Abu
Adlan Faatih
Al-Qur’an
adalah kitab petunjuk. Di dalamnya ada kunci-kunci hidup, dan fakta-fakta
akhirat. Siapa yang tidak berpegang padanya, maka akan rubuh semua keyakinan
yang bereka bangun. Setiap ilmu yang tidak menjadikan Qur’an sebagai dasar
pijakan, akan menjadi liar dan hanya berisi spekulasi-spekulasi filosofis yang
terus akan dipertentangkan kebenarannya.
Puncak
ilmu adalah al-Qur’an. Karena setiap ilmu diatur dalam derajat dan tingkatan sesuai
dengan tingkatan kemuliaan objek yang dipelajarinya. Ilmu Kedokteran banyak
dibutuhkan, karena objeknya adalah kesehatan, dan kesehatan adalah hal yang
penting bagi individu dan masyarakat. Ilmu Sains dan teknologi juga dianggap
penting, karena dengannya peradaban manusia berkembang dan menjadi tonggak
pembangunan kemajuan fisik dan pembangunan bangsa.
Demikian
halnya Qur’an. Ilmu tentang qur’an adalah ilmu yang paling tinggi. Karena
objeknya adalah Allah SWT. Al-Qur’an berbicara tentang Allah. Alquran berbicara
tentang janji dan ancaman Allah. Dan itulah ilmu otentik karena langsung turun
dari Tuhan untuk menafsirkan dan menjelaskan semua persoalan yang dialami umat
manusia. (Tibyaanan Likulli Syay’i)
Akan
tetapi, banyak orang yang tidak beriman kepada al-Qur’an sekalipun mereka
mengaku sebagai orang yang beriman. Mereka menghabiskan hidup mereka dengan
berpegang pada khayalan, dan kehidupan mereka menyalahi al-Qur’an, bahkan
mereka menolak al-Qur’an sebagai pembimbing mereka. Padahal, hanya al-Qur’an
yang memberikan pengetahuan yang benar dalam masa kehidupan ini kepada setiap
orang, dan al-Qur’an menjelaskan rahasia-rahasia penciptaan Allah dengan
penjelasan paling benar dan paling murni. Informasi apa pun yang tidak
berdasarkan pada al-Qur’an adalah informasi yang tidak benar, dengan demikian
informasi tersebut merupakan tipuan dan khayalan. Dengan demikian, orang-orang
yang tidak berpegang pada al-Qur’an hidupnya dalam keadaan mengkhayal. Di
akhirat, mereka akan dilaknat selama-lamanya.[1]
Jika sebagian orang tidak dapat memahami pesan-pesan yang tersembunyi dalam
al-Qur’an, sedangkan orang lain dapat memahaminya, ini merupakan rahasia lain
yang diciptakan oleh Allah. Orang-orang yang tidak mengkaji rahasia-rahasia
yang diwahyukan dalam al-Qur’an hidup dalam keadaan menderita dan berada
dalam kesulitan. Ironisnya, mereka tidak pernah mengetahui penyebab
penderitaan mereka. Dalam pada itu, orang-orang yang mempelajari
rahasia-rahasia dalam al-Qur’an menjalani kehidupannya dengan mudah dan gembira.
Sebabnya adalah karena al-Qur’an itu jelas, mudah, dan cukup sederhana
untuk dipahami oleh setiap orang. Dalam al-Qur’an, Allah menyatakan sebagai
berikut:
“Wahai manusia, sesungguhnya telah datang
kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu. Kami telah menurunkan kepadamu cahaya
yang terang benderang. Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan
berpegang teguh kepada-Nya, niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam
rahmat yang besar dari-Nya dan limpahan karunia-Nya, dan menunjuki mereka kepada
jalan yang lurus.” (Q.s. an-Nisa’: 174-75).
Ada
pula orang yang setiap hari membaca Qur’an, akan tetapi tidak mendapatkan
petunjuk dari Qur’an. Justru qur’an menjadi beban yang dipikulnya. Seperti
keledai yang memikul kitab. Kamatsalil Himaari yahmillu asfaara. Ia
banyak mengetahui ayat-ayat, tapi ayat-ayat itu tidak menunjukinya. Ia banyak
mengetahui qur’an, tapi qur’an tidak membimbingnya kepada amal shalih dan
kebaikan.
