Cari

KRITIK ATAS ‘PARADIGMA ILMIAH’

Saturday 22 August 2015



                                                               
Pada tulisan yang lalu kita menyatakan bahwa chaos yang terjadi dalam kondisi perdaban dunia hari ini disebabkan oleh kesalahan paradigma. Hal itu bisa dilihat dari pendapat Prof. Ahmad Tafsir dalam buku Filsafat Umum-nya.
Beliau menyatakan bahwa, dari analisis filsafat dan sejarah kebudayaan kita mengetahui bahwa budaya barat disusun dengan menggunakan hanya satu paradigma, yaitu paradigma sains (scientific paradigm). Paradigma ini disusun berdasarkan warisan Descartes dan Newton. Warisan dua tokoh ini merupakan inti pembahasan buku Capra. Ia menyatakan abhwa paradigm yang diturunkan dari Cartesian dan Newtonian itulah yang menghasilkan paradigm yang digunakan dalam mendesain budaya barat sekarang. Kesalahan terjadi karena paradigm itu tidak melihat alam dan kehidupan ini secara utuh menyeluruh (whole-ness), paradigm itu hanya melihat alam ini pada bagian yang empiriknya saja.[1]

Filosof Barat Kontemporer, Martin Heidegger menulis The End of Philosophy, mengambarkan tentang berakhirnya filsafat sebagai alat untuk memperoleh pengetetahuan. Bahwa filsafat tidak lagi mapan untuk menjadi jalan pengetahuan metafisik[2].  Akhir metafisik ketika dimulainya klaim ontologi sebagai pondasi dunia realitas mengalami kemerosotan hingga dunia realitas tidak lagi menggantungkan pendefinisian dirinya pada model-model kebenaran metafisik tersebut – logos, eidos, substansi, esensi Tuhan – melainkan oleh kebenaran dalam dunia itu sendiri.[3]
Menurut Auguste Comte, pencetus filsafat positivisme, masyarakat akan bergerak dari arah primitif ke arah modern. Ia meyakini bahwa masyarakat berevolusi dan berkembang bersamaan dengan pergeseran pandangan teologi kepada sains. Ia mendefinisikan aasyarakat primitif sebagai masyarakat yang masih tergantung pada hal-hal mistis-teologis, sedangkan masyarakat modern telah bergantung kepada sains.
Dengan filosofi demikian, implikasinya adalah indikator kemajuan hanya diarahkan pada konstruksi defenisi sains. Agama ditinggalkan karena dianggap sebagai bentuk ketertinggalan masyarakat. Nilai-nilai moral dan kebenaran harus disusun berdasarkan defenisi sains.
Penulis buku ‘beragama di zaman Sains Modern’,  Iaones Rakhmat menulis, pendek kata, ada banyak nilai moral yang ditawarkan kitab-kitab suci kuno, yang tak kena lagi untuk zaman sekarang. Akibatnya, fungsi agama sebagai satu sumber terpenting ajaran moral bagi kehidupan modern dipertanyakan.[4]
Lebih lanjut Ia menulis dalam fanspage-nya,
justru kebenaran-kebenaran yang diwartakan agama-agama adalah kebenaran-kebenaran yang paling tidak pasti, paling relatif, sebab hal-hal yang diklaim sebagai kebenaran dalam agama-agama tidak berpijak pada bukti-bukti empiris objektif yang dapat diobservasi oleh indra atau oleh peralatan teknologis, melainkan hanya dipercaya saja secara subjektif. Jika si agamawan memandang agamanya berisi banyak ketidakpastian, maka dia akan tak berkeberatan jika agamanya diusulkan untuk dipandang sebagai art and humor, seni dan banyolan, yang dapat mengobati penyakit stres yang diidap banyak manusia modern, termasuk dirinya sendiri.[5]

