Cari

LANGIT (TANPA) KEMBANG API

Monday, 30 December 2013







Bagi yang punya budget, malam tahun baru bakar-bakar ayam
Bagi yang budget-nya kurang, bakar-bakar ikan
Bagi yang budget-nya lebih kurang lagi, bakar-bakar jagung
Bagi yang tidak punya Budget, bakar-bakar sampah
(MC Tabligh Akbar, MILAD 5 AQL-Islamic Centre)


Kita hidup berpijak di atas tanah yang sama, di bawah naungan langit yang sama. Yang berbeda adalah penyikapan kita terhadap keduanya. Dua orang tahanan yang melepaskan pandangannya di balik jeruji, ada yang bersedih melihat langit. Karena sudah kurang lebih 120 kali ia melihat purnama. Yang berarti sudah 10 tahun mendekam. Tapi tahanan yang lain yang melihat purnama yang sama, malah bergembira. Karena purnama itu adalah adalah kesempatan untuk menggubah syair tentang langit dibalik tembok dan jeruji selama bertahun-tahun.
Benda yang sama, namun penyikapan yang berbeda akan menghasilkan efek yang berbeda. Objek boleh sama, tapi angle shoot  yang berbeda akan menghasilkan kualitas rekam gambar, kesan dan pesan yang berbeda. Begitu kata fotografer.
Dalam hal sederhana, “Ayam menyeberang jalan”. Para pemikir punya jawaban yang berbeda-beda pula. Mungkin kalau kita menanyakannya “Mengapa ayam  menyeberang jalan ?”.

Ariototeles akan menjawab, “untuk mewujudkan potensi dirinya”.
Plato akan menjawab, “demi kebaikan masyarakat banyak”.
Buddha akan menjawab, “jika anda melontarkan pertanyaan ini, anda mengingkari sifat ayam dalam diri anda”.
Goethe akan menjawab, “prinsip abadi ayamlah yang menjadikan ia melakukan hal tersebut”.
B.F. Skinner akan menjawab, “Karena pengaruh luar yang merembes ke dalam saraf sensoris di otaknya saat lahir telah menjadikannya tumbuh sebegitu rupa hingga ayam cenderung menyeberangi jalan, sekalipun ia yakin tindakannya ini merupakan kehendak bebasnya”.
Carl Jung akan menjawab, “pertemuan kejadian-kejadian dalam kesatuan budaya mengharuskan ayam menyeberang jalan di perempatan sejarah; oleh karenanya keserentakan menjadikan peristiwa tersebut”.
Jean-Paul Sartre akan menjawab, “Ayam itu merasa perlu menyeberang jalan untuk menunjukkan maksud baik dan berbuat jujur kepada diri sendiri”.
Darwin akan menjawab, “hal itu merupakan tahap berikut yang logis sesudah turun dari pohon”.
Albert Einstein akan menjawab, “ayam yang menyeberang jalan, atau jalan yang  menyeberang jalan, tergantung kerangka berpikir anda”.
Salvador Dali akan menjawab, “Ikan”.
Timothy Leary akan menjawab, “karena hanya perjalanan semacam itulah yang dizinkan baginya oleh kekuasaan besar”.
Emily Dickson akan menjawab, “Karena kalau berhenti, niscaya dia akan mati”.
Ralph Waldo Emerson akan menjawab, “Ia tidak menyeberang dalam, ia melampauinya”.
Esnest Hemingway akan menjawab, “Untuk mati. Di tengah hujan. Sendiri ”
Mark Twain akan menjawab, “Kabar bahwa ia menyeberang jalan terlalu dibesar-besarkan”.
Jack Nicholson akan menjawab, “Karena ia (sensor) ingin melakukannya, itulah (sensor) alasannya”.
Frank Perdue akan menjawab, “Aku tahu cara membiakkan ayam yang paling baik. Ayam itu menyeberang jalan sebagai bagian dari program kebugaran yang berat, untuk menghasilkan ayam paling bebas lemak dan paling bergizi”[1].
Kalau Andrea Hirata mungkin akan menjawab, “untuk berlari menuju Lintang, tuannya”.
Kalau Soekarno, “Untuk kemerdekaannya, membela bangsa dan tanah airnya”
Kalau Habibie, “untuk melakukan eksperimen penerbangan pertamanya”
Kalau Rhoma Irama, “karena ia sudah bosan di-adu domba, terlalu...”.
Kalau Gus Dur,  “Gitu aja kok repot ?”
Dan anda bisa menambahkan jawaban lain, untuk tokoh yang lain.
Sama halnya, pekerjaan menjajakan jajanan di sekolah terkadang dianggap pekerjaan rendahan. Tapi, bagi siswa-siswa, nenek sang penjual ia adalah kegembiraan untuk melampiaskan hasrat jajan mereka.
Berbeda pula dalam padangan seorang enterpreneur, nenek sang penjual penjual adalah objek kerjasama bisnis yang punya prospek ke depan.
Seorang sosiolog juga punya pandangan yang berbeda. Ia akan melihatnya sebagai realitas sosial dan menghasilkan deduksi berpikir bahwa “manusia butuh manusia lainnya sebagai rekan interaksi”.
Beda sosiolog, beda lagi dengan sastrawan melihat itu. Ia dengan segera menggubah syair,
Perempuan Perkasa
Tak Letih Ia Berjalan
Memikul beban Hidup,
Menembus Keramaian,
Menjual rasa malunya
Demi sesuap nasi untuk anak-anaknya

