Tahun 2013 lalu, situs suarakita.org menurunkan
sebuah cerita singkat yang ditulis oleh Penggagas Harian Tempo, Goenawan Mohammad.
Dalam tulisan Penyair, Eksesis yang juga Jurnalis Senior itu mengisahkan Mita, seorang
gadis muslimah yang tumbuh dewasa dan menderita kelainan orientasi seks. Ia
adalah seorang lesbian. Yang menarik adalah, ibu dan bapaknya bukan ditokohkan sebagai
antagonis sebagaimana roman atau novel pada umumnya. Justru kedua orang tuanya ditampilkan
sebagai orang yang menghargai kondisi Mita. Mereka tetap menyayanginya dan
mencintai kondisinya. Mereka menerima Mita berpacaran, meski bukan dengan
seorang lelaki. Yang lebih menarik lagi adalah, meski Mita ditampilkan sebagai
orang yang dianggap memiliki kelainan psikis tersebut, ia ternyata adalah
seorang yang berjiwa aktivis kemanusiaan. Teman wanitanya pernah ia tolong
melahirkan, meski adalah hasil hubungan di luar pernikahan. Dan ia juga membela
perempuan berjilbab di tempat kerjanya, yang dipecat karena jilbabnya. Meski
Mita sendiri tidak berjilbab.
Dalam tulisan itu, dengan nada yang halus, Penulis mencoba
merembeskan rasa kemanusiaan dalam suasana tulisannya kepada pembaca. Paham
LGBT dicoba ditayangkan sebagai paham tertindas, padahal menurut Penulis, kondisinya
bukan kehendak pribadi Mita. Dan dengan spirit humanisme, Lesbianisme ditayangkan
diatayangkan sebagai ajaran yang tetap konsisten dengan moralitas dan
keberadaban. Goenawan menulis, “Mita dan pasangannya adalah dua manusia yang
sedang jatuh cinta. Bahkan, saya bisa melihat keindahan dalam hubungan itu.
Mereka rukun, kadang pergi berdua, saling bercanda. Sangat beradab, sangat lucu,
tidak ada yang aneh. Selama Mita bahagia, kami pun bahagia.”
Sesuatu yang memang bisa dituliskan dengan dalam,
sebab apa yang dinarasikan dalam tulisan itu adalah pengalaman pribadi penulis.
Mita, tidak lain adalah anaknya sendiri. Dan ia sendiri-lah orang tua yang mendukung
sifat anaknya yang seperti itu.
Goenawan Mohamad |
Adalah sangat cerdas dan bernas, mencoba merapatkan
dua hal yang kontras ke dalam sebuah narasi. Memang, sebuah tulisan akan
semakin kuat menghujam dengan mendekatkan dua hal yang bertolak belakang.
Sehingga akan muncul ‘konflik’ dalam mental pembaca. Bagaimana menariknya, jika
sebuah tulisan saya beri judul, “al-Qur’an di pelukan sang Pelacur”, atau “Tuhan!,
izinkan aku melacur”. Sederhananya, dalam hukum Fisika. Petir akan muncul di
daerah antara pertemuan hujan dan panas. Hukum itu juga, sepertinya muncul
dalam eksposisi tulisan.
Doktrin dualisme. Menurut Dr. Hamid Zarkasy jika dilacak,
bersumber dari filsafat akal (Philosophy of Mind) yang digemari
Descartes, Kant, Leibniz, Christian Wolf dan lain-lain. Christian mengatakan “The
dualists (dualistae) are those who admit the existence of both material
and immaterial substance”, tapi wujud dan materi terpisah. Pengertian ini
disepakati Pierre Bayle dan Leibniz.
Ia melanjutkan bahwa, pemikiran dualisme tersebut
diwarisi dari kepercayaan Zoroaster (1000 SM) di Timur. Dunia dianggap sebagai
pergulatan abadi antara kebaikan dan kejahatan. Thomas Hyde menemukan doktrin
ini dalam sejarah agama Persia kuno (Historia religionis veterum Persiarum,
1700). Tuhan dianggap sebagai Person sekaligus materi. Bagi Mesir kuno R-
adalah tuhan matahari simbol kehidupan dan kebenaran. Lawannya adalah Apophis
lambang kegelapan dan kejahatan. Deva adalah agama Hindu adalah Tuhan
baik, musuhnya adalah Asura, Tuhan jahat. Di Babylonia peperangan antara Marduk
dan Tuamat adalah mitos yang mewarnai worldview mereka. Mitologi Yunani
selalu menampilkan peperangan Zeus dengan Titans. Di Jerman perang antara Ases
dan Vane, meski berakhir damai.
Ilustrasi Zeus |
Dalam filsafat, Pythagoras adalah dualis. Segala
sesuatu diciptakan saling berlawan. Satu dan banyak, terbatas dan tak terbatas,
berhenti-gerak, baik-buruk dan sebagainya. Empedocles setuju dengan Phytagoras,
baginya dunia ini dikuasai oleh dua hal. Cinta dan kebencian. Plato dalam
dialo-dialognya memisahkan jiwa dari raga, inteligible dan sensible.
Dalam kepercayaan kuno pun unsur monisme juga me-wujud. Marduk ternyata turunan dari
Tiamat. Zeus dan Titan berasal dari moyang yang sama. Leviathan ternyata
diciptakan Tuhan. Pemberontak Mahbhrata adalah keluarga yang sama. Dalam agama
Zoroaster, kebaikan selalu dinisbatkan kepada Ahura Mazda atau Ohrmazd
sedangkan kejahatan disifatkan kepada Ahra Mainyu atau Aiman.
