“Apakah kamu
yakin bahwa Tuhan itu ada?”, kata seorang pemateri.
“Yakin”,
jawab kami serentak.
“Apa
buktinya ?”. Pemateri bertanya kembali.
“Ya… adanya
langit, bumi, bintang, dan kita semua. Karena kita adalah ciptaannya”, jawab kami
kembali.
“Kenapa
kalian bisa yakin bahwa yang menciptakan itu adalah Tuhan ?. Kan bisa saja itu
tercipta dengan sendirinya. Tidak ada bukti yang jelas itu diciptakan oleh
Tuhan”. Kata pemateri kembali menyudutkan.
Dialog
seperti itu terjadi ketika saya masih SMP. Sebuah pelatihan yang diadakan oleh
mahasiswa yang sedang menjalani program KKN (Kuliah Kerja Nyata) membuat banyak
siswa yang masih seperti anak ayam disuguhi pertanyaan-pertanyaan bak biji
jagung. Tentulah anak ayam yang baru berumur seminggu tidak akan bisa mencerna
biji jagung yang dihidangkan untuknya.
Sebenarnya,
perbincangan tentang kebenaran dan siapa yang benar sudah berlangsung bukan
saja sejak zaman yunani Kuno, akan tetapi sejak manusia. Dialog Iblis dengan
Allah, bersama malaikat sudah membuktikan. Jangankan argument manusia yang
memiliki kemungkinana diterima atau ditolak, argument sang Pemilik al-Haqq
sendiri berani ada yang mengadu logika padanya.
Hingga kini, sudah tidak berbilang lagi berapa diskusi, dialog bahkan
debat yang diadakan untuk menunjukkan kebenaran. Antaragama, iman, dan aliran kepercayaan.
Dalam sebuah
kesempatan lain, saat mahasiswa baru saya kembali mendapati
pertanyaan-pertanyaan yang persis dengan pertanyaan di atas.
“Apa itu
ada?”
“Ada itu
bisa diindera”
“Berarti
Tuhan tidak ada, karena Tuhan tidak bisa diindera”
Kalimat itu
banyak mengunci mati mulut para Maba yang datang dengan kapasitas berpikir yang
masih rendah. Logika-logika ilmu yang dipelajari di SMA tidak mampu menjawab
pertanyaan-pertanyaan filosofis. Apalagi jika pertanyaannya mengguncang basis
keyakinan dan kesadaran yang sudah lama dianut.
Beberapa
bulan yang lalu, saya juga sempat bertemu di dunia maya dengan seorang yang
tidak mengakui islam dengan alasan hukum poligami. Menurutnya poligami tidak
sesuai dengan prinsip keadilan. Menguntungkan pihak lelaki dan merugikan
wanita. Selain itu juga sempat diperbincangkan tentang posisi sains dan agama. Yang
menurutnya sains berdiri sendiri dan agama berdiri sendiri. Keduanya tidak bisa
saling mencampuri. Yang ada adalah saling melengkapi. Agama tidak akan bisa
menghasilkan penemuan teknologi seperti internet, satelit dan pesawat, karena
menurutnya agama hanya melingkupi basis keyakinan transendental yang tidak bisa
dijelaskan secara logis. Kerja-kerja logika diserahkan kepada akal sepenuhnya, adapun
hati, perasaan dan keyakinan diserahkan kepada agama.
Saya tidak
ragu dengan apa yang ia tuliskan. Karena memang, secara latar belakang, orang
yang saya temani berdiskusi itu adalah seorang Kristiani. Bagi saya, memang
sangat wajar konstruksi keilmuwannya yang dikotomistik antara iman dan ilmu.
Sebab agama nasrani sepenuhnya adalah dogma. Tragedi penyiksaan dan politik
inquisisi Gereja atas para ilmuwan di zaman Dark
Age[1],
sudah menunjukkan bagaimana ilmu dan iman adalah dua hal yang bertentangan.
