Jika
sekarang ini ada kepala negara Islam yang mengirim surat memintai Tony Blair
agar masuk Islam tentu dianggap pelecehan dan intoleransi. Bukan hanya karena
mustahil Blair sudi, tapi doktrin postmodern dan teologi global ‘mengharamkan’
hal tersebut. Doktrin pluralisme agama melarang menganggap agama lain salah,
dan agama sendiri paling benar, karena itu dianggap benih terorisme dan
fundamentalisme.[1]
Pluralitas
agama, kultur dan budaya adalah sunnatullah, tapi pluralisme adalah doktrin
peradaban Barat Post-modern yang mencoba membangun persamaan dari perbedaan dan
bahkan cenderung menghilangkannya.[2]
Bahwa
terdapat bermacam-macam agama di muka bumi ini adalah kenyataan yang tak
terelakkan. Persoalannya adalah bagaimana menyikapi pluralitas dan diversitas
agama- agama tersebut? Menjawab pertanyaan serius ini, para pemikir terbelah
menjadi beberapa kelompok. Kaum skeptis, positivis dan naturalis berkata,
adanya macam-macam agama dengan doktrin yang berbeda-beda itu justru
menunjukkan bahwa tidak ada satupun agama yang benar dan layak dipercaya.
Cukuplah perbedaan dan perselisihan itu merobohkan keseluruhan bangunan agama.
Sebab, tidak ada satu kriteria pun yang dapat memastikan kebenarannya. Maka
pluralitas agama hanya dapat dijelaskan secara sosiologis, anthropologis, dan
psikologis. Munculnya agama-agama disebabkan oleh faktor-faktor yang tak ada
hubungannya dengan benar-salah (truth-blind causes), yaitu adat
istiadat, kekuasaan politik, kepentingan serta kecenderungan pribadi dan budaya
masyarakat setempat. Agama adalah seperangkat ilusi, ungkapan emosi dan
kepercayaan kosong. Begitulah pendapat Feuerbach, Marx dan Freud[3],
serta Nietzche.
Filsafat
Pluralisme (itu) kemudian menjalar ke tengah-tengah diskursus teologi kristen. Ketika
doktrin extra ecclesiam nulla salus (di luar gereja tidak ada
keselamatan) tidak dapat dipertahankan lagi, maka para teolog Kristen membuat
kreasi teologis yang disebut inklusif. Artinya semua agama selamat dalam
pelukan Kristen.[4]
Frederich Nietzche |
Namun
dalam perkembangannya doktrin itu belum dianggap betul-betul maju sebagaimana
paham Nietzche. Orang-orang seperti Wilfred Cantwell Smith, John Hick, dan para
pemikir Kristen pakar teori Comparative Religion kemudian meneruskannya
menjadi upaya peleburan perbedaan yang disebut doktrin inklusivisme. (Agama)
yang satu – dalam konteks pluralisme agama- mengakui (kebenaran agama) yang
lain.[5]
Latar Belakang
Sejarah Pluralisme
Dr. Adian
Husaini menjelaskan sejarah Pluralisme bahwa jika ditelusuri lebih jauh,
“melunaknya” sikap fanatisme sebagian kalangan Kristen – dari doktrin
eksklusivisme – dapat ditemukan akar dan panyebabnya pada sejarah perjalanan
traumatis masyarakat Barat itu sendiri terhadap hegemoni Gereja. Doktrin
eksklusivisme Gereja, yang menganggap bahwa di luar Gereja tidak ada
keselamatan, telah melahirkan trauma sejarah yang sangat dalam, selama abad
Pertengahan Eropa. Sebab, ketika Gereja yang merupakan manifestasi dari
“organized religion” yang sangat berkuasa dan memegang hegemoni politik, telah
melakukan kekejaman demi kekejaman yang luar biasa. Mereka menyebut siapa pun
yang tidak setuju dengan doktrin Gereja dengan sebutan “heretics” dan memburu
mereka serta membasmi mereka. Sebuah institusi Gereja yang sangat terkenal
kejahatan dan kekejamannya adalah Inquisisi. Karen Armstrong menggambarkan
kejahatan institusi Inquisisi Kristen dalam sejarah sebagai berikut: Most of us would agree that one of the
most evil of all Christian institutions was the Inquisition, which was an
instrument of terror in the Catholic Church until the end of seventeenth
century. Its methods were also used by Protestants to persecute and control the
Catholics in their countries.[6]
Ilustrasi Inkuisisi Gereja |
Trauma
sejarah Eropa terhadap
“organized religion” Kristen itu sangat tidak tepat jika diaplikasikan
pada perjalanan sejarah Islam. Jika kaum Kristen kemudian memilih jalur sekuler
dan liberal, itu adalah jalan mereka yang justru dipandang baik oleh masyarakat
Barat. Bahkan, arus liberalisasi itu telah mengguncang sendi-sendi pokok
gereja, sehingga tahun 2003 lalu, Gereja Anglikan Keuskupan New Hampshire AS,
mengangkat seorang pelaku homoseksual, Gene Robinson, sebagai uskup
mereka. Ironisnya, sebagian orang kemudian
melihat, pengalaman sejarah dan perkembangan Teologi dalam dunia Kristen
Barat itu juga perlu diupayakan untuk diterapkan pada semua agama. Sebab,
dengan cara itu Barat menjadi maju. Islam, khususnya, menjadi perhatian dan sasaran yang serius.
