Abu
Adlan Faatih
Lewat situs resminya paradetauhid.id, Parade Tauhid yang dilaksanakan
16 Agustus 2015 mengutip pernyataan Ust. Bachtiar Nasir, bertujuan :
Pertama #Parade_Tauhid_Indonesia dalam rangka merealisasikan Amanah Kongres
Umat Islam VI di Yogyakarta. Di mana Kongres Umas Islam Indonesia VI di
Yogyakarta mengamanahkan : 1. Penguatan Politik Islam. 2. Penguatan Ekonomi
Islam. 3. Penguatan sosial budaya Islam.
Kedua #Parade_Tauhid_Indonesia dalam rangka mensyukuri nikmat kemerdekaan Indonesia ke 70,
Ketiga #Parade_Tauhid_Indonesia dalam rangka Halal bi Halal Nasional dan
Halal Bi Halal antara umat dan tokohnya.
lebih rinci, tujuan parade tauhid indonesia disebutkan agar :
1. Tumbuhnya kembali kesadaran pentingnya
tauhid bagi setiap muslim dalam menjalani kehidupan individu, keluarga,
bermasyarakat, dan bernegara
2. Tumbuhnya rasa syukur atas anugrah
kemerdekaan yang telah Allah limpahkan kepada bangsa Indonesia, serta halal bil
halal akbar ummat Islam
3. Terciptanya langkah awal konsolidasi umat
Islam dalam upaya membangun masyarakat bermartabat, sebagai tindak lanjut
Kongres Umat Islam Indonesia VI tahun 2015
4. Terbangunnya ukhuwah Islamiyah seluruh
elemen ummat Islam, sehingga menjadi potensi dan energi positif bagi upaya
mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pendahuluan
Sembahlah
Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.
(QS
an-Nisaa’: 36)
Ketuhanan
Yang Maha Esa.
(Sila
Pertama Pancasila)
Atas
berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan
luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia
menyatakan dengan ini kemerdekaannya
(Mukadimah
UUD 1945)
Di tengah usaha umat islam untuk bangkit dari
keterpurukan ekonomi dan politik, masih ada saja yang tetap gemar menebarkan
syubhat, dan menghembuskan keraguan-raguan atas gerakan dan keyakinan mereka. Seperti
kata Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, ide dan pemikiran seperti air, mengalir dan
cepat merembes. Menghentikan geraknya tidak dapat dilakukan semata-mata hanya
dengan kekerasan. Ide harus dilawan dengan ide. Tinta harus dilawan dengan
tinta.
Kesadaran politik umat islam adalah hal yang baru. Jika
di zaman reformasi gerakan islam tidak mengenal istilah ‘manhaj’, mereka hanya
mengenal organisasi. Sementara di zaman sekarang, manhaj tumbuh berkembang biak
seiring dengan terbukanya keran demokrasi. Dulu, rasa persatuan dan kesatuan
lebih didahulukan untuk melawan satu musuh bersama, ‘rezim otoriter’. Tidak
peduli siapa pun ‘ustadz’ rujukannya. Akan tetapi, pasca reformasi gerakan
islam berdiferensiasi menjadi berbagai bentuk, ide, dan metode gerakan. Semua
itu terkait dengan sudut pandang para pendirinya dalam memandang ‘problematika
umat’ dan bagaimana ‘solusi’ mengatasinya.
Dialektika antara islam dan negara adalah persoalan
yang masih belum tuntas hingga hari ini. Ketika pemilu, umat islam yang
berjumlah mayoritas terpecah menjadi berbagai macam sikap. Peristiwa berdarah
Rabi’ah di Mesir, Kudeta Presiden Sah, Mursi oleh militer, umat islam juga
terpecah. Ada yang mendukung Demonstrasi Ikhwanul Muslimin, memanjatkan doa dan
menyebarkan lewat media sosial, dan sebaliknya malah ada yang menyudutkannya. Mengangkat
dalil tentang kewajiban patuh pada pemerintah meski budak hitam, dan fitnah
akhir zaman. Sementara di waktu yang lain, diam saat kekuasaan otoriter menguasai
mereka.
Akibatnya, kekuatan politik umat islam tidak
terhimpun karena adanya banyak pandangan tentang hubungan agama dan negara. Demokrasi
Kafir!, Pancasila Thagut!. Bahkan tak
jarang keyakinan akan konsekuensi Tauhid Rububiyah melenceng pada arah
ekstrimisme khawarij.
Apa yang terjadi di belahan dunia islam, ketika
mereka diacak-acak oleh musuh-musuhnya diyakini sebagai satu konsekuensi, bahwa
mereka meninggalkan dasar agama mereka. Qur’an dan Sunnah. Akan tetapi, perlu digaris-bawahi, bahwa ar-Ruju’ ila al-Qur’an wa as-Sunnah
bukanlah sebuah metode yang kaku seperti patung yang dipahat. Tidak semua
lafadz Qur’an dapat langsung diterjemahkan ke alam nyata, apalagi tanpa bantuan
ulama. Karena itu akan berbahaya, jika keduanya dipahami secara sempit melalui aqwal satu atau beberapa ulama saja.