Itu sangat
berbeda dengan tradisi keilmuwan islam. Kelahiran islam sebagai agama, justru
mendorong pengembangan ilmu. Bahkan Islam, tidak bisa dimaknai dengan agama
dalam definisi keyakinan tentang Tuhan (Teologi),
akan tetapi Islam adalah manhaj al-hayah.
Hal itu bisa dibuktikan dari bagaimana islam memberi jawaban-jawaban alternatif
atas seluruh problematika manusia dan alam.
Dengan
konstruksi ajaran yang demikian, islam berkembang bersamaan dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan. Dan setiap kitab para ulama, hampir didapati bab
tentang fadhilatu al-‘ilm. Dalam
wahyu pertama turun sudah menunjukkan betapa islam adalah ajaran yang mencintai
ilmu pengetahuan. “Iqra!”, bacalah!.
Jika kita bertanya, mengapa Malaikat Jibril menyuruh Nabi membaca. Dan jawaban
Nabi “Maa ana bi Qaari’” (saya tidak
bisa membaca), bukan “bi maa aqra’?”,
apa yang saya harus baca?. Karena Jibril datang tanpa teks yang diperintahkan
untuk dibaca. Para ulama sudah menjelaskan bagaimana peran iqra’ sebagai tonggak peradaban. Di masyarakat berbagai macam LSM
yang bergerak untuk membudaya-bacakan masyarakat.
Untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan samar-samar
seperti di atas, yang harus dipahami oleh seorang muslim adalah tentang prinsip
ilmu itu sendiri. Sebab, epistemologi ilmu yang dikembangkan di seluruh
universitas dan sekolah adalah epistemologi problematis. Kita diajarkan untuk yakin
secara iman bahwa adam adalah manusia
pertama[2].
Di sisi yang lain kita juga diajarkan agar percaya secara sains, bahwa manusia berasal dari ‘Kera’[3].
Jika kita gunakan nalar sehat, tidak mungkin kebenaran bernilai dua sisi
sekaligus seperti ini. Pasti ada satu yang benar diantaranya.
Untuk
itu, Dr. Nirwan Syafrin, Alumnus ISTAC Malaysia, dalam sebuah kuliahnya
menyelesaikan paradigma dikotomik demikian dengan pendekatan makna syahahadat.
Kata
beliau, dalam Islam, iman dan ilmu bukan dua entitas yang saling
menegasikan, tapi keduanya saling berkaitan. Iman[4]
adalah konotasi dari ilmu. Demikian
halnya sebaliknya. Hal ini bisa dibuktikan dari kalimat tauhid itu sendiri, “asyhadu an la ilaha illa Allah”. Saya
bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah. Dari sini kita
bisa memahami bahwa Syahadah berarti kesaksian yang dibangun atas kesaksian
inderawi atau ilmu.
Ar-Raghib
al-Asfahani menyebutkan, ”شهد: الشهود و الشهادة
الحضور مع المشاهدة إما بالبصر أو بالبصيرة[5]
Syahd : Kesaksian dan persaksian atas apa
yang ada bersama dengan penglihatan, baik dengan mata kepala atau dengan ilmu.
Dalam
defenisi ringkas di atas, makna syahadah
telah meliputi dua hal. Kesaksian atas kehadiran diri pada apa yang disaksikan,
baik dengan indera maupun dengan penglihatan mata hati[6]. Jadi
syahadat telah built-in dengan
persaksian indera dan jiwa.
Demikian
halnya dengan bahasa inggris. Syahadah dapat diartikan dengan ‘Muayanah’,
didefinisikan:
1.
Testimony: “a fact or situation that shows or proves
something very clearly”
2.
Testify : “to be a clear sign that
something is true”
3. Witness: “someone who sees a crime or
an accident and can describe what happened”
Dalam tiga
definisi di atas, bisa disimpulkan bahwa syahadah,
berarti sesuatu yang sangat jelas yang menunjukkan sesuatu itu benar. Sederhananya,
jika kita pernah mengalami kecurian. Uang atau HP kita hilang di kamar kos.