Setelah kolonial Barat meninggalkan negeri Islam, mereka mulai membangun
pusat-pusat kajian Islam yang serius. Banyak diantaranya yang kemudian berhasil
mendidik cendekiawan Muslim sesuai kerangka berpikir Barat-sekular, yang secara
aktif menjadi agen penyebaran paham
serupa di dunia Islam. Ketika Barat tidak lagi percaya bahwa Bible adalah
kata-kata Tuhan (The Words of God/Verba Dei), maka mereka pun mengajak kaum
Muslim untuk meyakini hal yang sama seperti mereka. Hans Kung, misalnya,
menulis soal al-Quran sebagai kata-kata Allah, “It must be remembered, that
not only Muslims believe this; fundamentalist Christians look upon the Bible in
the same way. The fundamentalist Christian says: All this is dictated by God,
from the first phrase to the last. There is nothing that changes, nothing to
interpret. Everything is clear.”[7]
Ilustrasi Inkuisisi |
Kondisi
teks Bible jelas berbeda dengan al-Quran, yang tetap terjaga otentisitasnya.
Karena itu, problema teks Bible tidak dapat diadopsi dan diterapkan untuk
al-Quran. Problema dan perkembangan teologis dalam Kristen juga sangat berbeda
dengan Islam. Sejak awal, Islam sudah tidak bermasalah dengan konsep
teologisnya. Konsepnya jelas: Tawhid, Qul Huwa Allahu Ahad!.
Barat
yang traumatis terhadap “organized religion” of Christian akhirnya mengajukan
jalan sekular, liberal, dan pluralisme teologi dalam kehidupan mereka. Sebagaimana penjajah Kristen dan misionaris
yang aktif menyebarkan agama, Barat yang sekuler pun aktif menyebarkan
ideologinya dan memaksakan kepada manusia. Setiap tahun, AS membuat laporan
negara-negara yang demokratis dan tidak demokratis, menurut standar AS. AS dan
sejumlah negara Barat juga aktif memonitor dan campur tangan dalam banyak kasus
politik di dunia Islam, membantu kelompok-kelompok sekuler dan mencegah naiknya
kekuasaan kelompok non-sekuler (Islamists). Kasus pelarangan jilbab dan
sejumlah symbol agama di sekolah-sekolah negara di Perancis juga bisa dijadikan
salah satu contoh. Di Indonesia, tekanan-tekanan terus dilakukan agar kaum
Muslim juga mengganti keyakinannya, bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang
benar dan yang menyelamatkan umat manusia. Kaum Muslim juga diminta menghapus
cita-citanya menegakkan Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Secara
terang-terangan, tokoh-tokoh Kristen memperjuangkan sekularisasi, pluralisme
teologis, dan terakhir, bahkan meminta agar Mukaddimah UUD 1945 diubah, Sila
Ketuhanan Yang Maha Esa diganti, dan Indonesia dinyatakan sebagai negara
sekular.
* * * * *
Ide
inilah yang kemudian berwujud menjadi pluralisme. Truth Claim menjadi
diharamkan. Merasa benar sendiri adalah kesalahan. Tidak ada agama yang lebih benar
dari agama yang lain. Sebab kebenaran itu relatif, dan yang absolut hanya Tuhan[8].
Tuhan punya tujuan menciptakan realitas keberagaman. Dan keberagaman itu adalah
anugerah. Lebih lanjut ungkapan seperti, ‘pelangi itu indah karena terdiri dari
berbagai banyak warna’!. Atau paling tidak paham ini minimal sampai pada
ungkapan ‘silahkan merasa benar, yang penting jangan salahkan orang lain’. ‘Hargai
perbedaan, dan tidak perlu mengganggu yang tidak sama dengan keyakinan kita’.
Dalam
pandangan ini, hak asasi dan keyakinan beragama seakan-akan dibela dan
dijunjung tinggi. Bahwa tidak ada yang paling berhak untuk dibela kecuali hak
berkeyakinan itu sendiri. Meski minoritas, dan menentang aliran kepercayaan
yang mayoritas.
