Dalam satu kuliahnya, Dr. Abbas Mansur Tamam
menjelaskan bagaimana respon intelektual muslim menghadapi hegemoni ilmu yang
lahir dari peradaban barat. Bahwa antara Islam dan barat ada demarkasi sistem
keilmuwan yang berbeda terkait dengan filosofi, pandangan dan kebudayaan yang
melahirkan ilmu pengetahuan.
Dalam
buku The Postmodern Condition: a Report on Knowledge yang ditulis Jean
Francis Lyotard, mengungkapakan pemikirannya tentang kedudukan ilmu pengetahuan
pada abad ini, khususnya tentang cara ilmu diabsahkan melalui “naratif besar” (grand
narrative) seperti kebebasan, kemajuan dan emansipasi. Naratif besar
menurutnya telah mengalami nasib yang sama dengan naratif-naratif besar
sebelumnya seperti agama, negara bangsa, dan kepercayaan tentang keunggulan
barat. Dengan kata lain, dalam abad ilmiah ini, naratif-naratif besar itu
dipersoalkan tentang peranan dan tahap keshahihannya[1].
Sistem keilmuwan Barat berangkat dari
spekulasi-spekulasi filosofis yang berkembang ke arah materialisme dan ateisme.
Sedangkan Islam berangkat dari wahyu dan tauhid dan berakhir pada keimanan.
Abu
Hasan Ali an-Nadwy, dalam bukunya Kerugian
Dunia karena Kemunduran Umat Islam, menyebutkan bahwa Sistem tradisi
keilmuwan barat dilandasi oleh filsafat Yunani, sementara “Dalam Filsafat
Ketuhanan Yunani sedikit pun tidak disebutkan tetntang rasa khusyuk, berharap,
dan mengabdi pada Tuhan. Setiap agama yang membuang sifat yang semestinya
dimiliki oleh Tuhan seperti ikhtiar, berkuasa dan pencipta, berarti agama itu
tidak lebih hanyalah merupakan satu tradisi sakral belaka. Tuhan yang tidak
ditakuti, tidak disembah, dan tidak pula diharap pertolongan-Nya berarti sama
dengan tidak ada Tuhan”.[2]
Setelah
melalui fase Yunani, Barat kembali diguncang dengan pertentangan yang cukup
lama antara ilmu pengetahuan dan gereja setelah para ilmuwan dan dan ahli
filsafat mengalami siksaan, pemenjaraan, pengkafiran dan pengejaran.
Kebangkitan Barat jelas: watak filsafat Yunani dan kecenderungannya pada
materialis dan berhalais serta watak memusuhi agama dan pemimpin-pemimpinnya.[3] Pada akhirnya, meninggalkan trauma sejarah
yang melahirkan paham sekularisme[4].
Sebagai
respon atas kondisi sistem ilmu yang sekuler, intelektual muslim bangkit
menjelaskan watak sistem keilmuwan islam. Karena itu banyak didapati karya-karya
ulama yang mengkritik karakter keilmuwan barat. Jika barat dominan pada ilmu
ekonomi, politik dan tata Negara, serta kedokteran, ternyata asas-asas
keilmuwan tersebut sudah dibangung lebih dulu oleh para ilmuwan dan ulama
muslim. Kesadaran akan warisan intelektual yang kaya akan khazanah ilmu,
melahirkan disiplin ilmu alternatif, sebagai jawaban atas dominasi peradaban
barat yang sekuler.
Dalam
menjelaskan kuliahnya, Dr. Abbas mengumpamakan disiplin-disiplin ilmu itu dengan istilah ‘bayi’. Proses kelahiran
ilmu setidaknya memiliki kemiripan dengan fase kelahiran bayi. Jika bayi dalam
jangka waktu tertentu secara fisik dan psikis berkembang ke arah maturity atau kedewasaan, maka ilmu juga
berkembang ke arah yang sama.
Diantara
ilmu yang beliau sebutkan adalah ilmu ekonomi. Jika zaman sekarang sistem
ekonomi global berada aturan teori-teori ilmu yang dikembangkan Adam Smith[5]
(1723-1790), Hernando De Soto[6], David
Richardo[7]
(1772-1823), hingga Thomas Malthus[8]
(1766-1834), yang tidak lain merefleksikan pandangan sekuler Barat, maka ada
sistem ilmu ekonomi islam yang lahir dari ilmuwan-ilmuwan islam yang
teori-teorinya ekonominya terambil dari konsep-konsep hukum dan prinsip
muamalah islam.