Tapi bagaimana pandangan anda ketika mengetahui bahwa ternyata, Sang nenek itu harus memanggul jajanannya sejauh 5 Km (cukup jauh untuk seorang wanita yang telah menopause). Ia membawa roti, nasi bungkus, beberapa bungkus susu sachet dan sebuah termos air berisi panas. Jika dihitung secara matematis, nilai keuntungan optimum yang bisa diperolehnya pada hari itu adalah 6 x Rp 500 untuk susu sachet. 10 Ribu untuk nasi bungkus, dan 4 Ribu untuk 20 bungkus roti. Total, 17 Ribu. Laba yang belum dihitung ongkas minyak goreng dan gas untuk memasak. Itu pun kalau semuanya terjual habis dan tidak ada yang mengutang. Apalagi jika akhir bulan, Lahan pasarnya bisa berubah menjadi kering, linier dengan keringnya kantong siswa dan guru-guru, dan security sekolah. Pulang, ia hanya mengantongi 10 ribu untuk hari itu. Setara dengan harga es teh manis di restoran menengah, dengan ukuran gelas 3 kali seruput.
Jejak hidup setiap kita boleh sama. Bahkan terkadang kita melalui peristiwa-peristiwa yang hampir sama setiap hari. Tapi penyikapan kita yang berbeda, membuat tingkah laku kita pun berubah.
Kegagalan seorang (pelamar) kerja boleh menjadi musibah besar bagi yang mencukupkan dirinya di situ. Angkat bendera putih, dan give-up. Tapi bisa menjadi pelecut untuk orang yang mau terus berusaha, dan Ia yakin bahwa tugasnya hanyalah mencoba (melobi), dan Allah yang akan menentukan, sampai jatah kegagalan itu habis. Dan membuktikan bahwa apakah betul (si) Dia adalah (jodoh) pekerjaannya atau bukan. (Jangan tersenyum melihat kata dalam kurung !).
Oleh sebab itu, para Psikolog membedakan sifat dan karakter. Katanya, karakter adalah bawaan dan mengikat ke gen ibu-ayah, fisik atau sifat. Tapi karakter beda. Ia adalah sikap terhadap sifat bawaan.
Seseorang yang punya sifat dasar pemarah tetap akan menjadi pemarah jika tidak mau menyikapi sifat pemarahnya dengan bijak. Menyikapi sifat marah, dan mengarahkannya dengan baik akan membawa dampak positif, tapi membiarkannya, akan tetap seperti itu. Begitu pula, sifat lamban. Boleh jadi adalah sifat bawaan. Tapi membiarkan diri terus lamban, bukanlah karakter yang baik. Dan saya yakin, setiap kita punya kesempatan untuk memanfaat kesempatan. Tinggal berusaha merubah karakter. Karena perbedaan penyikapan itu pula, manusia bertingkat-tingkat. Iman, amal, dan ilmunya. Sehingga derajatnya pun di sisi Allah berbeda-beda.
Langit tetap saja langit. Biru di pagi hari, merah di waktu petang, dan hitam di saat malam. Matahari tetap saja seperti itu. Terbit di ufuk timur, dan menenggelamkan dirinya di ufuk barat. Hujan tetap saja seperti itu. Tanah tetap saja seperti itu. Tapi boleh jadi petani, berbeda hasil yang ia tuai.
Waktu boleh sama. Detiknya, menitnya, jamnya. Angka-angkanya pun tidak pernah berubah. Jarumnya juga tetap. Tidak pernah bosan berjumpa dengan angka yang sama setiap harinya. Padahal ia telah berputar 20 tahun, 30 tahun, bahkan 60 tahun berputar ditangan atau di dinding rumah kita. Tapi boleh jadi usia kita tidak bertambah. Bertambah dermawaannya, bijaknya, dan ilmunya. Sama seperti jam itu kita pakai pertama kali. Dan seharusnya kita yang memandanginya, sadar. Jika dulu kita mesti terbelalak melihat jam karena bangun kesiangan. Maka detik-detik berikutnya di tahun yang berbeda, kita yang harus mendahului jarum itu sebelum membelakkan mata kita lagi.
