Dan Allah
telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan
amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa
dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka
berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah
diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka,
sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap
menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan
barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah
orang-orang yang fasik.
(QS. An-Nur: 55)
Islam yang
diturunkan sebagai dÊn, sejatinya telah memiliki konsep seminalnya
sebagai peradaban. Sebab kata dÊn itu sendiri telah membawa makna
keberhutangan, susunan kekuasaan, struktur hukum, dan kecenderungan manusia
untuk membentuk masyarakat yang mentaati hukum dan mencari pemerintah yang
adil.[1]
Artinya dalam istilah dÊn itu tersembunyi suatu sistem kehidupan. Oleh
sebab itu ketika dÊn (agama) Allah yang bernama Islam itu telah
disempurnakan dan dilaksanakan di suatu tempat, maka tempat itu diberi nama MadÊnah.[2]
Dari akar kata dÊn dan MadÊnah ini lalu dibentuk akar kata baru madana,
yang berarti membangun, mendirikan kota, memajukan, memurnikan dan
memartabatkan.[3]
Dari akar kata madana
lahir kata benda tamaddun yang secara literal berarti peradaban (civilization)
yang berarti juga kota berlandaskan kebudayaan (city base culture) atau
kebudayaan kota (culture of the city). Di kalangan penulis Arab,
perkataan tamaddun digunakan – kalau tidak salah – untuk pertama kalinya
oleh Jurji Zaydan dalam sebuah judul buku TÉrÊkh al-Tamaddun al-IslÉmÊ (Sejarah
Peradaban Islam), terbit 1902-1906. Sejak itu perkataan Tamaddun
digunakan secara luas dikalangan umat Islam. Di dunia Melayu tamaddun
digunakan untuk pengertian peradaban. Di Iran orang dengan sedikit berbeda
menggunakan istilah tamaddon dan madaniyat. Namun di Turkey orang
dengan menggunakan akar madÊnah atau madana atau madaniyyah
menggunakan istilah medeniyet dan medeniyeti. Orang-orang Arab
sendiri pada masa sekarang ini menggunakan kata haÌÉrah untuk peradaban,
namun kata tersebut tidak banyak diterima ummat Islam non-Arab yang kebanyakan
lebih menyukai istilah tamaddun. Di anak benua Indo-Pakistan tamaddun
digunakan hanya untuk pengertian kultur, sedangkan peradaban menggunakan
istilah tahdhÊb. [4]
Sedangkan dien, menurut Munawar Kholil merupakan mashdar dari
kata kerja Dana-Yadiinu, yang berarti Cara; Adat kebiasaan; Budaya;
Peraturan; Undang-undang; Ketaatan atau kepatuhan; Meng-esakan Alloh;
Pembalasan; Perhitungan; Pengadilan; Hari kiamat; Hari menegakkan keadilan;
Nasihat, Kecintaan; Ketaatan; Agama.[5]
Dari penjelasan di atas terungkap
bagaimana bidang semantika antara peradaban, kota, kemajuan, dan konsep
keyakinan menjadi satu sistem yang terkait. Bahwa kemajuan struktur social-ekonomi-politik
sangat ditentukan bagaimana konsep worldview
yang mendasarinya.
Cara hidup yang khas jika ditinjau
lebih mendalam lahir dari pandangan hidup (mafahim
‘an al hayah) yang khas, sebab cara hidup manusia tergantung sepenuhnya
kepada pandangan hidup yang dianutnya. Karena itu, secara lebih spesifik,
peradaban dapat didefinisikan pula sebagai “sekumpulam pandangan tentang
kehidupan” (majmu’ al mafahim ‘an al
hayah)[6].
Pandangan hidup inilah yang kemudian diwujudkan oleh manusia dalam
kehidupannya, yakni dalam berbagai interaksi yang dilakukannya dalam berbagai
aspek kehidupan, seperti politik, ekonomi, budaya, sosial, dan sebagainya. Dari
sini dapat dipahami bahwa pandangan hidup yang khas dengan sendirinya akan
melahirkan peradaban yang khas pula, yang berbeda dengan peradaban lainnya.
Peradaban Barat (al hadharah al gharbiyah)
misalnya, akan berbeda dengan peradaban Islam (al hadharah al islamiyah) dan akan berbeda pula dengan peradaban
sosialisme (al hadharah al isytirakiyah).