Kata
beliau, ilmu ekonomi islam saat ini boleh dikata bukan lagi bayi. Ia telah
sampai pada derajat baaligh. Di mana,
tren masyarakat juga memperlihatkan dukungan untuk memilih sistem ekonomi islam
dibanding ekonomi konvensional. Terbukti atas berkembanganya Bank Syariah,
pengelolaan zakat yang produktif, sistem pembiayaan syariah, Baitul Maal wa
at-Tamlil dan lain sebagainya. Jika diibaraktkan mausia, disiplin ilmu ini
kemudian sudah bisa bertahan dalam konstruksi social masyarakat modern seperti
sekarang. Yang tersisa adalah pengembangan dan perluasan cakupan kajian dan
penerapannya dalam sistem kenegaraan dan keuangan global.
Disiplin
ilmu yang tidak kalah dengan ekonomi adalah pendidikan islam. Animo masyarakat
menunjukkan bagaimana sekolah-sekolah islam ternyata mampu bersaing dengan
sekolah umum. Dimulai dari sistem pendidikan tradisional seperti pesantren,
surau dan dayah, madrasah, sekolah islam terpadu, hingga ma’had atau sekolah
tinggi agama islam. Disiplin ilmunya pun mulai berkembang dari banyaknya karya
ulama tentang pendidikan. Alumni-alumni sekolah islam juga ternyata tidak
ketinggalan, bahkan justru lebih unggul[9]
dari sekolah umum. Meski ada beberapa kasus yang masih menunjukkan status
sekolah islam yang terpinggirkan.[10] Kualitas
pendidikan sekolah islam pun sudah bisa diandalkan, terbukti dari banyaknya
sekolah islam yang diakreditasi oleh Pemerintah. Dr. abbas melanjutkan, bahwa
jika disiplin pendidikan islam ini diibaratkan manusia, sistem keilmuwannya
sudah diakui dan bisa diandalkan untuk survive. Sehingga disiplin ilmu ini juga
sudah berada dalam fase baaligh.
Dimana ia sudah bisa bertanggungjawab atas dirinya sendiri.
Tidak
seperti dengan ekonomi dan pendidikan, ilmu politik islam (siyaasah syar’iyyah) memang telah lahir. Sebab ia sudah memiliki konsep-konsep
yang mapan dan teori-teori politik yang dikembangkan oleh para ulama dna
intelektual. Dan teorinya banyak dikaji dalam berbagai jurusan-jurusan hukum,
baik islam maupun konvensional. Hanya saja, keberterimaannya di masyarakat,
masih berada dalam status ‘dicurigai’. Dr. Abbas melanjutkan, bahwa disiplin
ilmu ini, seakan menjadi ‘anak haram’, yang lahir tanpa ada pengakuan
keabsahannya. Sebab, meski dikaji dalam sistem politik islam, implementasinya
masih sangat tabu di ruang publik. Apalagi isu-isu syariat masih menjadi di-phobia-kan oleh sebagian besar
masyarakat. Selain alasan ketidakpahaman, mungkin juga adalah benturan-benturan
yang masih cenderung kasar dengan sistem politik konvensional (sekuler). Selain
dari peran media yang juga banyak berpengaruh.
Diantara
dua anak tadi, ada sistem keilmuwan islam yang lahir belakangan. Sains Islam. Istilah
yang mungkin sangat baru di dunia akademik. Ya, ilmu ini masih sangat muda
sekali. Atau bahkan masih berumur jagung. Kelahirannya didasari sama dengan
latar belakang ilmu-ilmu yang sebelumnya disebutkan di atas. Jika ada ekonomi
serta politik yang lahir dari filsafat sekuler, maka apakah tidak mungkin ada
sains yang lahir dari filsafat islam ?.
Sains
apa ?, dan islam bagaimana ?. Sepertinya harus dibahas dipostingan berikutnya.
