Syamsuar Hamka[2]
Prolog
“Sebenarnya, Al-Qur’an itu adalah ayat-ayat yang
nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang
mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim” (Q.S Al-Ankabut: 49)
Menghafal,
tradisi yang telah berlangsung sejak awal kedatangan islam sendiri (shadri al-islam). Bahkan sebelum itu, orang-orang
arab jahiliah merekam pengetahuan (karya sastra dan nasab) dengan menghafal.
Diantara syair-syair yang banyak dinukilkan lewat hafalan adalah syair-syair
yang ditulis Imri’al Qais, Zuhair Ibn Abi Sulma, atau Khutbah Hani’ Bin
Qabishah Asy-Syaibani. Dengan tradisi itu pula, seseorang bisa dilacak
keturunannya sampai 21 tingkatan. Oleh sebab itu, sangat tepat, jika Al-Qur’an
itu diturunkan di tanah Arab.
Pada
zaman Rasulullah SAW, tradisi itu terus terjaga hingga datang Al-Quran yang
menggantikan syi’ir-syi’ir dan amtsal, atau hikam orang-orang Arab.
Hampir seluruh sahabat di sisi Rasulullah SAW adalah para Huffadz. Mereka
mengambil hafalan, mentadabburi dan mempelajari isinya langsung dari Rasulullah
yang juga dinukil Rasulullah dari Jibril AS.
Di
fase awal Islam (periode Makkah) tradisi menghafal terealisasi dengan sistem
halaqah. Diantara yang paling dikenal saat itu adalah Halaqah di rumah Arqam
Ibnu Abi Arkam (halaqah Ridhwan)
sedang di Madinah dikenal dengan halaqah
Ath-Thaybah. Dari madrasah inilah, lahir sahabat yang
dikenal sebagai penghafal al-qur’an adalah
Abu Musa Al-Asy’ari Abu Darda, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Mas’ud, Utsman bin
Affan, Ali bin Abi Thalib, dan Ubay bin Ka’ab dan lain-lain. Begitu pula hadits
yang diriwayatkan secara mutawatir semuanya lahir dari tradisi menghafal. Dari tradisi
menghafal hadits lahirlah Abu Hurairah sebagai periwayat hadist terbanyak (5.374
hadist), kemudian Abdullah Bin Umar (2.630 hadist), Anas Bin Malik (2.276
hadits), dan Aisyah (2.210 hadist), Abdullah bin Abbas (1.660 hadist) dan Abu
Sa’id al-Khudri (1.170 hadist)[3].
Tradisi
ini juga dilanjutkan oleh para cendekiawan muslim. Seperti A’immah al-Arba’ah (Imam Syafi’i, Hambali, Malik dan Abu Hanifah). Imam
Syafi’i (150 H – 204) yang masih muda sudah menghafalkan al-qur’an diumur 7
tahun. Imam Ath-Thabari (224 H – 310 H) juga
7 yahun. Ibnu Qudamah (541 – 620 H) 10 tahun. Ibnu Hajar al-Asqalani (w 825 H) 9
tahun. Ibnu Sina (370 H – 428 H), 10 tahun, begitu pula Ibnu Khaldun (732 H –
808 H), 7 tahun. HIngga para pemimpin generasi emas seperti Umar Bin Abdul Aziz
(61 H – 101 H), dan Muhammad Al-Fatih (833 H – 886 H)[4].
Mereka menghafal Al-Qura’an dalam usia yang relatif muda.
Tradisi
menghafal ini kemudian sitransformasi dalam system talaqqi. Transmisi ilmu, dan pelestarian sanad. Dari sistem inilah,
lahir karya-karya ulama seperti dalam bidang tafsir, seperti Tafsir Abdur-Razaq
(w 211 H) dan Sufyan Ats-Tsauri (w 161 H). dalam bidang sejarah, seperti Tarikh
Khulafa. Dalam bidang sastra dan cerita seperti Al-Bayan wa at Tabyin oleh Jahiz (w 255 H)[5].
