Cari

4 SYARAT HIDAYAH AL-QUR’AN MENURUT IBNUL QAYYIM

Tuesday, 21 July 2015



Abu Adlan Faatih


Al-Qur’an adalah kitab petunjuk. Di dalamnya ada kunci-kunci hidup, dan fakta-fakta akhirat. Siapa yang tidak berpegang padanya, maka akan rubuh semua keyakinan yang bereka bangun. Setiap ilmu yang tidak menjadikan Qur’an sebagai dasar pijakan, akan menjadi liar dan hanya berisi spekulasi-spekulasi filosofis yang terus akan dipertentangkan kebenarannya.
Puncak ilmu adalah al-Qur’an. Karena setiap ilmu diatur dalam derajat dan tingkatan sesuai dengan tingkatan kemuliaan objek yang dipelajarinya. Ilmu Kedokteran banyak dibutuhkan, karena objeknya adalah kesehatan, dan kesehatan adalah hal yang penting bagi individu dan masyarakat. Ilmu Sains dan teknologi juga dianggap penting, karena dengannya peradaban manusia berkembang dan menjadi tonggak pembangunan kemajuan fisik dan pembangunan bangsa.

Demikian halnya Qur’an. Ilmu tentang qur’an adalah ilmu yang paling tinggi. Karena objeknya adalah Allah SWT. Al-Qur’an berbicara tentang Allah. Alquran berbicara tentang janji dan ancaman Allah. Dan itulah ilmu otentik karena langsung turun dari Tuhan untuk menafsirkan dan menjelaskan semua persoalan yang dialami umat manusia. (Tibyaanan Likulli Syay’i)
Akan tetapi, banyak orang yang tidak beriman kepada al-Qur’an sekalipun mereka mengaku sebagai orang yang beriman. Mereka menghabiskan hidup mereka dengan berpegang pada khayal­an, dan kehidupan mereka menyalahi al-Qur’an, bahkan mereka menolak al-Qur’an sebagai pem­bimbing mereka. Padahal, hanya al-Qur’an yang memberikan pengetahuan yang benar dalam masa kehidupan ini kepada setiap orang, dan al-Qur’an menjelaskan raha­sia-rahasia pencipta­an Allah dengan penje­lasan paling benar dan paling murni. Infor­masi apa pun yang tidak berdasarkan pada al-Qur’an adalah informasi yang tidak benar, dengan demikian informasi tersebut merupa­kan tipuan dan khayalan. Dengan demikian, orang-orang yang tidak berpegang pada al-Qur’an hidupnya dalam keadaan mengkhayal. Di akhirat, mereka akan dilaknat selama-lama­nya.[1]
Jika sebagian orang tidak dapat memahami pesan-pesan yang tersembunyi dalam al-Qur’an, sedangkan orang lain dapat memaha­mi­nya, ini merupakan rahasia lain yang dicip­takan oleh Allah. Orang-orang yang tidak mengkaji rahasia-rahasia yang diwahyu­kan dalam al-Qur’an hidup dalam keadaan men­derita dan berada dalam kesulitan. Ironis­nya, mereka tidak pernah mengetahui penye­bab penderitaan mereka. Dalam pada itu, orang-orang yang mempelajari rahasia-rahasia dalam al-Qur’an menjalani kehidupannya dengan mudah dan gembira.
Sebabnya adalah karena al-Qur’an itu jelas, mudah, dan cukup sederhana untuk dipahami oleh setiap orang. Dalam al-Qur’an, Allah me­nya­takan sebagai berikut:
 “Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu. Kami telah menurunkan kepada­mu cahaya yang terang benderang. Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada-Nya, niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya dan limpahan karunia-Nya, dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus.” (Q.s. an-Nisa’: 174-75).
Ada pula orang yang setiap hari membaca Qur’an, akan tetapi tidak mendapatkan petunjuk dari Qur’an. Justru qur’an menjadi beban yang dipikulnya. Seperti keledai yang memikul kitab. Kamatsalil Himaari yahmillu asfaara. Ia banyak mengetahui ayat-ayat, tapi ayat-ayat itu tidak menunjukinya. Ia banyak mengetahui qur’an, tapi qur’an tidak membimbingnya kepada amal shalih dan kebaikan.
