Urgensi Rumusan
Konsep Universitas
Pentingnya
pendidikan tinggi secara strategis dan kultural memang tidak ternilai. Sebab,
dalam sejarahnya semangat, etos kerja, dan kualitas suatu negara atau
kebudayaan bersumber dari dan tercermin dalam institusi-institusi pendidikan
tingginya. Ketika menebarkan pengaruh, suatu negara atau kebudayaan
mengembangkan kajian-kajian intelektualnya untuk memperkenalkan khazanah dan
warisan keilmuwannya. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa masalah yang
melanda Dunia Muslim dalam beberapa abad belakangan ini, bersumber dari
institusi-institusi pendidikan tinggi mereka, meski tersedianya sumber-sumber
material dan keuangan.[1]
Hal ini
kemudian diperparah, sebab tidak satu pun intelektual muslim ternyata telah
merumuskan konsep universitas dan membahaskannya dalam dunia akademik, baik
secara teoretis dan filosofis, maupun secara implementatif. Justru di kalangan
Barat, banyak karya yang membahas ide universitas menurut pandangan filsafat
dan keagamaan tertentu. Misalnya, tulisan Cardinal John Newman, The Idea of
a University Defines and Illustrated pada 1852, yang dipandang sebagai
karya berpengaruh dalam konsep universitas Humanisme Kristen. The Mission of
The University (1946) oleh Karl Jaspers, bisa dikatakan mewakili sebuah
konsep humanis-ekstensialis. Ide-ide yang lain seperti Robert Maynard Hutchin,
yang mewakili Perenialisme, dalam karya-karyanya Education for Freedom (1963),
dan the University of Utopia (1964). Selain itu ada J. Douglas Brown,
yang menulis The Liberal University: an Institutional Analysis (1969).
Dalam karyanya Brown mengulas implikasi dari gambaran ideal bagaimana membentuk
‘manusia sempurna’ bisa terwujud dalam pelbagai aspek pada sebuah universitas
yang mengutamakan ilmu sosial dan budaya (Liberal Art University),
seperti kepemimpinan, pendidikan, administrasi, dan sosial.[2]
Hanya saja perlu untuk ditekankan, bahwa konsep universitas yang dirumuskan
oleh Barat tidak sepenuhnya harus diterima di dunia Islam. Sebab, konsep Universitas
barat dibangun berdasarkan konsep manusia di Barat. Sementara perlu diperjelas
seperti apa dan bagaimana konsep manusia di Barat.
al-Attas menunjukkan bahwa konsep manusia yang jamak dipahami dalam
sistem keilmuwan modern adalah konsep yang telah disekulerkan. Dalam Tradisi
Intelektual Barat, Ratio dan Intellectus telah mengalami
pemisahan. Padahal dalam Islam, keduanya adalah organ yang satu yang dalam
islam dikenal dengan ‘aql (organic unity of both ratio and intellectus).
Dengan hubungannya dengan makna manusia sebagai Hayawaan an-Naathiq
(Makhluk hidup yang Berpikir) atau Rational Animal, ia menjelaskan bahwa
Nuthq adalah turunan dari ‘speech’. Sementara Speech
diartikan sebagai Certain power and capacity to articulate words in
meaningfull pattern. Oleh karena itu, al-attas memaknai ‘Aql (ikatan)
sebagai innate property that binds and wthholds object of knowledge by means
of words.[3]
Konsep-konsep kunci yang sekuler
tersebutlah yang kemudian merasuk ke dalam struktur ilmu pengetahuan modern
yang disalurkan lewat urat nadi Ilmu di Universitas. Akhirnya pada gilirannya
akan merefleksikan konsep yang sangat sekuler. Salah satu diantaranya proyeksi
pemikiran ini adalah pemberian nama Kementrian Pendidikan Tinggi, yang dirubah
menjadi Kementrian Ristek dan Dikti. Dengan alasan bahwa, kuantitas dan
kualitas riset Universitas sangat ‘menyedihkan’ dibanding negara-negara
tetangga. Data yang diungkap Denny Yusuf menyebutkan,
“Berdasarkan jumlah paper ilmiah yang
dipublikasikan dalam skala internasional, Indonesia pada tahun 2013 hanya
berada di peringkat 61 dunia dari 239 negara. Jumlah publikasi internasional
dari Indonesia pada periode 1996 – 2013 mencapai 25.481. Indonesia bahkan
tertinggal dengan Kuba yang berada di peringkat 59 dengan publikasi 27.139
artikel. Di kawasan Asia, Indonesia berada di peringkat ke-11. Tiongkok
merupakan negara Asia yang amat produktif dalam menghasilkan publikasi ilmiah.