Al-Qur’an kata Sayyid Quthb adalah jawaban atas realitas-realitas
yang berdetak di sekeliling umat islam saat itu. Al-Qur’an bukan sekedar lantunan
qira’ah, tapi al-Qur’an adalah
jawaban hidup yang menjadi tafsiran dan respon atas dinamika sosial-politik
yang terjadi di zaman Nabi SAW.
Demikian halnya syariat islam. Karena islam telah
dibingkai oleh ‘logika’ shahih likulli
zaman wa makan, maka islam akan terus hidup di tengah arus zaman yang
banyak menyeret banyak manusia dalam confusion
of knowledge, kekacauan pemikiran.
Karena itu, ilmu harus ditegakkan, dan syubhat harus dijernihkan. Imam
Ibnul Qayyim menyatakan dalam syubhat
terdapat kesamaran antara yang haq dan yang bathil, Karena sesungguhnya syubhat
tersebut memakai pakaian yang haq menutupi badan yang bathil, dan kebanyakan
manusia adalah orang-orang yang baik dari segi zhahir, sehingga orang yang
melihat pakaian yang ia pakai, meyakininya sebagai kebenaran.[1]
Karena itu, Penulis merasa terpanggil untuk angkat pena dalam
masalah ini.
#Alasan Pertama: Kesadaran
Sejarah
Lahirnya kesadaran umat untuk kembali beragama,
setelah mengerti tentang sejarah yang benar tentang bangsanya. Mereka mengerti
tentang perjuangan para pendahulunya yang berjuang dengan tetesan darah, tinta,
dan keringat untuk menegakkan satu kalimat takbir, “Allahu Akbar!” dan
menggetarkan musuh melawan Bedil, Bom dan Senapan bermodalkan Bambu runcing. Bahkan
para Wali Songo datang ke Indonesia menyebarkan Islam, mengubah masyarakan yang
hampir 100% animisme menjadi hampir 100 % islam dengan tangan kosong. Mereka hanya bermodalkan tawakkal, dan kerja keras
mengajak manusia untuk mentauhidkan Allah.
Kesadaran akan sejarah yang lurus, menjadikan umat
islam paham bahwa pancasila yang ditetapkan dalam Jakarta Charter 22 Juni 1945,
adalah hasil usaha para Negarawan Muslim beradu argumen, hujjah dan
statemen di depan para nasionalis-sekuler yang mengehendaki penghapusan agama
dari kehidupan berbangsa dan bernegara (Fashlu
ad-Diin an ad-Daulah wa al-Hayah). Kewajiban
Menjalankan Syariat Islam Bagi Para Pemeluk-Pemeluknya, bukan sekedar
tulisan. Tapi ia adalah refleksi Jiwa Para Ulama yang sebelumnya telah menyadari
betapa pengorbanan umat islam untuk membebaskan diri dari Belitan Hegemoni Misi
Gold, Glory dan yang lebih berbahaya Gospel
para kolonialis. Mengorbankan jiwa. Meninggalkan anak dan istri. Bahkan
bahagia bila rumah mereka dibakar, dan harta mereka habis untuk perjuangan,
untuk satu kata, Merdeka. Pahlawan Bangsa, Mohammad Natsir menulis: “Dahulu,
mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya
tewas di medan pertempuran…”.
Para pahlawan pendahulu Bangsa adalah para Ulama dan
Santri, Prof. Ahmad Mansur Surya Negara, menyatakan bahwa mayoritas dari
pejuang pendidikan dan konfrontasi Bangsa Indonesia adalah kalangan ulama dan
santri. Hal itu dibenarkan oleh Thomas S. Raffles, dalam bukunya The History of Java, bahwa kemerdekaan
Indonesia tidak lepas dari peranan ulama
dan santri yang berjumlah sepersembilan belas dari populasi penduduk di
Jawa pada waktu itu.[2]
Dalam Bukunya “Mujahid Dakwah”, Dr. M. Isha Anshari
mengisahkan dirinya ketika berada dalam penjara era Nippon bersebelahan dengan Penjara
KH. Zainal Mustofa, Pejuang Tasikmalaya. “Mengapa Kiai melawan Jepang…?”, tanya
Dr. Isha. Suatu ungkapan yang sederhana, namun lugas dan tegas dari bibir KH.
Zainal Mustafa, “Bukankah Orang Jepang itu adalah Majusi ?”[3].
Jawaban yang menjadi refleksi, bahwa motivasi yang mendorong KH. Zainal Mustafa
melakukan perlawanannya adalah karena orang Jepang adalah orang Kafir yang
tidak berhak menjajah tanah-air muslim.