Dalam mengungkapkan apa cirri khas
peradaban Islam, Mustafa as-Siba’i menulis sebuah buku, yang berjudul Min Rawaa’i’ Hadhaaratinaa. Beliau
mengungkapkan faktor-faktor yang menjadi keunikan peradaban islam. Salah satu
diantaranya adalah Tauhid sebagai landasan pembangunannya. Beliau
mengistilahkannya dengan prinsip wahdaniah
(kesatuan) yang dibangun di atas ungkapan iyyaaka
na’budu wa iyyaaka nasta’in.[7]
Ketinggian dalam memahami wahdaniah
ini mempunyai pengaruh besar dalam mengangkat martabat manusia, dalam
membebaskan rakyat jelata dari kezaliman raja, pejabat, bangsawan dan tokoh
agama. Tidak itu saja, tapi wahdaniah ini juga berpengaruh besar dalam
meluruskan hubungan antara penguasa dan rakyat, dalam mengarahkan pandangan
hanya kepada Allah semata sebagai pencipta mahkluk dan Robb adalah Islam yang
hampir membedakannya dari seluruh peradaban baik yang telah berlalu maupun yang
akan datang, yakni kebebasannya dari setiap fenomena paganisme (paham keberhalaan)
dalam aqidah, hukum, seni, puisi dan sastra. Inilah rahasia yang membuat
peradaban Islam berpaling dari penerjemahan mutiara-mutiara sastra Yunani yang
paganis (keberhalaan), dan ini pula yang menjadi rahasia mengapa peradaban
Islam lemah dalam seni-seni pahat dan patung meskipun menonjol dalam seni
seni-seni ukir dan desain bangunan.[8]
Sangat tepat bahwa Peradaban Islam dibangun
di atas sistem keyakinan yang kokoh sehingga, struktur sosialnya terus
berkembang. Peradaban Islam bukan menolak seni bangunan dan ukiran, melainkan memberi
perhatian yang tepat pada aspek pengembangan jiwa.
Itulah sebabnya, berdasarkan
analisis Intelektual Muslim, Malik Bin Nabi, dalam Syuruuf al-Nahdhah, bahwa sebuah peradaban akan terus menanjak jika
yang menjadi panglimanya adalah ruh. Dengan
ruh, peradaban menjadi bersih dan tak terkotori. Pada masa inilah peradaban dianggap
mencapai puncak yang sebenarnya.[9] Kenyataan
tersebut dapat kita lihat bagaimana Asas Peradaban Islam dibangun di zaman Nabi
Shallallahu alaihi wasallam dan dilanjutkan ke masa Khulafa ar-Raasyidhin.
Struktur sosial masyarakat Madinah
pasca Kekuasaan Islam bisa menjadi rujukan, bagaimana peradaban itu dibangun. Peradaban
yang lahir dari keshalihan individu-individu. Sehingga perangkat hukum, ekonomi
dan politik berjalan beriringan dengan kemajuan tatanan sosial.
Supremasi Hukum berjalan dengan keadilan.
Kita bias melihat dalam kasus di mana seorang Muslim yang berselisih dengan
Yahudi. Mereka mengadukannya kepada Nabi dan terbukti bahwa yang memenangi
perkara adalah sang Yahudi. Maka ia pun diberikan haknya. Sistem Ekonomi yang
berjalan dengan stabil. Di mana sudah terdapat konsensus, bahwa para
pedagang-pedagang muslim adalah mereka yang memahami fiqh muamalah. Sehingga mereka bisa menjalankan roda ekonomi
berdasarkan prinsip ekonomi islam. Begitu pula politik. Ada Piagam Madinah yang
menjadi rujukan bagaimana hak dan kewajiban masyarakat yang plural dan
heterogen. Mayoritas melindungi minoritas. Minoritas menjaga kewajiban untuk
menghormati hak-hak mayoritas.
Sangat berbeda dengan kondisi
Peradaban Dunia hari ini yang didominasi oleh hegemoni pemikiran Barat. Ada ketimpangan
pembangunan manusia dan pengelolaan sumber daya alam. Dan tidak sedikit intelektual
Barat yang justru mengkritik kebijakan-kebijakan negara Barat sendiri.
Ada yang menarik dalam pengantar kumpulan
tulisan On Islamic Civilization karya
Prof. La Ode Kamaluddin. Beliau mengungkapkan dua fakta tersembunyi tentang
kemajuan Peradaban Barat. Tentang kisah tragis kematian Prof. Ehrenfest yang
meninggal bunuh diri bersama anak dan istrinya. Seorang Profesor pemuja akal,
rasio dan ilmu pengetahuan Amsterdam. Sahabatnya, Konhstamm merekamnya dalam catatan
yang dipublikasikan di Majalah Paedagogische
Studien (1935). Begitu pula Ratu
Kecantikan, Marilyn Monroe karena ditemukan tewas mengenaskan di ranjang
rumahnya dengan pil tidur yang berserakan di sekitarnya. Ia mengakhiri di 36
tahun hidupnya dengan menenggak pil tidur hingga over dosis, 5 Agustus 1962 di
bilngan Brentwood, Los Angeles.