Dalam
islam pun seperti itu. Ketika ada tindakan-tindakan yang berujung pada
pencegahan atau penjegalan kegiatan kelompok tertentu oleh kelompok lain, maka
itu dianggap tidak menghargai perbedaan. Intoleran dan fundamentalis. Ketika
walikota Bogor, Bima Arya melakukan pelarangan dalam kegiatan hari Asyura yang
dipelopori oleh orang-orang Syiah, ini dianggap sebagai kekerasan dan
intimidasi. Bentuk pemerintahan yang totaliter, dan sentimen. Tidak sedikit
aksi protes itu bermunculan di media sosial, cetak maupun elektronik.
Padahal
hal yang perlu untuk diperhatikan jika dalil-dalil yang diungkapkan adalah
masalah hukum, maka seharusnya tidak perlu menjadi persoalan. Mereka yang
datang dengan ideologi baru dan berseberangan dengan keyakinan mayoritas mendapatkan
tekanan atau perlawanan. Sebab dalam undang-undang dijelaskan bahwa Negara
menjamin hak beragama bagi tiap-tiap penduduk.[9]
Persoalannya adalah, jika yang beragama mendapatkan serangan pemikiran dan
keyakinan dari yang minoritas, dan melakukan perlawanan, apakah hal itu tetap bukan
kemerdekaan beragama ?. Jika seseorang menghina sahabat, istri nabi dan
menganggap al-Qur’an tidak sempurna, apakah hal itu akan dibiarkan, sementara
mereka menganggap diri mereka adalah islam ?
Kasus
ini sama dengan Ahmadiyah. Hanya satu tuntutan muslim sunni di Indonesia.
Silakan hidup di Indonesia, tetapi jangan mengaku islam. Silakan buat agama
baru. Selesai!. Yang masalah adalah, ketika mereka meyakini ada Nabi setelah
Muhammad SAW, ada kitab yang sempurna selain al-Qur’an, dan ada syariat yang lebih
sempurna dari Islam, sementara mereka mengaku bahwa mereka adalah Islam.[10]
Mirza Ghulam Ahmad |
Membangun
rumah dalam undang-undang negara, sah-sah saja. Yang jadi masalah adalah ketika
membangun rumah, di lahan milik orang lain. Itu yang perlu diperjelas. Artinya,
silakan buat kegiatan apa pun itu, akan tetapi, jangan bawa nama-nama islam. Silakan
buat agama baru. Jika mengaku islam, akan tetapi konsep dasar aqidah
yang bertolak belakang, tidak mungkin bisa diterima secara nalar bahwa mereka
benar dua-duanya.
Dari
situlah lahir Fatwa Majlis Ulama Indonesia pada tanggal 29 Juli 2005 yang
Melarang umat Islam mengikuti faham pluralisme, sekularisme dan
liberalisme. Dalam pandangan MUI, “Pluralisme agama adalah suatu paham yang
mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama
adalah relatif. Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim
bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah.
Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan
berdampingan di surga.” (Bersambung)
[1] Hamid
Fahmi Zarkasyi, Misykat; Relfeksi Tentang Westernisasi, Liberalisasi dan
Islam, Jakarta: INSIST-MIUMI, 2012, hlm. 156
[2] Hamid
Fahmi Zarkasyi, Misykat; Relfeksi Tentang Westernisasi…, hlm. 156
[4] Hamid
Fahmi Zarkasyi, Misykat; Relfeksi Tentang Westernisasi…, hlm. 156
[5] Hamid
Fahmi Zarkasyi, Misykat; Relfeksi Tentang Westernisasi…, hlm. 156-157
[6] Lihat
Karen Armstrong, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today‟s World
(London: McMillan London Limited, 1991), dalam Adian Husaini, Konsep Islam Sebagai Agama Wahyu, Modul Islamic
Worldview, hlm. 14
[7] Hans
Kung, Dialogue With Islam, dalam Swidler dalam Adian Husaini, Konsep
Islam Sebagai Agama Wahyu, Modul
Islamic Worldview, hlm. 15
[8] Hamid
Fahmi Zarkasyi, Misykat; Relfeksi Tentang Westernisasi…, hlm. 157
[9] Pasal
28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”). Akakn tetapi Hak
asasi tersebut bukannya tanpa pembatasan, sebab dalam Pasal 28J ayat (1) UUD
1945 diatur bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain. Pasal
28J ayat (2) UUD 1945 selanjutnya
mengatur bahwa pelaksanaan hak tersebut wajib tunduk pada pembatasan-pembatasan
dalam undang-undang. Jadi, hak asasi manusia tersebut dalam pelaksanaannya
tetap patuh pada pembatasan-pembatasan yang diatur dalam undang-undang.
[10]
Lihat Syamsuar Hamka, Menduduksoalkan Kebebasan Beragama; Studi Ringkas
Eksistensi Ahmadiyah, Tabloid Profesi UNM, Edisi Februasi 2011.
No comments:
Post a Comment