Cari

MOHAMMAD NATSIR, ULAMA NEGARAWAN PENCETUS NKRI

Tuesday 25 August 2015


KEPADA SAUDARAKU M. NATSIR[1]

Meskipun bersilang keris di leher
Berkilat pedang di hadapan matamu
Namun yang benar kau sebut juga benar
Cita Muhammad biarlah lahir
Bongkar apinya sampai bertemu
Hidangkan di atas persada nusa
Jibril berdiri sebelah kananmu
Mikail berdiri sebelah kiri
Lindungan Ilahi memberimu tenaga
Suka dan duka kita hadapi

Suaramu wahai Natsir, suara kaum-mu
Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi
Ini berjuta kawan sepaham
Hidup dan mati bersama-sama
Untuk menuntut Ridha Ilahi

Dan aku pun masukkan
Dalam daftarmu……!

(Puisi yang ditulis oleh Prof. Hamka secara khusus untuk Pak Natsir,  13 Nov 1957 setelah mendengar uraian pidato Pak Natsir dengan tegas menawarkan kepada Sidang Konstituante agar menjadikan islam sebagai dasar negara RI )


Mohammad Natsir, adalah seorang tokoh yang sangat sederhana. Lahir di Alahan Panjang, Lembah Gumanti, kabupaten Solok, Sumatera Barat tepatnya pada tangga 17 Juli 1908 ia merupakan anak dari pasangan Mohammad Idris Sutan Saripado serta Khadijah. Ia mempunyai 3 orang saudara kandung, yang bernama Yukinan, Rubiah, serta Yohanusun. Jabatan ayahnya yaitu pegawai pemerintahan di Alahan Panjang, sedang kakeknya adalah seorang ulama. Ia nantinya akan menjadi pemangku kebiasaan atau adat untuk kaumnya yang berasal Maninjau, Tanjung Raya, Agam dengan gelar Datuk Sinaro nan Panjang.[2]
Sepanjang hidupnya Mohammad Natsir dikenal tidak mempunyai pakaian bagus, jasnya pun banyak tambalan. Dia dikenang sebagai menteri yang tidak mempunyai rumah serta menampik di beri hadiah mobil elegan. Mohammad Natsir disebutkan menampik mobil Chevrolet Impala ketika diberikan. Walau sebenarnya, di tempat tinggalnya dia cuma mempunyai mobil tua merk De Soto. Itulah Artikel mengenai biografi Mohammad Natsir yang dikenal sebagai pahlawan bangsa Indonesia dan juga Tokoh penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Semoga Biografi ini bisa bermanfaat dan memberi inspirasi bagi Pembaca.[3]
Natsir mulai mengenyam pendidikan selama dua tahun di Sekolah Rakyat Maninjau, kemudian ke Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Padang. Selama beberapa bulan bersekolah disana ia kemudian pindah ke Solok dan dititipkan dirumah saudagar yang bernama Haji Musa. Tak hanya belajar di HIS di Solok pada siang hari, ia juga belajar pengetahuan agama Islam di Madrasah Diniyah saat malam hari. Ia kemudian pindah setelah tiga tahun ke HIS di Padang bersama-sama kakaknya. Kemudian tahun 1923, ia meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) lalu kemudian ia pun bergabung dengan perhimpunan-perhimpunan pemuda seperti Pandu Nationale Islamietische Pavinderij serta Jong Islamieten Bond. [4]
Usai menamatkan MULO, pada tahun 1927 Natsir pergi ke bandung dan melanjutkan pendidikan formalnya di AMS (Algemene Middlebare School). Di sinilah Natsir mulai berkenalan dengan pergaulan yang lebih meluas. Baik pergaulan fisik dengan multi etnis maupun secara intelektual dengan beragam pemikiran yang berkembang di waktu itu. Di AMS ini pula Natsir mendapat nilai tertinggi dalam bahasa latian: 10. Dengan bekal kemampuannya berbahasa asing, seperti Arab, Belanda, Jerman, Inggris, Latin dan Perancis, Natsir bisa mengakses ilmu pengetahuan dengan basis bahasa-bahasa tersebut. KArena itu, di usianya yang masih belia, 21 tahun, Natsir sudah fasih menjelaskan peradaban dunia yang berbasis pada Islam, Romawi, Yunani dan Barat.[5]
