Cari

RELATIVISME PEMIKIRAN DALAM SOROTAN

Saturday, 20 February 2016



Syamsuar Hamka [1]
                                                
Semua agama benar, semua agama sama…
Tuhan semua agama pada hakikatnya adalah sama, jalan untuk menempuhnya saja yang berbeda…

Orang-orang dengan agamanya masing-masing, semua akan masuk syurga yang penting mereka berbuat baik…


Petikan pernyataan di atas mungkin akan menjadi salah satu ungkapan dari para penganut paham relativisme-liberal, yang -katanya- memperjuangkan persatuan untuk menjaga keutuhan bangsa. Logika-logika yang digunakannya selalu berlandaskan pembebasan klaim kebenaran mutlak (Absolute Truth Claim) untuk satu ajaran tertentu. Mereka menganggap bahwa kebenaran tidak boleh berlaku hanya untuk individu, aliran atau kelompok, tapi kebenaran dimiliki bersama oleh semua orang, sehingga akan memberikan pemahaman tentang toleransi dan kebersamaan. Logika seperti ini memainkan paham relativitas. Secara umum, paham relativitas digolongkan menjadi tiga jenis. Relativisme selanjutnya disebut oleh para ulama sebagai Sufasta’iyyah.


1.      Sufasta’iyyah ‘Indiyah, yaitu paham relativitas yang mengajarkan bahwa kebenaran itu benar menurut individu. Tidak ada kebenaran universal yang bersifat mutlak. Ujung-ujungnya, penganut paham ini, jika ia sudah terpojokkan akan mengatakan “itu kan menurut kamu, itu benar menurut kamu, sedangkan menurut saya tidak benar”. Lebih lanjut orang-orang berpaham seperti ini  akan sangat sulit untuk menjustifikasi sesuatu ketika ia dimintai pendapatnya. Anehnya adalah ketika kita menanyakan jenis kelaminnya. Mungkin ia akan bependapat bahwa “tergantung dari mana kita mengambil sudut pandang…”. Kesimpulannya, menurut mereka jenis kelamin pun itu relatif. Untuk mendudukkan persoalan ini, Ust. Muhammad Thalib dalam bukunya Melacak Kekafiran Berfikir memberikan penjelasan tentang satu logika dasar. Kita harus mengetahui apa itu berbeda, dan berlawanan. Berbeda adalah sifat atau substansi yang pada waktu dan tempat yang sama bisa melekat pada satu objek. Misalnya, guru dan murid. Ciri-ciri murid dan guru sudah jelas membedakan, namun pada saat yang sama, bisa saja seorang menjadi guru sekaligus murid. Misalnya si-A yang merupakan seorang mahasiswa pascasarjana, dan sekaligus sebagai seorang guru di satu sekolah. Ini bisa dipahami dengan nalar sederhana. Adapun berlawanan, sifatnya adalah tidak dapat berlaku atau bernilai benar pada saat yang sama. Misalnya mati-hidup, sehat-sakit, jauh-dekat dan sejenisnya. Dua variabel ini tidak akan menetap pada satu objek yang sama dan dalam waktu yang sama. Seseorang tidak akan bisa mati sekaligus hidup, sehat sekaligus sakit dan seterusnya. Sesuatu akan berlaku universal ketika kita tidak merubah sudut pandang dalam menetapkan sesuatu. Sehingga ada kebenaran mutlak untuk setiap sesuatunya. Ia akan bernilai relatif ketika setiap pertanyaan yang berbeda, kita menjawabnya dengan satu landasan yang berbeda.
Dalam konteks beragama. Kita tentu bisa menjustifikasi kebenaran berdasarkan pemilik kebenaran, (Al-Haqqu mir-Rabbikum, Kebenaran itu dari tuhanmu) yang kemudian menunjuki manusia lewat kitab suci Al-Qur’an. Apakah akan masuk akal ketika kita berpendapat bahwa Yesus itu dibunuh dan di salib, dan pada saat bersamaan yesus tidak dibunuh -melainkan diangkat ke langit,-dan tidak disalib atau diselamatkan…?. Apakah kita akan membenarkan orang yang berpendapat bahwa tuhan itu adalah Allah sekaligus Yahweh, dan Jesus…?. Logika yang benar adalah, pasti salah satu dari pendapat itu ada yang benar dan yang lainnya salah. Karena tidak mungkin kedua hal itu berlaku benar secara bersama-sama.
Seorang penyair ternama Pakistan, Muhammad Iqbal mengatakan bahwa adalah lebih rendah dan lebih hina dibandingkan dengan penjajahan secara fisik, seseorang yang telah kehilangan idealismenya. Ketika seseorang telah kehilangan prinsipnya, maka kata beliau, itu lebih hina dibanding penjajahan fisik.
2.      Sufasta’iyyah Laa Adriyyah, yaitu paham relatif yang menyatakan bahwa kebenaran itu tidak diketahui oleh manusia. Manusia itu bodoh terhadap kebenaran, tuhanlah yang mengetahui kebenaran. Manusia hanya mencari kebenaran, dan tidak akan dapat sampai pada kebenaran. Ulama kita mengibaratkan orang-orang ini sebagai orang yang sedang mendorong batu besar ke puncak gunung. Setelah di atas, ia pun menggelendingkan batu itu ke bawah. Kemudian ia kembali mendorongnya naik, sesampai di atas, ia kembali menggelindingkan batu itu ke bawah. Begitu seterusnya. Kesimpulannya, manusia hidup dalam pencarian kebenaran, dan tidak akan sampai pada kebenaran yang hakiki. Menurut paham ini, Kebenaran itu berlaku bagi tuhan yang tak terbatas, dan tidak berlaku bagi manusia karena mereka terbatas. Jawaban yang sebenarnya adalah kebenaran itu berlaku bagi manusia. Benar menurut manusia dalam keterbatasannya. Tuhan menciptakan kebenaran bagi manusia  yang berlaku bagi keterbatasannya, karena tidak mungkin tuhan menciptakan kebenaran bagi manusia dalam skala ke-tidak-terbatas-an, Karena tidak mungkin manusia sama dengan tuhan.
3.       Sufasta’iyyah Inadiyyah, yaitu satu paham relatif yang mengedepankan sifat skeptis atau bebal. Paham ini sangat keras kepala dalam menyikapi kebenaran. Ulama mengibaratkan, orang-orang yang  berpemahaman ini, dengan dua orang yang tengah berjalan di sebuah padang pasir. Seketika itu, mereka melihat sesuatu yang hitam di kejauhan. Orang pertama mengatakan bahwa, yang hitam itu adalah kambing hitam, yang kedua menyebutnya burung hitam. Setelah tidak begitu dekat, terlihat benda hitam itu terbang. Orang kedua mengatakan Oh…saya yang benar, itu burung hitam kan…?. Akan tetapi, orang pertama mengatakan bahwa Tidak itu tetap kambing hitam. Orang seperti ini tidak mau menerima hujjah. Sekali pun argumen itu demikian jelas, namun karena ke-bebalan-nya, mereka tetap berpegang teguh pada pendapatnya, sekalipun sudah demikian jelas bukti dan penjelasan.
Dari penjelasan di atas, paham relatif adalah satu logika dasar yang ke-berlaku-annya diakui dalam wilayah-wilayah tertentu dalam kehidupan. Namun, ketika pola logika ini ditarik dalam ruang-ruang sakral, seperti agama, maka akan sangat membahayakan aqidah. Ia akan memberikan satu masalah yang jauh lebih besar, dan tidak menjadi solusi sebagaimana misi utama penyebaran paham ini. Paham ini berkembang atas kesadaran realitas peperangan dan pertentangan antaragama-agama yang terjadi dalam lintasan sejarah. Bahayanya adalah, ia malah akan menjadi pintu diantara pintu keluarnya seseorang dari agama yang lurus ini (islam).


