Syamsuar Hamka
(Ketua
Departemen Kajian Strategis PP LIDMI)
Tak terasa 71 Tahun sudah Bangsa Indonesia telah merasakan
nikmat kemerdekaan. Dan tentu, itu semua adalah anugerah dari Allah, yang Maha
Kuasa, sebagaimana tertuang secara jelas di alinea ketiga pembukaan UUD 1945. Dalam memperjuangkan kemerdekaan, tidak
sedikit pengorbanan yang ditumpahkan. Sebab selama ratusan tahun bangsa
Indonesia telah mengerahkan segenap kemampuan untuk bangkit dan merdeka melawan
kezaliman penjajah. Tetes peluh dan darah para pejuang, serta tinta para
ulama telah menjadi saksi, bagaimana
bumi pertiwi dibebaskan dari jeratan kolonialisme dan imperialisme.
Tahun ini, semarak 17-an tentu kembali akan meriah,
sebab upacara serta seremoni tahunan akan banyak digelar dimana-mana untuk
memperingati perjuangan tersebut. Akan tetapi, di luar dari semua kemeriahan
17-an, dari gerak jalan, perkemahan, lomba antar RW ataupun antar sekolah, tentu
kita patut merenung, bagaimana kemerdekaan bangsa Indonesia ini diraih.
Upacara serta seremoni 17-an seharusnya bukan
sekedar lomba makan kerupuk, lomba lari karung, panjat pinang ataupun lomba
lucu-lucuan yang lain. Seharusnya 17 Agustus harus menjadi momentum kesadaran
bagi bangsa ini untuk terus bekerja keras, melanjutkan kerja keras dari para
pendahulu yang telah memeras peluh dan darah untuk marasakan nikmatnya bebas
dari perbudakan.
Kesadaran umat dan bangsa untuk kembali beragama
tentu itu semua tidak lahir, kecuali setelah mengerti tentang sejarah yang
benar tentang bangsanya. Mereka mengerti tentang perjuangan para pendahulunya
yang berjuang dengan tetesan darah, tinta, dan keringat untuk menegakkan satu
kalimat takbir, “Allahu Akbar!” dan menggetarkan musuh melawan Bedil, Bom dan
Senapan bermodalkan Bambu runcing. Bahkan para Wali Songo datang ke Indonesia
menyebarkan Islam, mengubah masyarakan yang hampir 100% animisme menjadi hampir
100 % islam dengan tangan kosong.
Mereka hanya bermodalkan tawakkal, dan kerja keras mengajak manusia untuk
mentauhidkan Allah.
Kesadaran bangsa akan sejarah yang lurus, seharusnya
menjadikan umat islam paham bahwa pancasila yang ditetapkan dalam Jakarta Charter 22 Juni 1945, adalah hasil usaha para Negarawan
Muslim beradu argumen, hujjah dan statemen di depan para nasionalis-sekuler
yang mengehendaki penghapusan agama dari kehidupan berbangsa dan bernegara (Fashlu ad-Diin an ad-Daulah wa al-Hayah).
Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi
Para Pemeluk-Pemeluknya, bukan sekedar tulisan. Tapi ia adalah refleksi
Jiwa Para Ulama yang sebelumnya telah menyadari betapa pengorbanan umat islam
untuk membebaskan diri dari Belitan Hegemoni Misi Gold, Glory dan yang
lebih berbahaya Gospel para
kolonialis. Mengorbankan jiwa. Meninggalkan anak dan istri. Bahkan bahagia bila
rumah mereka dibakar, dan harta mereka habis untuk perjuangan, untuk satu kata,
Merdeka. Pahlawan Bangsa, Mohammad Natsir menulis: “Dahulu, mereka girang
gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di
medan pertempuran…”.
Para pahlawan pendahulu Bangsa adalah para Ulama dan
Santri, Prof. Ahmad Mansur Surya Negara, menyatakan bahwa mayoritas dari
pejuang pendidikan dan konfrontasi Bangsa Indonesia adalah kalangan ulama dan
santri. Hal itu dibenarkan oleh Thomas S. Raffles, dalam bukunya The History of Java, bahwa kemerdekaan
Indonesia tidak lepas dari peranan ulama
dan santri yang berjumlah sepersembilan belas dari populasi penduduk di
Jawa pada waktu itu.[1]
Dalam Bukunya “Mujahid Dakwah”, Dr. M. Isha Anshari
mengisahkan dirinya ketika berada dalam penjara era Nippon bersebelahan dengan
Penjara KH. Zainal Mustofa, Pejuang Tasikmalaya. “Mengapa Kiai melawan
Jepang…?”, tanya Dr. Isha. Suatu ungkapan yang sederhana, namun lugas dan tegas
dari bibir KH. Zainal Mustafa, “Bukankah Orang Jepang itu adalah Majusi ?”[2].
