Bagi
yang punya budget, malam tahun baru bakar-bakar ayam
Bagi
yang budget-nya kurang, bakar-bakar ikan
Bagi
yang budget-nya lebih kurang lagi, bakar-bakar jagung
Bagi
yang tidak punya Budget, bakar-bakar sampah
(MC
Tabligh Akbar, MILAD 5 AQL-Islamic Centre)
Kita hidup berpijak di
atas tanah yang sama, di bawah naungan langit yang sama. Yang berbeda adalah
penyikapan kita terhadap keduanya. Dua orang tahanan yang melepaskan
pandangannya di balik jeruji, ada yang bersedih melihat langit. Karena sudah
kurang lebih 120 kali ia melihat purnama. Yang berarti sudah 10 tahun mendekam.
Tapi tahanan yang lain yang melihat purnama yang sama, malah bergembira. Karena
purnama itu adalah adalah kesempatan untuk menggubah syair tentang langit
dibalik tembok dan jeruji selama bertahun-tahun.
Benda yang sama, namun
penyikapan yang berbeda akan menghasilkan efek yang berbeda. Objek boleh sama,
tapi angle shoot yang berbeda
akan menghasilkan kualitas rekam gambar, kesan dan pesan yang berbeda. Begitu
kata fotografer.
Dalam hal sederhana,
“Ayam menyeberang jalan”. Para pemikir punya jawaban yang berbeda-beda pula.
Mungkin kalau kita menanyakannya “Mengapa ayam
menyeberang jalan ?”.
Ariototeles akan
menjawab, “untuk mewujudkan potensi dirinya”.
Plato akan menjawab,
“demi kebaikan masyarakat banyak”.
Buddha akan menjawab,
“jika anda melontarkan pertanyaan ini, anda mengingkari sifat ayam dalam diri
anda”.
Goethe akan menjawab,
“prinsip abadi ayamlah yang menjadikan ia melakukan hal tersebut”.
B.F. Skinner akan
menjawab, “Karena pengaruh luar yang merembes ke dalam saraf sensoris di
otaknya saat lahir telah menjadikannya tumbuh sebegitu rupa hingga ayam
cenderung menyeberangi jalan, sekalipun ia yakin tindakannya ini merupakan
kehendak bebasnya”.
Carl Jung akan
menjawab, “pertemuan kejadian-kejadian dalam kesatuan budaya mengharuskan ayam
menyeberang jalan di perempatan sejarah; oleh karenanya keserentakan menjadikan
peristiwa tersebut”.
Jean-Paul Sartre akan
menjawab, “Ayam itu merasa perlu menyeberang jalan untuk menunjukkan maksud
baik dan berbuat jujur kepada diri sendiri”.
Darwin akan menjawab,
“hal itu merupakan tahap berikut yang logis sesudah turun dari pohon”.
Albert Einstein akan
menjawab, “ayam yang menyeberang jalan, atau jalan yang menyeberang jalan, tergantung kerangka
berpikir anda”.
Salvador Dali akan
menjawab, “Ikan”.
Timothy Leary akan
menjawab, “karena hanya perjalanan semacam itulah yang dizinkan baginya oleh
kekuasaan besar”.
Emily Dickson akan
menjawab, “Karena kalau berhenti, niscaya dia akan mati”.
Ralph Waldo Emerson
akan menjawab, “Ia tidak menyeberang dalam, ia melampauinya”.
Esnest Hemingway akan
menjawab, “Untuk mati. Di tengah hujan. Sendiri ”
Mark Twain akan
menjawab, “Kabar bahwa ia menyeberang jalan terlalu dibesar-besarkan”.
Jack Nicholson akan
menjawab, “Karena ia (sensor) ingin melakukannya, itulah (sensor) alasannya”.
Frank Perdue akan
menjawab, “Aku tahu cara membiakkan ayam yang paling baik. Ayam itu menyeberang
jalan sebagai bagian dari program kebugaran yang berat, untuk menghasilkan ayam
paling bebas lemak dan paling bergizi”[1].
Kalau Andrea Hirata mungkin
akan menjawab, “untuk berlari menuju Lintang, tuannya”.
Kalau Soekarno, “Untuk
kemerdekaannya, membela bangsa dan tanah airnya”
Kalau Habibie, “untuk
melakukan eksperimen penerbangan pertamanya”
Kalau Rhoma Irama,
“karena ia sudah bosan di-adu domba,
terlalu...”.
Kalau Gus Dur, “Gitu aja kok repot ?”
