Baru-baru ini peristiwa jatuhnya
Pesawat Sukhoi SJ 100 di Gunung Salak, Jawa Barat menjadi misteri bagi bangsa
Indonesia. Seharusnya peristiwa nahas itu tidak terjadi, pasalnya Sukhoui SJ
100 adalah termasuk diantara pesawat canggih buatan Rusia. Sukhoui Superjet 100
(SSJ 100) merupakan pesawat yang dikembangkan untuk tujuan sipil pasca runtuhnya
Uni Soviet. Pesawat ini dikenal sebagai pesawat regional yang bersaing dengan kaliber
Pesawat Bombardier (Kanada), Embraer E-Jet (Brazil), dan Antonov An-148
(Ukraina).
Para penumpang yang menjadi korban dalam laporan majalah
Detik edisi 24 (14 Mei 2012), sekitar 47 orang dari beberapa perusahaan
penerbangan, wartawan, dan Sky Aviation.
Diantaranya Alexander Yablontsev [Pilot], Alexander Konchetkov [Kopilot], Oleg
Shetsov [Navigator Aero], Aleksey Kirkin [Teknisi Pesawat], Gatot Purwoko
(Airfast), Peter Adler (Sriwijaya), Herman Suladji (Air Maleo), Donardi Rahman
(Aviastar), Anton Daryanto (Indonesia
Air Transport) dan beberapa orang lainnya.
Dari tragedi ini, Indonesia
kembali bersedih. Kita patut menunjukkan rasa iba. Peristiwa ini kembali menambah
satu ‘titik buram’ dalam perjalanan panjang bangsa Indonesia.
Peristiwa di atas adalah sebuah
bencana. Sebuah ujian atau mungkin peringatan bagi bangsa kita. Peringatan dari
demikian banyak pelanggaran dan kedzhaliman
yang terjadi. Peristiwa ini tidak dapat ditolak. Ia adalah sebuah ketentuan dan
ketetapan dari yang Maha Menetapkan. Setelahnya, hanya bisa dimunajatkan doa kepada
para korban agar meninggal dalam keadaan diridhai oleh Allah, dan bagi keluarga
mereka untuk diberi ketabahan. Selain itu, sepatutnya diambil hikmah dan
pelajaran agar lebih berhati-hati dalam hal yang serupa.
Akan tetapi, kita patut lebih
bersedih. Belum sembuh luka di hati sanubari bangsa akan peristiwa ini, kita
telah mengundang bencana yang jauh lebih besar. Bencana yang lebih dahsyat
daripada bencana alam dan kecelakaan transportasi, meskipun menuai puluhan
korban. Bencana itu adalah bencana kehancuran
akhlak. Dibiarkannya moral bangsa ini ‘terkoyak’ karena geliat acara hiburan
yang semakin menjadi-jadi. Tontonan di televisi yang bernuansa porno, dan
kekerasan jauh ternyata jauh lebih berbahaya dari pada kematian karena bencana
alam.
Betapa tidak, bencana alam terasa
dampaknya hanya sekitar satu tahun. Setelahnya,
kehidupan sosial sedikit demi sedikit akan kembali pulih. Yang rusak pun hanya
bangunan. Biayanya jauh lebih murah dibanding biaya perbaikan dan pembangunan akhlak
manusia. Hal itu dapat dibuktikan, dari peningkatan APBN untuk bidang
pendidikan (sekitar 20 %) telah dialokasikan, namun tetap saja moral bangsa ini
masih buruk dan hancur. Meskipun telah bertebaran sekolah bertaraf
internasional, mental masyarakat masih
saja seperti ini.
Untuk lebih meyakinkan, mari buka
mata lebar-lebar untuk memperhatikan sejenak sederet fakta berikut.
Menurut catatan PKBI
(Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) Kalimantan Timur, sepanjang tahun
2008 terdapat sekitar 12 % pelajar (usia 12-18 tahun) di Samarinda yang sudah
berpengalaman melakukan hubungan di luar nikah. Dari sekitar 300 lebih
responden yang diteliti (Pelajar SMP dan SMA), sebagian besar di antaranya
sudah sering berzina, bahkan ada yang sudah hamil.
Berkenaan dengan tempat
berlangsungnya seks bebas, sekitar 14 % dari mereka melakukan perbuatan amoral (zina)
itu di lingkungan sekolah, sedangkan 28 % dari mereka melakukannya di rumah.
Sisanya, di tempat rekreasi dan di hotel-hotel.