Mengapa
?. Sebab mereka mempelajari qur’an justru untuk mengkritik Qur’an. Mereka
mempelajari qur’an untuk merubuhkan ajaran qur’an sendiri. Mereka
mempertentangkan ayat-ayat yang kelihatannya kontroversial. Mereka mengkaji
qur’an dengan tafsir-tafsir yang bertentangan dari ‘nilai-nilai kewahyuan’
qur’an itu sendiri.
Sebutlah
para orientalis dan para penyebar pemikiran Liberal. Seperti buku yang berjudul
‘Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan’, atau sebuah tulisan dalam buku ‘Wajah
Liberal Islam di Indonesia’, yang inti tulisannya menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah
hasil budaya (Muntaj Tsaqafi) bukan wahyu, Al-Qur’an bukanlah kitab
suci, al-Qur’an bukan tanzil lafaz dan makna tetapi bahasa Muhammad, dan al-Qur’an
adalah hasil rekayasa politik Utsman. Sehingga menurut mereka, perlu ada ‘Al-Qur’an
Edisi Kritis’ yang mengkaji ayat-ayat berdasarkan latar belakang sejarah
ekonomi, politik dan sosiologis.
Akan
tetapi, semua usaha untuk men-dekonstruksi Qur’an sebagai wahyu sebenarnya
adalah upaya sia-sia. Karena al-Qur’an sebagai Kitabul Hidayah (Kitab Petunjuk)
telah dijaga dari penyelewengan lafaz dan makna. Dan itu bisa dibuktikan secara
ilmiah bagaimana periwayatan Qur’an.
Diantara
syubhat-syubhat yang dilontarkan oleh orang-orang yang sengaja mencari-cari
kekurangan Qur’an adalah mengkaji ayat-ayat yang kelihatannya kontroversi dan
mencari tafsir-tafsir yang tidak sesuai dengan standar metodologi tafsir.
Misalnya,
ayat tentang Nabi Ummiy (buta huruf) yang diutus ke tengah-tengah masyarakat
ummiy. Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di
antara mereka... (QS. Al-Jumuah: 2). Padahal katanya islam sendiri mencela
orang-orang yang ummiy. Berarti Rasulullah SAW sendiri beserta kaumnya
pada saat itu tercela karena ke-ummiyannya. Padahal ayat Qur’an itu
mengisyaratkan bukan untuk justifikasi kesalahan buta huruf. Akan tetapi ungkapan
kondisi realitas bangsa Arab yang tidak tahu tulis menulis serta membaca. Karena
Islam sendiri justru mendorong untuk menuntut ilmu.
Atau
mungkin dengan ayat QS. Al-Dzariyat: 56, “Dan tidaklah aku menciptakan jin
dan manusia kecuali hanya untuk menyembah kepadaku”. Padahal di ayat yang
lain, ada ayat yang menjelaskan bahwa kebanyakan jin dan manusia berada di
neraka, seperti pada QS. Al-A’raf: 179,
“Dan sesungguhnya Kami jadikan
untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia...”
Sehingga
menurut mereka dua ayat ini sangatlah kontroversial. Satu yang menyatakan jin
dan manusia diciptakan untuk menyembah, satu
yang menyatakan jin dan manusia berada dalam neraka.
Padahal
penjelasan yang benar adalah bahwa, pada QS al-Dzariyat: 56 tersebut
menggunakan kata lam-lil-ghaayah pada kata “Liya’buduun”. Yang
berarti bahwa manusia diciptakan untuk menyembah. Sederhananya, seorang siswa
membawa pulpen untuk menulis. Sehingga boleh jadi pulpen itu dipakai
menulis, boleh juga hanya sekedar dibawa tapi tidak digunakan. Sama halnya
dengan tujuan ibadah. Boleh jadi manusia ada yang beribadah, dan boleh jadi ada
manusia yang tidak beribadah. Sehingga yang masuk dalam kategori tidak
beribadah itulah yang akan memasuki neraka jahannam sebagaimana QS. Al-A’raf:
179.
Atau
mungkin ketika mereka bertanya, al-Qur’an adalah “Hudan Lil-Muttaqin”
petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Berarti, qur’an hanya menjadi petunjuk
bagi orang yang bertakwa. Bukan kepada orang-orang yang sesat. Padahal
penjelasan yang benar adalah, “Orang bertakwa saja butuh petunjuk
apalagi orang yang sesat!, Qur’an justru jauh lebih dibutuhkan oleh orang yang
sesat.”.
