Dalam
banyak majelis, sangat sering dibahas tentang rukun iman. Bahkan sudah menjadi
kewajiban dalam kurikulum setiap jenjang institusi pendidikan islam. Akan
tetapi, jarang diungkapkan hal yang berlawanan dengannya, rukun kufur. Padahal,
tidak kalah pentingnya untuk dijelaskan juga kepada ummat, tentang ‘lawan’ dari
konsep-konsep dasar agama islam. Jika ada tauhid, lawannya adalah kesyirikan.
Harus diperingatkan akan bahayanya, dan kerusakannya. Begitu pula konsep as-sa’adah,
al-khayr, al-haq, dan sebagainya.
Oleh
karena itu, dalam sebuah pertemuan, mengutip perkataan Hudzaifah Ibn Yaman, “Manusia
dahulu biasa bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengenai kebaikan. Aku sendiri sering bertanya mengenai kejelekan supaya aku
tidak terjerumus di dalamnya.” (HR. Bukhari no. 3411 dan Muslim no. 1847), Dr.
Adian Husaini menjelaskan tentang pentingnya menjelaskan lawan dari
konsep-konsep tadi. Bahwa dalam konsep syahadat, terlihat penolakan didahulukan
daripada penetapan. Laa ilaaha illa
allah. Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali selain Allah. Yang
ditanamkan dulu adalah an-nafyu, baru al-itsbat. Secara
sederhana, semua kekeliruan dalam konsep tuhan harus ditolak, kemudian
ditetapkan mana yang benar.
Demikian
halnya konsep kufur. Jika iman, memiliki tiang penyangga, maka ternyata
kekufuran juga memiliki tiang. Imam Ibn Qayyim menjelaskan dalam kitabnya, al-Fawa’id
tentang rukun kekufuran tersebut, bahwa,
rukun kekufuran terdiri atas empat, yaitu Takabur, dengki, marah dan syahwat.
Yang dengan sifat ini, masing-masing akan meruntuhkan pilar keimanan. Kata
beliau, sikap takabur mencegah ketundukan. Dengki mencegah dari pemberian
nasihat. Kemarahan mencegah seseorang dari sikap adil. Dan syahwat mencegah
dari fokus untuk ibadah.
Ibn
Qayyim menjelaskan, bahwa apabila rukun takabur runtuh, maka mudah seseorang
akan tunduk. Jika rukun dengki runtuh, maka nasihat akan mudah diterima.
Apabila rukun kemarahan runtuh, maka mudah ditegakkan keadilan dan rendah hati.
Dan apabila rukun syahwat runtuh, maka mudah menegakkan kesabaran dan kesucian
dalam ibadah.
Semua
sifat ini, bukan hal yang mudah bagi seseorang yang telah terkena keempat sifat
ini. Sampai-sampai beliau mengumpakan dengan melenyapkan gunung. “Melenyapkan
gunung dari tempatnya, lebih mudah dari melenyapkan keempat rukun tersebut dari
orang yang mendapt musibah”, ungkapnya. Apalagi, kata beliau, jika keempat
sifat ini telah menjadi perangai yang kokoh, dan membaku dalam jiwa seseorang. Usaha
untuk menghilangkannya, sangatlah susah. Sebab keempat pilar ini, akan melawan
usaha untuk melenyapkannya dari jiwa seseorang yang ingin menghilangkannya.
Bahkan
dari rukun kekafiran ini, beliau menjelaskan bahwa setiap bentuk bencana lahir
dari keempat sifat ini. Sebab, jika telah merasuk ke dalam hati, maka
kebathilan akan berwujud seperti kebenaran, yang makruf menjadi munkar, dan begitu
pula sebaliknya. Bahkan sifat ini akan mendekatkan hati kepada dunia dan
menjauhkan dari akhirat.
