Cari

MEMAKNAI ISLAM PLURAL

Tuesday, 30 August 2016



Syamsuar Hamka (Penulis Buku Api Tarbiyah)


Istilah Plural atau pluralisme terkadang disalahpahami dan ‘disaling-tukarkan’ dalam penggunaan kalimat. Padahal kedua istilah ini memiliki defenisi yang berbeda. Plural bisa diartikan dengan jamak, banyak atau berbilang yang merupakan lawan dari singular. Sedangkan pluralisme adalah paham yang sudah menjadi istilah khusus yang merujuk kepada Pluralisme agama (Religious Pluralism) dalam kajian agama-­agama.

Dengan demikian, pluralism sebagai ‘terminologi khusus’, tidak dapat dimaknai secara serampangan. Misalnya disamakan maknanya dengan istilah ‘toleransi’, ‘saling menghormati’ (mutual respect), dan sebagainya. Bahwa seorang yang menganut pluralisme-lah yang bisa menghormati, menghargai dan bertenggang rasa antara umat beragama.
Lalu bagaimana jika istilah plural digunakan untuk islam sendiri, seperti ‘islam plural’ atau ‘pluralisme islam’ ?.
Hal ini tentu menarik untuk diperbincangkan, sebab dalam kampus berbagai gerakan-gerakan islam punya ciri khas masing-masing yang membedakannya dengan yang lain. Dan tentu saja, jika perbedaan itu dapat diterima sesuai rujukan dasar dari al-Qur’an dan hadits-hadits sahih, tentu bukan sebuah persoalan. Yang menjadi masalah adalah ketika, batas-batas yang dimaksudkan dengan plural juga masih abu-abu dan dimaknai untuk pendefenisian kelompok tertentu, dan justifikasi atau pembenaran atas satu gerakan yang menyimpang dari islam. Tentu ini kita tidak sepakat.

Islam; antara Keragaman dan Kesatuan

Wajah keragaman dalam wujud pengamalan Islam sebenarnya sudah ada di zaman nabi. Beberapa perbedaan pandangan para sahabat sudah nampak, namun masih bisa diselesaikan oleh Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam ketika masalahnya sampai pada beliau. Persoalan tawanan badar, dieksekusi atau tidak, persoalan shalat ashar di Bani Quraizhah, perbedaan makna ‘quru’ antara Ibn Mas’ud dan Zaid Bin Tsabit, dan lain-lain. Apalagi ketika islam sudah mulai berkembang dan meluas ke berbagai struktur sosial baru. Ke Persia, Syam, dan India, China, hingga ke Asia Tenggara. Islam dipahami dalam madzhab tertentu.
Akan tetapi, semua perbedaan itu, bukanlah perbedaan yang ushul, yang dipertentangkan hingga merusak asas-asas islam seperti rukun iman dan rukun islam atau dasar-dasar aqidah seperti Tauhid. Semua madzhab merujuk kepada satu sumber yang sama dalam masalah ushul, yaitu al-Qur’an dan Sunnah yang shahih. Sebab hal tersebut sudah dijelaskan dalam al-Qur’an,
103. Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.(QS. Ali IMran: 103)
Sebab perbedaan memang adalah sunnatullah, namun sunnatullah tersebut bukanlah sebuah dalil yang mengharuskan bahwa wajah sosial umat islam harus berbeda. Persatuan adalah kewajiban yang harus diusahakan oleh umat islam. Karena itu segala hal yang mengarah kepada persatuan harus diwujudkan. Sebab islam sangat membenci perbedaan apalagi iftiraq. Jika pun terjadi perbedaan, maka landasannya hanyalah dikembalikan kepada dua landasan utama tadi, sebagaimana dalam al-Qur’an,
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa: 59)
Dengan demikian, ada pegangan dan patron yang jelas dalam melihat dimensi-dimensi perbedaan. Perbedaan seperti apa dan, serta berbeda seperti bagaimana yang mesti untuk ditunjukkan. Perbedaan itulah yang kemudian memunculkan berbagai macam variasi dalam gerakan-gerakan islam hari ini.



Variasi Gerakan Islam

 Semenjak kemunduran umat islam dan jatuhnya Khilafah 1924, muncul gerakan-gerakan islam dalam berbagai bentuknya. Ada dakwah politik parlemen, ada yang non-parlemen, ada dakwah grass-root, ada yang konsen pembinaan, dan lain sebagainya. Kesemuanya tentu adalah variasi dalam gerakan islam. Namun yang perlu diperhatikan adalah ‘cara memandang’ kepada variasi gerakan islam tersebut. Dan adanya variasi gerakan tersebut kemudian dijadikan pembenaran dan penerimaan ‘model-model’ islam yang lain. Sehingga menurut penulis, disinilah pentingnya memahami kaidah ikhtilaf dengan benar.
Perbedaan yang bukan merupakan perkara mendasar (ushul), atau kebih tepatnya merupakan perkara cabang (furu’i), apalagi dalam masalah fiqhiyyah, tentu harus dibalut dengan adabul ikhtilaf dan semangat akan persatuan umat. Akan tetapi, jika perbedaan itu dimaksudkan juga untuk menerima perbedaan ushul seperti adanya tambahan rukun iman seperti imamah dan wilayah, atau mungkin perbedaan aqidah kepada para sahabat, itu yang mesti diperjelas.
Indonesia, adalah negeri Islam, yang mewarisi dakwah Sunni para Wali Songo. Yang mereka mengagungkan para sahabat dan mencintai perjuangan mereka. Para ulama sejak dahulu seperti Buya Hamka, Dr. Mohammad Natsir, dan yang lainnya juga tidak menerima ejekan, hinaan apalagi laknat kepada para sahabat Nabi. Sebab mereka memang bukan ma’shum, namun kebaikannya adalah jauh lebih banyak dari kesalahannya. Dan merekalah yang berjuang bersama Nabi hingga Islam bisa sampai kepada kita. Tanpa mereka, agama Islam tidak akan mungkin sebesar dan seindah hari ini.
Patokan salam menilai sejarah para Imam Madzhab jelas. Sejarah yang dipilih bukanlah sejarah yang dengan darah para ahlul bait, yang kemudian memojokkan dan ‘menikam’ sahabat Nabi. Melainkan sejarah yang bersih dari umpatan dan celaan serta jernih dari kedengkian kepada mereka.
Selama batas-batas itu bisa dijaga, toleransi antar-madzhab bukan hal yang tidak mungkin terjadi. Namun selama masih ada upaya untuk menyebarkan kedengkian dan hinaan kepada mereka, sepertinya akan sulit penerimaan dalam Aqidah Ahlussunnah, yang tidak lain juga merupakan aqidah Islam.
Merupakan hal yang patut untuk dicontoh, bagaimana ideologi semacam itu justru mengundang perpecahan, bahkan kontak fisik. Seperti yang terjadi di kawasan Negara-Negara Timur Tengah. Sebab ideologi impor yang diambil secara membabi buta tanpa ada penyesuaian dengan kondisi keberagamaan masyarakat Indonesia justru akan menimbulkan gesekan sosial. Dan tentu hal tersebut bukanlah sesuatu yang diharapkan.

Dengan demikian, mari hargai perbedaan. Membalutnya dengan adabul ikhtilaf yang baik. Namun semua itu diwujudkan dalam batas-batas tertentu. Plural yang tidak dimaknai secara serampangan. 

No comments:

Post a Comment

 

Iklan Buku

Followers

Bincang-Bincang