Di tahun 1928 hingga 1932, ia kemudian menjadi ketua Jong Islamieten Bond (JIB) Bandung. Ia juga jadi pengajar setelah menerima pelatihan sebagai guru selama dua tahun di perguruan tinggi. Ia yang sudah memperoleh pendidikan Islam di Sumatera Barat pada mulanya juga memperdalam pengetahuan agamanya di Bandung, termasuk juga dalam bidang tafsir Al-Qur'an, hukum Islam, serta dialektika. Kemudian di tahun 1932, Natsir berguru pada Ahmad Hassan, yang nantinya akan menjadi tokoh organisasi Islam Persatuan Islam. [6]
Karier politik Natsir pasca kemerdekaan diawali sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), yang berlangsung dari tahun 1945-1946. Kemudian menjadi Menteri Penerangan Republik Indonesia pada Kabinet Syahrir ke-1 dan kabinet Hatta-1. Dari tahun 1949 sampai 1958 ia diangkat menjadi Ketua Masyumi, hingga partai ini dibubarkan. Puncak karier Natsir dalam bidang politik terjadi ketika Natsir terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan dari tahun 1956-1957, ia menjadi anggota Konstituante Republik Indonesia.[7] Tampilnya Natsir di puncak pemerintahan, tidak terlepas dari langkah strategisnya dalam mengemukakan mosi integral pada sidang parlemen republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 3 april 1950.[8] Mohammad Hatta yang menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia pada waktu itu mendorong keseluruhan pihak untuk berjuang dengan tertib dan sangat merasa terbantu dengan adanya mosi ini. Mosi ini memulihkan keutuhan bangsa Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang pada mulanya berupa serikat[9].
Bagaimana kronologisnya ?. Waktu itu ada 16 negara kecuali R.I. diciptakan Belanda yang tergabung dalam Negara Indonesia Serikat yang sudah merdeka dan berdaulat. Tinta pengakuan kemerdekaan belum kering sudah ada sebuah kabupaten Malang, pada tanggal 30 Januari 1950, menyatakan keluar dari Negara Jawa Timur, ciptaan Van Mook dan menggabungkan diri dengan Republik Jogya. Tindakan ini segera disusul oleh Kabupaten Sukabumi, kotapraja Jakarta Raya, Sulawesi Selatan. Kalau hal yang demikian itu dibiarkan berjalan terus, akan menjadi kosong negara Indonesia Serikat. Mohammad Natsir tidak mau melihat Soekarno dan Hatta menjadi Presiden dan Wakil Presiden dari satu federasi yang kosong. Dalam sebuah potongan pidato Mosi Integralnya, Beliau menegaskan “…Semuanya itu diliputi oleh suasana nasional dengan arti yang tinggi serta terlepas dari soal atau paham unitarisme, federalisme dan propinsionalisme.”[10]
Berkali-kali Muhammad Natsir menyelamatkan Republik Indonesia dan ancaman perpecahan. Beliau pada tahun 1949 berhasil membujuk Syafruddin Prawiranegara, yang bersama Sudirman merasa tersinggung dengan perundingan Roem-Royen, untuk kembali ke Yogyakarta. Muhammad Natsir juga berhasil melunakkan hati tokoh Aceh, Daud Beureuh,yang menolak bergabung dengan Sumatera Utara pada tahun 1950. Hal ini terutama karena keyakinan Daud Beureuh akan kesalehan Natsir, sikap pribadi yang tetap dipegang teguh sampai akhir hayatnya.[11]
