KEPADA SAUDARAKU M. NATSIR [1]
Meskipun bersilang keris di leher
Berkilat pedang di hadapan matamu
Namun yang benar kau sebut juga benar
Cita Muhammad biarlah lahir
Bongkar apinya sampai bertemu
Hidangkan di atas persada nusa
Jibril berdiri sebelah kananmu
Mikail berdiri sebelah kiri
Lindungan Ilahi memberimu tenaga
Suka dan duka kita hadapi
Suaramu wahai Natsir, suara kaum-mu
Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi
Ini berjuta kawan sepaham
Hidup dan mati bersama-sama
Untuk menuntut Ridha Ilahi
Dan aku pun masukkan
Dalam daftarmu……!
(Puisi
yang ditulis oleh Prof. Hamka secara khusus untuk Pak Natsir, 13 Nov 1957 setelah mendengar uraian pidato
Pak Natsir dengan tegas menawarkan kepada Sidang Konstituante agar menjadikan
islam sebagai dasar negara RI )
Mohammad Natsir, adalah
seorang tokoh yang sangat sederhana. Lahir di Alahan Panjang, Lembah Gumanti,
kabupaten Solok, Sumatera Barat tepatnya pada tangga 17 Juli 1908 ia merupakan
anak dari pasangan Mohammad Idris Sutan Saripado serta Khadijah. Ia mempunyai 3
orang saudara kandung, yang bernama Yukinan, Rubiah, serta Yohanusun. Jabatan
ayahnya yaitu pegawai pemerintahan di Alahan Panjang, sedang kakeknya adalah
seorang ulama. Ia nantinya akan menjadi pemangku kebiasaan atau adat untuk
kaumnya yang berasal Maninjau, Tanjung Raya, Agam dengan gelar Datuk Sinaro nan
Panjang.[2]
Sepanjang
hidupnya Mohammad Natsir dikenal tidak mempunyai pakaian bagus, jasnya pun
banyak tambalan. Dia dikenang sebagai menteri yang tidak mempunyai rumah serta
menampik di beri hadiah mobil elegan. Mohammad Natsir disebutkan menampik mobil
Chevrolet Impala ketika diberikan. Walau sebenarnya, di tempat tinggalnya dia
cuma mempunyai mobil tua merk De Soto. Itulah Artikel mengenai biografi
Mohammad Natsir yang dikenal sebagai pahlawan bangsa Indonesia dan juga Tokoh
penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Semoga Biografi ini bisa bermanfaat dan
memberi inspirasi bagi Pembaca.[3]
Natsir mulai
mengenyam pendidikan selama dua tahun di Sekolah Rakyat Maninjau, kemudian ke
Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Padang. Selama beberapa bulan bersekolah
disana ia kemudian pindah ke Solok dan dititipkan dirumah saudagar yang bernama
Haji Musa. Tak hanya belajar di HIS di Solok pada siang hari, ia juga belajar
pengetahuan agama Islam di Madrasah Diniyah saat malam hari. Ia kemudian pindah
setelah tiga tahun ke HIS di Padang bersama-sama kakaknya. Kemudian tahun 1923,
ia meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) lalu
kemudian ia pun bergabung dengan perhimpunan-perhimpunan pemuda seperti Pandu Nationale
Islamietische Pavinderij serta Jong Islamieten Bond. [4]
Usai menamatkan
MULO, pada tahun 1927 Natsir pergi ke bandung dan melanjutkan pendidikan
formalnya di AMS (Algemene Middlebare School).
