Syamsuar Hamka
(Ketua Dept.
Kajian Strategis PP Lingkar Dakwah Mahasiswa Indonesia)
Hingga detik
ini, kita masih merasakan atmosfer pemberitaan media yang terus hangat tentang
kasus Penistaan al-Qur’an oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Aksi Bela
Islam I yang berlangsung Jumat, 14 Oktober 2016 melibatkan puluhan ribu warga
Jakarta ternyata tidak begitu digubris oleh Kabareskrim POLRI. Akhirnya dengan
ungkapan “Kasus Penistaan Ahok menunggu izin Presiden”, umat islam lewat
berbagai ormas kembali menghimpun massa untuk melakukan Aksi Bela Islam Jilid
II yang akan berlangsung Jumat 4 November esok.
Hal itu tidak
lain adalah karenaumat islam di seluruh penjuru Nusantara merasa tersakiti
dengan ungkapan Ahok yang mengenakan baju Dinas Gubernur dan dalam rangka
kunjungan DinasPemerintah di Kepulauan Seribu.
Ahok secara
jelas mengungkapkan bahwa al-Qur’an Surah al-Maidah ayat 51 dijadikan sebagai
alat untuk berbohong. Tentu saja, itu
menyulut kemarahan ulama, habaib, ustadz dan kalangan agamawan. Hingga kemudian
dikeluarkanlah fatwa MUI kasus tersebut.
Meski dinilai telah
meminta maaf atas ucapannya, kalangan ulama tetap menuntut untuk dilanjutkan
pada proses hukum. Hal itu juga disepakati oleh Mantan Ketua Mahkamah
Konstitusi, Mahfud MD dalam akun twitter-nya. Bahwa kasus perdata penistaan
Qur’an secara perdata telah selesai, namun dalam kasus Pidana, proses tidak
berhenti sampai di situ.
Resistensi
semakin meningkat tatkala melihat komentar-komentar Gubernur DKI jakarta
tersebut mengungkapkan tantangan-tantangan di media terkait masalah tersebut.
Ia malah semakin berkeras, bahwa tugasnya sebagai Gubernur tidak boleh diusik.
Meski banyak yang membenci pribadinya. Dalam sebuah cuplikan wawancara bersama
para wartawan ia kurang lebih mengatakan, “Kami dipersenjatai untuk menegakkan
konstitusi. Jadi jangan ada yang berani melawan konstitusi.”
Sikap Ahok
tersebut cukup menunjukkan egoisme seorang Pemimpin yang tidak mampu mengakomodir
aspirasi dari rakyat yang dipimpinnya. Sebab Pihak Pemimpin dalam teori pembentukan
negara menurut John Locke bukanlah pemimpin yang bebas melakukan kebijakan apa
pun tanpa kendali rakyat. Justru sebaliknya. Pemimpin diangkat untuk
mendengarkan aspirasi orang-orang yang dipimpinnya.
Teori Kontrak Sosial John Locke
John Locke
adalah seorang filsuf politik Inggris yang dianggap sebagai Raksasa Intelektual
yang memberi kontribusi dalam dokumen-dokumen kenegaraan dalam sejarah
kebangsaan Inggris (...the man was an intellectual titan, one whose thoughts
and ideas can be found throughout our country’s earliest political documents,
including and especially the Declaration of Independence) [lihat:
https://www.johnlocke.org/about-john-locke/who-is-john-locke/]. Ide-idenya
banyak mempengaruhi para Founding Fathers Negara Amerika.
Dalam,menjelaskan
idenya tentang pembentukan Negara,ia juga sepakat dengan dua pendahulunya,
Thomas Hobbes dan J.J. Rosseau. Bahwa negara terbentuk adalah karena Kontrak
Sosial. Tugas negara dalam kontrak sosial tersebut adalah untuk melindungi
serta menjaga hak milik warga negara. Suatu pemerintahan baru dapat dijalankan
atas dasar persetujuan dari masyarakat dan bukan ‘hak suci pemegang kekuasaan’.
