Toleransi
dalam Islam
Dalam
islam sudah jelas bagaimana konsep toleransi yang benar. “Sesungguhnya agama
(yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam (QS. Ali Imran: 19). Begitu
pula dalam ayat yang lain, “Siapa
mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima (agama itu)
daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS Ali Imran:
85) dan “Bagimu agamamu, dan
bagiku agamaku.” (QS al-Kafirun: 6). Dalam hadits juga dijelaskan “Demi
Dzat yang menguasai jiwa Muhammad, tak seorang Yahudi atau Nasrani yang
mendengar seruanku, dan sampai mati tidak mengimani ajaran yang aku bawa,
kecuali ia bakal masuk Neraka.” (HR Muslim).
Implementasi
pemahaman terhadap dalil-dalil tersebut tidaklah serampangan. Sebab islam harus
memperhatikan bagaimana kondisi sosial dalam melakukan islah dan amar makruf
nahy munkar. Wujud toleransi islam sangat nampak dalam sejarah. Ketika periode
kepemimpinan Umar ibn Khattab, umat Islam menguasai Yerussalem tanpa
peperangan. Umat islam datang dan menguasai tidak menghancurkan. Islam menjadi
penengah pertikaian sekte-sekte kristen yang terjadi dalam Kanisah
al-Qiyamah.[1]
Di
Cordoba umat islam juga hidup damai dengan orang-orang Kristen dan Yahudi.
Tetapi sesudah kerajaan Bani Umayyah jatuh, orang-orang Kristen barat mengusir
umat islam secara biadab. Memreka tidak mempunyai ajaran toleransi.[2]
Demikian
pula ketika Islam masuk ke dalam Persia. Pada tahun 700-an ketika Qutaibah bin
Muslim menjabat gubernur Khurasan, ia dengan damai meluaskan kawasan Muslim ke
Bukhara, Samarqand dan ke Timur hingga mencapai perbatasan Cina.[3]
Orientalis
pakar sejarah asal Perancis, Du Halde, mencatat bahwa orang Islam menetap di
Cina selama lebih 6 abad tidak ada kegiatan dakwah yang mencolok, kecuali
hubungan perkawinan. Mereka adalah saudagar kaya yang menyantuni anak kaum
penyembah api yang miskin.[4]
Demikian
pula ketika islam masuk ke Spanyol, Persia, India dan Mesir membawa cara
pandangn dunia yang khas. Islam tidak datang ke suatu negara untuk menjajah dan
menguras kekayaan alam negara itu, seperti yang dilakukan Inggris terhadap
bangsa Aborigin Australia, Meksiko terhadap peradaban suku Maya dan Aztek, Serta
bangsa Portugis terhadap bangsa asli benua Amerika.
Seorang
Muslim yang memahami ajaran agamanya tentu mengetahui bahwa padanya selalu
dituntut keseimbangan dan kewajaran dalam ber-aqidah, beribadah dan
bermu’amalah antar sesama manusia. Anda disuruh berjihad, tapi juga
diperintahkan menebar kedamaian. Saling menghormati dan toleransi kepada
pemeluk agama lain diharuskan, namun dakwah kepada mereka juga diwajibkan.
Minoritas non-Muslim (ahli dzimmah) yang ‘lurus’ wajib dilindungi, namun
mereka yang berkhianat dan memusuhi Islam dan Umat Islam harus diperangi.
Demikianlah rule of the game-nya, sehingga peaceful coexistence dapat
terwujud. Sebaliknya, jika aturan main tersebut dilanggar, maka timbulnya
berbagai macam konflik akan sulit dihindari.[5]
Konsep
Iman dalam Islam bukan sekedar keyakinan dalam hati. Tetapi pembenaran dan
pengucapan lisan serta aktualisasi lewat anggota badan. Konsep iman inilah yang
menjadikan Nabi Muhammad SAW mendakwahi orang-orang Musyrik Makkah agar mereka
tidak menyembah patung, meninggalkan perzinahan, judi dan arak. Mengajak dengan
bijak, mendebat, hingga mengangkat senjata. Sekiranya konsep toleransi (yang dipahami
secara umum sekarang) digunakan oleh Nabi Muhammad SAW maka kesyirikann,
maksiat dan kekufuran mereka tidak perlu diganggu-gugat dan tidak perlu Nabi
membawa risalah Islam dan al-Qur’an. Dengan demikian, Islam tidak akan sampai
pada kita dalam wujudnya seperti sekarang. Begitu pula Nabi Ibrahim, yang siap
dibakar karena mendakwahkan bahwa keyakinan menyembah patung adalah kekufuran,
hingga melawan Rajanya. Nabi Luth yang melarang homo dan lesbian harus dimusuhi
oleh kaumnya. Demikian halnya Nabi Nuh, Isa, Musa dan lain-lain.
Konsep
iman sangat erat kaitannya dalam Amar Makruf Nahy Munkar. Sehingga
jelaslah Nabi berpesan,
Siapa
yang melihat Kemunkaran dengan matanya maka hendaklah dicegah dengan tangannya.