Dan
itu sudah dijelaskan dalam QS. Muhammad: 24
Maka
apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?
Orang
yang tidak mengetahui petunjuk Qur’an, lalai dari peringatan Qur’an serta ikut
dalam dorongan hawa nafsu untuk meninggalkan Qur’an adalah orang-orang hatinya
telah terkunci. Oleh karenanya, metode yang paling terbaik untuk berinteraksi
dengan Qur’an adalah dengan Tadabbur al-Qur’an.
Tadabbur
adalah mendalami dan menghayati pesan-pesan Qur’an. Memperhatikan dan
menggunakan hati dan memusatkan perhatian untuk menemukan mutiara dalam
al-Qur’an. Karena sesungguhnya al-Qur’an berisi mutiara-mutiara petunjuk yang
hanya bisa diperoleh dengan usaha tadabur.
Ust.
Bachtiar Natsir menjelaskan cara untuk untuk memperoleh mukjizat itu adalah
seperti cara untuk mendapatkan mutiara. Seseorang yang ingin memperoleh
mutiara, haruslah menyelam ke dasar laut bukan berenang-renang di permukaan. Seperti
itu pula Qur’an. Mukjizat petunjuk Qur’an hanya bisa diperoleh dengan menyelami
makna Qur’an. Jika seseorang hanya berenang-renang di permukaan atau hanya
sekedar membaca tanpa perenungan, maka ia tidak akan sampai pada mutiara yang
terkandung di bawah permukaan teks-teks yang ia baca. Mukjizatnya hanya sekedar
sampai pada mukjizat tilawah atau bacaan saja.
Dan
Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk bisa mendapatkan mukjizat serta
petunjuk al-Qur’an adalah seperti yang diisyaratkan pada QS. Qaaf: 37,
Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati
(yang hidup) atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.
Imam
Ibnul Qayyim dalam Kitab al-Fawaa’id menjelaskan syarat untuk
mendapatkan pengaruh dan mukjizat Qur’an ada empat sesuai ayat tersebut,
Pertama,
Sumbernya adalah
Sumber otentik yang mengandung kebenaran
Kedua,
Adanya hati yang
hidup dan siap menerima petunjuk Qur’an
Ketiga,
Terpenuhinya syarat
sampainya petunjuk Qur’an dan,
Keempat, Tidak adanya ‘dinding’ yang
menghalangi sampainya petunjuk tersebut.
Keseluruhan
syarat ini dirangkum secara padat dalam ayat 37 Surah Qaaf tersebut.
Pada
kata “Inna Fii Dzalika La Dzikra”, “Pada yang demikian itu ada
petunjuk”. Dan ini adalah syarat pertama. Bahwa sumber petunjuk itu harus
mengandung kebenaran, diturunkan dengan benar, dan bersumber dari Tuhan yang
maha Benar. Sebagaimana firman Allah (QS. Asy-Syuara: 192),
Dan
sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam,
Sehingga
seseorang yang ingin memperoleh petunjuk tidak akan bisa mendapatinya dari
kitab-kitab suci yang lain. Yang merupakan kitab suci ‘teks’ yang dianyam dari
interaksi sosial, sejarah dan kepentingan politis atau otoritas agamawan
seperti dalam agama Nasrani dan Yahudi. Apalagi jika ternyata kitab-kitabnya
sudah mengalami penyimpangan dan tidak tidak memiliki metodologi standar tafsir
untuk menjaga otentisitas wahyu mereka
sendiri.
Yang
kedua “Liman kaana Lahu Qalbun”, “Bagi orang-orang yang mempunyai hati”.
Yaitu tempat sampainya petunjuk Qur’an adalah hati yang hidup yang memikirkan
Allah, sebagaimana dalam QS. Yaasin: 69-70,
69)... Al Quran itu tidak lain
hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan. 70) Supaya dia (Muhammad)
memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya)...