Hafalan dan Otentitas Wahyu
Karena
konsep ilmu tertinggi dalam Islam adalah ilmu tentang Allah, maka yang bisa
menjawab tuntas epistemologi tersebut hanyalah Al-Qur’an. Dari pemahaman
itulah, umat Islam menghafal ilmu. Bukan menghafal pendapat, anggapan, aksioma,
teori, ataupun postulat. Sehingga diketahui bahwa ilmu berbeda dengan opini[6].
Demikian
halnya Al-Qur’an, bukan-lah tulisan. Para ulama menyebutkan derivasi kata
Al-Qur’an dari kata qara’a-yaqra’u
yang artinya membaca. Sehingga proses pewahyuan, jurnalisme, transmisi, dan
pengajarannya menggunakan metode bacaan
yang kemudian disimak melalui pendengaran. Karena itu dari dahulu yang dimaksud
dengan “membaca” Al-qur’an adalah membaca dari ingatan (qara’a zhahri qalbin) sedangkan tulisan hanya berfungsi sebagai
penunjang semata[7].
Dr.
Subhi Shalih menyebutkan dalam bukunya Mabahits
fi Ulum al-Qur’an, Masjid Nabawi selalu bergemurh oleh suara para sahabat
yang membaca dan menghafal Al-Qur’an. Mereka juga diwajibkan untuk
mengajarkannya kepada istri dan keluarganya di rumah serta menglang-ulang
bacaan agar semakin lekat.
Diantara
institusi dalam proses transimisi ilmu
itu dikenal Kuttab. Dimana setiap thullab datang menjemput ilmu di
halaqah. Ibnu Bathutah dalam pengembaraannya, diceritakan oleh Ibnu Jubair,
“setiap mereka mempunya kelompok di masjid yang membacakan al-qura’an secara
tartil. Mereka tidak menulis al-qur’an dalam lembaran-lembaran demi memuliakan
kitabullah. Mereka membacakan Al-Qur’an secara tartil disamping ada yang
mengajarkan khat tanpa mengajarkan al-qur’an, menulis syair dan-syair dan
sebagainya”.[8]
Dalam
proses pembelajarannya, Al-Qur’an menggunakan metode hafalan dan kajian selain
pencatatan yang dilakukan oleh kuttab al
wahyi (penulis wahyu). Kondisi inilah yang memudahkan proses pembukuan
al-Qur’an pada masa Abu Bakar atas anjuran Umar Bin Khattab. Selanjutnya di
zaman Utsman, tulisan al-quran diseragamkan karena wilayah kekuasaan Islam semakin meluas.
Sampai dikenal-lah istilah qira’ah sab’ah
dengan menisbahkan setiap qira’at mutawatir kepada salah seorang Huffadz pada masa itu,
1.
Nafi (w 169 H)
di Madinah, dengan Rawinya Qalun dan Warsy
2.
Ibn Katsir (w
120 H) di Makkah, dengan rawinya Qunbul dan Bazzy
3.
Abu ‘Amar (w 154
H) di Kufah, dengan rawinya Duri dan Susi
4.
Ibn ‘Amir (w 118
H) di Damaskus, edngan rawinya Hisyam dan Ibn Dzakwan
5.
‘Ashim (w 128 H)
di Kufah, dengan Rawi Hafsh dan Syu’bah
6.
Hamzah (w 80 H)
di Halwan, dengan rawinya Khalaf dan Khallad
7.