Umat islam sadar bahwa Agama, dan bangsa ini tidak
akan merdeka dari penjajahan syirik dan kejahiliahan sebelum ada segolongan
dari penduduknya yang beramar makruf dan bernahi munkar dan berani untuk berjuang
meraih kesyahidan. -Sekali lagi, gembira Kehilangan suami dan anak-anaknya.
Terbakar ruamahnya. Hilang pekerjaannya. - Demi ketinggian aqidah tauhid. Al-Mujaahidu,
man qatala litakuuna kalimatullahi hiya al-‘ulya. Dan sebelum bangsa ini
merdeka, ia telah dimerdekakan oleh para pejuang dari kelemahan dan kesyirikan.
Meski setelah bangsa ini merderak, mereka tikda sama sekali mengenal apa itu
pancasila.
Umat
islam mulai sadar, bahwa sejarah tentang bangsa yang mereka pelajari selama ini
adalah sejarah yang ditulis oleh rezim yang berkuasa. History is Written By The Victor. Padahal, kini banyak buku yang
bermunculan mengungkap bagaimana peran Ulama dalam kemerdekaan. 22 Juni 1527
Syarif HIdayatullah bersama Fatahillah berhasil mengorganisasikan serangan
balasan secara militer kepada Portugis atas Sunda Kelapa dan melanjutkannya
dalam rangka pembinaan territorial Jayakarta sebagai landasan awal mewujudkan
Fathan Mubina[4]. Pangeran
Diponegoro mampu menggerakkan dukungan 200.000 rakyat jawa bersamanya melawan
penjajah Belanda. Sementara saat itu ia telah terusir dari keraton Yogya. Yang
dengan terang-terangan di depan Jenderal De Cock ingin mendirikan kerajaan di
tanah Jawa. Tuanku Imam Bonjol yang ingin membentuk masyarakat minangkabau
dengan adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah. Perhatikan
bagaimana Sultan Hasanuddin yangyang pernah mengirim surat kepada Jenderal
Speelman : Lautan luas ini adalah anugerah Ilahi bagi manusia, maka
janganlah hendak tuan kuasai sendiri. Begitu pula Pahlawan Raja Aji yang tewas di pantai Malaka
sedang tangan kirinya kitab Dalailul Khairat, dan Badik Bugis di Tangan
kanannya ![5].
Begitu pula Sentot alibasah
Prawirodirdjo yang harus dibuang ke Bangkahulu setelah tertangkap
Penjajah[6].
Kesadaran
itulah yang membuat umat islam paham bahwa Bangsa
Ini adalah milik umat islam!.
Sayang…
kesadaran itu agak sedikit lambat, hingga mereka telah didahului oleh keyakinan
yang selalu ingin menabrakkan doktrin teologi agama dan ideologi Bangsa. Kesadaran
yang lahir dari pengkaderan, doktrin dan
semangat akan al-Islami Ya’lu wa Laa
yu’la alaihi, namun terkadang berlebihan dalam aksi dan opini, sehingga
seakan-akan agama dan negara seperti timur dan barat. Untuk memenangkan islam,
maka negara harus dirubah dari akar-akar sistemnya!, demokrasi harus diganti
total. Seakan-akan mengubah dasar negara sama dengan membalik telapak tangan.
Hari ini dirubah, besok dijalankan.
Keyakinan
itu adalah lumrah di tataran aktivis pemula, yang baru 6 bulan melewati fase
pengkaderan marhalah awal. Semangat
yang menggebu-gebu. Gerakan yang massif. Bahkan kuliah pun seakan-akan menjadi usaha
dunia semata. Dan dakwah tauhid dengan kajian Syurutu Laa Ilaaha Illallah-lah yang menjadi jalan akhirat
semata-mata. Karena itu, menurutnya ‘kuliah harus dikorbankan’ untuk cita-cita Dakwah
Islam.
[1]
Lihat: Fariq Gasim Anuz, Tabir Hidayah,
Bogor: Pustaka Imam Syafi’I, 2002.
[2]
Lihat Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan
Sejarah, Bandung: Mizan, 1995, hlm. 130-131
[3]
Lihat buku M. Isa Anshari, Mujahid Dakwah,
Cet.ke-11, Bandung : CV Diponegoro, 1997, (halaman kami tidak bisa sebutkan,
karena buku tersebut tidak lagi berada di tangan penulis)
[4]
Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan…, hlm.
163
[5]
Muhammad Natsir, dkk, Debat Dasar Negara;
Islam dan Pancasila konstituante 1957, Depok: Pustaka Panjimas, 2002, hlm.
103
[6]
Ahmad Mansur Surya Negara, Api Sejarah,
Bandung: Salamadani, 2013, hlm. 201
No comments:
Post a Comment