Negara tersebut sepanjang periode 1996 – 2013 menghasilkan 3.129.719 publikasi.
Tiongkok menempati posisi pertama di Asia dan kedua di dunia, hanya kalah dari
Amerika Serikat.”[4]
Dalam pasal 20 ayat 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional disebutkan bahwa selain mengembangkan pendidikan dan
pengabdian kepada masyarakat, perguruan tinggi sebagai salah satu subsistem
pembangunan nasional berkewajiban menyelenggarakan dan mengembangkan penelitian—yang dimaksudkan demi kemajuan bangsa
dan negara. Karena itu, perguruan tinggi seharusnya menjadikan penelitian
sebagai prioritas kegiatan mereka. Penggabungan kementerian ini dimaksudkan
untuk meningkatkan daya saing bangsa di segi pengembangan riset dan
menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi sebelumnya, dengan mengoptimalkan
peran perguruan tinggi di bidang riset. Hal ini diharapkan dapat mempermudah
pengelolaan riset setelah sebelumnya terjadi beberapa masalah; seperti
kurangnya sinergisasi riset di perguruan tinggi dan penerapannya, serta tidak
optimalnya pendanaan riset karena ditempatkan menyebar. Rektor UGM, Pratikno juga
mengatakan bahwa jika manajemen riset dikelola satu kementerian, maka
kinerjanya akan lebih optimal di segi pemanfaatan anggaran dan biaya
operasional[5]
Hal inilah yang dikritik oleh al-Attas. Bahwa manusia dalam konsep barat
telah jauh tersekulerkan. Manusia tidak lagi dimaknai pada defenisinya yang
benar. Yang akibatnya, Epistemologi keilmuwan yang direkonstruksi untuk mereka
juga telah mengalami pereduksian. Dampaknya, lahir-lah manusia-manusia sekuler
dari ilmu-ilmu sekuler.
Padahal, mengutip
kembali perkataan Franz Rosenthal tentang kekokohan struktur terminologi dan
epistemik ‘ilm dalam islam, bahwa, ”Sebenarnya tak ada satu konsep pun
yang secara operatif berperan menentukan dalam pembentukan peradaban Islam di
segala aspeknya, yang sama dampaknya dengan konsep ilmu. Hal ini tetap benar,
sekalipun di antara istilah-istilah yang paling berpengaruh dalam kehidupan
keagamaan kaum muslimin, seperti “tauhîd” (pengakuan atas keesaan Tuhan),
“al-dîn” (agama yang sebenar-benarnya), dan banyak lagi kata-kata yang secara
terus menerus dan bergairah disebut-sebut. Tak satupun di antara
istilah-istilah itu yang memiliki kedalaman dalam makna yang keluasan dalam
penggunaannya, yang sama dengan kata ilmu itu.Tak ada satu cabangpun dalam
kehidupan intelektual kaum muslimin yang tak tersentuh oleh sikap yang begitu
merasuk terhadap “pengetahuan” sebagai sesuatu yang memiliki nilai tertinggi,
dalam menjadi seorang muslim.”[6]
Dengan
demikian, istilah ‘ilm, telah digunakan dalam islam untuk merangkumi
seluruh kehidupan –spiritual, intelektual, keagamaan, kebudayaan, individu dan
sosial-, dan bahwa ia penting untuk menuntun manusia memperoleh keselamatannya.
Oleh sebab itu, menurut al-Attas, boleh jadi istilah Kulliyah, adalah
istilah yang turun dari konsep ini.[7]
Embrio
Universitas Islam dan Pengembangannya di Dunia Barat
Di postingan
sebelumnya, kita juga telah menemukan bahwa menurut zaman paling awal Islam,
sistem pendidikannya dimulai secara besar-besaran dengan masjid sebagai
pusatnya; dan bahkan hingga sekarang. Istilah Masjid Jami’ juga
merefleksikan hal tersebut. Bahwa Masjid mengumpulkan semua sistem kehidupan,
dan dibangun di atasnya. Hingga kini, institusi itu berkembang. Dari maktab,
bayt al-hikmah, majalis, dar al-‘ulum, dan madaris. Dan dalam bidang
kedokteran, astronomi dan ilmu-ilmu pengabdian berkembanglah rumah sakit-rumah
sakit, observatorium, dan zawiyah di kalangan persaudaraan Sufi[8].
Dan jelas pula, bahwa proses transmigrasi ilmu dari dunia Islam ke Eropa
menjadikan konsep-konsep embrio Jaami’ah mengalami transmigrasi dan
naturalisasi pula.