Mengapa ?. Sebab mereka mempelajari qur’an justru untuk mengkritik Qur’an. Mereka mempelajari qur’an untuk merubuhkan ajaran qur’an sendiri. Mereka mempertentangkan ayat-ayat yang kelihatannya kontroversial. Mereka mengkaji qur’an dengan tafsir-tafsir yang bertentangan dari ‘nilai-nilai kewahyuan’ qur’an itu sendiri.
Sebutlah para orientalis dan para penyebar pemikiran Liberal. Seperti buku yang berjudul ‘Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan’, atau sebuah tulisan dalam buku ‘Wajah Liberal Islam di Indonesia’, yang inti tulisannya menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah hasil budaya (Muntaj Tsaqafi) bukan wahyu, Al-Qur’an bukanlah kitab suci, al-Qur’an bukan tanzil lafaz dan makna tetapi bahasa Muhammad, dan al-Qur’an adalah hasil rekayasa politik Utsman. Sehingga menurut mereka, perlu ada ‘Al-Qur’an Edisi Kritis’ yang mengkaji ayat-ayat berdasarkan latar belakang sejarah ekonomi, politik dan sosiologis.
Akan tetapi, semua usaha untuk men-dekonstruksi Qur’an sebagai wahyu sebenarnya adalah upaya sia-sia. Karena al-Qur’an sebagai Kitabul Hidayah (Kitab Petunjuk) telah dijaga dari penyelewengan lafaz dan makna. Dan itu bisa dibuktikan secara ilmiah bagaimana periwayatan Qur’an.
Diantara syubhat-syubhat yang dilontarkan oleh orang-orang yang sengaja mencari-cari kekurangan Qur’an adalah mengkaji ayat-ayat yang kelihatannya kontroversi dan mencari tafsir-tafsir yang tidak sesuai dengan standar metodologi tafsir.
Misalnya, ayat tentang Nabi Ummiy (buta huruf) yang diutus ke tengah-tengah masyarakat ummiy. Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka... (QS. Al-Jumuah: 2). Padahal katanya islam sendiri mencela orang-orang yang ummiy. Berarti Rasulullah SAW sendiri beserta kaumnya pada saat itu tercela karena ke-ummiyannya. Padahal ayat Qur’an itu mengisyaratkan bukan untuk justifikasi kesalahan buta huruf. Akan tetapi ungkapan kondisi realitas bangsa Arab yang tidak tahu tulis menulis serta membaca. Karena Islam sendiri justru mendorong untuk menuntut ilmu.
Atau mungkin dengan ayat QS. Al-Dzariyat: 56, “Dan tidaklah aku menciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk menyembah kepadaku”. Padahal di ayat yang lain, ada ayat yang menjelaskan bahwa kebanyakan jin dan manusia berada di neraka, seperti pada QS. Al-A’raf: 179,
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia...”
Sehingga menurut mereka dua ayat ini sangatlah kontroversial. Satu yang menyatakan jin dan manusia diciptakan untuk menyembah, satu  yang menyatakan jin dan manusia berada dalam neraka.
Padahal penjelasan yang benar adalah bahwa, pada QS al-Dzariyat: 56 tersebut menggunakan kata lam-lil-ghaayah pada kata “Liya’buduun”. Yang berarti bahwa manusia diciptakan untuk menyembah. Sederhananya, seorang siswa membawa pulpen untuk menulis. Sehingga boleh jadi pulpen itu dipakai menulis, boleh juga hanya sekedar dibawa tapi tidak digunakan. Sama halnya dengan tujuan ibadah. Boleh jadi manusia ada yang beribadah, dan boleh jadi ada manusia yang tidak beribadah. Sehingga yang masuk dalam kategori tidak beribadah itulah yang akan memasuki neraka jahannam sebagaimana QS. Al-A’raf: 179.
Atau mungkin ketika mereka bertanya, al-Qur’an adalah “Hudan Lil-Muttaqin” petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Berarti, qur’an hanya menjadi petunjuk bagi orang yang bertakwa. Bukan kepada orang-orang yang sesat. Padahal penjelasan yang benar adalah, “Orang bertakwa saja butuh petunjuk apalagi orang yang sesat!, Qur’an justru jauh lebih dibutuhkan oleh orang yang sesat.”.
