemukakan dalil-dalil sains yang mengancam asumsi dasars teori evolusi.
Diantara dalil-dalil sains yang dikupas olehnya adalah dalil paleontologi dan
dalil mikrobiologi.
Michael Denton |
Paleontologi adalah cabang biologi dan geologi (biogeologi) yang mengkaji
bekas-bekas peninggalan kehidupan-kehidupan kuno dalam bentuk fosil yang
terdapat pada lapisan batu tertentu. Jika benar sesuatu jenis kehidupan yang
berwujud sekarang, contohnya ikan hiu saat
ini, merupakan keturunan dari jenis ikan-ikan hiu kuno, tentu ada banyak
jenis-jenis ikan hiu kuno perantara yang menjadi penyambung jenis ikan hiu
pertama dengan jenis ikan hiu modern. Tetapi, jenis-jenis perantara ini tidak
ada wujudnya dalam bentuk fosil yang ditemui sampai sekarang. Yang justru
ditemukan adalah jenis-jenis ikan hiu dahulu kala yang sudah sempurna bentuk
morfologinya (struktur tulang dan tubuh). Kalau perkembangan berangsur-angsur
memang berlaku diantara jenis yang pertama yang hidup berjuta-juta tahun lalu dengan
jenis modern sekarang, maka ribuan jenis perantara kurang lebih sempurna sudah
pasti muncul secara silih berganti sehingga sampai kepada jenis modern yang
sempurna. Faktanya, setiap jenis ikan hiu atau segala jenis kehidupan dalam
bentuk fosil tersebut merupakan jenis terpisah tanpa ada suatu kesinambungan
keturunan (genealogical continuity) dengan segala jenis kehidupan yang
muncul kemudian.[5]
Hiu Megalodon, diyakini evolusionis sebagai nenek Moyang Hiu Modern |
Fenomena ketidaksinambungan (discontinuity) ini juga merupakan ciri
yang juga berlaku pada jenis-jenis kehidupan yang lain, seperti monyet, kera,
burung, katak, serangga, ikan, tumbuhan berbunga dan sebagainya. Tidak ada
hubungan atau kesinambungan keturunan antara jenis-jenis yang modern dengan
jenis-jenis yang kuno. Kritikan dari sudut paleontologi ini pernah juga
diuraikan dengan argumentasi-argumentasi yang amat rinci dan mendalam oleh ahli
bilogi Douglas Dewar dalam bukunya yang terkenal The Transformist Illusion.
Ahli-ahli biologi pendukung evolusi mutakhir seperti Stephen Jay Gould, George
Gaylord Simpson, A. Thompson, Niles Elredge, dan lain-lain turut mengakui
hakikat ketidaksinambungan dalam bentuk fosil ini yang jelas merupakan kritikan
keras atas teori Darwin.[6]
Dalil kedua Denton adalah bidang mikrobiologi. Teori evolusi mengandaikan
wujudnya suatu ketidaksinambungan diantara alam kimia yang tidak bernyawa
dengan alam sel organik paling sederhana yang merupakan unit kehidupan yang
paling kecil. Contohnya, ahli biologi bercita-cita menemui virus yang merupakan
tangga penghubung diantara alam fisika dengan alam biologi. Kalau virus jenis
ini berwujud dan ditemukan, maka ia akan mengesahkan ‘asumsi’ bahwa mereka
bahwa kehidupan bisa muncul dari alam fisikal yang tidak hidup dan seterusnya
berkembang menjadi bermacam-macam jenis kehidupan canggih tanpa perlu pencipta
yang bersifat transcendent. Akan tetapi, cita-cita itu hingga kini belum
mereka peroleh. Malah sebaliknya, penemuan empiris dalam bidang mikrobiologi
menafikan adanya kesinambungan tersebut. Malah penemuan mikrobiologi semakin
mengesahkan wujudnya jurang yang amat jauh diantara alam organik yang hidup
dengan alam inorganik yang tidak hidup.