Al-Kisa’I (w 189
H), dengan rawinya Duri dan Abdul Harits[9]
Demikian
halnya dengan hafalan hadits yang diriwayatkan dari masa ke masa. Menurut
Ulama, kebutuhan Al-Qur’an terhadap Hadits jauh lebih penting daripada
kebutuhan Hadits terhadap Alqur’an, karena itu terbangun juga sebuah konstruksi
keilmuwan di bidang Hadits. Berbeda dengan Agama lain, karena Hadits adalah sumber
hukum kedua, maka dalam penukilannya
harus didasari oleh kehati-hatian. Rasulullah SAW bersabda, man Kadzaba alayya muta’ammidan, fal
yatabawwa’ maq’adahu min naar. Siapa yang berdusta atasku secara sengaja,
maka hendaklah dia bersiap-siap menempati tempatnya di neraka[10].
Oleh sebab itu, hadits tidak boleh hanya diriwayatkan secara makna. Ia juga
harus diriwayatkan secara lafadz.
Hasilnya adalah apa yang dikenal sekarang
dengan istilah Ilmu Rijal Hadits, Jarh wa At-Ta’dil, Tadwin al-Hadits maupun Musthalah
al-Hadits. Diantara pelopor dan periwayat yang terkenal dalam periwayatan
hadits dikenal sebagai penulis Kutub
as-Sittah (Kitab yang Enam), yaitu,
1.
Imam Bukhari
yang bernama lengkap Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah al Bukhari (194
H – 256 H/810 H – 870 H) dengan magnum
opus-nya, al-Jami’ ash-shahih. Tahun
210 H, Dia melalukan rihlah yang
panjang dari Bukhara, Khurasan, Irak, Mesir, dan Syam (Syria). Belajar dari
1.000 orang guru dan darinya Ia mengumpulkan sekitar 600 ribu hadits, yang
7.526 diantaranya dipilih sebagai hadits shahih dalam kitabnya.
2.
Imam Muslim, yang
bernama lengkap Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusayairi an-Naisaburi (204 H –
261 H/820 M – 875 M). Diantara karya beliau adalah al-Musnad al-Kabir, Al Jami’, Al-Kina wa al-Asma’, al-Afrad wa al-Wihdan, Tasmiyah, Syuyukh Malik wa Sufyan wa Syu’bah, Kitab al-Mukhadramin, dan Kitab
Aulad Ash-Shahabah. Berangkat dari Hijaz, Mesir, Syam dan Irak, serta
meriwayatkan lebih dari 3.033 hadits.
3.
Imam Abu Dawud
(202 H – 275 H/817 M – 889 M). Bernama lengkap Sulaiman bin Al-Asy’ats bin
Ishaq bin Basyir al-Azdi as-Sijistani. Mengembara dan menghimpun 5232 hadits
yang merupakan pilihan dari 500 ribu hadits miliknya. Kitab-kitabnya antara
lain Kitab Az-Zuhd, Al-Ba’ts (artikel), Tasmiyah al-Ikhwah (artikel), dan Akhbar Abi Dawud yang disusun oleh Imam
al-Juludi
4.
Imam Tirmidzi (209 H – 279 H/824 M – 892 M).
bernama lengkap Muhammad bin ‘Isa bin SAurah bin Musa as-Silmi al-Bughi
at-Tirmidzi. Belajar dari Imam Bukhari dan mengembara ke Khurasan, Irak, dan
Hijaz. Meski menderita kebutaan, Ia tetap dijadikan teladan dalam hadits.
Diantara karyanya adalah Shahih
at-Tirmidzi, asy-Syamil an-Nabawiytah, at-Tarikh, dan al-Ilal. Konon kitab sunannya memuat 3.956 hadits.
5.
Imam an-Nasa’I
(215 H – 303 H/830 M – 915 M), bernama Ahmad bin Ali bin Syu’aib bin Sinan bin
Bahr bin Dinar. Mengembara ke Tiberistan, Irak, Bashrah, Hijaz, Tabuk, Fushtat,
dan Ramala, Yerussalem. Diantara kitab-kitabnya adalah as-Sunan al-Kubra (memuat 5769 hadits), al-Mujtaba (dikenal dengan Sunan
As-Sughra’), adh-Dhafa wal MAtrukun,
Khasaish Ali, Musnad Ali, dan Musnad
Malik.
