#Alasan Kedua:
Kesadaran Politik
Diobok-oboknya suara hak pilih umat islam,
dikritisinya penerapan syariat islam Aceh, wacana penghapusan kolom agam KTP, wacana
speaker masjid polusi udara, dibuatnya standar berdoa non-agama di sekolah, digugatnya
undang-undang Pernikahan Sesama Agama, divotingnya penetapan hukum Miras di
Parlemen, dilarangnya menyembelih Kurban di Sekolah dan Pawai Takbir di Jakarta
Serta terpilihnya pemimpin non-muslim di Ibu Kota Negara mayoritas Muslim, dan
puncaknya, Kalahnya calon presiden Usungan Koalisi Partai Islam (Reformis) dan terpilihnya Presiden usungan
Partai ideologi Marhaenisme berlambang moncong
putih, membuat Umat islam sadar bahwa Politik tidak bisa ditinggalkan.
Sebab mereka akan selalu menjadi korban Test
The Water. Dan sedikit demi sedikit akan dikuasai dan ditaklukkan. Mereka semakin
sadar bahwa di saat yang sama, saat mereka mengkaji Qur’an, membaca tafsir dan
bertadabbur dengannya, serta saat mereka rukuk dan sujud, ideologi yang merusak
juga sementara menjadi-jadi melakukan makar dan konspirasi merebut kekuasaan.
Menduduki jabatan strategis, dan selanjutnya menindas hak-hak umat islam.
Palestina, Muslim Rohingya Myanmar, Muslim Burma dan Kashmir, Muslim Cina, dan
di belahan bumi mana pun itu, umat islam selalu dipojokkan karena tidak adanya
‘kekuasaan’. Sangat tepatlah, jika ternyata “Posisi menentukan Hasil”. Kekuatan
dan Pengaruh bergantung pada Posisi dan Kekuasaan.
Umat Islam semakin sadar bahwa dakwah tanpa
‘politik’, mereka akan dikadalin, begitu
kata Prof. A.M. Saefuddin, Penggagas Islamisasi Sains dan Kampus. Demikian
halnya Politik tanpa dakwah, tak akan memberikan hasil apa-apa. Dr. Muhammad
Natsir juga paham, ketika Partai Masyumi dibubarkan oleh rezim Soekarno Tahun
1960, ia pun mengatakan “Jika dahulu kita Berdakwah dalam Politik, Sekarang
kita Berpolitik dalam dakwah”. Isyarat saat mendirikan Ormas Dewan Islamiyah
Indonesia (DDII).
Karena itu, muwashafat
siyasiyah adalah hal yang mutlak. Agar umat islam mampu bermain secara
halus dan lebih elegan. Memiliki tashawwur tentang dakwah dan kekuasaan. Ada
lahan yang tidak bisa dijangkau kecuali hanya dengan kekuasaan. Jika ingin energi
dakwah yang lebih besar, tuas-nya harus lebih massif menghasilkan momen gaya
yang lebih besar. Kecepatan (velocity)
yang lebih tinggi, menghasilkan momentum dakwah yang juga lebih besar.
Sebanding dengan itu, daya ledaknya juga semakin besar. Syaikhul Islam Imam Ibn
Taimiyah rahimahullah berkata: “Seseorang itu sewajarnya mengetahui bahawa
mengurus (mengatur) persoalan kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang
tertinggi, malah agama dan dunia tidak
akan sempurna tanpa siyasah”.
Mereka semakin sadar bahwa ‘dakwah islam’ sudah harus
siap menjemput gerakan yang ‘berorientasi politik’. Bukan politik seperti
dipahami negatif secara luas di masyarakat. Politik dalam makna strategi.
Metode, cara dan taktik pengembangan dakwah yang diarahkan pada kekuatan basis
massa dan kekuasaan. Karena jika tidak, posisi-posisi strategis akan diambil
alih oleh idelogi sekuler-kapitalis, Komunis-Sosialis atau ideologi dengan konsep negara Wilayat al-Faqih[1]
yang tidak kurang berbahayanya.
Pemahaman tentang politik semakin bisa dijernihkan di
kalangan umat Islam. Bahwa Politik tidak selamanya kotor, licik dan sarat
kepentingan untuk berkuasa. Tapi politik bermakna luas. Seorang mantan anggota
Legislatif DPRD Pati, Jawa Tengah mengatakan, “Politik itu berasal dari kata Polis, yang artinya kebijakan. Dan Kebijakan
itu harus bersumber pada kebenaran. Dan
kebenaran hanya milik Allah. Karena itu, dalam politik nilainya adalah
kebenaran dari Allah”.
Mereka sadar bahwa, Gerakan bottom-up sudah harus menjadi keniscayaan. Itu adalah syarat untuk
tamkin menurut Prof. Muhammad Ali Ash-Shalabi dalam Fiqhu at-Tamkin. Dan mereka sadar bahwa, musuh mereka sangat
mencintai gerakan dakwah Islam yang hanya sibuk di masjid, shalat, dan dzikir
dan sibuk dengan riyadhah bathiniah (sufisme),
sehingga jabatan dan kekuatan yang menentukan bagaimana iklim dan kondisi negara
akan kosong dari suara islam. Padahal sudah berapa Provinsi yang telah direbut
kekuasaannya oleh non-muslim padahal masyaraktnya masyoritas muslim!.