Natsir mengajukan mosi agar yang sedang berjalan itu disalurkan menurut hukum dan dihindarkan perpecahan. Akhirnya diadakan perundingan antara Republik Indonesia yang berpusat di Jogja dan Negara Indonesia serikat yang bertindak juga atas nama Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur. Maka hasilnya kembalinya ke Negara Kesatuan dengan UUDS 1950, yang dalam DPR memilih Soekarno dan Hatta sebagai presiden dan wakil presiden. Maka Mohammad Natsir mendapat kehormatan untuk mengantarkan Negara Kesatuan Indonesia yang pulih kembali sebagai Perdana Menteri[12].
Dalam mengawal keutuhan NKRI, bangsa ini memang menjadi rebutan ideologi raksasa pasca kemerdekaannya. Karena itu dalam debat konstituante 1955 ia mengutarakan bahwa dasar negara yang harus dianut bangsa ini adalah dasar negara yang jiwanya telah berurat-akar pada diri rakyat Indonesia.
Memang beliau adalah tokoh yang gigih memperjuangkan islam sebagai asas negara[13], namun beliau adalah bukanlah seorang yang berpikiran tertutup, fanatik, dan jumud. Beliau menyatakan dukungan pada demokrasi sepenuhnya. Natsir menunjukkan sikap Demokratisnya dengan tegas dan jelas : “Selama negara kita ini sila demokrasi masih dipertahankan sebagai salah satu dasar bernegara, tentulah parta-partai akan terus ada, dan sebaliknya selagi masih ada kebebasan untuk berpartai, selama itu ada demokrasi.”[14].
Karena prinsip Demokrasi itulah, Beliau mengkritik aliran Komunisme yang tendensius untuk menjadikan asas negara yang bebas agama.
“Konsekuensi dari prinsip demokrasi itu jika dipakai untuk membentuk sesuatu negara, tidak bisa lain daripada bahwa negara itu harus pertama-tama mencerminkan apa yang sesungguhnya hidup sebagai falsafah hidup daripada sebagian besar mayority rakyatnya. Kedua, prinsip tadi pun mengharuskan memberi ruang hidup bagi golongan-golongan yang berpendapat lain dari pendapat mayority. Yang aneh ialah, saudara ketua, bilamana prinsip demokrasi itu dipergunakan untuk menghadapi Islam sebagai suatu faham yang berada dalam negara, maka orang menyimpang daripadanya lalu berkata: “Jangan dipakai Islam sebagai dasar negara sebab Islam itu adalah satu paham hidup yang didukung oleh hanya satu golongan di Indonesia ini sedangkan di Indonesia ada pula golongan lain-lain yang bukan islam”…. Penjelasan itu didasarkan, bukan kepada penilaian tentang merites (hasanatnya), isi dan sifat dari faham hidup Islam itu sendiri tidak pula didasarkan kepada soal berakar atau tidaknya faham mayority di Indonesia ini… alasan bagi penolakan yang demikian itu tidak dapat dinamakan sesuai dengan prinsip demokrasi.”[15]
Bersatunya agama dan negara, menurut Natsir adalah buah dari sejarah. Ia memberi contoh, sejak pertama kali Islam datang ke nusantara, Islam adalah sumber kekuatan politik di bumi pertiwi ini. Dan ini dibuktikan dengan kenyataan sejarah dari kerajaan-kerajaan Islam. Adapun Islam sebagai dasar negara, karena Islam adalah agama yang dipeluk oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Jika Islam minoritas, maka tidak ada alasan dijadikan dasar negara.[16] Argumen yang cukup cerdas dan bernas.
