Cari

ANTARA TOLERANSI DAN PLURALISME (2)

Tuesday 27 October 2015


Toleransi dalam Islam
Dalam islam sudah jelas bagaimana konsep toleransi yang benar. “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam (QS. Ali Imran: 19). Begitu pula dalam ayat yang lain,  “Siapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS Ali Imran: 85) dan  “Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.” (QS al-Kafirun: 6). Dalam hadits juga dijelaskan “Demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad, tak seorang Yahudi atau Nasrani yang mendengar seruanku, dan sampai mati tidak mengimani ajaran yang aku bawa, kecuali ia bakal masuk Neraka.” (HR Muslim).

Implementasi pemahaman terhadap dalil-dalil tersebut tidaklah serampangan. Sebab islam harus memperhatikan bagaimana kondisi sosial dalam melakukan islah dan amar makruf nahy munkar. Wujud toleransi islam sangat nampak dalam sejarah. Ketika periode kepemimpinan Umar ibn Khattab, umat Islam menguasai Yerussalem tanpa peperangan. Umat islam datang dan menguasai tidak menghancurkan. Islam menjadi penengah pertikaian sekte-sekte kristen yang terjadi dalam Kanisah al-Qiyamah.[1]
Di Cordoba umat islam juga hidup damai dengan orang-orang Kristen dan Yahudi. Tetapi sesudah kerajaan Bani Umayyah jatuh, orang-orang Kristen barat mengusir umat islam secara biadab. Memreka tidak mempunyai ajaran toleransi.[2]


Demikian pula ketika Islam masuk ke dalam Persia. Pada tahun 700-an ketika Qutaibah bin Muslim menjabat gubernur Khurasan, ia dengan damai meluaskan kawasan Muslim ke Bukhara, Samarqand dan ke Timur hingga mencapai perbatasan Cina.[3]
Orientalis pakar sejarah asal Perancis, Du Halde, mencatat bahwa orang Islam menetap di Cina selama lebih 6 abad tidak ada kegiatan dakwah yang mencolok, kecuali hubungan perkawinan. Mereka adalah saudagar kaya yang menyantuni anak kaum penyembah api yang miskin.[4]
Demikian pula ketika islam masuk ke Spanyol, Persia, India dan Mesir membawa cara pandangn dunia yang khas. Islam tidak datang ke suatu negara untuk menjajah dan menguras kekayaan alam negara itu, seperti yang dilakukan Inggris terhadap bangsa Aborigin Australia, Meksiko terhadap peradaban suku Maya dan Aztek, Serta bangsa Portugis terhadap bangsa asli benua Amerika.
Seorang Muslim yang memahami ajaran agamanya tentu mengetahui bahwa padanya selalu dituntut keseimbangan dan kewajaran dalam ber-aqidah, beribadah dan bermu’amalah antar sesama manusia. Anda disuruh berjihad, tapi juga diperintahkan menebar kedamaian. Saling menghormati dan toleransi kepada pemeluk agama lain diharuskan, namun dakwah kepada mereka juga diwajibkan. Minoritas non-Muslim (ahli dzimmah) yang ‘lurus’ wajib dilindungi, namun mereka yang berkhianat dan memusuhi Islam dan Umat Islam harus diperangi. Demikianlah rule of the game-nya, sehingga peaceful coexistence dapat terwujud. Sebaliknya, jika aturan main tersebut dilanggar, maka timbulnya berbagai macam konflik akan sulit dihindari.[5]
Konsep Iman dalam Islam bukan sekedar keyakinan dalam hati. Tetapi pembenaran dan pengucapan lisan serta aktualisasi lewat anggota badan. Konsep iman inilah yang menjadikan Nabi Muhammad SAW mendakwahi orang-orang Musyrik Makkah agar mereka tidak menyembah patung, meninggalkan perzinahan, judi dan arak. Mengajak dengan bijak, mendebat, hingga mengangkat senjata. Sekiranya konsep toleransi (yang dipahami secara umum sekarang) digunakan oleh Nabi Muhammad SAW maka kesyirikann, maksiat dan kekufuran mereka tidak perlu diganggu-gugat dan tidak perlu Nabi membawa risalah Islam dan al-Qur’an. Dengan demikian, Islam tidak akan sampai pada kita dalam wujudnya seperti sekarang. Begitu pula Nabi Ibrahim, yang siap dibakar karena mendakwahkan bahwa keyakinan menyembah patung adalah kekufuran, hingga melawan Rajanya. Nabi Luth yang melarang homo dan lesbian harus dimusuhi oleh kaumnya. Demikian halnya Nabi Nuh, Isa, Musa dan lain-lain.
Konsep iman sangat erat kaitannya dalam Amar Makruf Nahy Munkar. Sehingga jelaslah Nabi berpesan,
Siapa yang melihat Kemunkaran dengan matanya maka hendaklah dicegah dengan tangannya. Jika tidak bisa, hendaklah dengan lisannya, jika tidak bisa, hendaklah dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemah iman. (HR. Muslim No. 40)
Adalah sangat aneh jika seorang muslim, merasa memiliki iman, namun membiarkan kesesatan dan kekufuran merajalela di lingkungannya. Dan menganggap bahwa itu adalah fakta keberagaman. Bijaksanalah dengan keberagaman!. Padahal dalam al-Qur’an sangat jelas menerangkan,
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. (QS. An-Nisa’: 58).
Keadilan lawannya adalah kedzaliman. Jika ada kebenaran yang tidak disampaikan dan kemunkaran yang tidak diingkari, atau malah diam, bukankah itu adalah kedzaliman ?. Membiarkan orang berada dalam kemaksiatan dan kekufuran adalah kedzaliman, sebab membuat mereka berada dalam kekeliruan, sementara kebenaran telah diketahui. Mana logika yang benar, logika al-Qur’an atau logika ‘akal-akalan’ ?.