Jawaban yang menjadi refleksi, bahwa motivasi yang mendorong KH. Zainal Mustafa
melakukan perlawanannya adalah karena orang Jepang adalah orang Kafir yang
tidak berhak menjajah tanah-air muslim.
KH Muhammad Isa Anshari |
Umat bangsa ini harus sadar bahwa Agama, dan bangsa
ini tidak akan merdeka dari penjajahan syirik dan kejahiliahan sebelum ada
segolongan dari penduduknya yang beramar makruf dan bernahi munkar dan berani
untuk berjuang meraih kesyahidan. -Sekali lagi, gembira Kehilangan suami dan
anak-anaknya. Terbakar ruamahnya. Hilang pekerjaannya. - Demi ketinggian aqidah
tauhid. Al-Mujaahidu, man qatala litakuuna kalimatullahi hiya al-‘ulya.
Dan sebelum bangsa ini merdeka, ia telah dimerdekakan oleh para pejuang dari
kelemahan dan kesyirikan. Meski setelah bangsa ini merderak, mereka tikda sama
sekali mengenal apa itu pancasila.
KH Zainal Mustofa |
Umat islam mulai sadar, bahwa sejarah tentang bangsa
yang mereka pelajari selama ini adalah sejarah yang ditulis oleh rezim yang
berkuasa. History is Written By The
Victor. Padahal, kini banyak buku yang bermunculan mengungkap bagaimana
peran Ulama dalam kemerdekaan. 22 Juni 1527 Syarif HIdayatullah bersama
Fatahillah berhasil mengorganisasikan serangan balasan secara militer kepada
Portugis atas Sunda Kelapa dan melanjutkannya dalam rangka pembinaan
territorial Jayakarta sebagai landasan awal mewujudkan Fathan Mubina[3].
Pangeran Diponegoro mampu menggerakkan dukungan 200.000 rakyat jawa bersamanya
melawan penjajah Belanda. Sementara saat itu ia telah terusir dari keraton
Yogya. Yang dengan terang-terangan di depan Jenderal De Cock ingin mendirikan kerajaan
di tanah Jawa. Tuanku Imam Bonjol yang ingin membentuk masyarakat minangkabau
dengan adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah. Perhatikan
bagaimana Sultan Hasanuddin yangyang pernah mengirim surat kepada Jenderal
Speelman : Lautan luas ini adalah anugerah Ilahi bagi manusia, maka
janganlah hendak tuan kuasai sendiri. Begitu pula Pahlawan Raja Aji yang tewas di pantai Malaka
sedang tangan kirinya kitab Dalailul Khairat, dan Badik Bugis di Tangan
kanannya ![4].
Begitu pula Sentot alibasah Prawirodirdjo
yang harus dibuang ke Bangkahulu setelah tertangkap Penjajah[5].
Oleh karena itulah, pantaslah E.F.E
Douwwes Dekker Setiabudhi, pimpinan Indische Partij (1912 M) menyatakan, jika
tidak karena sikap dan semangat perjuangan para ulama, sudah lama patriotisme
di kalangan bangsa kita mengalami kemusnahan.
Kesadaran itulah yang seharusnya membuat umat dan
bangsa paham bahwa Bangsa Ini adalah
milik umat islam!. (wallohu
a’lam bi as-shawab).
[1]
Lihat Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan
Sejarah, Bandung: Mizan, 1995, hlm. 130-131
[2]
Lihat buku M. Isa Anshari, Mujahid Dakwah,
Cet.ke-11, Bandung : CV Diponegoro, 1997
[3]
Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan…, hlm.
163
[4]
Muhammad Natsir, dkk, Debat Dasar Negara;
Islam dan Pancasila konstituante 1957, Depok: Pustaka Panjimas, 2002, hlm.
103
[5]
Ahmad Mansur Surya Negara, Api Sejarah,
Bandung: Salamadani, 2013, hlm. 201
No comments:
Post a Comment