Beliau juga menunjukkan bagaimana seharusnya sikap seorang pemimpin untuk tidak otoriter. Beliau menulis,
Selain itu Kekuasaan diterima atas pilihan dan kerelaan rakyat. Kekuasaan dipergunakan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, diantara seluruh rakyat baik yang lemah ataupun yang kuat. Penguasa berhak atas ketaatan rakyat selama dia menjalankan kekuasaan dan kebenaran. Rakyat berhak membetulkan perjalanan Penguasa-Penguasa bila dia salah. Undang-undang berdaulat atas kedua pihak, sebai yang memberi kata putus dalam menentukan mana yang salah mana yang benar, point of reference, tempat memulangkan persoalan.[17]
Perjuangan memperoleh kemerdekaan hingga tertatih-tatih adalah awal bagi setiap bangsa yang ingin mejadi bangsa yang besar. Bahwa dialektika antar-ideologi adalah hal yang sudah pasti. Namun kata Sayyid Qutb, yang penting adalah di kelompok mana kita berada.
Jejak-jejak islam, tidak akan pernah bisa dihapus. Meski ia dihapus dalam kurikulum, buku teks sekolah, atau pun dalam dokumen kenegaraan, sejarah itu tidak akan bisa dihapus dalam shadr para pejuang islam.
Api perjuangan Islam sebagai asas negara telah dari dulu. Seandainya api itu mati, maka seharusnya ia sudah padam[18] di berangus zaman orde baru. Namun, tidak demikian. Cahaya itu masih menyala di dada para Pejuang. Para ulama dan negarawan Muslim telah berjuang dalam panitia sembilan[19] hingga menghasilkan Piagam Jakarta, yang masih menjadi tanda tanya bagi penulis logika pertimbangan penghapusan sila pertama. Begitu pula dalam Orde Baru hingga reformasi. Perjuangan Islam yang merindukan syariat bukanlah cita-cita utopis dan angan-angan. Hanya saja, jalan yang dilalui memang terjal dan berliku. Yang dibutuhkan adalah nafas panjang yang tak kenal lelah.
Santri dan ulama berjuang tidak pernah mengharapkan ditulis sejarahnya. Karena mereka takut akan amalnya yang akan sirna bak debu. Hanya saja, Kebenaran akan mendzhahirkan  dirinya sendiri, dan sejarah akan mengulang dirinya sendiri. Jejak itu sangat jelas nampak bahwa kemerdekaan Indonesia ini diperjuangkan para santri, ulama, dan umat Islam. Sidang-sidang BPUPK (Badan Penyelidikan Urusan-Urusan Kemerdekaan) menghasilkan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang sangat terkenal yang menjadi cikal-bakal dasar negara Indonesia: Pancasila dan UUD 1945. Pancasila dan UUD 1945 berisi banyak gagasan dari para pejuang Islam hingga lahir Tujuh Kata yang dibuang: “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya” dalam sila pertama Pancasila. Walaupun pada 18 Agustus 1945 Sila ini berubah, namun semangatnya masih sangat jelas tersisa dalam kata-kata “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Ki Bagus Hadikusumo yang menandatangi perubahan itu memastikan bahwa kata-kata itu maknanya adalah “Tauhid”. Sekalipun tidak berkonsekuensi hukum karena tidak tertuliskan sebagai ayat di dalam undang-undang, namun siapapun tidak bisa menyangkal kenyataan sejarah ini.[20] begitu pula dengan penulisan “Atas berkat Allah yang Maha Kuasa” dalam Pembukaan UUD 1945. Semuanya menjadi bukti bagaimana nafas islam bersatu dalam nafas kebangkitan bangsa ini.