Prof. La Ode Kamaluddin pun menjelaskan
bagaimana pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi dan tidak sejalan dengan
pembangunan manusia. Pembangunan di arahkan pada apa yang bisa dihasilkan manusia
(produktivitas karya dan kerja) dan bukan diarahkan pada pembangunan manusia
itu sendiri. Prof. Kamaluddin menyebutkan bahwa ada ketidak-seimbangan pada
seluruh lingkup dimensi kehidupan. Psikologi, sosial, ekonomi dan budaya.
Hingga Peradaban Barat hanya menambah daftar panjang ketidaknyamanan, stress
dan depresi yang berlarut-larut dalam kehidupan manusia. Puncaknya adalah
bertambahnya dua daftar kematian tragis seperti di atas. Michael Jackson, Curt
Cobain, Dale Cargnie, Jess Livermore, Leon Fraster, Ivan Kreuger, Nietzche,
Kiekegard, adalah orang-orang yang hidup tanpa pandangan ketuhanan.
Islam telah memberikan pandangan
yang jelas dan terang tentang hidup. Sejak kemunculannya, Islam telah
menyatakan Perang terhadap segala bentuk ateisme dan paganisme (keberhalaan)
dan fenomena-fenomenanya yang tidak mengizinkan peradabannya disusupi dengan
fenomena-fenomena paganis dan sisa-sisanya terus ada zaman sejarah paling kuno,
seperti patung orang-orang besar, orang shalih, nabi maupun penakluk.
Patung-patung itu termasuk fenomena paling menonjol dari peradaban-peradaban
kuno dan peradaban modern karena tidak satu pun dari peradaban-peradaban itu
dalam aqidah wahdaniah (monotisme) mencapai batas yang telah dicapai oleh peradaban
Islam.[10] (Wallohu a’lam bi as-Shawaab)
Bahan Bacaan
[1] Lihat Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, (ISTAC, 1995, hlm.
43-44) dalam Hamid Fahmi Zarkasy,
Membangun Peradaban Islam, hlm. 2
[3] Ibn ManÐËr.
LisÉn al-‘Arab al-MuÍÊÏ. (Beirut: DÉr al-Jayl & DÉr LisÉn al-'Arab, 1988)
jilid13; hlm. 402
[4]
Hamid Fahmi Zarkasy,
Membangun Peradaban Islam, (Makalah), hlm. 2-3
[5]
Budi Suherdiman Januardi, hiijrah dan Membangun
Peradaban Islam, (monograf), hlm. 3
[6]
Lihat An Nabhani dalam Muhammad Shiddiq al-Jawi, Membangun Peradaban Islam; Tinjauan Fiqh Siyaasah, (makalah), hlm.
1
[7] Lihat Ibn
Qayyim, Madarij as-Salikin baina
al-Manzil Iyyaaka na’budu wa iyyaka nasta’in (terjemahan MADARIJUS-SALIKIN Penjabaran Kongkrit ''Iyyaka Na'budu Wa Iyyaka
Nasta'in" Penerjemah: Kathur Suhardi), Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999, hlm.
43. Ibn Qayyim menjelaskan bagaimana posisi iyyaka
na’budu wa iyyaka nasta’in tersebut, bahwa Rahasia penciptaan, perintah,
kitab-kitab, syariat, pahala dan siksa terpusat pada dua penggal kalimat ini,
yang sekaligus merupakan inti ubudiyah dan tauhid. Sampai-sampai ada yang
mengatakan bahwa Allah menurunkan seratus empat kitab, yang makna-maknanya
terhimpun dalam Taurat, Injil dan Al-Qur'an. Makna-makna tiga kitab ini
terhimpun di dalam Al-Qur'an. Makna-makna Al-Qur'an terhimpun dalam surat-surat
yang pendek. Makna-makna dalam surat-surat yang pendek terhimpun dalam surat
Al-Fatihah. Makna-makna Al-Fatihah terhimpun di dalam iyyaka na'budu wa
iyya-ka nasta'in. Dua kalimat ini dibagi antara milik Allah dan milik
hamba-Nya. Separuh bagi Allah, yaitu iyyaka na'budu, dan separuh lagi bagi
hamba-Nya, yaitu iyyaka nasta'in.
[8]
Mustafa as-Siba’I, Peradaban Islam, tt,
hlm. 25
[9]
Lihat Pengantar Samson Rahman, dalam Muhammad Ali al-Shalabi, Bangkit dan
Runtuhnya Khilafah Turki Utsmani, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2011, hlm. ix
[10]
Mustafa as-Siba’I, Peradaban Islam, tt,
hlm. 25
No comments:
Post a Comment