Makdisi
memberikan bukti-bukti yang sangat meyakinkan mengenai pengaruh langsung dan
spesifik dari istilah-istilah, ide-ide dan praktik-praktik pendidikan Islam
terhadap pendidikan Tinggi di Eropa pada abad pertengahan, terutama berkaitan
dengan college dan universitas.[9]
Diantara
pengaruh universitas islam terhadap pendidikan Eropa adalah institusionalisasi
pidato pengukuhan dan penganugerahan jubah kehormatan berdasarkan pencapaian
akademik dan hal-hal yng berhubungan dengan kebebasan intelektual berdasarkan
keahlian, yang kesemuanya bisa dijumpai di Universitas-universitas Eropa pada
abad pertengahan. Pidato pengukuhan atau dars iftitahi dari seorang
Profesor (mudarris, syaikh, mujtahid) yang baru diangkat biasanya
dihadiri oleh para pemikir terkenal, para pemuka, dan mahasiswa dan telah
menjadi tradisi pada pertengahan abad ke-11. Hal ini persis pada upacara inceptio
(Universitas di Paris) pada universitas di Barat. Selain itu dikenal pula
institusionalisasi pemberian izin mengajar
(ijazah li al-tadris) pada pendidikan tinggi Islam yang
mempengaruhi terciptanya licentia docendi (izin mengajar) pada
Universitas Barat. [10]
Asal-usul nama
institusi itu berasal dari bahasa latin: Universitatem, dengan jelas
mencerminkan konsep kulliyah yang berasal dari Islam pada mulanya. Pada
masa itu juga peranan ilmu kedokteran dalam pendidikan Islam dan pengaruhnya
yang besar terhadap Barat, konsep anatomisnya tentang fakultas yang
mengingatkan kembali terhadap quwwah, suatu istilah yang bermakna
‘kekuatan yang terkandung pada suatu organ yang paling penting pengaruhnya’.
Pengaruh ini bukan saja, menurut al-Attas dalam hal menentukan asal Islamnya,
tapi juga membuktikan hakikat bahwa karena konsep ‘fakultas’ berhubungan dengan
makhluk hidup tempat sifat ‘ilmu’ itu berada, dan bahwa ilmu ini menjadi
prinsip-prinsip yang mengatur fikira dan perbuatannya, maka universitas harus
dipahami sebagai upaya meniru struktur umum manusia, baik dalam bentuk, fungsi
dan tujuan. Ia merupakan suatu perlambangan mikrokosmik dari manusia, bahkan
sesungguhnya Manusia Universal (al-Insan al-kulliy).[11]
Konsep
Universitas dalam Islam
Secara ringkas
kita bisa menemukan konsep manusia yang dijelaskan oleh al-Attas. Bahwa manusia
adalah makhluk ‘dwi hakikat’, yaitu jiwa dan raga. Jiwa akali dan raga hewani,
bahwa ia adalah ruh dan diri jasmani sekaligus, dan ia mempunyai kepribadian
yang disebut diri (self); bahwa ia mencerminkan sifat-sifat penciptanya.
Secara khusus manusia manusia mempunyai ilmu tentang nama-nama benda, ilmu
tentang Tuhan, memiliki qalbu dan akal, intelektual dan spiritual, dan
mempunya potensi untuk menyimpan pedoman dan kebijaksanaan dalam dirinya
sendiri, dan mampu untuk berbuat adil pada dirinya. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa, manusia adalah tempat (mahall atau makan) bagi kemunculan din,
sehingga merefleksikan suatu kota (madinah)[12]
dan asas pembangun peradaban (tamaddun).
Oleh karena itu, dasar penyusunan universitas seharusnya merujuk pada konsep
diri manusia itu sendiri. Karena dalam Islam, tujuan pencarian ilmu pengetahuan
secara dasar adalah untuk menjadi manusia yang baik, dan bukan ‘warga negara
yang baik’ dari negara yang sekuler, sistem pendidikan haruslah dalam refleksi Islam,
bukan refleksi negara. Pengewajantahan yang paling tinggi dan sempurna dari
sistem pendidikan adalah di universitas; dan karena ia merupakan sistematisasi
tertinggi dan paling sempurna dari ilmu pengetahuan untuk merefleksikan alam
semesta, hal tersebut juga menjadi refleksi bukan manusia sembarangan, akan
tetapi manusia universal dan sempurna (insan
kamil)[13].