Namun sebelum hilangnya, kita pernah melihat seseorang yang selalu
mondar-mandir di depan kamar kos kita. Dan di jam diperkirakan hilang, tetangga
kos kita melihat orang tersebut keluar dari kamar kos kita, saat kita berada di
luar. Tidak ada yang bisa melihat langsung tangan siapa yang mengambil uang
atau HP kita saat berpindah, namun dari bukti-bukti yang kita susun, kronologi
dan logika kita mengerucut pada satu orang tersebut. Itu berarti kita telah
yakin akan ‘kebenaran’, bahwa dia-lah sang pelakunya.
Demikian
halnya dengan syahadah. Sesuatu yang benar tidak mesti dibuktikan dengan indera
penglihatan (kasat mata). Justru argumen bashirah,
justru lebih kuat dibanding argumen indera yang terbatas. Apalagi bashirah yang dibimbing dengan wahyu.
Untuk itu
kita perlu memperjelas, apa sumber-sumber ilmu dalam islam. Karena ilmu dan
kebenaran tentu memiliki sumber yang jelas yang tidak kalah pentingnya dengan
ilmu itu sendiri. Insya allah dalam Postingan berikutnya. (Wallohu a’lam bi as-Shawab).
[1] The Dark Ages adalah periodisasi
sejarah digunakan awalnya untuk Abad Pertengahan, yang menekankan kerusakan
budaya dan ekonomi yang konon terjadi di Eropa Barat setelah Kemunduran
Kekaisaran Romawi. Penggunaan istilah tradisional cahaya-versus-kegelapan untuk menggambarkan perbedaan
mencolok antara "kegelapan" periode dengan sebelumnya dan periode
selanjutnya. Periode ini ditandai relatif oleh kelangkaan catatan sejarah untuk
beberapa wilayah Eropa. Istilah "Dark Age" berasal dari obscurum Saeculum Latin, awalnya
diterapkan oleh Caesar Baronius pada tahun 1602 untuk periode penuh gejolak di
abad 10 dan 11. (lihat: https://en.wikipedia.org/wiki/Dark_Ages_(historiography))
[2] Adam dalam sebagian tafsir
adalah Makhluk pertama yang diciptakan
[3] Makhluk Hominid
[4]
Konsep iman telah digariskan
dalam Islam. Imam Ibn Qayyim menjelaskan bahwa iman itu memiliki bentuk zhahir
dan bentuk batin. Bentuk zhahir iman adalah perkataan dengan lisan dan perbuatan
dengan anggota badan, sedangkan bentuk bathin iman adalah pembenaran,
ketundukan dan kecintaan hati. Iman merupakan jantung dan inti sari Islam,
sedangkan keyakinan merupakan jantung dan in sari iman. Setiap ilmu dan amal
yang tidak menambah kuatnya iman dan keyakinan adalah ilmu dan amal yang cata,
setiap iman yang tidak membangkitkan amal adalah iman yang cacat. (Lihat Ibn Qayyim
al-Jauziyyah, Meraih Faidah Ilmu
(terjemahan: Fawaid al-Fawaid), cet.
II, Jakarta: Darus Sunnah Press, 2012, hlm. 269)
[5] Al-asfahani, Al-Mufradaat bi Ghriibil Qur’an dalam
File Presentasi Dr. Nirwan Syafrin, slide 10
[6] Untuk memperjelas, kita dapat
merujuk pada makna dan tafsir dari ayat-ayat al-Qur’an berikut:
1.{إِنَّ فِي خَلْقِ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي
الْأَلْبَابِ، الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى
جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا
خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ} [آلِ عِمْرَانَ:
190-191]
2.{سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي
الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ}
3.وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ
تُحْيِي الْمَوْتَى قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لِيَطْمَئِنَّ
قَلْبِي قَالَ فَخُذْ أَرْبَعَةً مِنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ
اجْعَلْ عَلَى كُلِّ جَبَلٍ مِنْهُنَّ جُزْءاً ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ
سَعْياً وَاعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (البقرة: 260)
No comments:
Post a Comment