Jika tidak bisa, hendaklah dengan lisannya, jika tidak bisa, hendaklah dengan
hatinya. Dan itu adalah selemah-lemah iman. (HR. Muslim No. 40)
Adalah
sangat aneh jika seorang muslim, merasa memiliki iman, namun membiarkan
kesesatan dan kekufuran merajalela di lingkungannya. Dan menganggap bahwa itu
adalah fakta keberagaman. Bijaksanalah dengan keberagaman!. Padahal dalam
al-Qur’an sangat jelas menerangkan,
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. (QS. An-Nisa’: 58).
Keadilan
lawannya adalah kedzaliman. Jika ada kebenaran yang tidak disampaikan dan
kemunkaran yang tidak diingkari, atau malah diam, bukankah itu adalah
kedzaliman ?. Membiarkan orang berada dalam kemaksiatan dan kekufuran adalah
kedzaliman, sebab membuat mereka berada dalam kekeliruan, sementara kebenaran
telah diketahui. Mana logika yang benar, logika al-Qur’an atau logika
‘akal-akalan’ ?.
Mengapa
Hanya Kepada Islam?
Dalam
memperjuangkan Pluralisme seharusnya harus dilakukan dengan adil. Yang justru
menjadi masalah adalah ketika umat islam yang terdiskriminasi, kaum pluralis
tidak pernah bersuara sebagaimana getolnya memperjuangkan ketika yang
(menurutnya) didiskriminasi adalah kalangan minoritas.
Ketika
masalah jilbab polwan yang lahir dari keinginan polisi muslimah untuk konsisten
dalam menjalankan ajaran agamanya, tidak pernah diadvokasi. Ketika masalah
kristenisasi berlangsung di daerah pinggiran seperti NTT, Flores, Papua, dan
lain-lain mewabah, kaum Pluralis tidak pernah memberikan keseimbangan dalam
opini. Justru sangat menyedihkan, ketika yang (dianggap) melakukan diskriminasi
seperti FPI dan lain-lain, kaum pluralis baru bersuara sangat keras. Dari fakta
itu, perlu dipertanyakan, “Apa sebenarnya yang mereka perjuangkan?”
Dalam
laporan berita bertarikh 2 Disember 2014 di laman VOA Islam–Indonesia
diperoleh, Data pergerakan aksi misionaris (kristenisasi) di Indonesia menunjukkan
angka yang cukup mengerikan. Berdasarkan hasil riset Yayasan Al Atsar Al-Islam
(Magelang) dan dalam rangkaian investigasi diperoleh data bahwa mulai tahun
1999-2000 Kristen dan Khatolik di Jateng telah meningkat dari 1-5 % diawal
tahun 1990, kini naik drastis 20-25% dari total jumlah penduduk Indonesia.
Insan Mokoginta (kristolog) menuturkan
berdasarkan penelitian di Solo sejak tahun 2010-2012 terdapat sebanyak
40.000 orang Islam yang murtad. Sementara di Klaten, sebanyak 23.300 orang
Islam yang murtad. Informasi ini menurut Insan Mokoginta, di dapatkan dari
Departemen Agama setempat, berdasarkan perkembangan demografis penduduk Muslim
di Solo. Di mana jumlah penduduk Muslim semakin menyusut.[6]
Di
Aceh lebih mengkhawatirkan lagi. Menurut penuturan seorang pendeta yang sudah
masuk Islam, George Panjaitan, dikatakan bahwa orang Aceh Utara yang murtad
jumlahnya mencapai 400.000 orang, jumlah ini ada di empat desa di wilayah
tersebut. Banyaknya warga Serambi Mekkah yang murtad ini terjadi pada tahun
2006-2007. Kondisi ini terjadi sebagai akibat dari peran organisasi Gereja
Internasional diterjunkan pada saat itu untuk untuk menangani korban Tsunami.
Berbagai macam kristenisasi terselubung yang berbalut bantuan sosial dan
kemanusiaan telah berhasil memikat hati warga Aceh ini sehingga mereka
menggadaikan aqidahnya.[7]
Dari
data di atas, seharusnya ada keseimbangan. Bahwa wacana toleransi tidak hanya
‘ditodongkan’ kepada umat islam sunni yang mayoritas. Akan tetapi semua kasus
yang terjadi. Seharusnya penganjur Pluralisme harus lebih kencang
memperjuangkan spirit toleransi mereka. (Wallohu a’lam bi as-Shawab)
[1]
Hamid Fahmi Zarkasyi, Misykat; Relfeksi Tentang Westernisasi…, hlm. 161
[2]
Hamid Fahmi Zarkasyi, Misykat; Relfeksi Tentang Westernisasi…, hlm. 161
[3]
Hamid Fahmi Zarkasyi, Misykat; Relfeksi Tentang Westernisasi…, hlm.
161-162
[4]
Hamid Fahmi Zarkasyi, Misykat; Relfeksi Tentang Westernisasi…, hlm. 162
[5]
Syamsuddin Arif, Toleransi Agama: ‘Yes’, Pluralisme : ‘No’ !, Makalah
pada Seminar Pemikiran LIDMI di Gd. AP Pettarani Unhas, 20 Ferbuari 2010, hlm.
4
[6]
Lihat http://lppi-jakarta.blogspot.co.id/2015/06/kristenisasi-di-indonesia.html
(diakses Selasa 27 Oktober Pukul 13.26 WIB)
No comments:
Post a Comment