Di sinilah Natsir mulai berkenalan dengan pergaulan yang lebih meluas. Baik
pergaulan fisik dengan multi etnis maupun secara intelektual dengan beragam pemikiran
yang berkembang di waktu itu. Di AMS ini pula Natsir mendapat nilai tertinggi
dalam bahasa latian: 10. Dengan bekal kemampuannya berbahasa asing, seperti
Arab, Belanda, Jerman, Inggris, Latin dan Perancis, Natsir bisa mengakses ilmu
pengetahuan dengan basis bahasa-bahasa tersebut. KArena itu, di usianya yang
masih belia, 21 tahun, Natsir sudah fasih menjelaskan peradaban dunia yang
berbasis pada Islam, Romawi, Yunani dan Barat.[5]
Di tahun 1928
hingga 1932, ia kemudian menjadi ketua Jong Islamieten Bond (JIB) Bandung. Ia
juga jadi pengajar setelah menerima pelatihan sebagai guru selama dua tahun di
perguruan tinggi. Ia yang sudah memperoleh pendidikan Islam di Sumatera Barat
pada mulanya juga memperdalam pengetahuan agamanya di Bandung, termasuk juga
dalam bidang tafsir Al-Qur'an, hukum Islam, serta dialektika. Kemudian di tahun
1932, Natsir berguru pada Ahmad Hassan, yang nantinya akan menjadi tokoh
organisasi Islam Persatuan Islam. [6]
Karier politik
Natsir pasca kemerdekaan diawali sebagai anggota Komite Nasional Indonesia
Pusat (KNIP), yang berlangsung dari tahun 1945-1946. Kemudian menjadi Menteri
Penerangan Republik Indonesia pada Kabinet Syahrir ke-1 dan kabinet Hatta-1.
Dari tahun 1949 sampai 1958 ia diangkat menjadi Ketua Masyumi, hingga partai
ini dibubarkan. Puncak karier Natsir dalam bidang politik terjadi ketika Natsir
terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan dari tahun
1956-1957, ia menjadi anggota Konstituante Republik Indonesia.[7]
Tampilnya Natsir di puncak pemerintahan, tidak terlepas dari langkah
strategisnya dalam mengemukakan mosi integral pada sidang parlemen republik
Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 3 april 1950.[8]
Mohammad Hatta yang menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia pada waktu itu
mendorong keseluruhan pihak untuk berjuang dengan tertib dan sangat merasa
terbantu dengan adanya mosi ini. Mosi ini memulihkan keutuhan bangsa Indonesia
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang pada mulanya berupa serikat[9].
Bagaimana
kronologisnya ?. Waktu itu ada 16 negara kecuali R.I. diciptakan Belanda yang
tergabung dalam Negara Indonesia Serikat yang sudah merdeka dan berdaulat. Tinta
pengakuan kemerdekaan belum kering sudah ada sebuah kabupaten Malang, pada
tanggal 30 Januari 1950, menyatakan keluar dari Negara Jawa Timur, ciptaan Van
Mook dan menggabungkan diri dengan Republik Jogya. Tindakan ini segera disusul
oleh Kabupaten Sukabumi, kotapraja Jakarta Raya, Sulawesi Selatan. Kalau hal
yang demikian itu dibiarkan berjalan terus, akan menjadi kosong negara
Indonesia Serikat. Mohammad Natsir tidak mau melihat Soekarno dan Hatta menjadi
Presiden dan Wakil Presiden dari satu federasi yang kosong. Dalam sebuah
potongan pidato Mosi Integralnya, Beliau menegaskan “…Semuanya itu diliputi
oleh suasana nasional dengan arti yang tinggi serta terlepas dari soal atau
paham unitarisme, federalisme dan
propinsionalisme.”[10]
Berkali-kali
Muhammad Natsir menyelamatkan Republik Indonesia dan ancaman perpecahan. Beliau
pada tahun 1949 berhasil membujuk Syafruddin Prawiranegara, yang bersama
Sudirman merasa tersinggung dengan perundingan Roem-Royen, untuk kembali ke
Yogyakarta. Muhammad Natsir juga berhasil melunakkan hati tokoh Aceh, Daud
Beureuh,yang menolak bergabung dengan Sumatera Utara pada tahun 1950. Hal ini
terutama karena keyakinan Daud Beureuh akan kesalehan Natsir, sikap pribadi
yang tetap dipegang teguh sampai akhir hayatnya.[11]
Natsir mengajukan
mosi agar yang sedang berjalan itu disalurkan menurut hukum dan dihindarkan
perpecahan. Akhirnya diadakan perundingan antara Republik Indonesia yang
berpusat di Jogja dan Negara Indonesia serikat yang bertindak juga atas nama Negara
Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur. Maka hasilnya kembalinya ke Negara
Kesatuan dengan UUDS 1950, yang dalam DPR memilih Soekarno dan Hatta sebagai presiden
dan wakil presiden. Maka Mohammad Natsir mendapat kehormatan untuk mengantarkan
Negara Kesatuan Indonesia yang pulih kembali sebagai Perdana Menteri[12].