Dan itu sudah dijelaskan dalam QS. Muhammad: 24
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?
Orang yang tidak mengetahui petunjuk Qur’an, lalai dari peringatan Qur’an serta ikut dalam dorongan hawa nafsu untuk meninggalkan Qur’an adalah orang-orang hatinya telah terkunci. Oleh karenanya, metode yang paling terbaik untuk berinteraksi dengan Qur’an adalah dengan Tadabbur al-Qur’an.
Tadabbur adalah mendalami dan menghayati pesan-pesan Qur’an. Memperhatikan dan menggunakan hati dan memusatkan perhatian untuk menemukan mutiara dalam al-Qur’an. Karena sesungguhnya al-Qur’an berisi mutiara-mutiara petunjuk yang hanya bisa diperoleh dengan usaha tadabur.
Ust. Bachtiar Natsir menjelaskan cara untuk untuk memperoleh mukjizat itu adalah seperti cara untuk mendapatkan mutiara. Seseorang yang ingin memperoleh mutiara, haruslah menyelam ke dasar laut bukan berenang-renang di permukaan. Seperti itu pula Qur’an. Mukjizat petunjuk Qur’an hanya bisa diperoleh dengan menyelami makna Qur’an. Jika seseorang hanya berenang-renang di permukaan atau hanya sekedar membaca tanpa perenungan, maka ia tidak akan sampai pada mutiara yang terkandung di bawah permukaan teks-teks yang ia baca. Mukjizatnya hanya sekedar sampai pada mukjizat tilawah atau bacaan saja.
Dan Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk bisa mendapatkan mukjizat serta petunjuk al-Qur’an adalah seperti yang diisyaratkan pada QS. Qaaf: 37,
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati (yang hidup) atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.
Imam Ibnul Qayyim dalam Kitab al-Fawaa’id menjelaskan syarat untuk mendapatkan pengaruh dan mukjizat Qur’an ada empat sesuai ayat tersebut,
Pertama, Sumbernya adalah Sumber otentik yang mengandung kebenaran
Kedua, Adanya hati yang hidup dan siap menerima petunjuk Qur’an
Ketiga, Terpenuhinya syarat sampainya petunjuk Qur’an dan,
Keempat, Tidak adanya ‘dinding’ yang menghalangi sampainya petunjuk tersebut.
Keseluruhan syarat ini dirangkum secara padat dalam ayat 37 Surah Qaaf tersebut.
Pada kata “Inna Fii Dzalika La Dzikra”, “Pada yang demikian itu ada petunjuk”. Dan ini adalah syarat pertama. Bahwa sumber petunjuk itu harus mengandung kebenaran, diturunkan dengan benar, dan bersumber dari Tuhan yang maha Benar. Sebagaimana firman Allah (QS. Asy-Syuara: 192),
Dan sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam,
Sehingga seseorang yang ingin memperoleh petunjuk tidak akan bisa mendapatinya dari kitab-kitab suci yang lain. Yang merupakan kitab suci ‘teks’ yang dianyam dari interaksi sosial, sejarah dan kepentingan politis atau otoritas agamawan seperti dalam agama Nasrani dan Yahudi. Apalagi jika ternyata kitab-kitabnya sudah mengalami penyimpangan dan tidak tidak memiliki metodologi standar tafsir untuk  menjaga otentisitas wahyu mereka sendiri.
Yang kedua “Liman kaana Lahu Qalbun”, “Bagi orang-orang yang mempunyai hati”. Yaitu tempat sampainya petunjuk Qur’an adalah hati yang hidup yang memikirkan Allah, sebagaimana dalam QS. Yaasin: 69-70,
69)... Al Quran itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan. 70) Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya)...