Kesempatan dan kewenangan warga negara sangat diberikan kesempatan seluas
mungkin untuk dapat menurunkan atau menarik kembali kewenangan yang diberikan
kepada wakil mereka di pemerintahan karena
melakukan banyak penyelewengan dalam mengemban tugas (Lihat: M. Isnan
Affandi, Perbandingan Teori Kontrak Sosial antara Pemikiran Thomas Hobbes
dan John Locke, Makalah pada Departemen Hubungan Internasional FIS Unair
2011/2012).
Lebih jauh, dalam
kontrak sosial tersebut terdapat tiga hubugan kepercayaan pokok, yaitu yang
memberi kepercayaan (trustor), yang diberi kepercayaan (trustee)
dan yang merasakan manfaat dari kepercayaan tersebut (beneficiary).
Diantara trustor dan trustee harus beneficiery, sedangkan trustee
dan beneficiery tidak terdapat hubungan apapun, hanya saja trustee
menerima obligasi dari beneficiery secara sepihak. Dalam hubungan
kepercayaan diatas sangatlah nampak bahwasanya dalam kontrak sosial John Locke,
kewenangan yang dipasrahkan pada trustee sangatlah terbatas dan dapat
saja sewaktu-waktu ditarik kembali.
Dari pemahaman
tentang hubungan saling percaya dan kontraktual itu tampak bahwa pemegang
pemerintahan atau yang diberi kepercayaan mempunyai hak-hak dan kewenangan yang
sangat terbatas, karena menurut Locke masyarakatlah yang dapat bertindak
sebagai trustor sekaligus beneficiary.
Dari uraian
Locke, tampak nyata bahwa sumber kewenangan dan pemegang kewenangan dalam teori
Locke tetaplah masyarakat. Oleh karena itu kewajiban dan kepatuhan politik
masyarakat kepada pemerintah hanya berlangsung selama pemerintah masih
dipercaya. Apabila hubungan kepercayaan (fiduciary trust) putus,
pemerintah tidak mempunyai dasar untuk memaksakan kewenangannya, karena
hubungan kepercayaan maupun kontraktual sifatnya adalah sepihak (http://www.radhitisme.com/2009/02/teori-kontrak-sosial-dari-hobbes-locke.html).
Jika demikian, sebagai
Pemimpin Publik yang berdiri di atas semua golongan, suku, agama dan ras, Ahok tentu
mesti bijak dalam berbicara dan berbuat. Sebab semua tindakan dan pembicaraan,
serta kebijakannya akan dinilai oleh semua elemen kebangsaan yang menempati
Ibukota Negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
Ahok seharusnya
membuka mata, bahwa jika betul-betul ia menjalankan Negara Demokrasi yang
menempatkan prinsip ‘vox populi, vox dei’ sebagai fundamen utama, maka ia tentu
bisa menerima kenyataan jika dirinya dibenci sebagian besar kelompok warga yang
dipimpinnya. Ia harus mengerti selain entitas-entitas minoritas yang secara
fitrah ia miliki, seperti agama dan ras, seharusnya ia bisa menempatkan diri.
Karena ia sebenarnya diangkat dan diberikan kepercayaan oleh masyarakat muslim
jakarta. Ia adalah trustee dan warga adalah trustor. Trustee diangkat
untuk menjalankan kehendak dari suara mayoritas. Bukan menggusur dan memberi
ruang yang luas pada kalangan Borjuisuntuk mempertahankan dominasi
ekonominya di Ibukota.
Ahok harus
tahu, bahwa ia sedang bertransaksi secara politik dengan rakyat. Ia diangkat
oleh rakyat secara logika demokrasi untuk menjalankan pembangunan yang utuh
kepada seluruh lapisan manusia Jakarta. Bukan segelintir manusia belaka.
Ahok harus
tahu, bahwa karena kontrak sosial tersebut, rakyat berhak menggantinya dengan
pemimpin yang lebih pantas. Pemimpin yang manusiawi dan lebih beradab. Atau
paling tidak tidak memilihnya pada pemilu Februari nanti (Wallohu a’lam bi
ash-Showab).
(dimuat di Koran Amanah, 4 November 2016)
No comments:
Post a Comment