 Mengapa Hanya Kepada Islam?
Dalam memperjuangkan Pluralisme seharusnya harus dilakukan dengan adil. Yang justru menjadi masalah adalah ketika umat islam yang terdiskriminasi, kaum pluralis tidak pernah bersuara sebagaimana getolnya memperjuangkan ketika yang (menurutnya) didiskriminasi adalah kalangan minoritas.
Ketika masalah jilbab polwan yang lahir dari keinginan polisi muslimah untuk konsisten dalam menjalankan ajaran agamanya, tidak pernah diadvokasi. Ketika masalah kristenisasi berlangsung di daerah pinggiran seperti NTT, Flores, Papua, dan lain-lain mewabah, kaum Pluralis tidak pernah memberikan keseimbangan dalam opini. Justru sangat menyedihkan, ketika yang (dianggap) melakukan diskriminasi seperti FPI dan lain-lain, kaum pluralis baru bersuara sangat keras. Dari fakta itu, perlu dipertanyakan, “Apa sebenarnya yang mereka perjuangkan?”



Dalam laporan berita bertarikh 2 Disember 2014 di laman VOA Islam–Indonesia diperoleh, Data pergerakan aksi misionaris (kristenisasi) di Indonesia menunjukkan angka yang cukup mengerikan. Berdasarkan hasil riset Yayasan Al Atsar Al-Islam (Magelang) dan dalam rangkaian investigasi diperoleh data bahwa mulai tahun 1999-2000 Kristen dan Khatolik di Jateng telah meningkat dari 1-5 % diawal tahun 1990, kini naik drastis 20-25% dari total jumlah penduduk Indonesia. Insan Mokoginta (kristolog) menuturkan  berdasarkan penelitian di Solo sejak tahun 2010-2012 terdapat sebanyak 40.000 orang Islam yang murtad. Sementara di Klaten, sebanyak 23.300 orang Islam yang murtad. Informasi ini menurut Insan Mokoginta, di dapatkan dari Departemen Agama setempat, berdasarkan perkembangan demografis penduduk Muslim di Solo. Di mana jumlah penduduk Muslim semakin menyusut.[6]


Di Aceh lebih mengkhawatirkan lagi. Menurut penuturan seorang pendeta yang sudah masuk Islam, George Panjaitan, dikatakan bahwa orang Aceh Utara yang murtad jumlahnya mencapai 400.000 orang, jumlah ini ada di empat desa di wilayah tersebut. Banyaknya warga Serambi Mekkah yang murtad ini terjadi pada tahun 2006-2007. Kondisi ini terjadi sebagai akibat dari peran organisasi Gereja Internasional diterjunkan pada saat itu untuk untuk menangani korban Tsunami. Berbagai macam kristenisasi terselubung yang berbalut bantuan sosial dan kemanusiaan telah berhasil memikat hati warga Aceh ini sehingga mereka menggadaikan aqidahnya.[7]
Dari data di atas, seharusnya ada keseimbangan. Bahwa wacana toleransi tidak hanya ‘ditodongkan’ kepada umat islam sunni yang mayoritas. Akan tetapi semua kasus yang terjadi. Seharusnya penganjur Pluralisme harus lebih kencang memperjuangkan spirit toleransi mereka. (Wallohu a’lam bi as-Shawab)



[1] Hamid Fahmi Zarkasyi, Misykat; Relfeksi Tentang Westernisasi…, hlm. 161
[2] Hamid Fahmi Zarkasyi, Misykat; Relfeksi Tentang Westernisasi…, hlm. 161
[3] Hamid Fahmi Zarkasyi, Misykat; Relfeksi Tentang Westernisasi…, hlm. 161-162
[4] Hamid Fahmi Zarkasyi, Misykat; Relfeksi Tentang Westernisasi…, hlm. 162
[5] Syamsuddin Arif, Toleransi Agama: ‘Yes’, Pluralisme : ‘No’ !, Makalah pada Seminar Pemikiran LIDMI di Gd. AP Pettarani Unhas, 20 Ferbuari 2010, hlm. 4
                [6] Lihat http://lppi-jakarta.blogspot.co.id/2015/06/kristenisasi-di-indonesia.html (diakses Selasa 27 Oktober Pukul 13.26 WIB)

No comments:

Post a Comment

 

Iklan Buku

Followers

Bincang-Bincang