Syamsuar Hamka [1]
Semua agama
benar, semua agama sama…
Tuhan semua agama pada hakikatnya adalah sama, jalan
untuk menempuhnya saja yang berbeda…
Orang-orang dengan agamanya masing-masing, semua
akan masuk syurga yang penting mereka berbuat baik…
Petikan
pernyataan di atas mungkin akan menjadi salah satu ungkapan dari para penganut
paham relativisme-liberal, yang -katanya- memperjuangkan persatuan untuk menjaga
keutuhan bangsa. Logika-logika yang digunakannya selalu berlandaskan pembebasan
klaim kebenaran mutlak (Absolute Truth
Claim) untuk satu ajaran tertentu. Mereka menganggap bahwa kebenaran tidak
boleh berlaku hanya untuk individu, aliran atau kelompok, tapi kebenaran dimiliki
bersama oleh semua orang, sehingga akan memberikan pemahaman tentang toleransi
dan kebersamaan. Logika seperti ini memainkan paham relativitas. Secara umum,
paham relativitas digolongkan menjadi tiga jenis. Relativisme selanjutnya
disebut oleh para ulama sebagai Sufasta’iyyah.
1.
Sufasta’iyyah ‘Indiyah, yaitu
paham relativitas yang mengajarkan bahwa kebenaran itu benar menurut individu. Tidak
ada kebenaran universal yang bersifat mutlak. Ujung-ujungnya, penganut paham
ini, jika ia sudah terpojokkan akan mengatakan “itu kan menurut kamu, itu benar
menurut kamu, sedangkan menurut saya tidak benar”. Lebih lanjut orang-orang
berpaham seperti ini akan sangat sulit
untuk menjustifikasi sesuatu ketika ia dimintai pendapatnya. Anehnya adalah
ketika kita menanyakan jenis kelaminnya. Mungkin ia akan bependapat bahwa “tergantung
dari mana kita mengambil sudut pandang…”. Kesimpulannya, menurut mereka jenis
kelamin pun itu relatif. Untuk mendudukkan persoalan ini, Ust. Muhammad Thalib dalam
bukunya Melacak Kekafiran Berfikir memberikan penjelasan tentang satu
logika dasar. Kita harus mengetahui apa itu berbeda, dan berlawanan. Berbeda adalah sifat atau substansi
yang pada waktu dan tempat yang sama bisa melekat pada satu objek. Misalnya,
guru dan murid. Ciri-ciri murid dan guru sudah jelas membedakan, namun pada
saat yang sama, bisa saja seorang menjadi guru sekaligus murid. Misalnya si-A
yang merupakan seorang mahasiswa pascasarjana, dan sekaligus sebagai seorang
guru di satu sekolah. Ini bisa dipahami dengan nalar sederhana. Adapun berlawanan, sifatnya adalah tidak dapat
berlaku atau bernilai benar pada saat yang sama. Misalnya mati-hidup, sehat-sakit,
jauh-dekat dan sejenisnya. Dua variabel ini tidak akan menetap pada satu objek
yang sama dan dalam waktu yang sama. Seseorang tidak akan bisa mati sekaligus hidup,
sehat sekaligus sakit dan seterusnya. Sesuatu akan berlaku universal ketika kita
tidak merubah sudut pandang dalam menetapkan sesuatu. Sehingga ada kebenaran
mutlak untuk setiap sesuatunya. Ia akan bernilai relatif ketika setiap
pertanyaan yang berbeda, kita menjawabnya dengan satu landasan yang berbeda.
Dalam konteks beragama. Kita tentu bisa menjustifikasi kebenaran
berdasarkan pemilik kebenaran, (Al-Haqqu mir-Rabbikum, Kebenaran itu dari
tuhanmu) yang kemudian menunjuki manusia lewat kitab suci Al-Qur’an. Apakah
akan masuk akal ketika kita berpendapat bahwa Yesus itu dibunuh dan di salib,
dan pada saat bersamaan yesus tidak dibunuh -melainkan diangkat ke langit,-dan
tidak disalib atau diselamatkan…?. Apakah kita akan membenarkan orang yang
berpendapat bahwa tuhan itu adalah Allah sekaligus Yahweh, dan Jesus…?. Logika
yang benar adalah, pasti salah satu dari pendapat itu ada yang benar dan yang
lainnya salah. Karena tidak mungkin kedua hal itu berlaku benar secara
bersama-sama.
Seorang penyair ternama Pakistan, Muhammad Iqbal mengatakan bahwa adalah
lebih rendah dan lebih hina dibandingkan dengan penjajahan secara fisik,
seseorang yang telah kehilangan idealismenya. Ketika seseorang telah
kehilangan prinsipnya, maka kata beliau, itu lebih hina dibanding penjajahan
fisik.
2.
Sufasta’iyyah Laa Adriyyah, yaitu paham relatif yang menyatakan bahwa kebenaran
itu tidak diketahui oleh manusia. Manusia itu bodoh terhadap kebenaran,
tuhanlah yang mengetahui kebenaran. Manusia hanya mencari kebenaran, dan tidak
akan dapat sampai pada kebenaran. Ulama kita mengibaratkan orang-orang ini sebagai
orang yang sedang mendorong batu besar ke puncak gunung. Setelah di atas, ia
pun menggelendingkan batu itu ke bawah. Kemudian ia kembali mendorongnya naik,
sesampai di atas, ia kembali menggelindingkan batu itu ke bawah. Begitu
seterusnya. Kesimpulannya, manusia hidup dalam pencarian kebenaran, dan tidak
akan sampai pada kebenaran yang hakiki. Menurut paham ini, Kebenaran itu berlaku
bagi tuhan yang tak terbatas, dan tidak berlaku bagi manusia karena mereka
terbatas. Jawaban yang sebenarnya
adalah kebenaran itu berlaku bagi manusia. Benar menurut manusia dalam
keterbatasannya. Tuhan menciptakan kebenaran bagi manusia yang berlaku bagi keterbatasannya, karena
tidak mungkin tuhan menciptakan kebenaran bagi manusia dalam skala
ke-tidak-terbatas-an, Karena tidak mungkin manusia sama dengan tuhan.