Hal ini menunjukkan bahwa sains sekuler begitu arogan bahkan hingga melingkupi  urusan moral. Sains tampil lebih dominatif dan hendak berevolusi untuk membangun standar moral tersendiri. 
Postulat akan matinya Filsafat oleh Heiddeger sejalan dengan filosof Weittgenstein yang beraliran analitik (dikembangkan di Negara berbahasa Inggris, dan diteruskan hingga ke Polandia). Filsafat ini menyerupai ilmu-ilmu alam yang empiris, hanya saja objeknya bukanlah barang dan peristiwa tetapi pernyataan, aksioma dan prinsip. Immanuel Kant juga menyatakan kritikannya atas filsafat metafisika. Bahwa pengetahuan merupakan hasil kerjasama antara pengetahuan inderawi yang aposteriori dan keaktifan akal yang faktor priori. Sementara rene Descartes berpendapat bahwa kebenaran ada pada diri subjek sendiri. Metode untuk memperoleh kebenaran hanya dengan menyangsikan segala sesuatu dan hanya yakin pada satu hal bahwa ‘aku berpikir’, maka ‘aku ada’. [6]
Semua pendapat di atas justru dibantah oleh John Horgan. Ia jelas mengatakan bahwa filsafat justru akan mati karena sikap skeptik para filosof sendiri. Skeptisisme tersebut telah membawa pada jurang pesimisme terhadap masa depan dan kebenaran ilmu pengetahuan. [7]
Intinya adalah filsafat dalam tradisi pemikiran Barat secara genetis anti agama. Para filosof dan saintis terus menggugat dan memberangus agama. Teori-teori Ludwig Feuerbach, Karl Marx, Charles Darwin, Friedrich Nietszche dan Sigmund Freud tidak memberi ruang untuk tuhan[8]. Dunia bagi saintis adalah dunia tanpa tuhan (Godless). Bagi Nietszche, Tuhan hanyalah realitas subjektif dalam fikiran manusia, alias khayalan manusia yang tidak ada dalam realitas objektif[9]. Inilah yang dimaksud-kan dalam tradisi keilmuwan Barat sebagai Scientific Paradigm. Paradigma Ilmiah yang bebas Tuhan.
Bagi Barat yang netral, objektif, dan bernilai otentik adalah tanpa membawa pandangan agama. Hingga dimensi hidup dalam bingkai Negara yang tertinggi adalah tanpa agama. Ilmu tanpa wahyu. Dan realita sosial tanpa campur tangan Tuhan.
Dalam kajian filsafat ilmu, epistemology barat telah jauh bergeser dari epistemology Filsafat Yunani. Konsep ilmu bagi Barat sudah merubah sakralitas antara otoritas wahyu dan ilmu pengetahuan itu sendiri. Agama Kristen terpinggirkan hingga muncul ungkapan, “Sorry sir, this is a science not theology!”. “Bicaralah apa saja, asal jangan bawa-bawa Tuhan”.
Itu juga yang pernah saya dengar dari seorang Professor ketika mengomentari tugas akhir seorang mahasiswa yang mengangkat tema-tema yang menurutnya ‘berbau’ agama,  sementara ia jurusan Eksak. “Itu cocoknya di Pesantren bukan di sekolah umum”, kata sang Professor. Padahal sekolah umum di daerah saya 100% muslim.
Pemikiran problematic-dikotomis seperti ini adalah hasil dari sekulerisasi ilmu. Hingga semua hal yang dianggap pertengahan, objektif, faktual dan otentik , universal adalah hal yang bebas dari pengaruh wahyu. Ilmu pengetahuan dipersyaratkan harus dapat teramati (observable), dapat terulang (repeatable), dapat terukur (measurable), dapat teruji (testable), dan dapat teramalkan (predictable).[10] Sehingga paradigma ilmiah dalam sains adalah hal yang sudah baku sesuai metode logico-hyphotetico-verificative. Artinya terjadi penyempitan makna paradigma ilmiah, dengan bersandar hanya sekedar pada metode rasional-empirik semata.
Paradigma ilmiah, pola pikir sains atau thariqah ilmiah inilah dijadikan sebagai asas dalam menetapkan pemahaman terhadap segala sesuatu. Kalau pun ada pengetahuan yang membahas masalah hari akhir, syurga dan neraka, dianggap sebagai sesuatu yang berada di luar dari paradigma ilmiah. Sehingga yang dibutuhkan untuk hal seperti itu hanya iman. Dampaknya, iman atau keyakinan seakan-akan adalah sebuah doktrin yang tidak rasional dan empirik, serta tidak memenuhi standar keilmiahan. Ilmu dipisahkan dari iman. Karena keyakinan tidak memiliki landasan yang ilmiah, sedangkan ilmu memenuhi standar metode ilmiah.
Lalu, kalau begitu, bagaimana ajaran agama bisa dibuktikan sebagai sebuah kebenaran yang mengantar seseorang sampai pada tahap yakin ?. Bukankah derajat ilmu sebanding dengan derajat keyakinannya terhadap apa yang di-ilmuinya ?
Insya Allah akan dibahas pada postingan berikutnya tentanya kesatuan antara ilmu dan iman. (Wallohu a’lam bi as-Shawab)


Bahan Bacaan

[1] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan hati Sejak Thales hingga Chapra, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010, hlm. 263
[2] Metafisika adalah cabang filsafat yang membahas tentang hal-hal diluar realitas empirik. Metafisika menurut Dr. Abbas Mansur Tamam, sebenarnya bagi barat juga diakui. Salah satu contohnya adalah akal itu sendiri. Hingga kini, belum ada yang bisa membuktikan apa sebenarnya akal itu. Akan tetapi bagi islam, Metafisika bukan hanya akal. Karena hal-hal yang non-empirik sangat banyak dibahas dalam al-Qur’an. Malaikat, syurga, neraka, yaumul hisab, yaumul mahsyar, bahkan Tuhan sendiri adalah hal yang tidak bisa ditangkap oleh indera. Namun dalam istilah agama kita, semua hal itu sudah diberi konsep dengan istilah ghaib.
[3] Ahmad Sastra, Filosofi Pendidikan Islam; Memahami Epistemologi Islam, Menggugat Filsafat Barat, Bogor: darul Muttaqien, 2014, hlm. 11
[4] Diakses dari https://www.facebook.com/notes/ioanes-rakhmat-full/tiga-ranah-debat-sains-dan-agama/10150225136754096 4 Desember 2014, Pukul 14.50 WIB
[5] Diakses dari https://www.facebook.com/notes/ioanes-rakhmat...
[6] Ahmad Sastra, Filosofi…, hlm. 12
[7] Ahmad Sastra, Filosofi…, hlm. 13
[8] Hamid Fahmi Zarkasyi, Misykat; Refleksi tentang Westernisasi, Liberisasi dan Islam, cet. ke-2, 2012, hlm. 69
[9] Hamid Fahmi Zarkasyi, Misykat…, hlm. 23
[10] Lihat Khairul Umam dalam Budi Handrianto, Islamisasi Sains, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2010, hlm. 67

No comments:

Post a Comment

 

Iklan Buku

Followers

Bincang-Bincang