Mereka sadar akan Takwinul
fardhi wal mujtama’. Sehingga mereka harus merespon secara proaktif,
isu-isu yang berkaitan dengan politik. Karena memang setiap gerakan dakwah,
tujuannya semuanya akan berakhir pada kekuasaan, kata Anis Matta.
Mereka sadar melihat sejarah, bagaimana Rasulullah
mempersiapkan Pasukan Ekspansi Jihad selama 13 Tahun dengan pembentukan pribadi
dan komunitas. Sehingga basis sosialnya sangat kuat. Dan ketika telah
menaklukkan daerah, mereka sudah mampu me-manage
dengan aturan yang demikian rapi dan apik. Dan tentu, itu tidak serta merta
hadir tanpa ada penugasan, dan pembiasaan.
Dan di sisi yang lain, Umat Islam semakin sadar bahwa
posisi atau kekuasaan bukan tujuan. Tapi posisi dan kekuasaan dapat mempermudah
dakwah. Melebarkan pengaruh dan memastikan tamkin. Sebagaimana pendapat Dr.
Fathi Syihabuddin, dalam Al-Auraq Fii
at-Tarbiyah as-Siyaasiyah, saat menjelaskan bahwa shalat dalam satu dimensi
adalah contoh dari implementasi politik.
Karena itu juga, Islam Kaffah adalah implementasi islam dalam seluruh bidang
kehidupan. Berusaha memperjuangkannya untuk dimenangkan dalam seluruh lini.
Sekuler, bukan Cuma memisahkan “agama dari negara”. Tapi juga memisahkan “negara
dari agama”. Karena itu juga, sekuler bukan hanya sibuk di kantor dan menyimpan
agama di masjid. Sekuler juga membatasi diri dengan ibadah ritual di masjid,
padahal bekerja juga adalah ibadah. Dan jika itu dibiarkan, akan terbentuk ‘Pandangan
Problematis’. Dan Ulama sangat paham
betul bagaimana Social Engineering dalam
menekan Penguasa dengan kekuatan Dakwah Tauhid!.
Umat Islam semakin sadar saat
mereka tidak mampu menerapkan kehidupan islam dalam seluruh lingkupnya, dan
bersamaan dengan gelombang semangat shahwah
islamiyah di tengah keterpurukan di berbagai belahan dunia islam, mereka semakin
rindu dengan hadirnya Undang-Undang Pro-Syariat yang melindungi hukum-hukum
Allah. Dan pada saat yang sama mereka semakin sadar adanya gerakan yang lain
yang berusaha untuk mengincar ‘kursi panas’. Sudah cukup pelajaran dari Suriah
yang mayoritas Sunni diacak-acak oleh minoritas Syiah, karena memegang
kekuasaan. Begitu pula umat islam mendapat pelajaran berharga dalam sejarah
panjang memperjuangkan syariat, saat gerakan DI/TII yang menjadi ‘sejarah hitam’
karena ditulis oleh nasionalis-sekuler
membuat pandangan tentang gerakan Kartosuwiryo dan Qahhar Muzakkar sebagai
‘pemberontakan’. Sudah cukup dengan gerakan dengan konfrontasi. Umat islam
hanya akan menanggung derita yang sama.
Gelombang
kesadaran akan pentingnya persatuan, realitas kemunduran, dan pentingnya
konsolidasi politik membuat umat islam merapatkan barisan untuk bergerak
bersama dalam satu bendera tauhid.
#Alasan ketiga: Kesadaran Akan
Pentingnya Persatuan dan Adanya Musuh Bersama
Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu
(masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu
menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu
telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat
petunjuk. (QS. Ali Imran: 103)
Memang perpecahan
adalah masalah besar tetapi putus asa bersatu jauh lebih berbahaya,
Mempersatukan tokoh
dan pemimpin Islam terbilang berat, tetapi putus asa mempersatukan
tak akan mendatangkan
pertolongan Allah.
(Ustadz Bachtiar Nasir,Sekjen MIUMI)
Dalam Zad al-Ma’asir, Ibn al-Jauzi (508-597H)
menerangkan bahwa bihablillah
memiliki beberapa pengertian antara lain: (1) kitab Allah, al-Qur`an
sebagaimana diriwayat Syaqiq dari Ibn Mas’ud, yang disepekati Qatadah,
al-Dlahak dan al-Suddi. (2) Jamaah semua muslimin sebagaimana dikemukakan oleh
al-Sya’bi masih dari Ibn Mas’ud. (3) Agama Allah sebagaimana dikemukakan Ibn
Abbas, Ibn Zaid yang menegaskan al-Islam, Muqatil, dan Ibn Qutaibah. (4) Janji
dengan Allah, sebagaimana dikemukakan Mujahid, Atha. (5) al-Ikhlash, sebagaiman
dikemukakan Abu al-Aliyah. (6) Perintah Allah dan kemestaian menaatinya,
sebagaimana dikemukakan oleh Muqatil bin Hayan.