Secara
sederhana, sains islam adalah sains yang dilandaskan pada konsep tauhid. Osman
Bakar dalam bukunya Tauhid dan Sains, menyebutkan
"Dalam
mempraktikkan dan mengamalkannya (tauhid-pen), kaum muslim menghubungkan sains
dengan tauhid dengan cara memberikan berbagai ekspresi atau ungkapan bermakna
dalam teori maupun praktik kepada dua konsekuensi paling fundamental dari
tauhid, yakni prinsip kesatuan kosmis, khususnya kesatuan dunia alam, dan
prinsip kesatuan pengetahuan dan sains. Para saintis-filosof Muslim menjadikan
dua konsekuensi tersebut debagai fondasi maupun tujuan sains. Ketika mereka
berhasil memperluas cakrawala sains dengan menciptakan pengetahuan baru, mereka
semakin bertambah yakin pada kebenaran tujuan sains tersebut di atas. Melalui pembuktian
adanya kesaling-berkaitan seluruh bagian dari alam semesta yang diketahui,
mereka pun semakin yakin bahwa kesatuan kosmis membuktikan dengan jelas Keesaan
Allah (QS. Al-Anbiya’[21]: 22)."[11]
Hal
itulah yang membedakan titik tolak pandangan lahirnya sains antara islam dan
barat. Jika di Barat sains terus dikembangkan kea rah skeptisisme, maka islam berangkat
dari iman. Karena itu, Ismail al-Faruqi menjelaskan pentingnya menjaga konsep
dan definisi iman yang tidak boleh diganggu dengan istilah belief dan faith. Katanya,
istilah-istilah ini digunakan dalam pengertian umum dan mengandung implikasi
ketidakbenaran, kemungkinan, keraguan dan kecurigaan. Yang lebih tepat adalah yaqin, yang juga sinonim dari iman. Ia
menegaskan bahwa sebelum adanya yaqin,
orang mungkin menyangkal atau pun mempertanyakan kebenaran. Tetapi jika yaqin sudah ada, maka kebenaran adalah
sama kukuhnya dan sama meyakinkannya seperti kesaksian inderawi.[12]
Lebih
lanjut al-faruqi mempertegas makna iman bahwa iman secara mutlak bebas dari
keraguan yang bersumber pada kemungkinan, terkaan, dan ketidakpastian. Ia
bukanlah tindakan, bukan keputusan, bukan ketetapan hati untuk menerima, atau
menaruh kepercayaan kepada sesuatu yang tidak diketahui sebagai kebenaran,
suatu taruhan nasib, atau membeli kucing dalam karung. Iman adalah sesuatu yang terjadi dalam diri manusia ketika
kebenaran, faktualitas dari suatu objek terbuka bagi mata hatinya dan
meyakinkannya tanpa keraguan lagi akan kebenarannya.[13]
Ilmu
yang lahir dari konsep epistemologi ini masih menjadi bayi, masih dipandang
sebelah mata. Dan bahkan banyak yang pesimis akan keberlanjutan hidupannya di
masa datang. Akan tetapi, jika melihat dampak sains barat sekuler hari ini berupa
menyebarnya penyakit menular jenis baru, depresi masyarakat modern,
schizofenia, degradasi lingkungan, perang, kematian, alkoholisme,
penyalahgunaan obat, serta bertambahnya anak yang cacat mental, apa kita masih yakin
dengan sistem keilmuwan yang sekuler yang dikembangkan oleh Barat ?. [14]
Setidaknya,
Filsuf kontemporer, Umar Chapra member penjelasan tentang kasus kehancuran
serta tersebarnya ‘penyakit peradaban’ dimulai dari kekeliruan pemikiran. Kata beliau
awal persoalan itu ialah tidak tepatnya paradigma
yang digunakan dalam penyusunan kebudayaan Barat.[15]
Bagaimana
Paradigma itu ?. Kita lanjutkan bahasannya di postingan berikutnya. (Wallohu a’lam)
Bahan Bacaan
[1] Shaharom TM Sulaiman, Dunia
Pemikiran Intelektual, Kuala Lumpur: Institut Terjemahan dan Buku Malaysia
Berhad, 2013, hal. 8-9
[2] Abu Hasan Aly an-Nadwi, Kerugian
Dunia Karena Kemunduran Umat Islam, (Terjemahan: ‘Madza Khasir al-‘Alam bi-inhithaat
al-Muslimiin’), Surabaya:
PT Bina Ilmu, Tanpa Tahun, hlm. 180-181
[3] Musthafa as-Siba’iy, Sumbangan
Islam kepada Peradaban Dunia, Surabaya: Mutiara Ilmu, 1985, hlm. 12
[4] Adian Husaini, Wajah
Peradaban Barat, Jakarta: GIP, 2014, hlm. 39
[5] Ia menulis “The Wealth Of Nation” (1776), yang menyatakan bahwa kemajuan
manusia dan tatanan sosial suatu masyarakat akan tercipta apabila setiap
individu yang ada di dalamnya mengejar kepentingannya sendiri-sendiri.
