Syamsuar Hamka (Penulis Buku Api Tarbiyah)
Istilah Plural atau pluralisme terkadang disalahpahami
dan ‘disaling-tukarkan’ dalam penggunaan kalimat. Padahal kedua istilah ini
memiliki defenisi yang berbeda. Plural bisa diartikan dengan jamak, banyak atau
berbilang yang merupakan lawan dari singular. Sedangkan pluralisme adalah paham
yang sudah menjadi istilah khusus yang merujuk kepada Pluralisme agama (Religious Pluralism)
dalam kajian agama-agama.
Dengan demikian, pluralism sebagai ‘terminologi
khusus’, tidak dapat dimaknai secara serampangan. Misalnya disamakan maknanya dengan
istilah ‘toleransi’, ‘saling menghormati’ (mutual
respect), dan sebagainya. Bahwa seorang yang menganut pluralisme-lah yang
bisa menghormati, menghargai dan bertenggang rasa antara umat beragama.
Lalu bagaimana jika istilah plural
digunakan untuk islam sendiri, seperti ‘islam plural’ atau ‘pluralisme islam’
?.
Hal ini tentu menarik untuk
diperbincangkan, sebab dalam kampus berbagai gerakan-gerakan islam punya ciri
khas masing-masing yang membedakannya dengan yang lain. Dan tentu saja, jika
perbedaan itu dapat diterima sesuai rujukan dasar dari al-Qur’an dan
hadits-hadits sahih, tentu bukan sebuah persoalan. Yang menjadi masalah adalah
ketika, batas-batas yang dimaksudkan dengan plural juga masih abu-abu dan
dimaknai untuk pendefenisian kelompok tertentu, dan justifikasi atau pembenaran
atas satu gerakan yang menyimpang dari islam. Tentu ini kita tidak sepakat.
Islam; antara Keragaman
dan Kesatuan
Wajah keragaman dalam wujud pengamalan Islam
sebenarnya sudah ada di zaman nabi. Beberapa perbedaan pandangan para sahabat
sudah nampak, namun masih bisa diselesaikan oleh Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam ketika masalahnya sampai pada beliau.
Persoalan tawanan badar, dieksekusi atau tidak, persoalan shalat ashar di Bani
Quraizhah, perbedaan makna ‘quru’
antara Ibn Mas’ud dan Zaid Bin Tsabit, dan lain-lain. Apalagi ketika islam
sudah mulai berkembang dan meluas ke berbagai struktur sosial baru. Ke Persia,
Syam, dan India, China, hingga ke Asia Tenggara. Islam dipahami dalam madzhab
tertentu.
Akan tetapi, semua perbedaan itu,
bukanlah perbedaan yang ushul, yang
dipertentangkan hingga merusak asas-asas islam seperti rukun iman dan rukun
islam atau dasar-dasar aqidah seperti Tauhid. Semua madzhab merujuk kepada satu
sumber yang sama dalam masalah ushul, yaitu al-Qur’an dan Sunnah yang shahih. Sebab
hal tersebut sudah dijelaskan dalam al-Qur’an,
103. Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai berai.(QS. Ali IMran: 103)
Sebab perbedaan memang adalah
sunnatullah, namun sunnatullah tersebut bukanlah sebuah dalil yang mengharuskan
bahwa wajah sosial umat islam harus berbeda. Persatuan adalah kewajiban yang
harus diusahakan oleh umat islam. Karena itu segala hal yang mengarah kepada
persatuan harus diwujudkan. Sebab islam sangat membenci perbedaan apalagi iftiraq. Jika pun terjadi perbedaan,
maka landasannya hanyalah dikembalikan kepada dua landasan utama tadi,
sebagaimana dalam al-Qur’an,
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya. (QS.
An-Nisa: 59)
Dengan demikian, ada pegangan dan patron
yang jelas dalam melihat dimensi-dimensi perbedaan. Perbedaan seperti apa dan,
serta berbeda seperti bagaimana yang mesti untuk ditunjukkan. Perbedaan itulah
yang kemudian memunculkan berbagai macam variasi dalam gerakan-gerakan islam
hari ini.
Variasi
Gerakan Islam
Semenjak
kemunduran umat islam dan jatuhnya Khilafah 1924, muncul gerakan-gerakan islam dalam
berbagai bentuknya. Ada dakwah politik parlemen, ada yang non-parlemen, ada dakwah
grass-root, ada yang konsen pembinaan, dan lain sebagainya. Kesemuanya tentu
adalah variasi dalam gerakan islam. Namun yang perlu diperhatikan adalah ‘cara
memandang’ kepada variasi gerakan islam tersebut. Dan adanya variasi gerakan
tersebut kemudian dijadikan pembenaran dan penerimaan ‘model-model’ islam yang
lain. Sehingga menurut penulis, disinilah pentingnya memahami kaidah ikhtilaf dengan benar.
Perbedaan yang bukan merupakan perkara
mendasar (ushul), atau kebih tepatnya
merupakan perkara cabang (furu’i),
apalagi dalam masalah fiqhiyyah,
tentu harus dibalut dengan adabul ikhtilaf dan semangat akan persatuan umat.
Akan tetapi, jika perbedaan itu dimaksudkan juga untuk menerima perbedaan ushul
seperti adanya tambahan rukun iman seperti imamah
dan wilayah, atau mungkin perbedaan
aqidah kepada para sahabat, itu yang mesti diperjelas.
Indonesia, adalah negeri Islam, yang
mewarisi dakwah Sunni para Wali Songo. Yang mereka mengagungkan para sahabat
dan mencintai perjuangan mereka. Para ulama sejak dahulu seperti Buya Hamka, Dr.
Mohammad Natsir, dan yang lainnya juga tidak menerima ejekan, hinaan apalagi
laknat kepada para sahabat Nabi. Sebab mereka memang bukan ma’shum, namun
kebaikannya adalah jauh lebih banyak dari kesalahannya. Dan merekalah yang
berjuang bersama Nabi hingga Islam bisa sampai kepada kita. Tanpa mereka, agama
Islam tidak akan mungkin sebesar dan seindah hari ini.
Patokan salam menilai sejarah para Imam
Madzhab jelas. Sejarah yang dipilih bukanlah sejarah yang dengan darah para
ahlul bait, yang kemudian memojokkan dan ‘menikam’ sahabat Nabi. Melainkan
sejarah yang bersih dari umpatan dan celaan serta jernih dari kedengkian kepada
mereka.
Selama batas-batas itu bisa dijaga,
toleransi antar-madzhab bukan hal yang tidak mungkin terjadi. Namun selama
masih ada upaya untuk menyebarkan kedengkian dan hinaan kepada mereka,
sepertinya akan sulit penerimaan dalam Aqidah Ahlussunnah, yang tidak lain juga merupakan aqidah Islam.
Merupakan hal yang patut untuk dicontoh,
bagaimana ideologi semacam itu justru mengundang perpecahan, bahkan kontak
fisik. Seperti yang terjadi di kawasan Negara-Negara Timur Tengah. Sebab
ideologi impor yang diambil secara membabi buta tanpa ada penyesuaian dengan
kondisi keberagamaan masyarakat Indonesia justru akan menimbulkan gesekan
sosial. Dan tentu hal tersebut bukanlah sesuatu yang diharapkan.
Dengan demikian, mari hargai perbedaan.
Membalutnya dengan adabul ikhtilaf
yang baik. Namun semua itu diwujudkan dalam batas-batas tertentu. Plural yang
tidak dimaknai secara serampangan.
No comments:
Post a Comment