6.
Imam Ibnu Majah
(209 H – 273 H/824 M – 887 M). Nama salinya Muhammad bin Yazid ar-Rab’i al
Qazwaini. Seorang penduduk asli Qazwain (sebelah barat laut kota Teheran).
Mengembara ke Bashrah, Baghdad, Syam, Mesir, Hijaz dan Ray. Diantara
karangannya adalah Sunan Ibn Majah (memuat
3.003 hadits),Tafsir al-Qur’an dan Tarikh al-Qazwain[11].
Selain
yang disebutkan, masih banyak karya-karya ulama di bidang hadits yang tidak
bias disebutkan satu-per satu. Ini menunjukkan betapa tradisi menghafal adalah urat
nadi dalam penjagaan Allah atas Dinul
Islam.
Epilog
Dari
paparan singkat di atas, menghafal adalah tradisi yang begitu kuat dalam pengokohan
sistem keilmuwan islam. Dari awal
kemunculannya, hingga zaman keemasannya. Di zaman sekarang, tradisi itu masih
terus berlangsung. Demikian banyak institusi pendidikan Islam yang masih
menekankan hafalan sebagai sistem pendidikannya. Bahkan sampai hari ini, terdapat
banyak ulama yang mewariskan sanad (al-Qur’an maupun Hadits) yang bersambung
hingga sampai ke Rasulullah SAW.
Meskipun
jumlahnya masih begitu minim, yang juga berbanding lurus dengan minat dan
gairah umat islam sendiri dalam mempelajari
agamanya. Untuk itu, setidaknya harus ada upaya untuk menumbuhkan semangat menghafal
umat Islam.
Daftar Pustaka
Abu Khalil, Syauqi.
2009. Atlas Hadits. Jakarta:
Al-Mahira
Ashari, Budi,
2012, Kuttab Al-Fatih; Pilar Peradaban.
Depok: Yayasan Al-Fatih
As-Sirjani, Raghib. 2009. Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia.
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
Majalah GONTOR, edisi
Juni 2011/Jumadal Akhri-Rajab 1432 H
Qayyim, Ibnul.
2013. Fawaidul Fawaid. Jakarta : Pustaka
Imam Syafi’i
[1]
Diajukan sebagai prasyarat pendaftaran PKU Pascasarjana Pendidikan Islam UIKA,
Bogor
[2]
Penulis, aktivis dakwah, Alumnus UNM, Makassar
[3]
Anwar Ma’rufi, Tradisi Intelektual Umat
Islam, Majalah GONTOR, edisi Juni 2011/Jumadal Akhri-Rajab 1432 H, hal. 25
[4] Budi Ashari, 2012, Kuttab Al-Fatih; Pilar Peradaban. Depok: Yayasan Al-Fatih
[5]
Anwar Ma’rufi, Tradisi Intelektual Umat Islam, Majalah GONTOR, edisi Juni
2011/Jumadal Akhri-Rajab 1432 H, hal. 24
[6]
Ibnul Qayyim. 2013. Fawaidul Fawaid. Jakarta
: Pustka Imam Syafi’I, hal. 346
[7]
Asmu’i,Hafalan: Tradisi
Intelektual dan Kemajuan Peradaban Islam, Majalah GONTOR, edisi Juni
2011/Jumadal Akhri-Rajab 1432 H, hal. 28
[8]
Raghib As-Sirjani. 2009. Sumbangan
Peradaban Islam pada Dunia. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Hal. 209
[9]
Ismail Ubaidullah, Tradisi Intelektual
Umat Islam, Majalah GONTOR, edisi Juni 2011/Jumadal Akhri-Rajab 1432 H,
hal. 27
[10] (HR Muslim)
[11]
Syauqi Abu Khalil. 2009. Atlas Hadits.
Jakarta: Al-Mahira, hal.7 - 12
No comments:
Post a Comment