M. Natsir adalah seorang diantara yang meniupkan nafas itu. Pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh Soekarno ataupun Soeharto, keduanya sama-sama menuding Mohammad Natsir sebagai pemberontak serta pembangkang, hingga dipenjarakan. Akan tetapi, Oleh negara-negara lain, Natsir benar-benar dihormati serta dihargai, penghargaan yang dianugerahkan kepadanya begitu banyak. Mohammad Natsir diakui oleh Dunia Islam sebagai pahlawan lintas bangsa serta negara. Bruce Lawrence mengatakan bahwasanya Natsir adalah politisi yang paling menonjol yang membantu pembaruan Islam. Di tahun 1957, Mohammad Natsir menerima bintang Nichan Istikhar (Grand Gordon) dari Raja Tunisia, Lamine Bey atas jasanya menolong perjuangan kemerdekaan rakyat Afrika Utara. Penghargaan internasional yang lain yakni Jaa-izatul Malik Faisal al-Alamiyah pada di tahun 1980, serta penghargaan dari sebagian ulama serta pemikir populer seperti Syekh Abul Hasan Ali an-Nadwi serta Abul A'la Maududi.
Nama Mohammad Natsir memang tidak hanya dikenal sebagai seorang ulama yang menguasai dasar-dasar agama, tetapi beliau juga adalah seorang negarawan yang menguasai banyak menguasai bahasa asing, seperti Inggris, Belanda, Perancis, Jerman, Arab, serta Spanyol[21]. Di dunia internasional, Natsir dikenal melalui dukungannya yang tegas terhadap kemerdekaan negara-negara Islam di Asia Tenggara dan Afrika, serta usahanya untuk menghimpun kerja sama antara negara yang baru merdeka. Sebagai seorang senior dalam bidang politik, Natsir sering dimintai nasihat dan pandangannya bukan hanya oleh tokoh politik negara-negara muslim seperti PLO Palestina, Mujahidin Afganistan, Moro Filipina, Bosnia, dan lain sebagainya. Melainkan juga oleh tokoh-tokoh politik dunia yang bukan muslim seperti Jepang dan Thailand. Atas semua ini, Dr. Inamullah Khan menjuluki natsir sebagai seorang tokoh besar Dunia Islam abad ini.[22]
 Pada tahun 1980, Natsir dianugerahi penghargaan Faisal Award dari Raja Fahd Arab Saudi lewat Yayasan Raja Faisal di Riyadh, Arab Saudi. Ia memperoleh gelar doktor kehormatan dalam bidang politik Islam dari Kampus Islam Libanon pada tahun 1967. Pada tahun 1991, ia kemudian memperoleh dua gelar kehormatan, yakni dalam bidang sastra dari Universitas Kebangsaan Malaysia serta dalam bidang pemikiran Islam dari Universitas Sains Malaysia. Mohammad Natsir wafat pada 6 Februari 1993 di Jakarta, serta dimakamkan satu hari kemudian. Soeharto enggan memberikan gelar pahlawan pada salah satu " bapak bangsa " ini. Kemudian pada masa pemerintahan B. J. Habibie, dia diberi penghargaan Bintang Republik Indonesia Adipradana.
Muhammad Natsir meninggal dunia di Jakarta dengan meninggalkan enam anak, hasil pernikahannya dengan Nur Nahar. Beliau dimakamkan di TPU Karet, Tanah Abang. Ucapan belasungkawa datang tidak saja dari simpatisannya di dalam negeri yang sebagian ikut mengantar jenazahnya ke pembaringan terakhir, tetapi juga dari luar negeri, termasuk mantan Perdana Menteri Jepang, Takeo Fukuda, yang mengirim surat duka kepada keluarga almarhum dan bangsa Indonesia[23]. (Wallohu a’lam bi as-Shawab).