3.
Sufasta’iyyah ‘Inadiyyah, yaitu satu
paham relatif yang mengedepankan sifat skeptis
atau bebal. Paham ini sangat keras
kepala dalam menyikapi kebenaran. Ulama mengibaratkan, orang-orang yang berpemahaman ini, dengan dua orang yang tengah
berjalan di sebuah padang pasir. Seketika itu, mereka melihat sesuatu yang
hitam di kejauhan. Orang pertama mengatakan bahwa, yang hitam itu adalah
kambing hitam, yang kedua menyebutnya burung hitam. Setelah tidak begitu dekat,
terlihat benda hitam itu terbang. Orang kedua mengatakan Oh…saya yang benar, itu burung hitam kan…?. Akan tetapi, orang
pertama mengatakan bahwa Tidak itu tetap
kambing hitam. Orang seperti ini tidak mau menerima hujjah. Sekali pun argumen
itu demikian jelas, namun karena ke-bebalan-nya,
mereka tetap berpegang teguh pada pendapatnya, sekalipun sudah demikian jelas
bukti dan penjelasan.
Dari
penjelasan di atas, paham relatif adalah satu logika dasar yang
ke-berlaku-annya diakui dalam wilayah-wilayah tertentu dalam kehidupan. Namun,
ketika pola logika ini ditarik dalam ruang-ruang sakral, seperti agama, maka
akan sangat membahayakan aqidah. Ia akan memberikan satu masalah yang jauh
lebih besar, dan tidak menjadi solusi sebagaimana misi utama penyebaran paham
ini. Paham ini berkembang atas kesadaran realitas peperangan dan pertentangan
antaragama-agama yang terjadi dalam lintasan sejarah. Bahayanya adalah, ia malah
akan menjadi pintu diantara pintu keluarnya seseorang dari agama yang lurus ini
(islam).
Begitu
pula dalam hal beragama islam, secara tegas kita katakan bahwa ada
standar-standar universal dalam agama kita yang seseorang pun harus punya. Kalau
hanya dengan alasan bahwa semua agama memiliki konsep dasar tentang kebaikan
yang sama, senyum kepada tetangga, berbuat baik kepada orang lain, tidak
mencuri, berjudi, berzina, dan lain-lain, maka secara sadar kita tegaskan bahwa
kalau begitu, tidak perlu ada agama.
Karena semua orang mengetahui ajaran dasar kemanusiaan (humanisme). Sekalipun setiap
agama itu sepakat dengan kebaikan seperti contoh tadi, namun yang menjadi
masalah ketika telah pembahasan telah memasuki aspek aqidah, yang merupakan perkara
pokok dalam Islam. Dari sinilah akan timbul pertentangan. Bukankah Nabi
Muhammad Shalllahu Alaihi wa Sallam dikenal sebagai al Amin (orang yang terpercaya), dikenal dengan keagungan akhlaqnya
(Wa Innaka La Ala Khuluqin Adzhim), bahkan sampai pada musuh-musuhnya...?. Akan
tetapi Beliau tetap memerangi mereka karena Aqidah. Umirtu An Uqaatilun-naasa
hattaa antasyhada alla Ilaaha Illallah…(saya diperintahkan untuk memerangi
manusia sampai ia bersyahadat bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain
Allah) dalam sebuah sabda beliau. Bukankah seluruh Nabi dan Rasul yang diutus
oleh Allah Azza Wa Jalla itu ditentang dengan keras oleh kaumnya karena Aqidah
ketauhidan yang dibawanya….?.
Oleh
karena itu, relativisme agama adalah satu paham yang dari luar
kelihatan begitu manis menawarkan kebenaran akan tetapi jika disorot lebih
dekat ia adalah paham yang sesat dan menyesatkan. Ia sangat membahayakan aqidah
seorang muslim. Sehingga kata kuncinya, Ketika kita ingin berbicara tentang
kebenaran, maka seharusnya-lah, kebenaran itu dikembalikan kepada pemilk kebenaran
sesungguhnya. Dialah Allah Azza Wa Jalla, yang menuangkan nilai-nilai kebenaran
itu untuk menjadi Huda bagi
orang-orang bertaqwa (QS 2:2). Usaha yang real
untuk dilakukan untuk membendung dan melawan pemahaman ini adalah dengan
kembali kepada petunjuk pemilik kebenaran yang dituangkan ke dalam al-Qur’an.
Mempelajari dan menjaga nilai-nilai kewahyuannya sebagaimana ditunjukkan oleh
Rasullah Shallahu Alaihi Wa Sallam dengan membina (tarbiyah) diri untuk
mengenal ajaran yang hakiki serta mengamalkan, mendakwahkan dan bersabar di
atas jalan dakwah itu (Wallohu al Haadi Ilaa Aqwami Ath-Thariq).
(Makassar/Rabu, 23 Maret 2011,Pukul 13.20 WITA)
(Makassar/Rabu, 23 Maret 2011,Pukul 13.20 WITA)
No comments:
Post a Comment