Dalam mengawal keutuhan
NKRI, bangsa ini memang menjadi rebutan ideologi raksasa pasca kemerdekaannya. Karena
itu dalam debat konstituante 1955 ia mengutarakan bahwa dasar negara yang harus
dianut bangsa ini adalah dasar negara yang jiwanya telah berurat-akar pada diri
rakyat Indonesia.
Memang beliau
adalah tokoh yang gigih memperjuangkan islam sebagai asas negara[13],
namun beliau adalah bukanlah seorang yang berpikiran tertutup, fanatik, dan jumud.
Beliau menyatakan dukungan pada demokrasi sepenuhnya. Natsir menunjukkan sikap
Demokratisnya dengan tegas dan jelas : “Selama negara kita ini sila demokrasi
masih dipertahankan sebagai salah satu dasar bernegara, tentulah parta-partai
akan terus ada, dan sebaliknya selagi masih ada kebebasan untuk berpartai,
selama itu ada demokrasi.”[14].
Karena prinsip
Demokrasi itulah, Beliau mengkritik aliran Komunisme yang tendensius untuk
menjadikan asas negara yang bebas agama.
“Konsekuensi
dari prinsip demokrasi itu jika dipakai untuk membentuk sesuatu negara, tidak
bisa lain daripada bahwa negara itu harus pertama-tama
mencerminkan apa yang sesungguhnya hidup sebagai falsafah hidup daripada
sebagian besar mayority rakyatnya. Kedua,
prinsip tadi pun mengharuskan memberi ruang hidup bagi golongan-golongan yang
berpendapat lain dari pendapat mayority. Yang aneh ialah, saudara ketua,
bilamana prinsip demokrasi itu dipergunakan untuk menghadapi Islam sebagai
suatu faham yang berada dalam negara, maka orang menyimpang daripadanya lalu
berkata: “Jangan dipakai Islam sebagai dasar negara sebab Islam itu adalah satu
paham hidup yang didukung oleh hanya satu golongan di Indonesia ini sedangkan
di Indonesia ada pula golongan lain-lain yang bukan islam”…. Penjelasan itu
didasarkan, bukan kepada penilaian tentang merites (hasanatnya), isi dan sifat
dari faham hidup Islam itu sendiri tidak pula didasarkan kepada soal berakar
atau tidaknya faham mayority di Indonesia ini… alasan bagi penolakan yang
demikian itu tidak dapat dinamakan sesuai dengan prinsip demokrasi.”[15]
Bersatunya agama
dan negara, menurut Natsir adalah buah dari sejarah. Ia memberi contoh, sejak
pertama kali Islam datang ke nusantara, Islam adalah sumber kekuatan politik di
bumi pertiwi ini. Dan ini dibuktikan dengan kenyataan sejarah dari
kerajaan-kerajaan Islam. Adapun Islam sebagai dasar negara, karena Islam adalah
agama yang dipeluk oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Jika Islam minoritas, maka
tidak ada alasan dijadikan dasar negara.[16]
Argumen yang cukup cerdas dan bernas.
Beliau juga
menunjukkan bagaimana seharusnya sikap seorang pemimpin untuk tidak otoriter. Beliau
menulis,
Selain itu Kekuasaan diterima atas
pilihan dan kerelaan rakyat. Kekuasaan dipergunakan untuk menegakkan kebenaran
dan keadilan, diantara seluruh rakyat baik yang lemah ataupun yang kuat. Penguasa
berhak atas ketaatan rakyat selama dia menjalankan kekuasaan dan kebenaran.
Rakyat berhak membetulkan perjalanan Penguasa-Penguasa bila dia salah.