Begitu pula dalam hal beragama islam, secara tegas kita katakan bahwa ada standar-standar universal dalam agama kita yang seseorang pun harus punya. Kalau hanya dengan alasan bahwa semua agama memiliki konsep dasar tentang kebaikan yang sama, senyum kepada tetangga, berbuat baik kepada orang lain, tidak mencuri, berjudi, berzina, dan lain-lain, maka secara sadar kita tegaskan bahwa kalau begitu, tidak perlu ada agama. Karena semua orang mengetahui ajaran dasar kemanusiaan (humanisme). Sekalipun setiap agama itu sepakat dengan kebaikan seperti contoh tadi, namun yang menjadi masalah ketika telah pembahasan telah memasuki aspek aqidah, yang merupakan perkara pokok dalam Islam. Dari sinilah akan timbul pertentangan. Bukankah Nabi Muhammad Shalllahu Alaihi wa Sallam dikenal sebagai al Amin (orang yang terpercaya), dikenal dengan keagungan akhlaqnya (Wa Innaka La Ala Khuluqin Adzhim), bahkan sampai pada musuh-musuhnya...?. Akan tetapi Beliau tetap memerangi mereka karena Aqidah. Umirtu An Uqaatilun-naasa hattaa antasyhada alla Ilaaha Illallah…(saya diperintahkan untuk memerangi manusia sampai ia bersyahadat bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah) dalam sebuah sabda beliau. Bukankah seluruh Nabi dan Rasul yang diutus oleh Allah Azza Wa Jalla itu ditentang dengan keras oleh kaumnya karena Aqidah ketauhidan yang dibawanya….?.
Oleh karena itu, relativisme agama adalah satu paham yang dari luar kelihatan begitu manis menawarkan kebenaran akan tetapi jika disorot lebih dekat ia adalah paham yang sesat dan menyesatkan. Ia sangat membahayakan aqidah seorang muslim. Sehingga kata kuncinya, Ketika kita ingin berbicara tentang kebenaran, maka seharusnya-lah, kebenaran itu dikembalikan kepada pemilk kebenaran sesungguhnya. Dialah Allah Azza Wa Jalla, yang menuangkan nilai-nilai kebenaran itu untuk menjadi Huda bagi orang-orang bertaqwa (QS 2:2). Usaha yang real untuk dilakukan untuk membendung dan melawan pemahaman ini adalah dengan kembali kepada petunjuk pemilik kebenaran yang dituangkan ke dalam al-Qur’an. Mempelajari dan menjaga nilai-nilai kewahyuannya sebagaimana ditunjukkan oleh Rasullah Shallahu Alaihi Wa Sallam dengan membina (tarbiyah) diri untuk mengenal ajaran yang hakiki serta mengamalkan, mendakwahkan dan bersabar di atas jalan dakwah itu (Wallohu al Haadi Ilaa Aqwami Ath-Thariq).

(Makassar/Rabu, 23 Maret 2011,Pukul 13.20 WITA)




[1] Penulis adalah Ketua Departemen Kajian Strategis PP LIDMI 2015-2018

No comments:

Post a Comment

 

Iklan Buku

Followers

Bincang-Bincang