Tapi dalam kitab Gths, kebaikan dan kejahatan adalah saudara kembar dan memilih
salah satu karena kehendak.
Simbol Ahura Mazda |
Dualisme itu sangat jelas terlihat melalui Pertarungan
Idealisme vis avis Realisme. Yang hakiki adalah ide menurut Leibniz,
Hegel, Barkeley, Jonathan Edwards, Howison dan Edmund Husserl. Sementara
menurut Aristoteles, Thomas aquinas dan Brubacher, yang hakiki adalah yang terukur
dan terobjektivikasi. Dalam pendidikan, teori belajar dipisahkan oleh
jurang Behaviorisme-Konstruktivisme. Belajar berhasil adalah perubahan
perilaku, menurut menurut Beliner, Gagne, Thorndike, dan Watson serta para
penganjur behaviorisme lainnya. Sedangkan menurut Konstruktivis, seperti
Ausubel, Piaget, Whaetley, dan Tytler, proses belajar berhasil jika terjadi
perubahan pola pikir. Dalam madzhab epistemologi, Rasionalisme melawan Empirisme,
menampilkan benturan yang tidak berbeda dari dua paham sebelumnya. Sementara dalam
Teori Kepribadian, Faktor Genetis pada satu kutub, dan Faktor Lingkungan di
kutub yang lain. Dan konstruksi berpikir itu, -agaknya- semakin menjadi-jadi dengan
penetapan Persamaan Max-Planck dalam Teori Cahaya, yang melahirkan ‘Dualisme Gelombang-Partikel’.
Perang antara Monisme dan Dualisme, sejatinya
adalah pencarian konsep ke-esa-an (tauhid). Peperangan itu digambarkan dengan
jelas oleh Lovejoy dalam bukunya The Revolt Against Dualism. Ficht dan
Hegel, misalnya juga mencoba menyodorkan doktrin karena arogansi akal yang
tanpa wahyu (unaide reason) maka monisme tersingkir, dan dualisme
menang. Jiwa dan raga, tetap dianggap dua entitas.
Seorang dualis melihat fakta secara mendua. Akal
dan materi adalah substansi yang secara ontologis terpisah. Jiwa-raga (mind-body)
tidak saling terkait satu sama lain, karena berbeda komposisi. Akal bisa jahat
dan materi bisa bersifat suci. Ataukah sebaliknya, jiwa yang kotor, sedang raga
yang bersih. Padahal dari jiwalah kehendak bermula. Dalam islam, raga seperti
pasukan. Dan jiwa adalah rajanya. Raga yang berbuat kotor, lahir dari jiwa yang
kotor. Kotornya lidah seorang peng-ghibah, disebabkan oleh kotornya jiwanya. Kotornya
kelamin seorang pezina, disebabkan oleh penyakit dalam hatinya.
Dalam berbagai hal, dualis akan selalu melihat dua
hal sebagai sesuatu yang selamanya berbeda. Mempertahankan yang satu, sama
halnya dengan mengorbankan yang lain. Mencari akhirat berarti meninggalkan
dunia. Ibadah di masjid, berarti kerugian dalam berdagang. Dan bekerja sebagai
ilmuwan, berarti harus siap meninggalkan wahyu sebagai sumber ilmu. Menjadi
seorang pemerintah publik, berarti harus siap meninggalkan agama di luar ruang
rapat.
Dikotomi yang dipakai seorang dualis akan selalu
menjauhkan dua entitas berbeda. Dunia-akhirat, pasar-masjid, akal-jiwa, objektif-subjektif.
Akhirnya kebenaran akan selalu bernilai dua. Bahkan kebenaran di zaman
Posmodern, adalah absolut dan relatif.
Doktrin dualisme telah membentang dalam pandangan (vision)
dan memori publik. Paham tersebut telah menjadi konsensus tanpa konfirmasi (‘ijma’
suqhuthy). Bahkan, pandangan itu telah membaur dalam akal, dan urat nadi
ilmu pengetahuan. Hingga dualisme, dianggap sebagai suatu yang normal, real,
dan benar adanya. Kenyataan seperti itu menimbulkan ungkapan wanita dalam
cerita-cerita roman, “Ragaku bisa engkau miliki. Tapi maafkan aku, hatiku telah
menjadi milik orang lain…”.
Kekacauan (Confusion) seperti ini
akan membuat ungkapan-ungkapan lainnya akan lahir. “Seorang Kristen lebih Islam
dari Muslim”. “Eropa lebih Islami dari Negeri Muslim”. “Di akhirat, Tuhan akan tersenyum
kepada Ateis”. Dan berikutnya, akan lahir kepribadian ganda yang terpisah (split
personality) dengan istilah-istilah seperti “Ateis Bermoral”, “Koruptor
yang Baik”, “Kafir yang Baik, karena anti Korupsi”, “Pelacur Beradab”, “Berhati
Makkah, Berotak Jerman”. Kepribadian yang hatinya islam, namun akalnya komunis.
Dahinya bersujud, namun pisaunya menikam Tuhan (wallohu a’lam bi as-shawaab).
Diadaptasi dari
Hamid Fahmi Zarkasy, Dualisme, Jurnal Islamia, (Volume III, No. 3, tahun 2008),
hlm. 91-92
No comments:
Post a Comment