Undang-undang berdaulat atas kedua pihak, sebai yang memberi kata putus dalam
menentukan mana yang salah mana yang benar, point of reference, tempat
memulangkan persoalan.[17]
Perjuangan memperoleh
kemerdekaan hingga tertatih-tatih adalah awal bagi setiap bangsa yang ingin
mejadi bangsa yang besar. Bahwa dialektika antar-ideologi adalah hal yang sudah
pasti. Namun kata Sayyid Qutb, yang penting adalah di kelompok mana kita
berada.
Jejak-jejak islam, tidak akan pernah
bisa dihapus. Meski ia dihapus dalam kurikulum, buku teks sekolah, atau pun
dalam dokumen kenegaraan, sejarah itu tidak akan bisa dihapus dalam shadr para pejuang islam.
Api perjuangan Islam sebagai asas negara
telah dari dulu. Seandainya api itu mati, maka seharusnya ia sudah padam[18] di
berangus zaman orde baru. Namun, tidak demikian. Cahaya itu masih menyala di
dada para Pejuang. Para ulama dan negarawan Muslim telah berjuang dalam panitia
sembilan[19]
hingga menghasilkan Piagam Jakarta, yang masih menjadi tanda tanya bagi penulis
logika pertimbangan penghapusan sila pertama. Begitu pula dalam Orde Baru
hingga reformasi. Perjuangan Islam yang merindukan syariat bukanlah cita-cita
utopis dan angan-angan. Hanya saja, jalan yang dilalui memang terjal dan berliku.
Yang dibutuhkan adalah nafas panjang yang tak kenal lelah.
Santri dan ulama berjuang tidak pernah
mengharapkan ditulis sejarahnya. Karena mereka takut akan amalnya yang akan sirna
bak debu. Hanya saja, Kebenaran akan mendzhahirkan dirinya sendiri, dan sejarah akan mengulang dirinya
sendiri. Jejak itu sangat jelas nampak bahwa kemerdekaan Indonesia ini diperjuangkan
para santri, ulama, dan umat Islam. Sidang-sidang BPUPK (Badan Penyelidikan
Urusan-Urusan Kemerdekaan) menghasilkan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang sangat
terkenal yang menjadi cikal-bakal dasar negara Indonesia: Pancasila dan UUD
1945. Pancasila dan UUD 1945 berisi banyak gagasan dari para pejuang Islam
hingga lahir Tujuh Kata yang dibuang: “dengan kewajiban menjalankan syari’at
Islam bagi pemeluknya” dalam sila pertama Pancasila. Walaupun pada 18 Agustus
1945 Sila ini berubah, namun semangatnya masih sangat jelas tersisa dalam
kata-kata “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Ki Bagus Hadikusumo yang menandatangi perubahan
itu memastikan bahwa kata-kata itu maknanya adalah “Tauhid”. Sekalipun tidak
berkonsekuensi hukum karena tidak tertuliskan sebagai ayat di dalam
undang-undang, namun siapapun tidak bisa menyangkal kenyataan sejarah ini.[20] begitu
pula dengan penulisan “Atas berkat Allah yang Maha Kuasa” dalam Pembukaan UUD
1945. Semuanya menjadi bukti bagaimana nafas islam bersatu dalam nafas kebangkitan
bangsa ini.
M. Natsir adalah seorang diantara yang
meniupkan nafas itu. Pemerintah
Indonesia yang dipimpin oleh Soekarno ataupun Soeharto, keduanya sama-sama
menuding Mohammad Natsir sebagai pemberontak
serta pembangkang, hingga dipenjarakan.
Akan tetapi, Oleh negara-negara lain, Natsir benar-benar dihormati serta
dihargai, penghargaan yang dianugerahkan kepadanya begitu banyak. Mohammad Natsir
diakui oleh Dunia Islam sebagai pahlawan lintas bangsa serta negara. Bruce
Lawrence mengatakan bahwasanya Natsir adalah politisi yang paling menonjol yang
membantu pembaruan Islam. Di tahun 1957, Mohammad Natsir menerima bintang
Nichan Istikhar (Grand Gordon) dari Raja Tunisia, Lamine Bey atas jasanya
menolong perjuangan kemerdekaan rakyat Afrika Utara. Penghargaan internasional
yang lain yakni Jaa-izatul Malik Faisal al-Alamiyah pada di tahun 1980, serta
penghargaan dari sebagian ulama serta pemikir populer seperti Syekh Abul Hasan
Ali an-Nadwi serta Abul A'la Maududi.