Di Papua, terdapat sekitar
ratusan pelajar yang mengidap HIV/AIDS. Dari jumlah tadi, 60 % lebih diderita
pelajar asli asal Papua dan 40 % lagi pelajar non Papua (pendatang). Menurut
Komisi Penanggulangan HIV/AIDS (KPAD) Provinsi Papua, drh. Constan Carma,
“dengan memlihat fakta bahwa HIV/AIDS di kalangan pelajar sudah mencapai
ratusan, ini berarti bukan jumlah yang main-main. Apalagi mereka adalah
generasi Penerus pembangunan sekaligus aset bangsa yang harus kita selamatkan
untuk kepentingan masa depan”, ujarnya.
Di Bandung (Jawa Barat),
berdasarkan data tahun 2008, setidaknya sampai September 2008, sekitar 4,56 %
pelajar di Jawa Timur telah terinfeksi HIV/AIDS. Secara umum didominasi oleh kalangan
remaja yang berusia antara 15-29 tahun sebanyak 58 %.
Data yang diungkapkan oleh Yusuf
Suryana, Staf Bidang Keluarga Berencana (KB) Badan Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN) Jawa Barat, di kantor BKKBN, Jalan PHH Mustofa, Kota Bandung, pada hari
Kamis 11 Desember 2008 menurut Yusuf Suryana, beberapa faktor yang menyebabkan
banyak pengidap HIV/AIDS di kalangan pelajar, di antaranya, pengetahuan tentang
penyebaran virus HIV/AIDS yang belum diketahui sejak dini. Adanya perilaku
penggunaan obat-obat terlarang dan seks bebas.
Sementara di Jogjakarta, meski
belum terungkap data yang mengidap HIV/AIDS, namun menurut penelitian, seks
bebas sudah menjadi bagian dari kehidupan pelajar di sana. Menurut CHR Hari
Soetjiningsih, M.Si., sebanyak 4,9 % pelajar berusia 15-18 tahun di Jogjakarta,
mengaku telah berpengalaman melakukan seks pranikah dengan teman (www.pikiran- rakyat.com.index.php?mib=news.detail&id=-463-96)
Annisa Foundation pada
Juli-Desember 2006 pernah melakukan survey tentang perilaku seks pelajar SMP
dan MSA (swasta dan negeri) di kawasan Cianjur-Cipanas Jawa Barat. Survei yang
melibatkan sekitar 412 responden itu, menemukan data bahwa responden yang belum
pernah melakukan kegiatan seks berpasangan hanya sekitar 18,3 %. Sedangkan
sekitar 42,3 % pelajar perempuan telah melakukan hubungan seks pra nikah. Hasil
survey menyodorkan data, diantara responden ada yang telah melakukan hubungan seks tanpa paksaan atau
atas dasar suka sama suka dan karena kebutuhan. Bahkan, ada beberapa responden
yang mengaku melakukan hubungan seks dengan lebih dari satu pasangan dan tidak
bersifat komersial.
Menurut Laila Sukmadevi, Direktur Annisa Foundation, kecenderungan pelajar
Cianjur berhubungan seks pra-nikah bukan
dilatarbelakangi oleh persoalan ekonomi. Hanya sekitar 9 % mereka yang
beralasan berhubungan seks dengan alasan ekonomi. Selebihnya beralasan karena
tuntutan pergaulan dan longgarnya kontrol orang tua mengenai praktik hubungan
seks di luar nikah.
Yang paling memprihatinkan,
mereka yang terlibat kegiatan hubungan di luar nikah itu bukan berarti karena
tidak mengerti atau tidak paham nilai agama atau budi pekerti. Sebab hampir 90
% dari mereka mengaku praktik hubungan seksual di luar nikah merupakan
perbuatan dosa.
Media indonesia (6/1/2007)
dengan mengutip ANTARA bahwa 85 % remaja usia 15 tahun telah berhubungan seks
bebas. Republika (1/3/2007) menulis hampir 50 % remaja perempuan Indonesia
telah melakukan hubungan seks di luar nikah. Menurut KH Abdul Rasyid Abdullah
Syafi’i, dengan mengutip perkataan dari Republika tahun 2007, 80 % anak-anak
usia belasan tahun sudah melakukan hubungan seks tanpa nikah di rumah-rumah
mereka sendiri (Arispati. Majalah Perkawinan dan Keluarga, No.451/XXXVIII/2010,
Hal.12).