Dan anda bisa
menambahkan jawaban lain, untuk tokoh yang lain.
Sama halnya, pekerjaan menjajakan
jajanan di sekolah terkadang dianggap pekerjaan rendahan. Tapi, bagi
siswa-siswa, nenek sang penjual ia adalah kegembiraan untuk melampiaskan hasrat
jajan mereka.
Berbeda pula dalam
padangan seorang enterpreneur, nenek sang penjual penjual adalah objek
kerjasama bisnis yang punya prospek ke depan.
Seorang sosiolog juga
punya pandangan yang berbeda. Ia akan melihatnya sebagai realitas sosial dan
menghasilkan deduksi berpikir bahwa “manusia butuh manusia lainnya sebagai
rekan interaksi”.
Beda sosiolog, beda
lagi dengan sastrawan melihat itu. Ia dengan segera menggubah syair,
Perempuan
Perkasa
Tak
Letih Ia Berjalan
Memikul
beban Hidup,
Menembus
Keramaian,
Menjual
rasa malunya
Demi
sesuap nasi untuk anak-anaknya
Tapi bagaimana pandangan
anda ketika mengetahui bahwa ternyata, Sang nenek itu harus memanggul
jajanannya sejauh 5 Km (cukup jauh untuk seorang wanita yang telah menopause).
Ia membawa roti, nasi bungkus, beberapa bungkus susu sachet dan sebuah
termos air berisi panas. Jika dihitung secara matematis, nilai keuntungan
optimum yang bisa diperolehnya pada hari itu adalah 6 x Rp 500 untuk susu
sachet. 10 Ribu untuk nasi bungkus, dan 4 Ribu untuk 20 bungkus roti. Total, 17
Ribu. Laba yang belum dihitung ongkas minyak goreng dan gas untuk memasak. Itu
pun kalau semuanya terjual habis dan tidak ada yang mengutang. Apalagi jika
akhir bulan, Lahan pasarnya bisa berubah menjadi kering, linier dengan
keringnya kantong siswa dan guru-guru, dan security sekolah. Pulang, ia
hanya mengantongi 10 ribu untuk hari itu. Setara dengan harga es teh manis di restoran
menengah, dengan ukuran gelas 3 kali seruput.
Jejak hidup setiap kita
boleh sama. Bahkan terkadang kita melalui peristiwa-peristiwa yang hampir sama
setiap hari. Tapi penyikapan kita yang berbeda, membuat tingkah laku kita pun
berubah.
Kegagalan seorang (pelamar)
kerja boleh menjadi musibah besar bagi yang mencukupkan dirinya di situ. Angkat
bendera putih, dan give-up. Tapi bisa
menjadi pelecut untuk orang yang mau terus berusaha, dan Ia yakin bahwa
tugasnya hanyalah mencoba (melobi), dan Allah yang akan menentukan, sampai
jatah kegagalan itu habis. Dan membuktikan bahwa apakah betul (si) Dia adalah (jodoh)
pekerjaannya atau bukan. (Jangan
tersenyum melihat kata dalam kurung !).
Oleh sebab itu, para
Psikolog membedakan sifat dan karakter. Katanya, karakter adalah bawaan dan
mengikat ke gen ibu-ayah, fisik atau sifat. Tapi karakter beda. Ia adalah sikap
terhadap sifat bawaan.
Seseorang yang punya
sifat dasar pemarah tetap akan menjadi pemarah jika tidak mau menyikapi sifat
pemarahnya dengan bijak. Menyikapi sifat marah, dan mengarahkannya dengan baik
akan membawa dampak positif, tapi membiarkannya, akan tetap seperti itu. Begitu
pula, sifat lamban. Boleh jadi adalah sifat bawaan. Tapi membiarkan diri terus
lamban, bukanlah karakter yang baik. Dan saya yakin, setiap kita punya
kesempatan untuk memanfaat kesempatan. Tinggal berusaha merubah karakter. Karena
perbedaan penyikapan itu pula, manusia bertingkat-tingkat. Iman, amal, dan
ilmunya. Sehingga derajatnya pun di sisi Allah berbeda-beda.
Langit tetap saja
langit. Biru di pagi hari, merah di waktu petang, dan hitam di saat malam. Matahari
tetap saja seperti itu. Terbit di ufuk timur, dan menenggelamkan dirinya di
ufuk barat. Hujan tetap saja seperti itu. Tanah tetap saja seperti itu. Tapi
boleh jadi petani, berbeda hasil yang ia tuai.
