Abu Adlan Faatih[1]
Bagi
seorang da’i, hidup adalah perjuangan. Meniti jejak para Rasul yang berjuang
menegakkan agama. Konsekuensinya tidak mudah. Ada banyak godaan yang akan
menghampiri. Hidup serba hemat, atau bahkan kekurangan.
Satu
hal yang tidak mudah adalah meninggalkan istri dan anak-anak. Pasalnya, seorang
da’i memiliki amanah untuk anak dan istrinya. Ia wajib memberikan perlindungan
dan nafkah lahir batin bagi mereka. Akan tetapi, bagaimana jika ia mendapat
amanah untuk menjadi da’i pedalaman ?. Semua itu tentu haruslah ditinggalkan.
Bagi
seorang suami, masalah rezki dan waktu mungkin dapat dikorbankan demi dakwah.
Akan tetapi, satu hal yang tidak mampu dilalui oleh mereka adalah istri
tercintanya. Ada air mata, ada keluhan-kesah, dan rintihan seorang yang telah
bersamanya selama belasan tahun. Ya, itulah ujian yang bisa jadi ujian terberat
yang tidak semua mampu untuk melaluinya.
Ada
perasaan yang akan menggelayuti hati, dan bisa meretakkan bendungan di jiwa,
hingga air mata akan tumpah di hadapan mereka. Sebagai manusia, itu adalah
lumrah, karena menjadi tabiat dasar bagi manusia untuk mencintai istri dan
anak-anaknya.
Dijadikan indah pada (pandangan)
manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak,
harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang
ternak[186] dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi
Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS. Ali Imran: 14)
Karena
itu, merupakan hal yang melawan fitrah jika seseorang harus meninggalkan istri
dan anak-anaknya. Saat manjanya, tatapan harap dari wajah anak-anak, mata sayu,
serta panggilan mereka akan mengusir keletihan, “abi…abi…”. Memeluk mereka akan
mendatangkan kehangatan di jiwa yang tenaga telah terkuras habis seharian dalam
bekerja. Akan teptapi, ada yang harus dikorbankan. Cinta, ya cinta dan kasih
sayang untuk mereka.
Akan
tetapi, hidup sebagai da’i memang pilihan. Konsekuensinya sudah pasti akan ada
pengorbanan. Dan hal itulah yang dibuktikan oleh Khalilullah Ibrahim Alaihissalam.
Setelah
menyucikan diri dari Berhala Kayu, Batu dan Benda Langit, ia memberikan teladan
pembuktian cinta yang hakiki.
Perhatikanlah,
ketika beliau diperintahkan untuk hijrah dari Iraq dan Syam agar mendatangi
sebuah tempat yang gersang, sunyi tak berpenghuni untuk meninggikan Rabb-nya di
Baitul Atiq, beliau harus melawan godaan yang sangat berat dari dirinya
sendiri. Siapa yang mau tinggal di sebuah lembah tandus tak berpenghuni ?.
Bahkan ia harus meninggalkan istrinya, Siti Hajar di sana ?.
Inilah
ujian yang sebenarnya paling berat. Karena ia menuntut kecintaan yang paling
murni. Paling bersih dan tidak tercampuri dengan kecintaan kepada makhluk,
sedikitpun. Ujian dari kekasih yang Allah sendiri pertautkan hati kita
dengannya. Istri dan anak.
Kita
bisa memahami, perasaan Siti hajar yang begitu cemas dan sedih ketika Nabi
ibrahim akan meninggalkannya seorang diri bersama anaknya yang masih kecil, di
tempat yang begitu sunyi, tidak ada orang sama sekali, kecuali hanya pasir dan
batu. Ia akan ditinggalkan seorang diri di tempat yang begitu hampa, tanpa ada
seorang manusia, binatang, pohon dan bahkan air mengalir pun juga tidak
terlihat di tempat itu. Sementara, ia masih bertanggung jawab untuk mengasuh
anak kecil yang masih menyusu kepadanya.
Konsekuensinya,
jika ditinggalkan, Siti Hajar dan Ismail
di harus bisa menerima nasib yang oleh Allah telah ditakdirkan kepadanya dengan
kesabaran. Apalagi bekal dan makanan yang mereka bawa dalam perjalan pada
akhirnya akan habis beberapa hari. Ditambah lagi ia masih punya tangggung jawab
menyusui Ismail, sedangkan susunya semakin lama semakin mengering karena
kekurangan nurisi. Anaknya akan menangis tak henti-hentinya karena tidak bisa meminum
air susu dengan baik. Lama-kelamaan, mereka akan kebingungan bingung, panik dan
cemas jika mendengar anak yang disayanginya menangis menyayat hati.
Dalam
kondisi seperti itu, setelah Nabi Ibrahim mendapat titah dari Allah, ia
langsung bergegas. Siti Hajar pun bertanya, “Wahai Ibrahim, mau kemana engkau
?”. Nabi Ibrahim tidak menoleh sedikit pun. Siti Hajar lembali bertanya, “Wahai
Ibrahim, mau kemana engkau ?”. Jawaban Nabi Ibrahim adalah diam, dan hanya
melanjutkan langkah kakinya. Hingga berulang tiga kali Sitti Hajar bertanya.
Akan
tetapi, sebagai seorang istri Nabi. Sitti Sarah kemudian tahu, bahwa itu adalah
perintah dari Allah. Ia pun bertanya, “Wahai Nabi Allah, apakah ini adalah perintah
Tuhanmu ?”.
Nabi
Ibrahim berhenti, menoleh dan berkata, “Ya, ini adalah perintah dari Allah”.
Siti
Hajar pun mengatakan, “Kalau begitu berangkatlah, karena saya yakin Allah tidak
akan menyia-nyiakan aku bersama anakku di tempat ini”
“Ya
Tuhan kamu, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturuanku di lembah
yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah engkau (Baitullah) yang
dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat,
maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri
rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. (QS.
Ibrahim: 37)
Seperti
inilah istri seorang Pejuang. Istri yang menjadi motivasi bagi suaminya. Bukan
menjadi beban. Justru menjadi pendamping yang mendorongnya untuk semakin dekat
kepada Allah SWT, meski ia harus mengorbankan perasaan tabiat dasarnya sebagai
wanita. Maka mendidik istri agar mereka menjadi seperti Siti Hajar adalah tugas
awal mereka di rumah tangga. Ungkapan yang tidak boleh ragu, “Jadilah seperti
Siti Hajar, istriku!”. (elfaatih)
(Dapat diakses di
www.laskarpenaalqolam.blogspot.com)
No comments:
Post a Comment