Di Jakarta, Rita Damayanti dari
FKM UI, Depok Jawa Barat baru-baru ini melakukan penelitian terhadap 8.941
pelajar dari 119 SMA dan sederajat. Hasilnya, perilaku seks pranikah itu
cenderung dilakukan karena pengaruh teman sebaya yang negative. Apalagi bila remaja
itu tumbuh dan berkembang dalam lingkungan negatif juga akan membentuk remaja
yang tidak punya proteksi terhadap perilaku orang-orang disekelilingnya.
Deretan fakta di atas
menunjukkan betapa rusaknya generasi bangsa, dan menggelitik pentingnya kekhawatiran
terhadapnya. Tentu, masalah seperti ini menuntut perhatian yang jauh lebih
besar dibandingkan bencana kerusakan alam atau musibah transportasi. Kalau kerusakan alam
atau bencana transportasi adalah hal yang patut disesalkan, maka kehancuran akhlak
jauh lebih penting untuk juga ‘disesalkan’.
Karena bencana kehancuran yang
paling dahsyat adalah kehancuran manusia
itu sendiri. Hilangnya nilai-nilai kemanusiaann, dan merajalelanya hawa nafsu
syahwat yang dituruti tanpa batas. Hanya saja patut disayangkan, upaya
perbaikan akhlak justru menjadi nomor sekian dalam agenda pemulihan kondisi bangsa.
Ujung-ujungnya, toh kita sadar
sendiri dengan demikian banyak program yang mengarah kepada perbaikan kepribadian,
seperti pendidikan karakter dan gerakan nasional penghematan BBM oleh pemerintah
saat ini.
Ditambah lagi, akhir-akhir ini,
marak pemberitaan kedatangan artis dunia ke bumi ibu pertiwi. Sungguh sangat
memprihatinkan jika kedatangannya sudah dinanti sejak lama. Sampai sekitar 50 ribu tiket telah laris terjual. Sementara harga tiketnya
tidak main-main, yang paling murah sekitar 500-an ribu dan yang termahal
sekitar 2 sampai 3 juta-an. Sungguh sangat kita prihatin, dan jauh lebih
bersedih melihat mental masyarakat yang rela mengeluarkan uangnya dalam jumlah
sebanyak itu hanya untuk menikmati nyanyian artis berjuluk Mother Monster itu. Sementara di saat yang sama, celengan-celengan
masjid hanya dipenuhi uang receh yang membuat bendahara masjid kerepotan
menghitungnya. Sebuah paradoks di alam realitas !.
Kedatangan artis ini adalah bencana
yang jauh lebih dahsyat penghancurannya. Hanya saja masih banyak yang
menentang, katanya “masa’ moral
bangsa Indonesia akan hancur hanya karena 2 jam konser musik ?”. Subhanallah….!!!,
jangankan dua jam. 30 detik pun cukup menghancurkan bangsa ini hingga lebih
hancur kota Hiroshima menjadi puing-puing bangunan yang rata dengan tanah dengan Little Boy (Nama Bom Atom AS) hanya
karena adegan cabul yang beredar di HP para pelajar.
Penolakan atas kedatangannya,
adalah satu diantara upaya perbaikan akhlak bangsa. Sementara tangisan atas pembatalan konsernya
adalah bukti kegamangan, sikap latah dan hilangnya jatidiri kebudayaan timur bangsa.
Mungkin masih banyak kasus yang serupa
dengan kedatangan artis itu, bahkan menjadi konsumsi masyarakat bawah (candoleng-doleng, misalnya), namun
memperparah kondisi bukanlah sebuah pilihan bijak. Kalau urusan akhlak
masyarakat sendiri masih begitu rusak, dengan optimisme kita tentu tidak mau menambah
faktor yang mengundang datangnya kebinasaan dan adzab yang lebih besar.
Sudah cukup keprihatinan atas
jatuhnya pesawat Sukhoi SJ 100. Genap sudah
keprihatinan atas deretan kasus amoral dan asusila dalam raport merah akhlak
bangsa. Dan kita tidak mau menambah itu semua dengan semakin menyemarakkan gemerlap
dunia hiburan di tanah air. Termasuk kedatangan Lady Gaga. Dan semua itu hanya
karena didorong oleh motivasi kelimpahan finansial bagi segelintir orang. Karena
sekali lagi, kehancuran akhlak -yang berkorelasi dengan hingar-bingarnya dunia
hiburan,- jauh lebih sulit diperbaiki dibanding kehancuran bangunan, bencana
alam dan musibah transportasi.
Masihkah ini belum menjadi pengingat…?. Sungguh
mungkin karena kelalaian dari peringatan itulah yang mengundang datangnya
bencana demi bencana, agar bangsa kita segera bangun dari tidur panjang dan
kelalaiannya.