Kemudian, Au Alqa as-Sam'a, “Atau
yang mengunakan pendengaran”
yaitu syarat ketiga. Mengarahkan pendengaran, memfokuskan indera kepada yang
diungkapkan al-Qur’an. Menggunakan segala potensi dari akal dan jiwa untuk
masuk ke dalam ayat-ayat Qur’an. Mendalami dan mengumpulkan hati dan
pendengaran agar petunjuk al-Qur’an sampai pada jiwa. Karena ini adalah syarat
penting yang menjadi standar kelayakan hati agar Qur’an dapat menembuskan
mukjizatnya sampai pada jiwa sang pembaca. Jika tidak, maka mukjizat Qur’an
akan berlalu begitu saja. Sebagaimana air yang turun ke dalam sebuah botol,
namun botol itu digerak-gerakkan, atau justru menghadap ke bawah. Sehingga
kesempurnaan pengaruh Qur’an akan parsial. Tidak dapat menggerakkan dan
mengantar kepada hidayah.
Selanjutnya
pernyataan, Wahuwa Syahiid, “dan dia Menyaksikan”. Maksudnya
adalah hadirnya persaksian hati. Ibnu Qutaibah mengatakan tentang ayat ini,
maksudnya “mendengarkan kitabullah sedang dia menghadirkan hati, dan pemahaman,
tidak lalai dan tidak pula lupa”. Ini adalah syarat keempat yang merupakan
isyarat bahwa pengaruh Qur’an hanya akan sampai jika tidak ada penghalang yang
membatasi petunjuk tersebut. Dan penghalang itu adalah kelalaian hati berupa kealpaan
hati dari mencermati dan memperhatikan pesan-pesan ilahiyah al-Qur’an.
Dan
Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa jika keempat syarat ini terpenuhi, yaitu:
-
(Hashala al-Mua’tsir wahuwa al-Qur’an) Kebenaran
sumbernya yakni al-Qur’an,
-
(Wa mahalla al-Qaabil, wahuwa al-Qalbu al-Hayy),
Kelayakan tempat yang dituju oleh pengaruh mukjizat atau hidayah, yaitu
bersihnya hati,
-
(Wa wujudu as-Syarth, wa Huwa al-isghha’) Terpenuhinya
syarat diperolehnya petunjuk tersebut yaitu berfungsinya pendengaran dan hati
dengan memahami, mendalami, dan menghayati qur’an,
-
(Wantafa’ al-Maani’ wahuwa isytighaal
al-Qalb, wa Dzuhuulu ‘an Ma’na al-Khithaab, wa Inshiraafu ‘anhu ilaa Syay’in
Aakhar) Tidak adanya penghalang sampainya petunjuk tersebut yaitu kesibukan
hati dan kaburnya makna pembicaraan, serta berpalingnya hati kepada yang lain,
Maka kata beliau Hashala
al-Atsar wahuwa al-intifaa’u wa at-tadzkiir (sampailah pengaruh Qur’an
yaitu Manfaat berupa hidayah dan peringatan serta petunjuk.
Semua
ini adalah syarat yang harus dipenuhi agar pengaruh Qur’an bisa masuk ke dalam
hati seseorang. Jika hatinya lalai, atau qalbunya tidak hidup, atau tidak
adanya usaha untuk menghayati dan mentadabburi makna dan petunjuk Qur’an makan
hampir bisa dipastikan, kita tidak akan pernah bisa mendapatkan manfaat dari
Qur’an sama sekali.
Terakhir...,
dalam sebuah khutbahnya Ust. Bachtiar Natsir menjelaskan bahwa, Siapa yang
meletakkan al-Qur’an di depannya, menjadikan Qur’an sebagai petunjuk,
menyiapkan waktu khusus untuk membaca, mempelajari dan mengamalkannya dengan
sungguh-sungguh karena kebutuhan akan hidayah, serta mengajarkannya dengan
ikhlas tanpa meminta imbalan, maka al-Qur’an (yang berada di depannya) akan
menarik dan membimbing dia ke Syurga.
Akan
tetapi, jika seseorang meletakkan Qur’an di belakangnya. Menjadikan
Qur’an hanya sebagai pajangan, membaca Qur’an hanya di sela-sela waktu sisanya,
mempelajari Qur’an hanya ketika mendapat masalah dan musibah, serta mengajarkan
dan mengamalkan Qur’an jika ada keuntungan dunia, maka Qur’an (yang berada
di belakangnya) itulah yang akan mendorong dia masuk ke dalam Neraka!. [Wallohu ta’ala a’lam].
No comments:
Post a Comment