“Saya
pun merasa sudah menjadi seorang Muslim yang cukup taat. Buat saya, tidak ada
salahnya ketika seorang gay ingin beragama dan menunaikan ibadahnya. Namun,
menurut saya, beribadah dan beragama haruslah seimbang.”, tulis Dimas dalam
sebuah situs yang mengaku sebagai wadah para insan LGBT (Lesbian, Gay,
Biseksual, dan Transgender) dan non-LGBT untuk berbagi cerita.
Dalam
situs yang berarsip pertama Mei 2013 tersebut, terdapat beberapa postingan
tentang kisah LGBT lain. Nama situs tesebut terambil dari kata yang pertama
kali diungkapkan di Novel “Bukan Pasarmalam”, karya Pramoedya Ananta Tur tahun
1951. Meski belum begitu ramai pengunjung, situs tersebut tetap konsisten
mempromosikan pandangan-pandangan inklusif. Di dalamnya ditayangkan apa yang menurut pengelolanya sebagai sebagai bukti nyata bahwa
Indonesia mampu menjadi masyarakat yang inklusif dan berpikiran terbuka. Bisa
menerima keberadaan kaum LGBT. Melalui situs ini pula, pemikiran akan kebhinekaan
Indonesia tidak hanya menyoal suku, agama, dan ras saja. Indonesia milik banyak
insan, akunya. Secara halus, insan dalam defenisi yang luas, juga temasuk
masalah orientasi seksual.
Menurut
para penganjurnya, LGBT bukanlah suatu hal yang menyimpang, dan harus ditolak
dalam kehidupan bermasyarakat. Sebab, persoalannya bukan hanya pada lingkungan.
Faktor genetik juga turut berpengaruh. Dalam lanjutan postingannya, Dimas
menulis, “Banyak orang yang menyangka bahwa seseorang ‘menjadi’ gay karena
dipengaruhi oleh lingkungannya, tetapi rasanya, anggapan itu terkesan
terburu-buru dan tidak memperhitungkan pertimbangan-pertimbangan lainnya. Seperti
faktor genetik dan biologis, misalnya. Saya hidup di lingkungan yang sangat
heteroseksual dan tidak memiliki trauma apa pun akan seksualitas saya, tetapi
saya tetap menjadi seorang yang berbeda karena saya dilahirkan memiliki
orientasi seksual yang berbeda pula. Bagi banyak kasus, seseorang ‘menjadi’ gay
karena ia sudah paham dan menerima jati dirinya yang berbeda dengan orang lain,”
tutur Dimas dalam postingan tertanggal 8 Desember, 2015 itu.
Dimas
adalah seorang Mahasiswa yang aktif dalam kegiatan organisasi yang bernama Suport
Group and Resource Center on Sexuality Studies, University of Indonesia
(SGRC-UI). Mahasiswa asal Kota Padang ini awalnya memilih bungkam setelah
melihat seseorang yang memiliki kecenderungan yang sama dipinggirkan di lingkungan
sekolahnya, dari kelas X hingga lulus SMA. Namun setelah bergabung dengan
Kelompuk Studinya, ia kemudian menjadi lebih yakin akan apa yang menjadi
‘fitrah’ baginya. Menurutnya, kecenderungan seksualnya, bukanlah suatu hal yang
keliru, yang masalah hanya persoalan masyarakat belum teredukasi akan penyebab-penyebab
LGBT, sehingga belum menerima keberadaan mereka.
Hanya
saja, kita tentu perlu menilai lebih jauh terhadap kajian-kajian LSM, FGD, atau
semacamnya yang konsen mempromosikan LGBT. Sebab menurut pengakuan Dimas di
atas, kelompok studinya memiliki referensi yang luas tentang eksistensi LGBT di
berbagai belahan dunia. Apalagi negara maju seperti Amerika, telah menjadi
negara ke-21 yang resmi melegalkan pernikahan sesama jenis (dikutip dari laman
news.liputan6.com, tertanggal Sabtu, 27 Juni 2015).
Seharusnya
referensi itu tentu harus mempertimbangkan bagaimana dampak kesehatan dari
penganut LGBT dan begitu pula dampak sosial secara luas. Bukan hanya kondisi
psiko-sosial dan alasan-alasan hak asasi semata.
Sebab
ternyata praktik kelainan orientasi seksual ternyata sangat berbahaya secara
medis. Seperti dalam hasil penelitian Center for Disease Control, dikutip
dari carm.org menyebutkan bahwa 2% dari penduduk AS yang merupakan gay ternyata
menyumbang 61% dari kasus infeksi HIV. Lembaga penelitian tersebut, lebih
lanjut menyatakan bahwa "Pria yang berhubungan seks dengan laki-laki merupakan
kelompok yang jumlahnya paling besar terjangkit infeksi virus HIV baru.” Lembaga
Penelitian tersebut juga menyatakan bahwa walaupun penderita MSM yang mewakili hanya 2 persen dari penduduk AS, mereka menyumbang paling banyak
(61 %) dari semua infeksi HIV baru pada tahun 2009. Penderita MSM usia muda (13-29
thn) merupakan korban yang paling parah terkena dampak tersebut, dimana
keberadannya mewakili lebih dari seperempat dari semua infeksi HIV baru secara
nasional (27 % pada tahun 2009).
NB: Tulisan ini pernah dimuat di Koran Amanah Makassar, 11 Februari 2016
NB: Tulisan ini pernah dimuat di Koran Amanah Makassar, 11 Februari 2016
No comments:
Post a Comment