[6] Mengarang buku berjudul “The Mysteri of Capital” yang memberi
masukan bagi disiplin ilmu ekonomi dan kegiatan ekonomi Negara-negara
berkembang. Soto adalah pendiri dan pemimpin Institute of Liberty and Democracy
(ILD), sebuah lembaga lembaga penelitian independent yang berada di Peru.
Majalah Economist menyatakan bahwa lembaga ini adalah pusat penelitian
terpenting kedua di dunia. Majalah Time memilih Hernando sebagai salah seorang
inovator terunggul dari Amerika Latin. Bukti menjelaskan mengapa Negara-negara
berkembang tidak pernah keluar dari berbagai masalah kemiskinan. (lihat: http://liliktokoh.blogspot.com/)
[7] Dia berkebangsaan Inggris yang
hidup di awal abad ke-18 yang sangat mementingkan peran dunia usaha untuk
bergerak dinamis guna menggerakkan perekonomian sebuah Negara. Buku yang
dikarangnya berjudul Principles of
Political Economy and Taxation (1817). David yakin bahwa dengan
bertambahnya modal adalah kunci dari pertumbuhan ekonomi bangsa, dan
satu-satunya cara untuk mewujudkan hal itu dengan mendorong sektor produksi
untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. (lihat: http://liliktokoh.blogspot.com/)
[8] Dalam An Essay on the Principle of Population (Sebuah Esai tentang
Prinsip mengenai Kependudukan), yang pertama kali diterbitkan pada 1798,
Malthus membuat ramalan yang terkenal bahwa jumlah populasi akan mengalahkan
pasokan makanan, yang menyebabkan berkurangnya jumlah makanan per orang. (Case
& Fair, 1999: 790). Ia bahkan meramalkan secara spesifik bahwa hal ini
pasti akan terjadi pada pertengahan abad ke-19, sebuah ramalan yang gagal
karena beberapa alasan, termasuk penggunaan analisis statisnya, yang
memperhitungkan kecenderungan-kecenderungan mutakhir dan memproyeksikannya
secara tidak terbatas ke masa depan, yang hampir selalu gagal untuk sistem yang
kompleks. (lihat: https://id.wikipedia.org/wiki/Thomas_Malthu)
[9] Lihat: Siswa Athirah berhasil
meraih meda li Perak dalam bidang Matematika untuk tingkat SMP, dan Medali
Perunggu dibidang Matematika tingkat SD serta Medali Perunggu di bidang
Geografi untuk tingkat SMA.
(http://makassar.tribunnews.com/2015/05/25/syukuran-prestasi-sekolah-islam-athirah)
[10] Sebuah ironi dalam dunia
pendidikan kembali terjadi di Kabupaten Semarang. Tiga Madrasah Ibtidaiyah (MI)
yang berhasil menjuarai Olimpiade Sains Nasional (OSN) tak bisa maju ke tingkat
provinsi. Ketiga MI tersebut adalah MI Al Bidayah di Desa Candi, Kecamatan
Bandungan juara pertama mata pelajaran (mapel) matematika, MI Wonokasihan Jambu
juara pertama mapel IPA dan MI Kalirejo, Ungaran Timur, sabet juara ketiga
mapel IPA. Pihak penyelenggara, dalam
hal ini Dinas Pendidikan Kabupaten Semarang beralasan, petunjuk teknis dari
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar menyatakan bahwa OSN tingkat provinsi
hanya untuk sekolah dasar (SD). (Lihat:
http://regional.kompas.com/read/2015/03/09/20071861/Gara-gara.Statusnya.Madrasah.Juara.Olimpiade.Sains.Dibegal.Maju.ke.Provinsi)
[11] Osman Bakar, Tauhid dan Sains, Bandung: Pustaka Hidayah, 2008, hlm. 30
[12] Lihat QS. At-Takasur [102]: 5-7.
Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid,
Bandung: Pustaka, 1995, hlm. 41
[13]
Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid…, hlm. 42
[14] Lihat Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Cet. Ke-18, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2010, hlm.262-263
[15]
Lihat Ahmad Tafsir, Filsafat…, 263
No comments:
Post a Comment