Bahan Bacaan

[1] Dalam sebuah kajiannya, Prof. Didin Hafidhuddin menjelaskan tentang luasnya pengaruh Dr. Mohammad Natsir dan diakuinya beliau di dunia internasional. Kata beliau, “Pernah ada seseorang yang ingin mencari bantuan dana untuk pendirian sekolah di sebuah lembaga donor di Jepang. Karena pengajuannya telah diterima, ia dipanggil secara langsung untuk melengkapi berkasnya. Setelah di Jepang, pimpinan Lembaga Donor itu mencari siapa yang memberi rekomendasi untuknya. Mana tanda tangan Pak Natsir ?. Kata orang Jepang itu. Orang yang mengajukan menjadi bingung, mengapa tanda tangan Pak Natsir yang dicari. Akhirnya, setelah dialog sekian lama, ia baru bisa mendapat bantuan, jika berkasnya dibubuhi tanda tangan Pak Natsir. Sekembali di Indonesia ia segera mencari tanda tangan Pak Natsir. Dan tanpa banyak tanya, pak Natsir langsung membubuhkan tanda tangannya. Setelah berkasnya diajukan kembali, orang tersebut langsung memperoleh dana yang dibutuhkannya.”
[2] Lihat: http/2014/01/biografi-mohammad-natsir-pahlawan.html (Diakses 25 Agustus 2015, Pukul 17.25 WIB)
[3] Lihat http://www.biografiku.com...
[4] Lihat http://www.biografiku.com...
[5] Herry Mohammad, dkk.,  Tokoh-Tokoh Islam…, hlm. 48
[6] Lihat http://www.biografiku.com...
[7] Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh…, 2004, hlm. 77
[8] Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indoensia, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2004, hlm. 77
[9] Lihat http://www.biografiku.com...
[10] M. Natsir, Capita Selecta Jilid 2, Jakarta: PT. Abadi bekerjasama dengan Panitia Peringatan Refleksi Seabad M. Natsir dan Perjuangannya dan yayasan Capita Selecta, 2008, hlm. 8
[11] Lihat https://www.pahlawanindonesia.com/biografi-muhammad-natsir/ Diakses Rabu, 26 Agustus 2015, Pukukl 08.51
[12] Moh. Roem, Islam dan Modernisasi, Mohammad Natsir dan Perjuangannya, Jejak Islam (No. I, November), tahun 2014, hlm. 21
[13] Lihat : Herry Mohammad, dkk.,  Tokoh-Tokoh Islam…, hlm. 50. (Beliau mengungkapkan “…Perlu ditanamkan dalam dada penduduk negara-negara suatu falsafah kehidupan yang luruh dan suci, satu ideologi yang menghidupkan semangat untuk berjuang mencapai kebahagiaan dunia dan kemenangan di akhirat. Semua itu terkandung dalam satu susunan, satu stelsel, satu kultur, satu ajaran, satu ideologi yang bernama Islam)
[14] Lihat Pengantar La Ode M. Kamaluddin, M. Natsir, Capita Selecta, Jilid III, Jakarta: PT. Abadi bekerjasama dengan Panitia Peringatan Refleksi Seabad M Natsir dan Perjuangannya dan yayasan Capita Selecta, 2008, hlm. vi
[15] M. Natsir, Capita Selecta, Jilid 3, Jakarta: PT. Abadi bekerjasama dengan Panitia Peringatan Refleksi Seabad. M Natsir dan Perjuangannya dan yayasan Capita Selecta, 2008, hlm. 94 -95
[16] Herry Mohammad, dkk.,  Tokoh-Tokoh Islam yang Bepengaruh Abad 20, Cet. Ke-2 Jakarta; GIP, 2008, hlm. 51
[17] M. Natsir, Fiqhud Da’wah, Cet. V, Jakarta: Media Da’wah, 1988, hlm. 61
[18] Lihat QS. As-Shaf: 8 (Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya.")
[19] Panitia Sembilan dibentuk pada 1 Juni 1945. Adapun anggota Panitia Sembilan adalah sebagai berikut: Ir. Soekarno (ketua), Drs. Mohammad Hatta (wakil ketua), Mr. Achmad Soebardjo (anggota), Mr. Mohammad Yamin (anggota), KH. Wahid Hasjim (anggota), Abdoel Kahar Moezakir (anggota), Abikusno Tjokrosujono (anggota), H. Agus Salim (anggota), Mr. Alexander Andries Maramis (anggota), Setelah melakukan kompromi antara 4 orang dari kaum kebangsaan (nasionalis) dan 4 orang dari pihak Islam, tanggal 22 Juni 1945 Panitia Sembilan menghasilkan rumusan dasar negara yang dikenal dengan Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang berisikan: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (lihat: https://id.wikipedia.org/wiki/Panitia_Sembilan)
[20] Lihat Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia [BPUPKI], 2005 dalam Tiar Anwar Bachtiar, Berkah Kemerdekaan Bagi Dakwah Islam di Indonesia, Jejak Islam, (No. I, November), tahun 2014, hlm. 8
[21] Lihat http://www.biografiku.com...
[22] Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh …, hlm.  78
[23] Lihat https://www.pahlawanindonesia.com...

No comments:

Post a Comment

 

Iklan Buku

Followers

Bincang-Bincang