Waktu boleh sama.
Detiknya, menitnya, jamnya. Angka-angkanya pun tidak pernah berubah. Jarumnya juga
tetap. Tidak pernah bosan berjumpa dengan angka yang sama setiap harinya. Padahal
ia telah berputar 20 tahun, 30 tahun, bahkan 60 tahun berputar ditangan atau di
dinding rumah kita. Tapi boleh jadi usia kita tidak bertambah. Bertambah
dermawaannya, bijaknya, dan ilmunya. Sama seperti jam itu kita pakai pertama
kali. Dan seharusnya kita yang memandanginya, sadar. Jika dulu kita mesti
terbelalak melihat jam karena bangun kesiangan. Maka detik-detik berikutnya di
tahun yang berbeda, kita yang harus mendahului jarum itu sebelum membelakkan
mata kita lagi.
Jika bulan, bintang,
matahari, hujan, malam dan siang tetap saja seperti itu. Wajar saja. Karena
memang mereka tak punya kehendak. Tapi amatlah aneh, jika seorang insan yang
memiliki dua mata, dua telinga, satu lisan, dan satu hati, juga membuat
waktu-waktu itu tetap sama. Kualitas ilmunya, kearifan, dan kesederhanaannya.
Kalau memang begitu,
amat tepatlah sepenggal kalimat hikmah, Ancaman
di zaman dulu, manusia menjadi budak. Ancaman di zaman yang akan datang,
manusia menjadi robot. Robot, terprogram, mengikuti instruksi, tidak punya
prinsip dan kebebasan. Persis seperti budak, terjajah.
Dan kalau sang waktu
belum menyadarkan manusia untuk segera bangkit dan berkarya, bercerita,
beramal, apalagi yang akan menyadarkannya ?. Bukankah waktu adalah “besaran” terbaik
untuk menunjukkan betapa singkatnya dunia ini ?.
Waktu boleh sama,
setiap malam pun tidak ada yang berbeda. Yang berbeda adalah penyikapannya.
Malam tahun baru, sama
dengan malam yang lain. Namun karena penyikapan terhadapnya, menghasilkan
kesimpulan hukum yang berbeda. Orang yang terbiasa membakar jagung setiap
malamnya berbeda dengan orang yang mengkhususkan membakar jagung di malam tahun
baru. Aktivitas yang sama, tapi laws
conclusion-nya bagi mereka berbeda.
Tapi bagi anda yang
tidak suka dengan bakar-membakar di malam tahun baru, tidak usah mencaci,
mencela, atau bahkan menyudutkan. Itu bukan untuk dicaci, tapi dengan sedikit
menggeser cara pandang kita, ia bisa menjadi peluang men-jahar-kan ilmu. Karena tidak ada gunanya mengutuk kegelapan. Yang
terbaik adalah menyalakan lilin.
Lilin dan kembang api
pun boleh sama-sama bercahaya. Tapi menggunakannya dan menyikapinya pada
momentum berbeda, menjadikan hukumnya berbeda. Lilin yang dipakai di pelosok
desa, karena listrik padam, berbeda dengan lilin yang dinyalakan untuk upacara ritual
ngepet. Kembang api yang dinyalakan
di malam yang lalu, berbeda dengan kembang api yang dibakar pada pukul
23:59:59, 31 Desember 2013.
(Akan) (tetapi) boleh-jadi,
kembang api meledak di angkasa, tapi (kalau) hanya ikut-ikutan. Tidak ada
prinsip yang jelas. Hanya (karena) gamang. Bagi saya (dan bagi siapa pun) tidak
ada gunanya. Yang penting dari itu semua adalah (apa) yang anda punyai. (Apa)
sikap kita terhadapnya. (Apa) langkah yang kita ambil. Serta (apa) yang ada di
benak kita tentang masa depan, cita-cita, dan impian. Di tahun berikutnya. Bukan
kembang apinya. Karena menyalakan kembang api, ekuivalen dengan membakar uang. Karena
itu biarkan saja langit (tanpa) kembang api. Biarkan kembang api itu ada di dalam dada anda. Kembang api tekad, visi, dan harapan.
Saran saya, lebih baik, di malam
itu ganti apa yang anda bakar. (Mungkin) pilihan yang terbaik adalah PILIHAN TERAKHIR yang
dikatakan oleh MC di awal tulisan
ini. Wallohu a’lam.
Puncak Ar-Rahman, 29 Desember 2013
Selesai,
Pukul 23:10:42 WIB
No comments:
Post a Comment