Nama Mohammad
Natsir memang tidak hanya dikenal sebagai seorang ulama yang menguasai
dasar-dasar agama, tetapi beliau juga adalah seorang negarawan yang menguasai banyak
menguasai bahasa asing, seperti Inggris, Belanda, Perancis, Jerman, Arab, serta
Spanyol[21].
Di dunia internasional, Natsir dikenal melalui dukungannya yang tegas terhadap
kemerdekaan negara-negara Islam di Asia Tenggara dan Afrika, serta usahanya untuk
menghimpun kerja sama antara negara yang baru merdeka. Sebagai seorang senior
dalam bidang politik, Natsir sering dimintai nasihat dan pandangannya bukan
hanya oleh tokoh politik negara-negara muslim seperti PLO Palestina, Mujahidin
Afganistan, Moro Filipina, Bosnia, dan lain sebagainya. Melainkan juga oleh
tokoh-tokoh politik dunia yang bukan muslim seperti Jepang dan Thailand. Atas
semua ini, Dr. Inamullah Khan menjuluki natsir sebagai seorang tokoh besar
Dunia Islam abad ini.[22]
Pada tahun 1980, Natsir dianugerahi
penghargaan Faisal Award dari Raja Fahd Arab Saudi lewat Yayasan Raja Faisal di
Riyadh, Arab Saudi. Ia memperoleh gelar doktor kehormatan dalam bidang politik
Islam dari Kampus Islam Libanon pada tahun 1967. Pada tahun 1991, ia kemudian
memperoleh dua gelar kehormatan, yakni dalam bidang sastra dari Universitas
Kebangsaan Malaysia serta dalam bidang pemikiran Islam dari Universitas Sains
Malaysia. Mohammad Natsir wafat pada 6 Februari 1993 di Jakarta, serta
dimakamkan satu hari kemudian. Soeharto enggan memberikan gelar pahlawan pada
salah satu " bapak bangsa " ini. Kemudian pada masa pemerintahan B.
J. Habibie, dia diberi penghargaan Bintang Republik Indonesia Adipradana.
Muhammad Natsir
meninggal dunia di Jakarta dengan meninggalkan enam anak, hasil pernikahannya
dengan Nur Nahar. Beliau dimakamkan di TPU Karet, Tanah Abang. Ucapan
belasungkawa datang tidak saja dari simpatisannya di dalam negeri yang sebagian
ikut mengantar jenazahnya ke pembaringan terakhir, tetapi juga dari luar
negeri, termasuk mantan Perdana Menteri Jepang, Takeo Fukuda, yang mengirim
surat duka kepada keluarga almarhum dan bangsa Indonesia[23].
(Wallohu a’lam bi as-Shawab).
Bahan Bacaan
[1] Dalam
sebuah kajiannya, Prof. Didin Hafidhuddin menjelaskan tentang luasnya pengaruh
Dr. Mohammad Natsir dan diakuinya beliau di dunia internasional. Kata beliau,
“Pernah ada seseorang yang ingin mencari bantuan dana untuk pendirian sekolah
di sebuah lembaga donor di Jepang. Karena pengajuannya telah diterima, ia
dipanggil secara langsung untuk melengkapi berkasnya. Setelah di Jepang,
pimpinan Lembaga Donor itu mencari siapa yang memberi rekomendasi untuknya.
Mana tanda tangan Pak Natsir ?. Kata orang Jepang itu. Orang yang mengajukan
menjadi bingung, mengapa tanda tangan Pak Natsir yang dicari. Akhirnya, setelah
dialog sekian lama, ia baru bisa mendapat bantuan, jika berkasnya dibubuhi
tanda tangan Pak Natsir. Sekembali di Indonesia ia segera mencari tanda tangan
Pak Natsir. Dan tanpa banyak tanya, pak Natsir langsung membubuhkan tanda
tangannya. Setelah berkasnya diajukan kembali, orang tersebut langsung
memperoleh dana yang dibutuhkannya.”