Kemudian, Au Alqa as-Sam'a, “Atau yang mengunakan pendengaran” yaitu syarat ketiga. Mengarahkan pendengaran, memfokuskan indera kepada yang diungkapkan al-Qur’an. Menggunakan segala potensi dari akal dan jiwa untuk masuk ke dalam ayat-ayat Qur’an. Mendalami dan mengumpulkan hati dan pendengaran agar petunjuk al-Qur’an sampai pada jiwa. Karena ini adalah syarat penting yang menjadi standar kelayakan hati agar Qur’an dapat menembuskan mukjizatnya sampai pada jiwa sang pembaca. Jika tidak, maka mukjizat Qur’an akan berlalu begitu saja. Sebagaimana air yang turun ke dalam sebuah botol, namun botol itu digerak-gerakkan, atau justru menghadap ke bawah. Sehingga kesempurnaan pengaruh Qur’an akan parsial. Tidak dapat menggerakkan dan mengantar kepada hidayah.
Selanjutnya pernyataan, Wahuwa Syahiid, “dan dia Menyaksikan”. Maksudnya adalah hadirnya persaksian hati. Ibnu Qutaibah mengatakan tentang ayat ini, maksudnya “mendengarkan kitabullah sedang dia menghadirkan hati, dan pemahaman, tidak lalai dan tidak pula lupa”. Ini adalah syarat keempat yang merupakan isyarat bahwa pengaruh Qur’an hanya akan sampai jika tidak ada penghalang yang membatasi petunjuk tersebut. Dan penghalang itu adalah kelalaian hati berupa kealpaan hati dari mencermati dan memperhatikan pesan-pesan ilahiyah al-Qur’an.
Dan Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa jika keempat syarat ini terpenuhi, yaitu:
-          (Hashala al-Mua’tsir wahuwa al-Qur’an) Kebenaran sumbernya yakni al-Qur’an,
-          (Wa mahalla al-Qaabil, wahuwa al-Qalbu al-Hayy), Kelayakan tempat yang dituju oleh pengaruh mukjizat atau hidayah, yaitu bersihnya hati,
-          (Wa wujudu as-Syarth, wa Huwa al-isghha’) Terpenuhinya syarat diperolehnya petunjuk tersebut yaitu berfungsinya pendengaran dan hati dengan memahami, mendalami, dan menghayati qur’an,
-          (Wantafa’ al-Maani’ wahuwa isytighaal al-Qalb, wa Dzuhuulu ‘an Ma’na al-Khithaab, wa Inshiraafu ‘anhu ilaa Syay’in Aakhar) Tidak adanya penghalang sampainya petunjuk tersebut yaitu kesibukan hati dan kaburnya makna pembicaraan, serta berpalingnya hati kepada yang lain,
Maka kata beliau Hashala al-Atsar wahuwa al-intifaa’u wa at-tadzkiir (sampailah pengaruh Qur’an yaitu Manfaat berupa hidayah dan peringatan serta petunjuk.
Semua ini adalah syarat yang harus dipenuhi agar pengaruh Qur’an bisa masuk ke dalam hati seseorang. Jika hatinya lalai, atau qalbunya tidak hidup, atau tidak adanya usaha untuk menghayati dan mentadabburi makna dan petunjuk Qur’an makan hampir bisa dipastikan, kita tidak akan pernah bisa mendapatkan manfaat dari Qur’an sama sekali.
Terakhir..., dalam sebuah khutbahnya Ust. Bachtiar Natsir menjelaskan bahwa, Siapa yang meletakkan al-Qur’an di depannya, menjadikan Qur’an sebagai petunjuk, menyiapkan waktu khusus untuk membaca, mempelajari dan mengamalkannya dengan sungguh-sungguh karena kebutuhan akan hidayah, serta mengajarkannya dengan ikhlas tanpa meminta imbalan, maka al-Qur’an (yang berada di depannya) akan menarik dan membimbing dia ke Syurga.
Akan tetapi, jika seseorang meletakkan Qur’an di belakangnya. Menjadikan Qur’an hanya sebagai pajangan, membaca Qur’an hanya di sela-sela waktu sisanya, mempelajari Qur’an hanya ketika mendapat masalah dan musibah, serta mengajarkan dan mengamalkan Qur’an jika ada keuntungan dunia, maka Qur’an (yang berada di belakangnya) itulah yang akan mendorong dia masuk ke dalam Neraka!. [Wallohu ta’ala a’lam].


[1] Harun Yahya, Beberapa Rahasia al-Qur’an.

No comments:

Post a Comment

 

Iklan Buku

Followers

Bincang-Bincang