Dalam Islam, Manusia
dianggap sebagai ‘alam shagir (microcosmos)
dan ‘alam kabir (macrocosmos),
merefleksikan manusia yang baik (insan kamil) karena itu, universitas harus
merefleksikan alam sebagaimana manusia yang paling sempurna, yaitu Nabi
Muhammad SAW (So the Islamic University must Reflect the Holy Prophet in
terms of knowledge and right action).[14]
Berdasarkan rumusan itu, al-Attas kemudian menurunkan jenis-jenis ilmu
yang terangkum dalam kurikulum universitas menjadi dua, Ilmu agama (The Religious
Science), dan Ilmu Filsafat, Rasional, dan Intelektual (The Rational, Intellectual, and
Philosophical Sciences). Di mana The Religious Science, dibagi menjadi:
1.
The
Holy Quran: Its Recitation, and interpretation (tafsir and ta’wil)
2.
The
Sunnah, The life of Holy Prophet; The history and massage of the prophet before
him; the hadith and its authoritative transimission
3.
The Shari’ah;
jurisprudence and law; the principles and practice of islam (islam, iman,
ihsan)
4.
Theology:
God, His Essence, Attributes and Names and acts (al-tawhid)
5.
Islamic
Metaphysics (al-Tasawuf); psycology; cosmology and ontology; legitimate
elements of islamic philosophy including valid cosmological doctrines
pertaining to th hierarchy of being
6.
Linguistic
Science: Arabic, Its grammar, lexicography and Its Literature[15]
Sementara The Rational, Intellectual, and Philosophical Sciences ia turunkan menjadi empat bagian, yaitu:
1.
The
Human Sciences
2.
The
Natural Sciences
3.
The
Applied Sciences
4.
Technological
Sciences[16]
Secara sederhana, al-Attas menggambarkan rumusan Universitas Islam
sebagai berikut:
Sumber: Islam dan Sekulerism, hlm. 199
Dari rumusan di atas, al-Attas mengurut derajat ilmu berdasarkan
statusnya dalam islam. Ilmu Qur’an sebagai ilmu paling tinggi daling paling fardhu hingga ilmu bahasa dan sampai
pada ilmu teknologi yang sifatnya terapan. Gambaran ini menurut al-Attas adalah
susunan yang menunjukkan struktur manusia itu sendiri. Dari situlah, al-Attas
kemudian merumuskan dan melanjutkannya ke dalam aplikasi pendirian ISTAC (Institute of Islamic Thought and
Civilization) di Kuala Lumpur. Insya Allah, berikutnya kita akan membincang
peran al-Attas dalam Pembangunan Universitas Islam. (wallohu a’lam bi
ash-showab)
[1]
Wan Mohd. Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam SMN al-Attas, Bandung:
Mizan, 203. hlm. 104-205
[2]
Wan Mohd. Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam SMN al-Attas, hlm.
104-205
[3]
Lihat SMN. al-Attas, The
Concept of Education in Islam, Kuala Lumpur: ISTAC, 1999, hlm.13-14
[4]
Lihat: https://www.selasar.com/budaya/kondisi-riset-indonesia Diakses Senin 5
Oktober 2015 pukul, 22.20 WIB
[5]
Lihat: https://www.selasar.com/budaya/kondisi-riset-indonesia Diakses Senin 5
Oktober 2015 pukul, 22.20 WIB
[6] Lihat:
Rahardjo, “Ensiklopedi al-Qur’ān: Ilmu”, hlm. 57. Ungkapan Rosenthal tersebut
dikutip oleh Dawam dalam karya Rosenthal berjudul Knowledge Triumphant: The
Concept of Knowledge in Medieval Islam (Leiden: E.J. Brill, 1970).
[7] SMN.
Al-Attas, Islam dan Sekulerisme, Bandung: PIMPIN kerjasama ATMA UKM,
2010, hlm. 194
[8] SMN.
Al-Attas, Islam dan Sekulerisme, hlm. 194
[9]
Wan Mohd. Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam SMN al-Attas, hlm.
218. Hal ini bisa dilihat lebih mendalam di George Makdisi, The Rise of
College, Institution of Learning in Islam dan The West, UK: Edinburgh
University Press, 1981
[10]
Wan Mohd. Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam SMN al-Attas, hlm.
218
[11] SMN.
Al-Attas, Islam dan Sekulerisme, hlm. 195
[12]
SMN.
Al-Attas, Islam dan Sekulerisme, hlm. 181s
[13] SMN.
al-Attas, The Concept…, hlm. 38-39
[14] SMN.
al-Attas, The Concept…, hlm. 39
[15] SMN
al-Attas, The Concept ..., hlm. 39
[16] SMN
al-Attas, The Concept..., hlm. 41-42
No comments:
Post a Comment