Pada tulisan yang lalu kita menyatakan
bahwa chaos yang terjadi dalam
kondisi perdaban dunia hari ini disebabkan oleh kesalahan paradigma. Hal itu
bisa dilihat dari pendapat Prof. Ahmad Tafsir dalam buku Filsafat Umum-nya.
Beliau menyatakan bahwa, dari analisis
filsafat dan sejarah kebudayaan kita mengetahui bahwa budaya barat disusun
dengan menggunakan hanya satu paradigma, yaitu paradigma sains (scientific paradigm). Paradigma ini
disusun berdasarkan warisan Descartes dan Newton. Warisan dua tokoh ini
merupakan inti pembahasan buku Capra. Ia menyatakan abhwa paradigm yang
diturunkan dari Cartesian dan Newtonian itulah yang menghasilkan paradigm yang
digunakan dalam mendesain budaya barat sekarang. Kesalahan terjadi karena paradigm
itu tidak melihat alam dan kehidupan ini secara utuh menyeluruh (whole-ness), paradigm itu hanya melihat alam
ini pada bagian yang empiriknya saja.[1]
Filosof Barat Kontemporer, Martin
Heidegger menulis The End of Philosophy,
mengambarkan tentang berakhirnya filsafat sebagai alat untuk memperoleh
pengetetahuan. Bahwa filsafat tidak lagi mapan untuk menjadi jalan pengetahuan
metafisik[2]. Akhir metafisik ketika dimulainya klaim
ontologi sebagai pondasi dunia realitas mengalami kemerosotan hingga dunia
realitas tidak lagi menggantungkan pendefinisian dirinya pada model-model
kebenaran metafisik tersebut – logos, eidos, substansi, esensi Tuhan –
melainkan oleh kebenaran dalam dunia itu sendiri.[3]
Menurut Auguste Comte, pencetus
filsafat positivisme, masyarakat akan bergerak dari arah primitif ke arah
modern. Ia meyakini bahwa masyarakat berevolusi dan berkembang bersamaan dengan
pergeseran pandangan teologi kepada sains. Ia mendefinisikan aasyarakat
primitif sebagai masyarakat yang masih tergantung pada hal-hal mistis-teologis,
sedangkan masyarakat modern telah bergantung kepada sains.
Dengan
filosofi demikian, implikasinya adalah indikator kemajuan hanya diarahkan pada konstruksi
defenisi sains. Agama ditinggalkan karena dianggap sebagai bentuk ketertinggalan
masyarakat. Nilai-nilai moral dan kebenaran harus disusun berdasarkan defenisi
sains.
Penulis
buku ‘beragama di zaman Sains Modern’, Iaones Rakhmat menulis, pendek kata, ada
banyak nilai moral yang ditawarkan kitab-kitab suci kuno, yang tak kena lagi
untuk zaman sekarang. Akibatnya, fungsi agama sebagai satu sumber terpenting
ajaran moral bagi kehidupan modern dipertanyakan.[4]
Lebih lanjut
Ia menulis dalam fanspage-nya,
justru
kebenaran-kebenaran yang diwartakan agama-agama adalah kebenaran-kebenaran yang
paling tidak pasti, paling relatif, sebab hal-hal yang diklaim sebagai
kebenaran dalam agama-agama tidak berpijak pada bukti-bukti empiris objektif
yang dapat diobservasi oleh indra atau oleh peralatan teknologis, melainkan
hanya dipercaya saja secara subjektif. Jika si agamawan memandang agamanya
berisi banyak ketidakpastian, maka dia akan tak berkeberatan jika agamanya
diusulkan untuk dipandang sebagai art and humor, seni dan banyolan, yang dapat
mengobati penyakit stres yang diidap banyak manusia modern, termasuk dirinya
sendiri.[5]
Hal ini
menunjukkan bahwa sains sekuler begitu arogan bahkan hingga melingkupi urusan moral. Sains tampil lebih dominatif dan
hendak berevolusi untuk membangun standar moral tersendiri.
Postulat akan matinya Filsafat oleh
Heiddeger sejalan dengan filosof Weittgenstein yang beraliran analitik
(dikembangkan di Negara berbahasa Inggris, dan diteruskan hingga ke Polandia). Filsafat
ini menyerupai ilmu-ilmu alam yang empiris, hanya saja objeknya bukanlah barang
dan peristiwa tetapi pernyataan, aksioma dan prinsip. Immanuel Kant juga menyatakan
kritikannya atas filsafat metafisika. Bahwa pengetahuan merupakan hasil
kerjasama antara pengetahuan inderawi yang aposteriori dan keaktifan akal yang
faktor priori. Sementara rene Descartes berpendapat bahwa kebenaran ada pada
diri subjek sendiri. Metode untuk memperoleh kebenaran hanya dengan
menyangsikan segala sesuatu dan hanya yakin pada satu hal bahwa ‘aku berpikir’,
maka ‘aku ada’. [6]
Semua pendapat di atas justru dibantah
oleh John Horgan. Ia jelas mengatakan bahwa filsafat justru akan mati karena
sikap skeptik para filosof sendiri. Skeptisisme tersebut telah membawa pada
jurang pesimisme terhadap masa depan dan kebenaran ilmu pengetahuan. [7]
Intinya adalah filsafat dalam tradisi
pemikiran Barat secara genetis anti agama. Para filosof dan saintis terus
menggugat dan memberangus agama. Teori-teori Ludwig Feuerbach, Karl Marx,
Charles Darwin, Friedrich Nietszche dan Sigmund Freud tidak memberi ruang untuk
tuhan[8]. Dunia bagi saintis adalah
dunia tanpa tuhan (Godless). Bagi
Nietszche, Tuhan hanyalah realitas subjektif dalam fikiran manusia, alias
khayalan manusia yang tidak ada dalam realitas objektif[9]. Inilah yang dimaksud-kan
dalam tradisi keilmuwan Barat sebagai Scientific
Paradigm. Paradigma Ilmiah yang bebas Tuhan.