Dan Kami bagi-bagi mereka di dunia ini
menjadi beberapa golongan; di antaranya ada orang-orang yang saleh dan di
antaranya ada yang tidak demikian. dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang
baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada
kebenaran) (QS Al-A’raf: 168).
Salah satu cara perusakan itu
adalah dengan di-jejalkannya budaya permisif (serba boleh), hedonis, dan
liberal dalam berbagai hal terutama untuk urusan seks. Dan media-lah (TV) yang paling berperan mempropagandakannya.
Semboyan-semboyan kesenangan dan budaya hura-hura sepertinya menjadi central topic dalam berita TV yang
menjadi penyedia informasi paling dominan diakses oleh masyarakat. Setiap hari
konsumsi masyarakat yang bertemakan hiburan, lambat laun akan mematikan
sensitivitas sosial dan kepekaan terhadap masalah. Pada akhirnya, kebudayaan
liberal akan berurat-akar dan sulit untuk di-cerabut. Jika tidak ada upaya
perbaikan, Ia akan menjadi penyakit kronis, yang pada gilirannya harus
diamputasi.
Maka, penolakan beberapa unsur
masyarakat, seperti Ormas Islam, budayawan, dan pemangku adat menolak
kedatangan Artis Lady Gaga adalah satu baby
step, dalam proses panjang perbaikan akhlak bangsa. Jika pun anda unsur
anarkhisme, tekanan dan ancaman dari pihak ini, tidak lain merupakan reaksi
dari kesadaran nurani yang diusik. Sebagaimana seekor lebah yang diganggu ketenangannya,
akan mengeluarkan sengatnya. Atau mungkin jika tidak berlebih, kita sebut ‘amputasi sosial’. Gerakan penyembuhan
yang mungkin ‘menyakitkan’, dan sedikit keras, namun untuk memulihkan penyakit stadium lanjut. Karena jika dibiarkan
malah akan menjalar ke organ tubuh yang lain. Gerakan pengobatan, yang sedikit
pahit dan menuai protes, akan tetapi
untuk kesembuhan jangka panjang.
Itulah mungkin yang disebut gerakan
penyelamatan (haraqatul inqadh). Yang
merupakan bagian dari upaya perlindungan akhlak bangsa. Dalam agama dikenal
dengan amar ma’ruf-nahi mungkar. Gerakan
nyata dari segolongan masyarakat yang sadar akan pentingnya proteksi terhadap
aqidah dan akhlak. Reaksi dari penyelewengan
budaya bangsa dan agama yang sudah jauh
menyimpang. Serta ‘alarm’ pengingat, jika ternyata kelakuan manusia sudah
melebihi ambang batas dari norma yang ada.
Oleh karena itu, upaya itu harus
digalakkan dan didukung. Langkah yang paling nyata adalah membentengi pilar paling utama dalam masyarakat, yaitu individu
dengan tarbiyah (pembinaan) yang intensif. Pembinaan yang utuh dan menyeluruh
agar lahir generasi yang memiliki kekuatan iman dan ilmu dalam melawan badai dahsyat
bernama kerusakan akhlak itu.
Selain itu, perlu ada ketegasan dalam
pelaksanaan undang-undang penyiaran yang lebih protektif terhadap konsumen dari
kekerasan dan adegan porno. Sikap real
dari pemerintah dalam membentengi masyarakat dari gencaran informasi destruktif
adalah hal yang paling diharapakan. Bukan hanya sekedar himbauan, namun dalam
bentuk aturan yang dikawal pelaksanaannya.
Terakhir, tanggung jawab
berikutnya ada ditangan kita. Mari memulai dari gerakan sederhana. Menunjukkan penolakan
terhadap penyelewengan dan peringatan atasnya, dan saling mengajak kepada kebaikan
–sekali lagi- sebagai usaha memperbaiki akhlak bangsa (wallohu a’lam
bish-shawab).
Maraji’ :
Al-Qur’an al
Karim
Syamsuar
Hamka, Berawal dari ketidakadilan. Radar Bone edisi Rabu, 9 Agustus 2011
Hartono Ahmad
Jaiz, Sumber-Sumber Penghancur Akhlak Islam, Jakarta: Pustaka Nahi Munkar
Oleh : Abu Fath el_Faatih (Penggiat
Aktivitas Lembaga Dakwah Kampus dan Lingkar Dakwah Mahasiswa Indonesia)
No comments:
Post a Comment