Adapun
sumber empat rukun ini kata Ibn Qayyim adalah kebodohan seseorang akan Tuhan
dan akan dirinya sendiri. Sebab pengenalan kepada Tuhan yang maha sempurna akan
mengantarnya pada pengenalan pada dirinya yang penuh dengan kekurangan. Dan
hakikat dengki adalah satu jenis permusuhan dengan Allah, karena ia membenci
nikmat Allah atas hambanya padahal Allah telah menyukai nikmat tersebut atas
hamba, dan ia pun menyukai hilangnya nikmat dari hamba padahal Allah tidak
membencinya. Jadia dia menentang qadha dan qadarnya, serta membenci cintanya. Oleh
karen itu-lah iblis menjadi musuh allah, karena sifat ketakaburan dan
kedengkiannya.
Takabbur
dan dengki, kata beliau bisa dicabut dengan mengenal Allah, meng-esakan-Nya,
ridha dengan-Nya, dan menyerahkan diri pada-Nya. Sementara itu, menolak
kemarahan adalah dengan mengenal diri sendiri. Bahwasanya seseorang tidak
berhak untuk marah dan dendam, sebab tindakan itu berarti mengutamakan diri
sendiri, atas Pencipta yang padanya ada keridhaan dan kemarahan.
Oleh
karena itu, jalan keluar untuk mencegah bencana tersebut adalah dengan membiasakan diri untuk marah terhadap
sesuatu karena Allah Ta’ala dan juga ridha karena-Nya. Manakala sikap
ridha dan marah karena Allah telah masuk ke dalam diri seseorang, maka akan
keluarlah apa yang menjadi lawannya. Hal itu juga berlaku sebaliknya.
Adapun
syahwat, obatnya adalah ilmu dan pengetahuan yang benar. Mengikutkan jiwa pada
syahwat yang benar sesuai dengan syariat adalah faktor penyebab terbesar untuk mencegah
dan menghalangi jiwa dari syahwat yang merusak. Setiap kali kita membuka pintu
syahwat sesuai ajaran agama, maka sebenarnya kita telah berusaha untuk
menghalangi syahwat (yang merusak) dari jiwa. Begitu pula sebaliknya. Setiap
kali kita menutup syahwat dengan cara yang tidak benar, maka sebenarnya kita
telah berusaha menghubungkan syahwat dengan jiwa kita.
Dalam
menjelaskan rukun tersebut, Ibn Qayyim mengumpamakan kemarahan itu seperti
binatang buas. Yang menurutnya, jika pemiliknya menelantarkan binatnag
tersebut, maka ia akan memangsanya. Begitu pula syahwat, yang ia ibaratkan
dengan api. Jika pemiliknya berusaha
memadamkannya, maka ia malah akan membakarnya. Sikap takabur laksana seorang
raja yang menentang kerajaannya sendiri, jika kerajaan itu tidak membinasakan kita,
maka ia akan mengusir kita tahta tersebut. Sikap dengki laksana tindakan
memusuhi orang yang lebih mampu. Orang yang bisa mengalahkan syahwat dan
marahnya, maka syaitan akan takut kepada bayang-bayangnya, dan barangsiapa
syahwat dan amarah mengalahkan dirinya, maka ia akan takut kepada tipu muslihat
syaithan.
Dari
sini jelaslah empat rukun kekufuran tersebut. Bahwa ternyata dasar-dasar iman
juga bisa dirubuhkan jika ternyata di dalam jiwa juga dikembangkan takabur,
dengki, marah, dan syahwat. Mudah-mudahan dengan pengetahuan kita atasnya, mempermudah
kita menghindari sebab-sebab yang akan mengantar kepada kekufuran. Sehingga
dengannya pula, tunas-tunas iman semakin lebat dan tumbuh rindang dalam jiwa. Dan
akhirnya, akan bisa mengecup nikmatnya halaawat al-iman (wallohu
a’lam bi as-shawab).
Dikutip dari Ibn Qayim al-Jauziyyah, Meraih Faidah Ilmu, Jakarta: Darus Sunnah, 2012, hlm. 273-264 (dengan perubahan)
No comments:
Post a Comment