Bagi Barat yang netral, objektif, dan
bernilai otentik adalah tanpa membawa pandangan agama. Hingga dimensi hidup
dalam bingkai Negara yang tertinggi adalah tanpa agama. Ilmu tanpa wahyu. Dan
realita sosial tanpa campur tangan Tuhan.
Dalam kajian filsafat ilmu, epistemology
barat telah jauh bergeser dari epistemology Filsafat Yunani. Konsep ilmu bagi Barat
sudah merubah sakralitas antara otoritas wahyu dan ilmu pengetahuan itu
sendiri. Agama Kristen terpinggirkan hingga muncul ungkapan, “Sorry sir, this is a science not theology!”.
“Bicaralah apa saja, asal jangan bawa-bawa Tuhan”.
Itu juga yang pernah saya dengar dari
seorang Professor ketika mengomentari tugas akhir seorang mahasiswa yang mengangkat
tema-tema yang menurutnya ‘berbau’ agama, sementara ia jurusan Eksak. “Itu cocoknya di
Pesantren bukan di sekolah umum”, kata sang Professor. Padahal sekolah umum di
daerah saya 100% muslim.
Pemikiran problematic-dikotomis
seperti ini adalah hasil dari sekulerisasi ilmu. Hingga semua hal yang dianggap
pertengahan, objektif, faktual dan otentik , universal adalah hal yang bebas
dari pengaruh wahyu. Ilmu pengetahuan dipersyaratkan harus dapat teramati (observable), dapat terulang (repeatable), dapat terukur (measurable), dapat teruji (testable), dan dapat teramalkan (predictable).[10] Sehingga paradigma ilmiah
dalam sains adalah hal yang sudah baku sesuai metode logico-hyphotetico-verificative. Artinya terjadi penyempitan makna paradigma
ilmiah, dengan bersandar hanya sekedar pada metode rasional-empirik semata.
Paradigma ilmiah, pola pikir sains
atau thariqah ilmiah inilah dijadikan
sebagai asas dalam menetapkan pemahaman terhadap segala sesuatu. Kalau pun ada
pengetahuan yang membahas masalah hari akhir, syurga dan neraka, dianggap
sebagai sesuatu yang berada di luar dari paradigma ilmiah. Sehingga yang
dibutuhkan untuk hal seperti itu hanya iman. Dampaknya, iman atau keyakinan
seakan-akan adalah sebuah doktrin
yang tidak rasional dan empirik, serta tidak memenuhi standar keilmiahan. Ilmu
dipisahkan dari iman. Karena keyakinan tidak memiliki landasan yang ilmiah,
sedangkan ilmu memenuhi standar metode ilmiah.
Lalu, kalau begitu, bagaimana ajaran
agama bisa dibuktikan sebagai sebuah kebenaran yang mengantar seseorang sampai
pada tahap yakin ?. Bukankah derajat ilmu sebanding dengan derajat keyakinannya
terhadap apa yang di-ilmuinya ?
Insya Allah akan dibahas pada
postingan berikutnya tentanya kesatuan antara ilmu dan iman. (Wallohu a’lam bi as-Shawab)
Bahan Bacaan
[1] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan hati Sejak Thales
hingga Chapra, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010, hlm. 263
[2] Metafisika adalah cabang
filsafat yang membahas tentang hal-hal diluar realitas empirik. Metafisika
menurut Dr. Abbas Mansur Tamam, sebenarnya bagi barat juga diakui. Salah satu
contohnya adalah akal itu sendiri. Hingga kini, belum ada yang bisa membuktikan
apa sebenarnya akal itu. Akan tetapi bagi islam, Metafisika bukan hanya akal.
Karena hal-hal yang non-empirik sangat banyak dibahas dalam al-Qur’an.
Malaikat, syurga, neraka, yaumul hisab, yaumul mahsyar, bahkan Tuhan sendiri
adalah hal yang tidak bisa ditangkap oleh indera. Namun dalam istilah agama
kita, semua hal itu sudah diberi konsep dengan istilah ghaib.
[3] Ahmad Sastra, Filosofi Pendidikan Islam; Memahami
Epistemologi Islam, Menggugat Filsafat Barat, Bogor: darul Muttaqien, 2014,
hlm. 11
[4] Diakses dari
https://www.facebook.com/notes/ioanes-rakhmat-full/tiga-ranah-debat-sains-dan-agama/10150225136754096
4 Desember 2014, Pukul 14.50 WIB
[5] Diakses dari
https://www.facebook.com/notes/ioanes-rakhmat...
[6] Ahmad Sastra, Filosofi…, hlm. 12
[7] Ahmad Sastra, Filosofi…, hlm. 13
[8] Hamid Fahmi Zarkasyi, Misykat; Refleksi tentang Westernisasi,
Liberisasi dan Islam, cet. ke-2, 2012, hlm. 69
[9] Hamid Fahmi Zarkasyi, Misykat…, hlm. 23
[10] Lihat Khairul Umam dalam Budi
Handrianto, Islamisasi Sains,
Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2010, hlm. 67
No comments:
Post a Comment