Jika bulan, bintang, matahari, hujan, malam dan siang tetap saja seperti itu. Wajar saja. Karena memang mereka tak punya kehendak. Tapi amatlah aneh, jika seorang insan yang memiliki dua mata, dua telinga, satu lisan, dan satu hati, juga membuat waktu-waktu itu tetap sama. Kualitas ilmunya, kearifan, dan kesederhanaannya.
Kalau memang begitu, amat tepatlah sepenggal kalimat hikmah, Ancaman di zaman dulu, manusia menjadi budak. Ancaman di zaman yang akan datang, manusia menjadi robot. Robot, terprogram, mengikuti instruksi, tidak punya prinsip dan kebebasan. Persis seperti budak, terjajah.
Dan kalau sang waktu belum menyadarkan manusia untuk segera bangkit dan berkarya, bercerita, beramal, apalagi yang akan menyadarkannya ?. Bukankah waktu adalah “besaran” terbaik untuk menunjukkan betapa singkatnya dunia ini ?.
Waktu boleh sama, setiap malam pun tidak ada yang berbeda. Yang berbeda adalah penyikapannya.
Malam tahun baru, sama dengan malam yang lain. Namun karena penyikapan terhadapnya, menghasilkan kesimpulan hukum yang berbeda. Orang yang terbiasa membakar jagung setiap malamnya berbeda dengan orang yang mengkhususkan membakar jagung di malam tahun baru. Aktivitas yang sama, tapi laws conclusion-nya bagi mereka berbeda.
Tapi bagi anda yang tidak suka dengan bakar-membakar di malam tahun baru, tidak usah mencaci, mencela, atau bahkan menyudutkan. Itu bukan untuk dicaci, tapi dengan sedikit menggeser cara pandang kita, ia bisa menjadi peluang men-jahar-kan ilmu. Karena tidak ada gunanya mengutuk kegelapan. Yang terbaik adalah menyalakan lilin.
Lilin dan kembang api pun boleh sama-sama bercahaya. Tapi menggunakannya dan menyikapinya pada momentum berbeda, menjadikan hukumnya berbeda. Lilin yang dipakai di pelosok desa, karena listrik padam, berbeda dengan lilin yang dinyalakan untuk upacara ritual ngepet. Kembang api yang dinyalakan di malam yang lalu, berbeda dengan kembang api yang dibakar pada pukul 23:59:59, 31 Desember 2013.
(Akan) (tetapi) boleh-jadi, kembang api meledak di angkasa, tapi (kalau) hanya ikut-ikutan. Tidak ada prinsip yang jelas. Hanya (karena) gamang. Bagi saya (dan bagi siapa pun) tidak ada gunanya. Yang penting dari itu semua adalah (apa) yang anda punyai. (Apa) sikap kita terhadapnya. (Apa) langkah yang kita ambil. Serta (apa) yang ada di benak kita tentang masa depan, cita-cita, dan impian. Di tahun berikutnya. Bukan kembang apinya. Karena menyalakan kembang api, ekuivalen dengan membakar uang. Karena itu biarkan saja langit (tanpa) kembang api. Biarkan kembang api itu ada di dalam dada anda. Kembang api tekad, visi, dan harapan.
Saran saya, lebih baik, di malam itu ganti apa yang anda bakar. (Mungkin) pilihan yang terbaik adalah PILIHAN TERAKHIR yang dikatakan oleh MC di awal tulisan ini. Wallohu a’lam.


                                              Puncak Ar-Rahman, 29 Desember 2013
                                              Selesai, Pukul 23:10:42 WIB


[1] (Jordan E. Ayan. Bengkel Kreativitas. Hal. 239-140)

No comments:

Post a Comment

 

Iklan Buku

Followers

Bincang-Bincang