[2] Lihat:
http/2014/01/biografi-mohammad-natsir-pahlawan.html (Diakses 25 Agustus 2015,
Pukul 17.25 WIB)
[3] Lihat
http://www.biografiku.com...
[4] Lihat
http://www.biografiku.com...
[5]
Herry Mohammad, dkk., Tokoh-Tokoh Islam…, hlm. 48
[6] Lihat
http://www.biografiku.com...
[7]
Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh…, 2004,
hlm. 77
[8]
Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indoensia, Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 2004, hlm. 77
[9] Lihat
http://www.biografiku.com...
[10]
M. Natsir, Capita Selecta Jilid 2, Jakarta: PT. Abadi bekerjasama dengan
Panitia Peringatan Refleksi Seabad M. Natsir dan Perjuangannya dan yayasan
Capita Selecta, 2008, hlm. 8
[11]
Lihat https://www.pahlawanindonesia.com/biografi-muhammad-natsir/ Diakses Rabu,
26 Agustus 2015, Pukukl 08.51
[12] Moh. Roem,
Islam dan Modernisasi, Mohammad Natsir
dan Perjuangannya, Jejak Islam (No. I, November), tahun 2014, hlm. 21
[13] Lihat
: Herry Mohammad, dkk., Tokoh-Tokoh
Islam…, hlm. 50. (Beliau mengungkapkan “…Perlu ditanamkan dalam dada penduduk
negara-negara suatu falsafah kehidupan yang luruh dan suci, satu ideologi yang
menghidupkan semangat untuk berjuang mencapai kebahagiaan dunia dan kemenangan
di akhirat. Semua itu terkandung dalam satu susunan, satu stelsel, satu kultur,
satu ajaran, satu ideologi yang bernama Islam)
[14] Lihat
Pengantar La Ode M. Kamaluddin, M. Natsir, Capita Selecta, Jilid III, Jakarta:
PT. Abadi bekerjasama dengan Panitia Peringatan Refleksi Seabad M Natsir dan
Perjuangannya dan yayasan Capita Selecta, 2008, hlm. vi
[15]
M. Natsir, Capita Selecta, Jilid 3, Jakarta: PT. Abadi bekerjasama dengan
Panitia Peringatan Refleksi Seabad. M Natsir dan Perjuangannya dan yayasan
Capita Selecta, 2008, hlm. 94 -95
[16]
Herry Mohammad, dkk., Tokoh-Tokoh Islam yang Bepengaruh Abad 20,
Cet. Ke-2 Jakarta; GIP, 2008, hlm. 51
[17]
M. Natsir, Fiqhud Da’wah, Cet. V,
Jakarta: Media Da’wah, 1988, hlm. 61
[18] Lihat QS. As-Shaf: 8 (Mereka ingin memadamkan cahaya
Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan
cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya.")
[19] Panitia
Sembilan dibentuk pada 1 Juni 1945. Adapun anggota Panitia Sembilan adalah
sebagai berikut: Ir. Soekarno (ketua), Drs. Mohammad Hatta (wakil ketua), Mr.
Achmad Soebardjo (anggota), Mr. Mohammad Yamin (anggota), KH. Wahid Hasjim
(anggota), Abdoel Kahar Moezakir (anggota), Abikusno Tjokrosujono (anggota), H.
Agus Salim (anggota), Mr. Alexander Andries Maramis (anggota), Setelah
melakukan kompromi antara 4 orang dari kaum kebangsaan (nasionalis) dan 4 orang
dari pihak Islam, tanggal 22 Juni 1945 Panitia Sembilan menghasilkan rumusan
dasar negara yang dikenal dengan Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang
berisikan: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (lihat: https://id.wikipedia.org/wiki/Panitia_Sembilan)
[20]
Lihat Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia [BPUPKI], 2005 dalam Tiar Anwar Bachtiar, Berkah Kemerdekaan Bagi Dakwah Islam di Indonesia, Jejak Islam, (No. I, November),
tahun 2014, hlm. 8
[21]
Lihat http://www.biografiku.com...
[22]
Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh …,
hlm. 78
[23]
Lihat https://www.pahlawanindonesia.com...
No comments:
Post a Comment