Ibnu Jarir Ath Thabari berkata tentang tafsir ayat
ini: Allah Ta’ala menghendaki dengan ayat ini, Dan berpeganglah kamu semuanya
kepada agama Allah yang telah Dia perintahkan, dan (berpeganglah kamu semuanya)
kepada janjiNya yang Dia (Allah) telah mengadakan perjanjian atas kamu di dalam kitabNya, yang berupa persatuan
dan kesepakatan di atas kalimat yang haq dan berserah diri terhadap perintah
Allah. [Jami’ul Bayan 4/30.]
Al Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata,“Dia
(Allah) memerintahkan mereka (umat Islam) untuk berjama’ah dan melarang
perpecahan. Dan telah datang banyak hadits, yang (berisi) larangan perpecahan
dan perintah persatuan. Mereka dijamin terjaga dari kesalahan manakala mereka
bersepakat, sebagaimana tersebut banyak hadits tentang hal itu juga.
Dikhawatirkan terjadi perpecahan dan perselisihan atas mereka. Namun hal itu
telah terjadi pada umat ini, sehingga mereka berpecah menjadi 73 firqah.
Diantaranya terdapat satu firqah najiyah
(yang selamat) menuju surga dan selamat dari siksa neraka. Mereka ialah
orang-orang yang berada di atas apa-apa yang ada pada diri Nabi dan para
sahabat beliau.” [Tafsir Al Qur’anil ‘Azhim, surat Ali Imran:103.]
Al Qurthubi berkata tentang tafsir ayat ini,
“Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan persatuan dan melarang dari
perpecahan. Karena sesungguhnya perpecahan merupakan kebinasaan dan al jama’ah
(persatuan) merupakan keselamatan.” [Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an 4/159.]
Persoalan
furu’ yang diperpanjang tidak akan
menyelesaikan masalah. Sibuk dengan kekurangan jama’ah yang lain akan membuat
kondisi umat islam tetap stagnan. Dari situlah, para ulama, intelektual dan
cendekiawan muslim duduk dan menyatukan hati dan pikiran dalam Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VI
yang digelar di Yogyakarta pada 8 – 11 Februari 2015 menyepakati risalah
Yogyakarta.
KUII
menghasilkan sebuah kesepatakan yang disebut dengan “Risalah Yogyakarta”.
Risalah ini dibacakan langsung oleh Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Pusat Prof. Dr. Din Syamsudin dalam pidato penutupan di Ballroom Hotel Inna
Garuda Yogyakarta, Rabu (11/02/2015) Pagi menyebutkan poin pertama dan kedua
berturut-turut:
1. Menyerukan seluruh komponen umat Islam
Indonesia untuk bersatu dan merapatkan barisan dan mengembangkan kerja sama
serta kemitraan strategis, baik di organisasi dan lembaga Islam maupun di
partai politik, untuk membangun dan melakukan penguatan politik, ekonomi, dan
sosial budaya umat Islam yang berkeadilan dan berperadaban.
2.
Menyeru
penyelenggara negara dan kekuatan politik nasional untuk mengembangkan politik
yang akhlakul karimah dengan meninggalkan praktik-praktik yang menghalalkan
segala cara, dengan menjadikan politik sebagai sarana mewujudkan kesejahteraan,
kemakmuran, keamanan, dan kedamaian bangsa.
Framework
negara dan agama menjadi satu, tidak lagi dikotomis. Karena mereka adalah umat
islam yang sedang berada dalam aturan politik negara Indonesia. Hingga
perjuangan menegakkan syariat Islam, bukan hal mustahil dilakukan dengan cara
yang benar tanpa ada mudharat.
Bersamaan
dengan itu, upaya impor ideologi Iran yang telah tertuang dalam grand strategi mensyiah-kan dunia sudah
masuk dalam dinamika politik bangsa. Sehingga umat islam di Indonesia sadar,
bahwa musuh mereka bukanlah satu. Ada yang datang dari luar berupa antek asing,
ada pula yang datang dari dalam. Mengaku Islam, tapi membenci perjuangan
sahabat memperjuangkan Islam. Ya, Ideologi Syiah. Kesadaran tentang gerakan
Syiah tertuang dan diungkapkan oleh Prof. Dr. Kamaluddin Nurdin dalam buku
beliau, “Agenda Politik Syiah”.
(Bersambung-Insya Allah)
[1]
Dengan alasan kekuatan mutlak seperti itu
ditambah dengan justifikasi konsep Imamah, maka menentang Wali Faqih bisa
diartikan menentang Allah, mengkritisi negara hukumnya haram, atau dianggap
dosa terhadap Allah. Lihat Kholid Muslih, Penerapan Konsep “Welayat al-Faqih” dalam Hamid Fahmi Zarkasyi,
dkk. Teologi dan Ajaran Shi’ah menurut
Referensi Induknya, Jakarta: INSIST, 2014, hlm. 102.
No comments:
Post a Comment