Sel bakteri yang paling sederhana dan kecil pun, memiliki sistem dan
struktur keteraturan internal yang dinamik lagi amat canggih, yang jauh
mengatasi kecanggihan dan keteraturan segala sistem inorganik yang tidak hidup
seperti kristal dan sebutir salju. Bahkan dari segi struktur biokimia yang
dasar, bisa dikatakan bahwa semua sel, adalah sama pada dasarna. Ini bermakna
bahwa sel bakteri tidak bisa dianggap sebagai sel berstruktur ‘primitif’ yang
kurang sempurna yang menjadi nenek moyang atau leluhur kepada sel manusia yang
berstruktur lebih ‘maju’ dan ‘sempurna’. Dengan kata lain, sel manusia atau sel
hewan lain tidak berasal dan tidak berketurunan dari apa-apa sel kuno yang
‘primitif’ karena semua sel yang ada didapati sudah sempurna dari segi fungsi
biologi ini begitu jelas dan terang sehingga para evolusionis pun terpaksa
menerimanya.[7]
Ketiga, Kritikan Fisika tidak kalah dalam mengurai
ketidak-logisan teori evolusi Darwin. Teori ini bertolak dari hukum
termodinamika yang kedua atau hukum yang paling dasar dan penting dalam bidang
kajian Fisika. Hukum II termodinamika menyatakan bahwa semua sistem tertutup,
baik yang alami atau buatan dalam alam semesta ini, akan terurai dan binasa
secara berangsur-angsur, dengan berlalunya masa, kalau dibiarkan dalam keadaan
asalnya, tanpa campur-tangan input tenaga atau informasi baru dari luar. Entropi
suatu sistem dianggap semakin meningkat apabila sistem itu menjadi semakin
terurai, hancur dan binasa. Ini bermakna bahwa alam semesta ini sebagai suatu
sistem sejagat yang kini bisa dikatakan amat tersusun rapi segala prosesnya dan
lama-kelamaan akan menjadi semakin terurai, kacau, dan binasa. Apa yang kini
dilihat sebagai alam, lama-kelamaan menjadi hancur keseluruhannya. Akan tetapi,
teori evolusi menafikan hukum entropi ini, dengan mengklaim bahwa suasana chaos
lama-kelamaan akan menghasilkan kondisi yang tersusun dan terarah. Bahwa
kondisi yang tinggi entropinya dengan sendirinya akan menuju kepada keadaan
yang rendah entropinya. Kontroversi besar ini disadari oleh pendukung teori
evolusi seperti Roger Lewin. Ia berkata, One problem biologists have faced
is the apparent contradiction by evolution of second decay through time, giving
less, not more order. Jadi, keadaan canggih yang memiliki tahap keteraturan
susunan yang tinggi tidak mungkin muncul dengan sendirinya dari kondisi yang
kurang canggih yang memiliki tingkat chaos yang tinggi. Pendek kata, chaos
tidak menghasilkan ketersusunan.[8]
Diagram Entropi dan Evolusi |
Gambaran Entropi |
Keempat, dari ilmu Psikologi Linguistik, Noam Chomsky menyatakan
bahwa ciri-ciri berdayacipta yang terdapat dalam cara insan berbahasa menjadi
dalil bahwa bahasa insan berasal dari suatu daya internal mujarad
(abstrak) yang bernama akal, dan bukan berasal dari faktor-faktor luar
lingkungan di luar akal. Dengan kata lain, daya berbahasa manusia adalah hal
yang sangat canggih sifatnya, dan tidak mungkin terbentuk melalui proses
evolusi, jadi akal pun tidak muncul melalui evolusi. Kalau begitu darimana ?. Chomsky
tidak membahas asal-usul akal, meski secara jelas teori berbahasa Chomsky
menolak kemunculan bahasa melalui proses evolusi.[9]
Kelima, Berkaitan dengan itu, ilmu Neuropsikologi yang
dikembangkan oleh penerima Nobel, Sir John Eccles, berkata bahwa pemikiran dan
kesadaran insan adalah suatu proses akli (mental process) yang bertempat
di otak fisikal (localized in the brain). Dalam kajian empirik Eccles, ia
membuktikan bahwa proses akli ini Cuma melalui otak tetapi tidak terikat
dengannya. Bahkan akal atau jiwa insanlah (self) yang mengawal otak dan
bukan sebaliknya. Ini bermakna bahwa, kesadaran akli insan adalah bersifat
berdayacipta dan bebas dari, serta melampaui batas-batas otak. Olehnya itum
Eccles menyimpulkan bahwa kemunculan akal sadar secara progresif melalui
evolusi tidak didukung oleh satu pun bukti saintifik.[10] (bersambung)
[1] Adi Setia, Kritik
Sains terhadap Teori Evolusi Darwin, Jurnal Islamia, (Tahun I, No. 1
Muharram 1425/ Maret 2004), hlm. 74
[2] Adi Setia, Kritik
Sains terhadap Teori Evolusi Darwin, hlm.
74
[3] Adi Setia, Kritik
Sains terhadap Teori Evolusi Darwin, hlm.
74-75
[4] Adi Setia, Kritik
Sains terhadap Teori Evolusi Darwin, hlm.
75
[5] Adi Setia, Kritik
Sains terhadap Teori Evolusi Darwin, hlm.
72-73
[6] Adi Setia, Kritik
Sains terhadap Teori Evolusi Darwin, hlm.
73
[7] Adi Setia, Kritik
Sains terhadap Teori Evolusi Darwin, hlm.
73
[8] Adi Setia, Kritik
Sains terhadap Teori Evolusi Darwin, hlm.
78
[9] Adi Setia, Kritik
Sains terhadap Teori Evolusi Darwin, hlm.
80
[10] Adi Setia, Kritik
Sains terhadap Teori Evolusi Darwin, hlm.
82
No comments:
Post a Comment